Share

Sinyal Bahaya

    'Dina bisa memberikan keturunan buatmu. Dina juga bisa menjadikan kamu seorang ayah'

   

    Kalimat itu terus terngiang, berulang kali terputar diotak seperti kaset rusak. Semakin dipikirkan semakin membuat Abiyan sakit kepala.

   

    Pria itu tidak pernah menyangka jika kedatangan ibu dan adik perempuannya kali ini untuk membahas sesuatu yang sensitif. Sensitif bila didengar oleh Berliana.

   

    Mungkin akan terjadi perang besar, dan Abiyan takut jika Berliana akan bertindak. Ia sadar istrinya terlalu lelah dengan kelakuan ibu dan adik-adik suaminya.

   

    "Kenapa mas? Kok aku perhatiin kamu ngelamun dari tadi, mikirin kerjaan? Atau yang lain?" tanya Berliana saat wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi.

   

    Abiyan mendongak, tersenyum kepada wanitanya, "Sedikit mikirin masalah kerjaan, kenapa hem? Mau keluar gak nanti malam?" tawarnya tiba-tiba.

   

    Tidak langsung menjawab, Berliana berjalan ke arah lemari seraya memilih beberapa baju yang akan ia kenakan, "Ibu sama Vina tadi ngapain Mas? Katanya penting, emang apa?"

   

    Abiyan yang sebelumnya menyenderkan tubuh di kepala ranjang, langsung menegakkan tubuh seketika Berliana bertanya seperti itu. Tidak mungkin dia berkata jujur kepada Berliana, yang ada beberapa detik setelahnya akan terjadi pertengkaran antara mereka berdua.

   

    "Enggak sih, gak penting. Cuma mau minta saran aja, soalnya Vina mau buka cafe."

   

    "Buka cafe?"

   

    "Iya."

   

    "Ohh."

   

    ***

   

    Abiyan memutuskan mengajak Berliana pergi keluar untuk menyegarkan pikiran. Sekalian juga quality time sebagai sepasang suami istri. Mengingat akhir-akhir ini Abiyan sibuk dengan pekerjaan dan Berliana yang sedang sibuk-sibuknya dengan urusan butik.

   

    Iya, wanita itu launching butik baru, yang mana sekarang masih on proses.

   

    "Mas, aku mau beli tas—"

   

    "Abiyan. Kita bertemu disini, apa kabar?"

   

    Abiyan dan Berliana menoleh secara bersamaan ke sumber suara, ekor mata Berliana melirik ke arah suaminya, "Siapa Mas?" tanyanya, masih dengan menatap pria dengan setelan formal di hadapannya.

   

    Mungkin pria tersebut rekan bisnis suaminya.

   

    "Istri lo?"

   

    "Hah? Ah iya—ini istri gue."

   

    "Waw cantik ya, lebih cantik dari yang sebelumnya." ucap pria itu, matanya menatap Berliana dengan kagum.

   

    "Vano," ujarnya memperkenalkan diri, dengan tangan terulur ke arah Berliana.

   

    Sepasang suami istri tersebut saling bertatapan, entah apa yang saling mereka ungkapkan lewat isyarat mata.

   

    "Berliana. Anda teman Abiyan?"

   

    "Ah Berliana, kayaknya nama itu enggak asing di telinga. Hmm beberapa tahun lalu, sepertinya nama Berliana mengguncang dunia perbisnisan. Bukankah begitu?"

   

    Berliana berdecak pelan, matanya menatap tak suka pria bernama Vano tersebut. Dari nada bicaranya barusan, terdengar seperti tengah meledek.

   

    Jika pun si Vano ini adalah pembisnis atau rekan kerja Abiyan, Berliana tidak mengenalnya. Walaupun sepertinya Vano mengenal dirinya. Entah sebagai istri Abiyan atau sebagai Berliana si workaholic beberapa tahun lalu, saat masih memimpin perusahaan.

   

    Tidak mau ambil pusing, Berliana memilih meninggalkan dua pria itu untuk berbicara.

   

    "Aku mau beli tas, kamu ngobrol aja sama dia."

   

    "Sendirian?"

   

    "Iya."

   

    "Gapapa?"

   

    "Gapapa."

   

    ***

   

    Sebenarnya ada yang mengganggu pikirannya sejak meninggalkan Abiyan berbicara berdua dengan rekan kerjanya.

   

    Entah ini hanya perasaannya saja atau bagaimana, Berliana merasa setiap kalimat yang terucap dari bibir Vano meninggalkan kejanggalan, yang sukses membuat Berliana kepikiran.

   

    "Ini tas keluaran terbaru Bu. Di desain khusus dengan bahan premium yang hanya diproduksi sebanyak 5 buah saja. Ibu cantik bila memakainya, terlihat cocok dan pas." ucap pelayan perempuan yang menemani Berliana berkeliling melihat-lihat isi toko.

   

    "Saya gak terlalu suka warna yang mencolok." ucapnya dengan mata yang melihat sekeliling ruangan. Matanya terkunci pada tas yang berada di etalase atas, terlihat begitu mewah dan elegan.

   

    "Saya mau itu—"

   

    "Saya ambil tas itu."

   

    Berliana melirik kerah kirinya, dimana ada seorang wanita yang menunjuk tas yang sama seperti yang dia inginkan.

   

    "Aku yang pertama melihat tas ini, jadi ini milikku."

   

    Berliana tercengang, menatap tak percaya wanita di hadapannya yang tiba-tiba berbicara seperti itu. Seolah Berliana ingin melakukan drama rebut-rebutan seperti yang ada di sinetron-sinetron. Mana ada seperti itu.

   

    "Saya bila ambilkan tas itu kalau ibu menginginkannya." ucap pelayan memberikan kesempatan Berliana untuk memiliki tas tersebut.

   

    "Gak perlu, saya mau cari tas yang lain aja. Mungkin tas itu, kamu bisa bungkuskan untuk saya." tunjuknya pada satu tas berwarna hitam dengan model tak kalah elegan dari yang sebelumnya Berliana pilih.

   

    "Baik bu, ibu bisa menunggu di sana sebentar."

   

    Tanpa Berliana sadari, sejak tadi ada dua orang yang memperhatikannya dari jarak dekat. Tak lain tak bukan adalah wanita yang sama, yang menginginkan tas yang sempat ingin dibeli oleh Berliana.

   

    "Gayanya sombong banget ya bu. Kayaknya orang kaya baru deh. Dia langsung pilih tas lain padahal yang dia pingin itu tas yang aku pegang ini."

   

    "Biarin lah gak penting juga."

   

    "Oh iya, ibu lupa tanya soal kemarin. Gimana-gimana, kabar dia sekarang?"

   

    "Hmm. Dia udah nikah bu, tapi kayaknya bisa deh aku rebut dia lagi. Lagian sekarang dia udah mapan, ayah juga pasti gak bakal nolak kalau dia lamar aku. Iya kan bu?"

   

    "Benar sih, tapi kamu tahu enggak dia nikah sama siapa? Aduh jangan deh, ibu gak mau ya kalau kamu sampai di cap pelakor karena rebut suami orang."

   

    Wanita cantik itu menggelengkan kepala, "Enggak bakal. Soalnya aku dengar-dengar istrinya itu gak disukai sama keluarganya Abiyan. Gak tahu kenapa, tapi itu jadi peluang aku untuk masuk di tengah-tengah mereka."

   

    Sarah terdiam, dia takut sesuatu buruk terjadi kepada putrinya. Bagaimanapun juga mendekati pria yang sudah beristri adalah resiko yang besar, bisa-bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

   

    "Kamu yakin kalau Abiyan masih bisa nerima kamu? Kamu tahu sendiri kan Din, kalau ayah yang nolak dia mentah-mentah waktu dia mgelamar kamu. Ibu takut aja."

   

    "Ya makanya itu bu, aku yakin banget dia masih ada rasa ke aku. Soalnya adiknya sendiri juga bilang kalau cinta lama itulah pemenangnya. Lagian nih ya, istrinya itu mandul dan gak bisa kasih keturunan. Jadi aku bakal miliki Abiyan dengan menjadikan dia sebagai seorang ayah."

   

    "Terserah kamu deh, yang penting gak resiko. Tapi kalau bisa kamu harus nikah sama dia, gimana pun caranya. Soalnya kamu bakal tetap kalah kalau kamu gak punya status meskipun nantinya kamu kasih dia anak."

   

    "Itu udah pasti. Ibaratnya jalan aku buat masuk kedalam pernikahan Abiyan dan istrinya itu mulus banget. Ibunya Abiyan masih berharap aku untuk jadi menantunya, keluarga Abiyan yang gak suka sama istrinya Abiyan, istrinya Abiyan yang mandul. Itu seolah kesempatan yang gak bakal datang dua kali." ucap Dina dengan senyuman lebar.

   

    Ah, dia jadi membayangkan bagaimana kehidupannya kelak jika bisa merebut kembali seorang Abiyan untuk menjadi miliknya. Bukankah yang lama itu yang akan jadi pemenangnya? Kalaupun tidak, dia akan tetap membuat Abiyan menjadi miliknya. Apapun caranya, Abiyan harus kembali padanya.

Dina tiba-tiba tersenyum. Siapapun yang melihatnya pasti akan merasa ngeri.

   

  ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status