Share

Bab 9. Kedatangan Shilla

Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan, namun aku tidak boleh mengeluh atas semua nikmat yang sudah diberikan kepadaku, Bekerja sama saja membuatku melupakan masalah rumah tangga sejenak apalagi diberikan circle pertemanan yang cukup baik. Saat pulang kerja, terlihat rumah begitu ramai dengan obrolan para wanita. Pastinya aku sudah bisa menebaknya, aku rasa acara perjodohan belum selesai. Mungkin memang sangat berbahagia karena perjodohan ini adalah perjodohan yang sangat dinantikan oleh pihak suamiku.

"Assalamu alaikum," salamku saat akan memasuki rumah kontrakanku.

"Waalaikum salam." jawaban dari mereka serempak termasuk sosok wanita yang pernah mencintai suamiku yaitu Shilla.

Shilla, sosok yang diinginkan Ibu mertuaku untuk menjadi pendamping Rizwan karena status keluarganya termasuk orang berada. Wanita berkulit putih terawat serta wajah yang menunjukkan senyum manisnya membuat siapa saja akan jatuh cinta padanya. Namun siapa sangka jika gadis ini lebih mencintai suamiku dan menerima perjodohannya dengan suamiku.

"Eh, Mbak Laila datang. Bagaimana kabarnya Mbak Laila?" ucap si Shilla dengan gaya sok cantik dengan pakaian serba kurang bahan. Mungkin dari segi pakaian yang selalu dianggap termasuk golongan sosialita.

"Hai Shilla, apa kabar? Lama tidak lihat kamu setelah kami menikah," ucapku tetap santai menahan emosi saat bertemu dengan wanita yang mencintai suamiku.

"Aku baik Mbak Lai. Apakah Mbak Laila sudah tau tidak niat ibu mertua Mbak Laila mengundangku kemari?" tanya Shilla penuh percaya diri. Aku memutar bola mataku dengan malas, dia begitu berharap mendapatkan Mas Rizwan. Seharusnya gadis secantik dia berhak bahagia dengan lelaki yang masih muda dan mapan, bukan dengan suami pelit seperti Mas Rizwan. Tapi mungkin ini sudah pilihannya untuk menjadi istri Mas Rizwan yang kedua.

"Oh itu, pasti tau dong." ucapku santai sembari memaksakan senyum. Sebisa mungkin aku tidak boleh menunjukkan sikap cemburuku pada Mas Rizwan.

"Terus bagaimana dengan Mbak Laila?" tanya Shilla yang terlihat bahagia karena aku menyetujuinya.

"Ya mau gimana lagi, Shil. Aku sudah bikin persyaratan sama Mas Rizwan jika mau menikahi kamu. Tenang saja, tidak akan menyulitkan siapapun kok." Aku menepuk bahu Shilla yang tengah berbahagia mendengar ucapanku yang menyetujui perjodohan dirinya dengan suamiku.

"Jadi beneran nih, aku bisa menikah dengan Mas Rizwan?" Shilla terlihat hampir tak percaya. Aku tetap bersikap biasa saja asalkan aku bisa segera lepas dari keluarga ini.

Mungkin memang sudah saatnya hubungan ini diakhiri. Percuma saja jika aku ingin mempertahankannya jika keluarga suamiku menginginkan wanita lain menjadi penggantiku, begitu juga dengan Mas Rizwan yang sama sekali tidak bisa membelaku atau bahkan menghargaiku sebagai istrinya.

"Iya Shil, tapi hati-hati dengan mereka ya. Mbak berharap kamu betah saja," bisikku kepada Shilla.

Ada maksud sedikit memperingatkan Shilla dari pengaruh orang seperti Mbak Rina dan Ibu mertua. Setidaknya gadis polos ini jangan sampai diperdaya oleh mertua dan iparnya yang somplak itu.

"Ma, maksudnya apa, Mbak?" Shilla mengkerutkan keningnya tanda kurang paham.

"Jangan kamu pengaruhi Shla! Bilang aja kamu iri karena Rizwan akan menikah dengan Shia!" bentak ibu mertua melihatku membisikkan sesuatu pada Shila. Sepertinya mereka takut jika kubongkar sikapnya di depan Shilla.

"Maaf ibu mertua, saya tak punya rasa iri. Yang ada malah kasihan sama Shilla," sengaja kubuat mereka tegang sedangkan wajah Shilla terlihat kebingungan dengan perdebatan kami.

"Maksud Mbak Laila apa, Bu?" Shilla menghampiri Ibu mertuaku seolah meminta penjelasan perdebatan kami. Mbak Rina pula ikut-ikutan sok baik kepada Shilla.

"Tidak usah bingung begitu, Laila emang iri sama kamu," kata Mbak Rina melotot ke arahku, aku sama sekali tak takut dengannya.

"Jangan melotot gitu nanti bola matanya melompat, nakutin nanti," ucapku membuat Mbak Rina semakin kesal dan ingin memakanku.

"Mbak Lai, aku gak ngerti deh," kata Shila dengan polosnya. Shilla sama sekali tidak memahami niat mertua menikahkannya dengan Rizwan. Mertua dan Mbak Rina pasti akan memanfaatkan kekayaan orang tua Shilla yang berprofesi sebagai jurakan besi tua di luar pulau.

"Nanti juga kamu tahu Shil, Shilla sudah bersedia menikahi Mas Rizwan jadi Shia juga harus siap dengan semuanya," ucapku membuat Shla semakin berfikir. Cukup lucu melihat gadis polos yang cinta mati pada suamiku sedang berpikir atas apa yang akan menimpanya nanti setelah menikah.

Sebenarnya tidak tega juga melihat Shilla akan berakhir tragis karena akan menjadi atm berjalannya Ibu mertua dan Mbak Rina. Namun dari hatiku yang terdalam aku berharap Shilla bisa merubah sikap mertua dan iparnya nanti.

Tak kudapati Mas Rizwan bersama merrka di ruang tamu. Kini aku akan ke kamar dan memanggil Mas Rizwan. Saat masuk kamar terlihat Mas Rizwan tidak begitu gembira dan hanya duduk merenung memikirkan sesuatu.

"Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam, kamu sudah pulang Lai". 

"Kenapa masih di kamar, ada Shilla di luar, kasihan jika Mas Rizwan tidak menemani dia," sengaja kupancing dia agar berbicara mengenai perjodohan ini.

"Aku tak yakin, aku ingin mundur Lai," terlihat lesu yang tergambar di wajah Mas Rizwan.

"Kenapa?" tiba-tiba ada rasa bahagia ketika Mas Rizwan jngin mundur dari perjodohan ini. Aku merasa percaya diri jika Mas Rizwan akan membatalkan perjodohannya dengan Shilla dan memilih denganku.

"Lai, kenapa kamu malah memperkeruh pikiranku?" Mas Rizwan terlihat heran denganku yang mendukung perjodohannya meski hati hancur berkeping-keping di balik sikap santaiku. Ya, aku harus kuat dan tegar di balik masalah yang kuhadapi.

"Mas Rizwan, aku sudah bilang dari awal semenjak perjodohan kamu dengan Shilla udah membuatku bahagia, setidaknya aku bisa lepas dari suami pelit," Mas Rizwan mengerutkan dahinya.

"Apa kamu bilang? Aku pelit?" tanya mas Rizwan seakan tak percaya dengan ucapanku.

"Masa kamu tidak sadar, sekarang lebih baik segera temui Shilla di depan. Kalau sudah setuju segera talak aku, karena aku tak akan mau berbagi suami." mendadak pias wajah Mas Rizwan mendengar ucapanku.

"Apa kamu akan pergi dariku?"

"Mas, bukan aku yang menginginkan tetapi keluargamu dan sikapmu yang membuat aku ingin pergi darimu. Aku sudah tidak diharapkan disini lagi, Mas. Jadi untuk apa aku bertahan?"

Aku pura-pura santai namun hati ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya. Belum juga selesai perlakuannya tak adil padaku, namun kini aku dihadapkan dengan wanita yang dijodohkan dengan suamiku telah datang. Apalagi tidak menunjukkan rasa malu ketika terang-terangan berbicara denganku mengenai Mas Rizwan.

"Lai, bantu aku untuk membatalkan niat perjodohan ini dengan Shilla. Sebagai gantinya tiap bulan aku berikan semua gajiku dan kamu yang berhak mengaturnya," ucap Mas Rizwan. Ingin sekali aku berkata Iya, namun tetap aku harus berkata tidak demi kebahagiaan kami semua termasuk keluarga Mas Rizwan.

"Penawaran sudah berakhir, Mas! aku sudah tidak mau mempertahankan hubungan ini lagi. Ya, untung saja belum ada anak jadi aku bebas pergi darimu atas permintaan kelurgamu," sengaja kuungkit agar dia semakin sadar dan tegas menjadi seorang laki - laki.

"Bantu aku Lai, pliss," mohon pria itu sambil menangkukan kedua tangannya padaku. Jujur saja, baru kali ini dia memohon padaku seperti ini.

"Maaf mas, aku sudah siap lahir batin untuk berpisah denganmu. Ini semua untuk kebaikan kita bersama. Mas Rizwan akan tetap menjadi anak berbakti dan aku juga bisa tenang tanpa hinaan tiap hari yang dilontarkan keluarga kamu, Mas."

Kulihat dia membuang nafas kasar dan menyugar rambutnya setelah mendengarkan keluh kesahku dan keputusanku. Keputusanku memang sudah bulat untuk berpisah dengannya meski dari lubuk yang terdalam masih tak rela.

"Lai, jika ini memang maumu baiklah aku kabulkan. Tapi berikan waktu empat belas hari untuk tetap bersama denganmu setelah itu akan kutunaikan permintaanmu," Akhirnya dia mengerti juga. Harusnya dia juga memahami jika keluarganya ingin kita berpisah apalagi dengan sengaja menjodohkannya dengan Shilla. Apalagi dirinya sama sekali tidak bisa menolak permintaan Ibunya sehingga lebih baik aku yang mundur.

"Baiklah, aku akan menemanimu selama empat belas hari setelah itu segera tunaikan, tapi dalam empat belas hari jangan biarkan ibu dan kakakmu ke rumah ini. Biarkan aku fokus menemanimu selama empat belas hari," syarat yang kulontarkan kepada Mas Rizwan. Wajahnya berubah cerah ketika aku masih mau bersamanya selama empat belas hari sebelum perpisahan.

Cukup mudah syarat yang kuajukan namun aku sendiri tak tahu, Mas Rizwan dan keluarganya akan menerimanya atau tidak. Mungkin dengan syarat yang diucapkannya pikirannya bisa berubah. Tapi aku sendiri tak yakin dengan sikap mertua yang semaunya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status