Share

Cerita (mabuk) Bapak

Hari ini aku tidak sekolah. Satu-satunya seragamku basah setelah adegan siram-siraman bersama Ibu kemarin. Cuaca yang tidak panas membuat seragam yang kugantung di belakang tidak kering. Biarlah! Tak sekolah sehari tidak masalah. Bukankah tidak ada yang peduli aku sekolah atau tidak. Ya ... meski aku sangat menyayangkan. Aku pasti ketinggalan pelajaran hari ini.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain membantu ibu membersihkan rumah. Pagi sekali Ibu sudah menuju rumah orang kaya untuk mencuci baju dan menyetrika. Tentu saja dengan Kaina dalam gendongan.

Nenek sudah membaik. Dia sudah duduk di tepi ranjang. Aku hanya melihatnya sekilas. Entahlah, sejak kejadian kemarin aku berubah pandangan pada nenek. Bukan benci, tapi kasihan yang terlalu dalam.

"Tidak ada yang mau merawat nenek lagi selain Ibumu!"

Kalimat nenek saat kutanya mengapa menangis terus terbayang.

Ke mana saudara ibu yang lain?

Lalu mengapa ibu mau menerima nenek? Bukankah Ibu sudah tidak dianggap anak lagi?

Ah, mungkin suatu saat aku akan tahu dengan sendirinya.

Brak!

Aku yang tengah mencuci pakaian di belakang terkejut. Pintu terbuka lebar, Bapak sempoyongan memasuki rumah. Dia pasti mabuk lagi!

"LEENA!"

Aku terkesiap bangun lantas mendekat. Bapak berdiri lemas bersandar tembok.

"Mana Ibumu?" tanyanya dengan suara parau.

"Ambil cucian, Pak!" jawabku gemetar.

"Sini kamu!"

Tangan Bapak melambai ke arahku, memintaku mendekat. Aku melangkah ragu-ragu dan takut.

Apa yang Bapak inginkan?

"Heh, sudah besar, kau, ya?"

Aku diam. Bapak memegang pundakku. Perlahan dia memutar tubuhku, memperhatikan tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Apa maksudnya?

Bapak lantas menunduk, mendekatkan wajah denganku. Aku bisa mencium aroma minuman beralkohol dari mulutnya. Dia terkekeh menatapku. "Sudah besar, harusnya cari duit," ucapnya pelan. "Bukan sekolah aja!" Bapak mendorong kepalaku pelan lantas berjalan sempoyongan menuju kursi dan mendudukinya.

"Ah ... hidup miskin itu tidak enak!" ucapnya lantas bersendawa. Aroma alkohol menguar tajam. "Apa kamu mau terus hidup miskin begini, hah?" Bapak menatapku, aku hanya menunduk.

"Sini kamu!"

Aku meremas ujung baju, gemetar, takut, dan perlahan mendekat. Bapak memegang bahuku dengan erat. "Kamu itu kayak ibumu!"

Aku diam.

"Pemalas! Tahunya duit saja!"

Bapak mendorong tubuhku pelan untuk menjauh. Aku mundur beberapa langkah, menghindari jika saja bapak melakukan sesuatu padaku.

"Tapi dia baik!"

Aku diam, mendengarkan.

"Emaknya yang kayak setan malah dirawat sampai sekarang!'

Aku mendongak.

Emak setan?

"Padahal dulu dia menghinaku habis-habisan. Benar-benar habis!"

Bapak menyandarkan kepala di sandaran kursi kayu. Tatapannya menerawang jauh, seolah mengingat sesuatu.

"Kamu tahu? Aku bahkan pernah membuang nenek itu!" Bapak menoleh ke arah belakang, tempat nenek terbaring. Mataku mengikuti arah tatapan Bapak. Kulihat nenek terpejam. Mungkin tidur. Entah sejak kapan nenek sudah berbaring, padahal tadi masih duduk melihatku mencuci pakaian.

"Tch, Ibumu ngamuk. Mengancam akan meninggalkanku jika aku tidak segera membawa pulang si renta itu pulang. Ya, padahal aku hanya membuangnya di tumpukkan sampah belakang. Haha ...."

Aku menunduk.

Apa benar seperti itu?

"Aku membencinya, sampai sekarang! Hatiku ...." Bapak menepuk dadanya berkali-kali. "Masih sakit. Sangat sakit!" sambungnya.

Bapak menuang air dari teko ke gelas dan meneguknya.

"Padahal ibumu hamil itu juga karena dia yang meminta untuk melakukannya! Aku sih, ya ... mau-mau aja, haha. Tapi nenek renta itu terus menyalahkanku!"

Aku menunduk.

Lalu, apakah aku hasil dari mereka?

"Sebenarnya ...." Bapak menatapku. "Aku ragu kalau kamu itu anakku!"

Aku tersentak.

Apa maksudnya?

"Ya ... Ibumu kan cantik. Banyak yang suka. Bisa aja kan dia tidur dengan lelaki lain!"

Aku menelan ludah.

"Haha, tak apa. Kamu tetap anakku!"

Bapak lantas memejamkan mata. Mungkin kepalanya semakin pusing. Sementara aku hanya bengong, berusaha mencerna semua yang diucapkan Bapak.

Haruskah aku percaya?

****

Menjelang siang Ibu baru pulang. Dia membawa sebungkus nasi yang diletakkan di meja tengah. Ibu memintaku membaginya dengan Kinara. Aku manut. Kubawa sebungkus nasi itu ke belakang, di samping nenek. Kuajak serta Kinara untuk kusuapi.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Jemariku seolah tak kuasa menyuapkan nasi dengan lauk tempe kecap itu. Bukan karena porsinya yang hanya cukup dimakan Kinara, tapi kondisi nasi yang sepertinya hampir basi. Ya, tekstur nasinya lembek dan sedikit berair. Aku tidak tega untuk mencium aromanya.

Air mataku sukses mengalir saat satu suapan berhasil masuk ke mulut Kinara yang sudah sejak tadi menunggu. Bocah itu mengunyah pelan sembari menatapku. Kuambil satu suapan lagi, lantas kuberikan pada nenek. Mulutnya bergerak pelan mengunyah. Jelas terlihat di matanya jika nasi yang kusuapkan memang tidak enak.

Aku mengusap air mata dengan cepat saat Ibu melewatiku menuju pemandian. Sepertinya Kaina sudah tidur.

"Nggak sekolah kamu?"

Aku menoleh. "Nggak, Bu."

Ibu diam. Mungkin dia sudah menemukan jawaban mengapa aku tidak sekolah saat melihat seragamku terjemur di belakang.

"Nanti jual nasi uduk lagi!"

Aku hanya mengangguk.

Nasi di depanku masih tersisa banyak. Namun Kinara sudah tidak mau kusuapi. Begitu juga nenek. Aku menelan ludah menatap nasi yang sudah kucampur dengan beberapa iris tempe yang tersisa. Jemariku tak henti mencampur nasi dan tempe, seolah dengan begitu akan terlihat lebih menggoda untuk kumakan. Ya, sejak tadi belum ada satu suapan pun yang masuk ke perutku. Aku takut nasi itu tidak akan cukup jika aku ikut memakannya. Ditambah kondisinya yang tidak memungkinkan untuk kusantap. Namun, jika nenek dan Kinarabisa memakannya, mengapa aku tidak? Toh sejak kemarin tidak ada yang masuk perutku.

Kubawa sisa nasi ke dapur. Kutuang sedikit garam di atasnya lantas kembali menguleninya. Air mataku tak henti mengalir saat satu suapan sukses masuk ke mulutku. Perutku meronta, hendak muntah. Namun dengan kuat kutahan. Entah bagaimana perasaan Ibu jika aku sampai memuntahkan nasi pemberiannya.

Tuhan, tidak adakah makanan lain yang Kau sediakan di luar sana untuk kami?

Akhirnya nasi habis tak tersisa. Meski dengan berderai air mata, aku berusaha menghabiskannya. Urusan sakit perut, biarlah terjadi nanti. Toh, nasi tadi belum benar-benar basi. Lagipula sudah biasa kan makan makanan seperti ini? Makanan yang entah darimana Ibu mendapatkannya.

Hingga menjelang sore, aku membantu Ibu membuat nasi uduk lagi. Sepertinya Ibu baru saja mendapatkan bayaran sedikit banyak untuk membeli beras dan lauk nasi uduk. Bagi Ibu uang yang didapat harus diputar lagi, agar bertambah. Salah satunya dengan menjual nasi uduk seperti ini.

****

"Nasi uduk!"

Aku berteriak nyaring dengan sepuluh nasi uduk di tampah atas kepalaku. Beruntung baru setengah jalan sudah ada tiga bungkus nasi yang terjual. Itu cukup membuat semangatku berkobar. Aku terus berjalan, meski panas sore hari cukup menyengat.

"Nasi uduk!"

Tenggorokanku mulai kering. Namun kali ini aku membawa air minum sendiri sebagai bekal.

Prang ....

"Kenapa kau tidak pergi saja bersama ibumu itu, hah!"

Aku terkesiap saat sebuah piring seng dilempar hingga ke jalanan. Seorang anak lelaki keluar dari rumah berdinding papan. Dia memeluk dirinya sendiri, ketakutan.

"Pergi saja, kau! Menyusahkan saja!"

Daun pintu dibanting dengan kuat. Membuat bocah lelaki seusiaku itu semakin ketakutan. Aku mematung, terus memperhatikannya. Hingga kemudian dia melihat keberadaanku.

Dia ...?

Bukankah dia bocah yang memberiku botol bekas kemarin di sekolah?

Aku terus memperhatikannya dengan seksama. Tubuh kurusnya sedikit membungkuk dengan celana kolor gombrang yang robek di bagian samping dan tak mengenakan baju. Kulit hitam dan kusamnya terlihat jelas. Membungkus tulang iga dan bahu yang menonjol jelas.

"Apa? Pergi sana!"

Aku terkejut karena bentakkannya. Belum juga sadar dari lamunanku, dia melempar sebuah batu kecil ke arahku. Tak ingin terluka aku lantas melangkah cepat meninggalkannya.

Dia kenapa?

....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status