Share

Bab 10. Hari Pertama

Hari pertama di mulai hari ini, pagi ini aku berkutat di dapur memasak sarapan untukku dan Mas Rizwan. Anggap saja kita berdua mulai memperbaiki hubungan sampai emoat belas hari seperti yang diucapkan Mas Rizwan.

"Masak apa, Lai?" tanya Mas Rizwan usai mandi dan menuju ke dapur saat aku sedang memasak.

"Hanya masak ayam balado saja," ucapku singkat sambil mengaduk campuran ayam goreng dan bumbu balado. Ayam balado yang lama sekali tak kunikmati karena harganya tak mampu aku belim

"Aku makan ya?" tanya Mas Rizwan sembari berkedip mata ke arahku. Sepertinya Mas Rizwan tergoda dengan aroma balado ayam buatanku.

"Ini memang menu sarapan kita, Mas. Lagian juga kamu tidak perlu minta ijin untuk sarapan." Kulihat ayam balado sudah matang dan aku segera menyajikannya ke meja makan.

"Em, Lai. Ini ada uang lemburku satu juta lima ratus untuk belanja sampai empat belas hari dan tolong rahasiakan ini pada Ibu dan Mbak Rina," ucapan Mas Rizwan membuatku terperangah. Ada baiknya juga ternyata membuat perjanjian dengannya. Ada raut wajah puas darinya ketika memberikan uang lemburnya padaku.

"Maksudnya apa Mas? Kamu tak sedang membujukku kan?" tanyaku penuh kecurigaan dengan sikap Mas Rizwan yang tiba-tiba baik.

"Aku tidak ada maksud tertentu, Lai. Aku ingin menjadi suami yang bertanggung jawab sebelum kita berpisah." meski ada rasa nyeri di hati namun aku harus tetap rela jika hubungaku dengannya tidak berjodoh.

"Oh," aku hanya menjawab sekenanya sembari menahan luka yang teramat sakit.

"Kok hanya Oh saja, Lai?" tanya Mas Rizwan melihatku biasa saja meski hati ingin kembali bersama.

"Terus?" 

"Hm, tidak apa-apa, Lai. Maaf atas perbuatan Mas selama ini. Mas mohon empat belas hari ke depan, kamu perlakukan Mas selayaknya suami," Mas Rizwan menatap nanar saat memandangku. Antara rela berpisah dan tidak namun aku tidak boleh terbujuk oleh sikapnya saat ini. Aku harus tegas dan merelakan Mas Rizwan menjadi milik jodoh pilihan Ibunya.

"Terus selama ini apa Mas Rizwan tidak kuanggap suami? Gimana sih, Mas?" tanyaku sengaja memancing Mas Rizwan.

"Bu, bukan seperti itu Lai, empat belas hari kedepan tetaplah bersamaku, Lai. Mas ragu dengan Shilla."

"Ragu kenapa? keluarga Mas dan Shilla sudah setuju. Ingat Mas, baktimu masih pada Ibumu!"

"Tapi Lai, Mas tak bisa menikahi Shilla." 

"Kalau tidak bisa, kenapa Mas Rizwan tidak bisa tegas dengan keputusan sendiri?" tanyaku membuat nyali Mas Rizwan mengkerut. Jika memanga ragu, harusnya dia tegas dan menolak jika dijodohkan dengan Shilla.

"Em, anu Lai, Mas...," seperti bingung mau mengungkapkan.

"Begini saja, jika dalam empat belas hari ke depan Mas Rizwan tetap mempertahankan aku sebagai istrimu maka kita tetap akan menjadi suami istri. Tapi jika Mas Rizwan tidak bisa mempertahankan aku, ya apa boleh buat? Kita harus berpisah." 

"Kamu kok enteng banget, Lai, kalau ngomong."

"Keluargamu saja enteng banget juga kalau menghina dan memaksamu menceraikan aku, apalagi nafkahmu sampai diatur juga," pungkasku.

"Iya, iya Lai, Mas paham."

"Baiklah jadi deal ya, Mas," sedikit ada rasa bahagia ketika Mas Rizwan bersedia dengan persyaratan yang kuberikan. Semoga saja mendapatkan keputusan yang baik.

"Mas berangkat dulu Lai," pamit Mas Rizwan.

"Hati - hati Mas."

************

Aku berangkat lebih pagi dari biasanya, aku begitu bersemangat sekali setelah membuat Mas Rizwan ragu atas keinginan dan perintah orang tuanya. Bukan karena aku jahat namun aku ingin membuat sedikit pelajaran kepada Mas Rizwan.

"Selamat pagi Pak," salamku saat melihat Pak Doni ada di depanku.

"Hmmm."

"Lai, tolong ini habiskan," Ucapan Pak Doni membuatku terperangah.

"Baik Pak, tapi apa boleh saya habiskan nanti saat makan siang? Saya sudah sarapan."

"Terserah," ketus Pak Doni dan masuk ke ruangannya. Baru kali ini aku melihatnya bicara ketus padaku, tidak seperti biasanya. Wajahnya terlihat kurang bersemangat sekali saat aku datang.

"Bawa apa Lai, kayaknya enak nih sarapan Croffel pagi-pagi," celetuk Rosi tiba - tiba di sebelahku.

"Dari Pak Doni barusan, Ros. Memberi makanan tanpa ada ekspresi rasanya aneh," jawabku membuat Rosi nyengir.

"Punya atasan kaku amat ya, Lai."

"Tau ah Ros! Pokoknya fokus berkarir aja," ungkapku mengedikkan pundakku.

"Eh Lai, aku boleh cerita denganmu?" Tanya Rosi. Wajah Rosi begitu serius saat ingin menceritakan sesuatu padaku, tentu saja aku penasaran.

"Cerita apa?"

"Setiap ada rapat Pak Doni selalu memandangmu."

"Maksudnya apa? Aku tidak mengerti deh Ros."

"Kamu tuh, gak nyadar sama sekali ya dengan tingkah Pak Doni?" Rosi semakin kesal denganku.

"Ros, inget aku kesini kerja dan tidak mungkin juga aku bersama dengan Pak Doni, kamu tidak kasihan denganku jika aku harus bersuami dengan manusia robot? Sudah jangan bahas lagi! Lagian Pak Doni kan punya pacar juga," terangku mengalihkan pembahasan mereka mengenai Pak Doni.

"Tapi Pak Doni tidak suka dengan wanita itu, wanita itu yang ngejar Pak Doni. Ya sudah, jika keputusanmu seperti itu, semoga saja kamu kena omonganmu sendiri, Lai."

"Huh Rosi, sudah tolong jangan bahas itu lagi. Statusku masih istri Mas Rizwan!" tegasku pada Rosi. Aku masih istri Mas Rizwan dan harusnya mereka tak menjodohkanku dengan Pak Doni.

"Eh ada Croffle yang enak dan terkenal nih," tiba Dini datang menyela.

"Makan aja, tapi ingat jangan tinggalkan bekas jika kalian yang makan, oke," peringatan dariku. Jika mereka makan dan meninggalkan bekas, maka Pak Doni akan mengira jika aku tidak menyukai makanan yang diberinya.

"Kenapa?" tanya Dini.

"Croffle dari manusia Robot."

"Semoga aja nanti jika udah resmi diganti dengan cincin," celetuk Dini.

"Hus, kerja yok jangan ngobrol aja!" perintahku kepada mereka.

Segera kuselesaikan Proposal hari ini karena siang nanti aku harus mendampingi Pak Doni metting dengan Vendor besar.

Empat jam akhirnya selesai juga dan segera ku makan Croffle pemberian Pak Doni. Meskipun tinggal sisa beberapa setelah dimakan teman - teman, tak apalah untuk mengganjal perut sebelum jam makan siang tiba.

Ceklek

Selalu saja jantungku akan berdegung kencang jika terdengar pintu dibuka. Jika harus berdua dengannya selalu saja membuatku grogi.

"Proposal sudah selesai, Lai?" tanya Pak Doni saat melihatku makan Croffle yang tersisa.

"Ma, maaf Pak, Proposal selesai," gelagapan saat kepergok makan di jam kerja.

"Baiklah, segera siap-siap ikut saya ke rapat penting," ucap Pak Doni dan kembali ke ruangannya.

"Aku pergi dulu ya teman - teman, mau dampingi manusia robot dulu," pamitku kepada teman seruanganku. Segera kurapikan meja kerjaku sebelum pergi.

Pak Doni keluar dan aku mengekor di belakangnya bak ajudan. Hening saat berada di dalam mobil. Kebetulan hari ini tidak memakai sopir jadi aku terpaksa duduk di depan bersama Pak Doni.

"Makan siang dulu, Lai," tiba-tiba Pak Doni mengarahkan mobilnya ke restoran terkenal dan mahal.

"Iya Pak, apa tidak makan di tempat lain saja, Pak?" tanyaku, takut jika disuruh bayar sendiri.

"Jangan banyak protes, saya ingin makan Steak wagyu mengingat kenangan saya dengan mantan tunangan saya yang telah tiada."

Deg....

Entah kenapa perasaan ini tidak nyaman ketika Pak Doni mengenang mantan tunangannya. Sungguh aku kasihan mendengar kisahnya.

"Baik Pak," ucapku tanpa banyak tanya. Kembali aku mengekor di belakangnya, jika aku berjalan bersisihan maka aku takut dibilang pegawai tak tahu diri.

"Bisakah berjalan bersisihan? Seperti ajudan saja berjalan di belakangku."

"Maaf Pak," jawabku grogi bersisihan dengan manusia robot.

Saat duduk netraku menangkap sosok yang kukenal, Mas Rizwan bersama dengan Shilla. Seketika air mata jatuh melihatnya bersama dengan Shilla, padahal baru saja dia ingin mundur. Rasanya ingin tidak percaya dengan kejadian di depanku namun ini nyata dan membuatku hatus percaya.

"Jangan lihat jika tidak ingin sakit hati," tegas Pak Doni saat melihatku. Wajahnya datar melihatku menangis, dia juga mengulurkan tisu untukku.

"Maaf Pak," segera kuusap air mataku.

"Kamu harus bahagia, biarkan jika mereka ingin bersama. Tetap jadilah Laila yang tangguh meskipun disakiti," kata Pak Doni.

"Makanan sudah siap, segera makan siang setelah ini kita ada rapat penting, saya tidak ingin proyek besar ini gagal karena sekretarisku galau."

"Baik, Pak." aku memotong daging steak dan memasukkan ke mulutku meski tenggorokan rasanya bak dipenuhi duri. Aku berusaha menelannya meski susah payah, apalagi aku disuguhi pemandangan mesra dari Mas Rizwan dan Shilla.

"Jangan tampakkan wajah sedihmu di depan mereka," tegas Pak Doni.

Sebenarnya aku tidak ingin dikasihani, termasuk Pak Doni. Aku yakin jika aku mampu melewati semua ini meski nantinya tertatih-tatih untuk melaluinya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
erita afriani
koinnya mahal banget
goodnovel comment avatar
Bahagia Aku Kamu
lagi seru serunya baca... ternyata harus buk dg koin. oh nooooo
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status