Cahaya mentari dari luar sukses mengganggu tidur nyenyak Berliana di pagi hari. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya mendadak lemas.
Dia masih mengingat kejadian di malam hari, dimana dia dan Abiyan sempat berdebat kecil membahas masalah kehamilan.
Berliana dengan pikirannya yang sudah overthingking dan Abiyan yang bingung harus memberikan keyakinan seperti apa lagi, agar istrinya berhenti menyudutkannya.
Sama halnya seperti Berliana, Abiyan juga bingung jika dihadapkan pada kenyataan bahwa istrinya sulit untuk hamil. Tapi kembali lagi, baik Abiyan maupun Berliana hanya bisa berusaha dan menunggu, untuk hasil seharusnya mereka menyerahkannya kepada Tuhan.
Beruntunglah hari ini adalah hari minggu, jadi Berliana tak bersusah payah untuk membangunkan suaminya.
Lagipula ini sudah sangat terlambat untuk memulai aktivitas pagi, apalagi jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat 15 menit. Ah ini semua salah Abiyan, pria itu yang semalam menyerang Berliana dengan sentuhan-sentuhan memabukkan, bahkan di tengah-tengah perdebatan mereka yang belum usai.
Dengan segara Berliana bangkit, menguncir rambut sebelum turun dari atas kasur. Mungkin dia akan cuci muka sebelum turun ke bawah untuk mengisi perut.
Cling
'Hallo Mas Abiyan. Kamu enggak lupa kan sama aku?'
***
Berliana menghembuskan napas panjang, entahlah tiba-tiba mood nya berubah menjadi berantakan tat kala ibu dan adik iparnya berkunjung ke rumah. Minus Vicky dan Icha, entahlah pria menyebalkan itu dimana keberadaannya. Setidaknya dua pengganggu tidak ada, biarkan Berliana mengurus pengganggu lainnya.
Jangan salahkan Berliana jika menganggap keluarga suaminya adalah pengganggu, kenyataannya memang seperti itu bukan.
Tidak ada angin tidak ada hujan, mereka bertamu dengan tanpa rasa bersalah. Seolah melupakan kejadian kemarin.
"Kamu baru bangun? Siang banget bangunnya, apa jangan-jangan emang kamu sering bangun siang kayak gini?"
"Hari ini aja bu, aku kesiangan bangunnya." jawab Berliana, mencoba tenang.
"Emang abis ngapain Mbak kok bisa bangun kesiangan? Lain kali biasain bangun pagi, biar produktif, biar tubuhnya subur."
Ucapan Vina menyentak hati Berliana. Diakhir kalimat, Berliana merasa tersinggung, dan menatap sang adik ipar dengan tatapan intens. "Biasanya kenapa kalau seorang istri bangun kesiangan? Apalagi di rumah cuma ada aku sama Mas Abiyan. Lagipula produktif bukan masalah bangun pagi atau enggaknya kok."
Rasanya Berliana ingin mengumpat saja, emang dasar ya, adik iparnya yang satu ini bisa saja membuat darah tingginya naik dengan tiba-tiba.
Hmm, lain kali mungkin akan Berliana ceritakan tentang mertua beserta adik-adik iparnya. Bagaimana sifat mereka yang menyebalkan, serta hati busuk yang mereka miliki.
"Mas Abiyan lama banget sih bu, ngapain aja sih dia. Kita udah nunggu dari tadi loh." gerutu Vina, merenggut kesal kepada Tari—ibunya.
"Mungkin dia masih di kamar mandi, tunggu aja sebentar lagi."
"Lagian ada apa sih bu, kok kayaknya penting banget. Mau bicarakan apa sama Mas Abiyan?" lanjut Berliana, dia bertanya dan tidak berharap mendapatkan jawaban.
Karena ya, Berliana tahu apa yang akan dia dapatkan dari pertanyaannya barusan.
"Tumben tanya, biasanya juga bodoh amat. Biasanya juga gak peduli, gak mau tahu." ucap Vina sarkas.
Berliana hanya bisa diam, meladeni lagi juga nanti akan terjadi pertengkaran.
"Sebentar ya bu, aku ke atas dulu mau panggil Mas Abiyan. Biar cepat-cepat menemui ibu dan Vina. Gak enak juga aku, liat ibu sama Vina menunggu lama di sini."
Tanpa basa basi lagi, Berliana segera bangkit dari tempat duduknya. Dia kembali naik ke atas untuk memanggil sang suami, entahlah kenapa Abiyan lama sekali turun ke bawah. Padahal Berliana sudah tidak betah berlama-lama bersama ibu dan adik iparnya.
"Astaga Mas! Ngagetin aja sih kamu!"
Wanita itu tersentak kaget saat akan membuka pintu kamar, tetapi Abiyan lebih dulu membukanya, "Nyebelin banget, sana buruan turun ke bawah. Ditunggu ibu sama adik kamu tuh."
"Tumben ke rumah, ada apa emangnya sayang?"
"Mana aku tahu, tanya aja sendiri sana."
Melihat raut wajah istrinya yang sudah berbeda, Abiyan tidak lagi bertanya. Pasti tadi ibu dan adiknya sudah membuat jengkel hati Berliana, "Ya udah aku mau temuin ibu dulu. Kamu ikut gak?"
"Gak, aku di kamar aja. Takut kebablasan kalau ikut kamu ke bawah, soalnya mulut ibu sama adik kamu gak bisa ke kontrol. Emang mau ada pertengkaran lagi?"
Dengan cepat Abiyan menggeleng, "Udah-udah kamu masuk aja. Oh iya, udah makan kamu?"
"Hmm, udah. Makanan udah disiapin sama bi Mirna, nanti jangan lupa makan."
"Iya."
Berliana masuk ke dalam kamar, segera menutup pintu dan merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"Sial, mereka mengacaukan mood ku hari ini."
"Muak sekali melihat wajahnya, tapi lebih memuakkan lagi kalau aku harus pura-pura ramah di depan mereka."
"Hah, ini gila. Dari sekian banyak musuh ku di luaran sana, haruskah ibu dan adik iparku salah satunya? Tapi mereka yang mulai, ah sudahlah." monolog Berliana pada dirinya sendiri. Dia merasa sebal, karena harus memiliki mertua dan ipar yang menyebalkan.
Karena tidak pernah terbayang di benaknya, akan memiliki mertua yang jahat. Jahat? Sepertinya, sebab Tari tidak menyukainya tanpa alasan yang jelas.
***
"Kamu ingat Dina? Mantan kamu dulu, anaknya Pak Bram dan Bu Ratna."
Abiyan terdiam persekian detik, dia mendadak mengingat nama itu. Padahal dia sudah melupakan wanita masa lalunya tersebut.
"Kenapa? Kok tiba-tiba ibu bahas dia."
"Kamu tahu enggak Mas? Kemarin aku ketemu sama Mbak Dina di mall, terus kita saling sapa dan berakhir makan berdua di restoran. Kita juga ngobrol cukup lama, dan kamu tahu gak Mas?"
Vina begitu antusias bercerita, sedangkan Abiyan menatapnya tanpa minat.
"Ternyata Mbak Dina baru aja batalin pernikahan sama calonnya. Aku sih gak tahu kenapa, tapi aku tiba-tiba aja keinget sama kamu Mas." lanjutnya.
"Terus apa hubungannya sama aku? Kalian jauh-jauh datang kemari cuma mau membicarakan hal yang enggak penting ini?" Abiyan heran, kenapa juga ibu dan adiknya kembali membicarakan wanita itu.
Tari berdecak sebal, dan Vina menatap sang kakak tidak percaya.
"Kamu ini kenapa sih, kok ibu perhatiin dari tadi sewot terus."
"Tahu nih, gak ada ramah-ramahnya sama kita. Padahal aku sama ibu jauh-jauh ke sini itu buat kasih kabar bahagia ke Mas Abiyan. Tapi malah responnya gak baik."
"Dina itu udah gak ada urusannya sama aku. Jadi kalian jangan ungkit-ungkit dia lagi."
"Tapi Dina baru aja batal nikah Abiyan! Emangnya kamu gak mau apa balik lagi ke dia? Ibu yakin kok orang tuanya gak akan nolak kamu lagi, kamu bisa kasih mahar yang besar untuk Dina. Bukankah itu kesempatan?"
Gila! Apa yang ada dipikiran Tari, kenapa ibunya bisa berpikir sampai kesana.
"Maksud ibu apa?"
"Ibu yakin kalau kamu masih ada rasa ke Dina. Jujur aja nak, lagian ini itu kesempatan buat kamu. Dina, dia wanita yang dulu sangat kamu cintai, dan sekarang ada kesempatan buat kamu dapatkan dia, mau kamu sia-siakan begitu aja?"
"Gila, ibu udah gila."
"Dina bisa memberikan keturunan buat kamu, Dina bisa menjadikan kamu seorang ayah."
Berliana duduk di ruang tamu, merenungkan perjalanan panjang yang telah dia dan Abiyan lalui beberapa waktu dalam memperbaiki rumah tangga mereka. Beberapa bulan terakhir ini, mereka berhasil menyelesaikan masalah-masalah mereka dan merasa hubungan mereka semakin membaik setiap harinya. Berliana merasa tenang dan bahagia jika terus seperti ini. Ya, Berliana harap ini akan bertahan dengan waktu yang lama.Berliana tersenyum puas, ketika melihat suaminya datang menghampirinya, “Mas, akhir-akhir ini rasanya rumah tangga kita semakin harmonis. Aku merasa tenang dan bahagia.”Abiyan duduk di sebelah Berliana, merangkul pinggang wanita itu, “Iya, aku juga merasakannya. Ini adalah hasil dari kerja keras kita bersama dan tekad kita untuk memperbaiki hubungan kita. Aku sangat senang melihatmu bahagia, sayang.”“Terima kasih, mas. Aku benar-benar merasakan perubahan dalam hubungan kita. Dan yang terpenting, tidak ada lagi gangguan dari ibu dan adik-adikmu. Rasanya lebih intim dan kita bisa foku
Abiyan dan Berliana duduk di balkon kamar mereka, sinar matahari senja menerangi wajah mereka yang penuh harapan. Setelah melewati beberapa masalah rumah tangga, mereka memutuskan untuk mulai menyelesaikan konflik mereka dan berniat untuk menjadi lebih saling terbuka lagi.Ya, setelah pergulatan sebagaimana suami istri lakukan, Abiyan membuka topik pembicaraan yang mengarah pada masalah yang menimpa mereka beberapa waktu lalu.Awalnya Berliana tidak ingin membahas hal itu dan memutuskan akan mencari tahu sendiri. Lagipula dia tidak puas dengan jawaban yang suaminya berikan.Tapi, pagi itu Abiyan memberikan janji bahwa sepulang dia dari kantor, dia akan menyelesaikan semua masalahnya dengan Berliana. Mau bagaimana lagi, Berliana membuka pintu, mengizinkan bila pria itu ingin menyelesaikan kesalahpahaman diantara mereka berdua.Abiyan menggenggam tangan Berliana dengan erat, “Sayang, aku ingin kita mulai mengatasi masalah kita dengan lebih jujur. Aku merasa kita perlu menjadi lebih terb
“Tumben lo ngajak gue keluar? Lagi ada masalah ya?”“Gak juga sih. Ya gue cuma pingin aja keluar. Kenapa? Lo keberatan ya Lin?”“Hooh sepertinya. Hahaha.”Mereka berdua terlibat obrolan singkat, sampai pada Sania yang menyinggung persoalan rumah tangga sahabatnya. Berliana.“Gimana masalah lo sama Abiyan? Aman kan?”“Iya. Kemarin kita baikan, dan dia juga udah minta maaf buat kesalapahaman antara kita.”“Ya okelah kalau gitu.”Berliana memperhatikan raut wajah Sania, yang seolah ragu dengan ucapannya sendiri.“Kenapa San?”“Gapapa, emangnya kenapa?”“Lo kayak gimana gitu pas dengar gue udah baikan sama Abiyan. Kenapa?”Yap, tepat sekali. Berliana sangat pintar membaca ekspresi wajah, apalagi Sania yang tidak pandai menyembunyikan mimik wajahnya.“Hmm gimana ya Lin. Gue bingung mau ngomongnya.”“Bingung kenapa?” tanya Berliana. Wanita itu dibuat penasaran dengan perkataan Sania.“Hmm, sorry nih ya. Tapi, suami kamu punya selingkuhan?”***Atas dasar apa Sania bertanya seperti itu.Sani
Berliana duduk di balkon kamar, menatap ke luar dengan wajah penuh kecemasan. Dia merasa sangat sedih dan takut kehilangan Abiyan. Mereka baru saja berbicara dan mencoba menyelesaikan masalah rumah tangga mereka yang sempat terguncang masalah.Abiyan masuk ke kamar dengan wajah yang agak tegang. Dia merasa sangat lega bisa membicarakan masalahnya dengan Berliana, tapi masih ada kekhawatiran di hatinya.Dia berjalan mendekati Berliana dan memegang merangkulnya dari arah belakang."Sayang, aku minta maaf atas semua masalah yang terjadi di antara kita. Aku mencintaimu dan tidak ingin kehilanganmu." ungkap Abiyan. Pria itu menarik tubuh sang istri, di peluknya dengan erat.Berliana menatap Abiyan dengan wajah bingung, namun juga merasa lega dan bahagia mendengar perkataan Abiyan.“Aku juga mencintaimu, mas. Dan aku merasa sangat bersyukur bahwa kita bisa bicara dan menyelesaikan masalah kita.”Ya, tadi pagi sekitar pukul 7. Abiyan sudah balik dari luar kota dan langsung menemui Berliana u
Suasana pagi di rumah Ibu Abiyan, begitu terasa tenang. Abiyan duduk di ruang tamu sambil sesekali membaca email yang masuk dan mengerjakan proposal perusahaan. Rencananya ia akan balik ke Jakarta hari ini dan meluruskan semua masalahnya dengan Berliana yang semakin merambat kemana-mana.Abiyan juga sudah berbicara dengan ibu dan ketiga adiknya. Menegaskan kepada mereka, bahwa tak seharusnya mereka memperlakukan Berliana seperti itu.Abiyan juga mengungkit-ungkit kehidupan mereka dulu, yang serba kekurangan. Tapi setelah dirinya menikah dengan Berliana, wanita itu mengangkat derajat keluarga Abiyan. Abiyan mengingatkan hal itu, agar keluarganya juga menyadari seberapa berjasanya Berliana bagi kehidupan mereka.Saat sibuk membaca email yang masuk, tiba-tiba bel pintu berbunyi. Sedangkan tak ada orang di rumah, Ibunya pergi entah kemana dan adik-adiknya sejak tadi tidak keluar dari dalam kamar. Mau tak mau Abiyan lah yang membukakan pintu untuk tamu. Tapi saat membuka pintu, Abiyan ter
Berliana duduk di ruangan HRD. Ia memperhatikan sekitar dan tatapannya kembali terpusat pada satu map yang berisi laporan keuangan perusahaan selama setahun terakhir. Empat orang duduk dihadapan Berliana, meliputi HRD, kepala staf keuangan, karyawan dan Anastasia yang merupakan sekertaris pribadi suaminya."Sesuai yang ibu minta, ini laporan keuangan perusahaan selama setahun terakhir.""Boleh di jelaskan?""Baik Bu."Rasanya oksigen di ruangan ini semakin menipis, Berliana ketakutan sendiri dengan apa yang akan dia dengar setelah ini. Kebohongan apa lagi yang akan Berliana ketahui.Andai semalam tidak ada notifikasi dari bank, mungkin hari ini Berliana tidak akan ke perusahaan. Dan Berliana tidak akan se khawatir ini pada Abiyan."Tidak ada yang aneh selama setahun ini. Tapi dua tahun terkahir Pak Abiyan melakukan transaksi sebesar 3M untuk membeli rumah di daerah Jakarta Selatan. Lalu di bulan Januari ada pengeluaran sebesar 567 juta untuk pembelian tanah di daerah Bandung. Dan bebe