Share

Keluarga Benalu (Berliana POV)

Menjalani rumah tangga ternyata tidak semudah yang aku kira. Awalnya aku masih memegang prinsip, yaitu menikah haruslah di umur 30 tahun keatas, karena di usia itu aku merasa lebih matang dan siap dalam segala aspek. Namun siapa sangka jika aku malah jatuh cinta dengan salah satu pegawai bagaian administrasi di kantor. Itu hal yang gila, tapi aku lebih gila lagi karena sudah memperjuangkan cinta, yang bahkan saat itu aku tidak tahu arti cinta yang sebenarnya itu seperti apa.

 

  Aku hanya tahu, aku menyukai dan tertarik kepada Abiyan. Ada rasa ingin memiliki, mengagumi dan lama-kelamaan dia begitu spesial di mataku.

 

  Kesan pertama bertemu, aku begitu terkesima dengan cara bicara Abiyan yang terkesan tegas dan berwibawa meskipun hanya seorang staf administrasi.

 

  Semua yang ada pada diri Abiyan membuat aku tertarik, sampai rela membayar orang untuk memata-matai pria itu. Bagaimana dia, keseharian serta latar belakang keluarganya. Cukup terdengar seperti wanita bodoh, itu memang benar. Aku melakukannya, hanya agar tahu semua tentang dia dan aktivitasnya.

 

  Bagaikan terhipnotis, selain tampan, cakap dan berwawasan luas, Abiyan juga sangat kompeten dalam urusan pekerjaan.

 

  Apa sih yang enggak bisa aku dapatkan, disaat aku berada pada posisi tinggi, yang mau apapun pasti akan terkabulkan. Termasuk berkencan dengan Abiyan. Walaupun awalnya terlihat sulit, tapi tetap saja aku bisa melakukannya.

 

  Dan itu memang benar. Dalam waktu tiga bulan, aku sukses mengambil hati pria itu dan berakhir mereka menjalin asmara satu kantor. Jika ditanya kenapa aku tidak berpacaran sebelumnya, jawabannya karena aku sendiri belum menemukan seseorang yang menurutku cocok dengan ku.

 

  Aku menginginkan pria yang pintar juga berjiwa pembisnis yang nantinya akan serasi jika disandingkan denganku. Bukan bermaksud apa, tapi jika tidak sama dan tidak serfrekuensi, tetap saja nanti ujungnya tidak akan nyambung.

 

  Dan Abiyan datang dengan kriteria yang di idam-idamkan oleh ku. Aku tahu jika derajat sosial kita berbeda, aku juga tahu jika nantinya hubunganku dan dia menuai pro dan kontra. Tapi ini kehidupan ku dan aku yang menjalaninya, jadi aku tak ambil pusing dengan omongan orang-orang. Termasuk kedua orang tua ku yang sempat menolaknya.

 

  Mendapatkan restu dari kedua orang tuaku sedikit sulit. Tapi pada akhirnya mereka menyerah dan membebaskan aku memilih jalan hidupku sendiri.

 

  Dan untungnya waktu itu aku begitu mudah mendapatkan restu dan dukungan dari keluarga Abiyan.

 

  Yang aku tahu, ayah Abiyan meninggal sejak Abiyan masih kecil. Dan ibu Abiyan lah yang banting tulang membesarkan keempat anaknya sendirian. Aku mengapresiasi beliau, karena sudah menjadi wanita kuat ketika dunia sedang tidak baik-baik saja.

 

  Ya mungkin awalnya hubungan ku dan keluarga Abiyan baik-baik saja, tapi entah kenapa semakin lama aku semakin disadarkan dengan sifat asli mereka.

 

  Mungkin awal pernikahan ku dan Abiyan mereka terlihat baik kepadaku. Tapi lambat laun semua mulai berubah. Aku sangat menyadari perubahan itu, ketika keadaan ekonomi mereka sudah lebih dari kata baik, satu persatu sifat aslinya mulai keluar. Dan yang paling menjengkelkan adalah, keluarga Abiyan mulai ikut campur kedalam rumah tangga kami.

 

  Bagi ku mereka tidak semestinya ikut campur terlalu dalam. Karena bagaimanapun yang menjalani pernikahan adalah aku dan Abiyan. So, aku keberatan kalau ibu dan adik-adiknya masuk kedalam lingkup rumah tangga kami.

 

  Aku juga mulai muak saat Abiyan menyuruhku mengalah saat ibu dan adik-adiknya berbuat ulah. Mereka mulai menunjukkan ketidaksukaannya kepadaku secara terang-terangan. Selalu berbuat ulah dan suka mencari gara-gara kepadaku.

 

  Dan yang paling membuat aku terkejut adalah,  ibunya menerimaku hanya karena statusku saat itu. Pewaris tunggal dari pengusaha kaya raya. Wow hebat sekali ya, aku bahkan tidak menyadari maksud terselubung mereka. Tapi itu hanya ibu dan adik-adik Abiyan, bukan Abiyan nya.

 

  Awalnya aku juga sempat tidak percaya, tapi Abiyan sendiri yang membuktikan kalau dia tidak ikut campur dengan masalah itu.

 

*******

  "Mereka memang gila, sukanya cari-cari masalah. Andai dia bukan ibu mertua dan adik iparku, mungkin aku akan kasih pelajaran berharga buat mereka."

 

  Sepupuku terlihat menggebu-gebu. Aku pun hanya bisa mengangguk. Bisa dikatakan kehidupan mereka tersangkat derajatnya karena putranya menikah denganku. Tapi sepertinya mereka tidak tahu diri, semakin dibiarkan mereka semakin berulah sesuka hatinya.

 

  "Orang tua lo belum tahu kan sampai sekarang kalau lo bermasalah sama keluarga suami lo?" ucap sepupuku lagi.

 

  "Ya gila aja, orang tua gue udah wanti-wanti dari awal kalau mereka gak setuju gue sama Abiyan. Terus sekarang gue ngadu ke mereka kalau keluarga suami gue terlalu ikut campur dan bermasalah sama gue? Ah jangan sampe orang tua gue tahu." Aku bergidik ngeri, membayangkan kedua orang tuaku tahu tentang permasalahan ini.

 

  Jelas rasa gengsi ku terlalu besar, aku malu bila mereka tahu. Ya sebenarnya tidak apa-apa sih, tapi entah kenapa aku ragu saja memberitahunya. Lagipula selagi aku bisa mengatasi masalah ku sendiri, orang tua ku tak perlu mengetahuinya.

 

  Aku juga tak mau mengganggu waktu istirahat mereka, yang ingin menikmati hari tua tanpa ada beban yang dipikul di pundak.

 

  "Lagian nih ya, gue heran banget sama mertua lo. Bisa dibilang, mereka hidup atas bantuan dari lo kan. Kok bisa-bisanya ya mereka kayak gak ada rasa malu berbuat kayak gitu."

 

  "Ibunya Abiyan sering bilang kalau dia takut gue injak-injak harga diri keluarga mereka soalnya gue lebih unggul dari segi apapun. Terus adik-adiknya sering bilang kalau gue selalu anggap remeh keluarga mereka karena gue orang kaya. Dan yang lebih gilanya lagi, mereka bilang kalau orang kota, orang kaya kayak gue ini gak bisa menghormati mereka dan juga minus akhlak."

 

  Wanita berambut pirang di depanku hanya bisa menggelengkan kepala. Dia saya tak habis pikir dengan keluarga suamiku, apalagi aku yang notabenya adalah menantu, sekaligus iparnya.

 

  "Tapi suami lo ada dipihak lo kan Lin? Maksud gue, dia gak ikut-ikutan mertua sama ipar-ipar lo kan?"

 

  "Suami gue mah aman. Dia tuh sabar banget, tapi yang gak gue suka dari dia itu, dia selalu nyuruh gue buat sabar. Gila kan, bahkan dia sering suruh gue buat ngalah kalau lagi aduh bacot sama ibu dan adik-adiknya."

 

  "Jangan mau lah, selagi lo gak salah ya jangan mau ngalah. Lagian gue tuh jadi heran sama lo Lin, dulu sebelum nikah kayaknya lo itu garang deh. Tapi sekarang kok taringnya enggak muncul lagi. Lo takut apa gimana?"

 

  Takut? Ah ya Tuhan. Itu tidak ada di kamus ku.

 

  "Gue cuma liat Abiyan disini. Sepagi dia gak terpengaruh sih, gue fine fine aja."

 

  "Tapi ada kalanya suami lo nanti bakal terhasut sama ibunya. Gue ngomong gini karena ini udah terjadi ke gue ya. Lo tahu sendiri kan rumah tangga gue hancur karena keluarga mantan suami gue yang terlalu ikut campur. Ya awalnya sama kayak suami lo, tapi lama kelamaan juga tuh mantan gue ke hasut juga sama keluarganya. Terus ujungnya gue yang digugat cerai. Gila, padahal seharusnya gue yang gugat cerai tuh laki."

 

  Ah itu jelas tak mungkin.

 

  "Tapi Lin, gimana kalau mertua sama ipar-ipar lo hasut Abiyan buat cerai in lo." ucapnya ngawur.

 

  "Gak mungkin!" jawab ku. Lagian kalau benar, Abiyan juga tidak akan terpengaruh. Dia mencintaiku.

 

  "Bisa aja."

 

  "Mereka masih butuh gue," ucapku yakin.

 

  "Kalau Abiyan terpengaruh dan selingkuh di belakang lo gimana? Keluarganya pasti dukung, soalnya kan mereka gak suka sama lo."

 

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status