Share

Bab 8. Jangan butuh aku

Pagi hari saat akan berangkat kerja, kulihat Mas Rizwan termenung di ruang tamu. Sepertinya dia memikirkan permintaan Ibu dan Kakaknya semalam. Semalam tidak ada percakapan apapun saat di kamar karena aku lebih memilih tidur lebih dulu. Aku tak mau terbebani dengan masalab perjodohan suamiku.

"Nih, Mas! Diminum jahenya dan aku berangkat kerja dulu," sebelum berangkat aku terlebih dahulu mencium takdzim punggung tangan Mas Rizwan.

"Kamu tidak mau menemani aku di rumah Lai?" sepertinya Mas Rizwan mau aku tinggal di rumah dan menemaninya di saat sedang sakit. Ingin sekali aku menemaninya hanya saja akan menambah sakit hatiku karena hari ini adalah perjodohan suamiku.

"Kalau sakit ingat aku kalau banyak uang ingat sama saudara dan ibunya. Aku telpon ibu sama mbak Rina saja. Biar ada yang jaga kamu, Mas. Masa mau enaknya doang," ucapku dan segera menelpon mereka berdua supaya segera datang. Sebenarnya aku tidak tega namun aku juga harus bersikap tegas supaya Mas Rizwan bisa berfikir.

"Kamu kok gitu sih, suamimu lagi sakit," Mas Rizwan terkejut mendengar ucapanku.

"Apa Mas Rizwan lupa jika hari ini akan dipertemukan dengan Shilla. Jadi apa pentingnya aku di sini, Mas?" tukasku. Meski hati ini menangis namun tetap aku tahan atas acara yang akan digelar Ibu mertua hari ini.

"Laila apakah kamu setuju dengan perjodohan ini?" tanya Mas Rizwan padaku. Ingin sekali aku berkata tidak dan berharap dia mengajakku memperbaiki hubungan rumah tangga yang hampir goyah ini namun sepertinya hanya harapan semu.

"Mau nikah lagi atau enggak, tidak ada pengaruhnya denganku, Mas. Toh, aku lebih bahagia jika aku bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhanku," ucapanku membuat Mas Rizwan mendadak pias. Ya, aku tak akan lagi berpangku tangan meski sebagai seorang istri. Wajahnya yang tadinya penuh harap padaku namun berubah putus asa. Aku memang harus pergi darinya.

"Maksudmu apa, Laila. Kamu akan meninggalkan aku?" tanya Mas Rizwan.

Aku berbalik dan memutar bola mataku dengan malas. Keluarganya sangat membenciku bahkan suamiku sendiri lebih membela keluarganya, dan itu sebabnya aku lebih memilih mundur dari hubungan rumah tangga ini. Aku siap berbahagia meski hidup seorang diri, mungkin aku juga akan kembali ke panti tempat tinggalku dulu.

"Bukankah ibu dan kakakmu yang ingin aku pergi darimu hingga kamu tak bisa adil antara aku istrimu dan Ibumu, sampai jatah bulanan yang kau berikan sangat mengenaskan. Jadi apa pengaruhnya kamu buatku?" ucapku semakin kesal mengingat perbuatannya. Aku harus segera mundur dan pergi dari keluarga ini.

"Kamu sangat matre sekali," Mas Rizwan mencebik ke arahku dan mengatakan aku matre. Pagi-pagi emosiku sudah berada di ubun-ubun namun aku segera meredakannya.

"Berpikir realistis saja, Mas. Kamu tiap bulan memberi aku bulanan satu juta lima ratus tanpa tau pengeluaran yang sebenarnya. Bahkan aku rela jadi buruh cuci, Mas, untuk menutupi kekurangan uang dari kamu. Kamu pernah tanya tidak, apakah aku sudah merasa cukup, kamu malah lebih mementingkan kekurangan keluargamu dari pada istrimu sendiri," semakin kesal diriku ketika dibilang matre. Biarkan saja aku mengeluarkan semua uneg-uneg yang selama ini kupendam.

"Tapi mereka keluargaku, Lai," jawaban klasik dari Mas Rizwan. Ternyata otaknya masih saja berat sebelah.

"Tidak bisakah bersikap adil?" Aku melipat tanganku di dada sembari menatapnya dengan tatapan sangat kesal padanya.

"A, aku..

"Sepertinya aku sudah tahu jawabanmu, baiklah, jika ada apa-apa kamu ke ibumu saja. Apa kamu tidak ingat semalam kamu sakit saja masih mikir perjodohanmu dengan orang kaya, bukan malah merawat kamu, Mas," mengingat semalam rasanya ingin kubejek-bejek wajahnya hingga benyek.

"Tapi kamu istriku dan wajib melayaniku," Mas Rizwan masih tak mau mengalah.

"Istri yang kau dzolimi, maksudmu! Aku mau kerja, Assalamu alaikum," ucapku setelah mencium punggung tangan mas Rizwan dan pergi bekerja. Lebih nyaman di tempat kerja dari pada di rumah dan berdebat tanpa henti dengan Mas Rizwan. Dinasehati juga percuma tak akan bisa berubah yang ada akan semakin keras kepala dan membuatku muak.

Gemas sekali rasanya, enak saja pelit sama aku tapi kalau ada sakitnya minta ke aku. Biarlah aku dibilang jahat asalkan mereka bisa secepatnya sadar atas semua perbuatannya.

******

Perasaanku lebih tenang ketika aku sudah keluar dari rumah kontrakan dan menuju ke tempat kerja. Jarak antara rumah kontrakanku dan tempat kerja hanya terpaut tiga puluh menit saja dengan kendaraan umum

"Lecek amat, Lai," celetuk Rosi yang sedang asik bermain ponselnya saat melihatku datang.

"Biasa, orang mau enaknya saja. Lagi sehat aja rela bertengkar sama aku demi keluarganya. Giliran sakit, keluarganya sepertinya keberatan merawat Mas Rizwan," aku memutar bola mataku dengan malas sembari menjawab pertanyaan Rosi sehingga membuat Rosi heran apa yang terjadi padaku.

"Maksudmu Rizwan sakit?" pungkas Rini sembari menggeser kursinya ke meja kerjaku.

"Iya, semalam dengan bangganya Ibu mertua mau jodohkan dia dengan Shilla tapi giliran sakit pada melempem." Sungguh aku sendiri sangat kesal sekali dibuatnya semalam.

Hanya karena Mas Rizwan butuh minuman jahe hangat, Ibu mertua dan Kakaknya tidak mau membuatkannya dengan berbagai alasan. Ditambah lagi aku harus menerima perjodohan suamiku, jika tidak maka aku harus siap diceraikan.

"Lai, kamu dicari Pak Doni. Kayaknya Pak Doni bawa sesuatu buat kamu," aku khawatir jika pagi-pagi sudah dicari si bos. Takut jika ada kesalahan dalam pekerjaan, aku menata perasaan grogiku ketika pagi ini harus berhadapan dengannya lagi.

"Paling juga berkas buat proposal lagi," ucapku asal untuk menutupi kegugupanku pada mereka semua.

"Semoga saja lamaran, sepertinya kamu bakal jadi jendes," seloroh Rosi menjadikanku bahan tertawaan. Aku sudah terbiasa dengan candaan mereka dan selalu menjadikan aku sebagai bahan candaan.

"Apa-apaan kalian ini. Ngaco ah," segera kutepis candaan mereka. Kini aku mulai menyalakan komputer yang selama ini bertengger di meja kerjaku. Komputer yang sama dan belum diganti sejak aku mengundurkan diri dari perusahaan ini.

Ceklek

Baru mendengar suara pintu dibuka saja jantungku sudah berdetak tak karuan. Ingin sekali aku menegurnya untuk memintanya menggunakan sambungan telepon kantor ketika membutuhkan aku namun ketika berhadapan dengannya lidahku mendadak kelu dan membiarkannya melakukan apapun yang disukainya.

"Laila segera ke ruangan saya," tiba - tiba Pak Doni memanggilku, ucapan Pak Doni seperti robot membuatku ingin tertawa. Semoga siapa saja yang jadi istrinya bisa sabar menghadapi manusia Robot masa kini. aketika bersamaku, tak pernah sekalipun Pak Doni melihatku dan lebih sering memalingkan wajahnya

Tok tok tok

Aku mengetuk pintu ruang kerjanya berharap tak ada pekerjaan yang terlalu berat hari ini karena suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja.

"Masuk!" Suaranya bisa kudengar dengan jelas meski dari depan pintu ruang kerjanya. Aku masuk dan duduk berhadapan dengannya, aku sendiri tak berani menatap kedua matanya.

"Permisi Pak, ada yang harus saya kerjakan?" tanyaku ketika sudah berada di ruangannya.

"Ada kue pemberian teman. Silahkan kamu makan dan segera selesaikan proposal ini," Pak Doni memberikan sekotak kue padaku beserta file untuk dijadikan proposal. Sepertinya pekerjaan berat sudah menantiku hari ini. Aku harus mengerjakannya karena ini tugasku dan harus mengesampingkan semua masalah yang ada.

"Terimakasih, Pak," setelah aku menerima pemberian kue serta tugas darinya, aku segera keluar untuk kembali bekerja.

Aku segera ke ruang kerja dan kulihat mereka bertiga menatap tangan kananku yang membawa sekotak kue dan tangan kiriku mengendong berkas yang harus kukerjakan.

"Dapat apa itu?" Rosi sepertinya sudah ingin meledekku ketika aku keluar dari ruangan Pak Doni sambil membawa kotak berisi kue dan membawa proposal.

"Noh, berkas untuk proposal," jawabku dan memperlihatkan map berisi berkas bahan proposal. Namun kedua mata mereka bertiga tertuju ke tangan kananku yang membawa sekotak kue pemberian Pak Doni.

"Yang itu sebelahnya," seloroh Dina sembari menunjuk ke arah tangan kananku. Mata mereka sangatlah tajam jika aku habis dari ruang kerja Pak Doni.

"Ini kue dari Pak Doni, katanya pemberian dari temannya. Di makan kuenya, kayaknya enak dan mahal nih," kuulurkan sekotak kue pada teman-temanku, aku bersyukur sekali karena aku belum sempat sarapan dan kini mendapat rejeki untuk sarapan.

"Sekarang kue, siapa tahu besok-besok cincin. Ups!" timpal Rini membuatku salah tingkah. Memang kusadari Pak Doni sedikit berubah lebih perhatian padaku. Bahkan Pak Doni lebih suka aku bolak balik masuk ke ruang kerjanya meski hanya mendapat tugas.

"Jangan berpikiran yang aneh-aneh, lagian siapa juga yang mau sama manusia Robot gitu. Aku kesini hanya bekerja gak lebih dari itu," tandasku pada mereka supaya mereka tidak lagi menjodoh-jodohkan aku dengan Pak Doni. Aku kesini memang hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhanku daripada harus bertengkar soal nafkah yang tak pasti.

"Awas, kemakan omongan sendiri," ucap Rosi meledekku lagi. Aku hanya tersenyum mendengarnya, aku juga tak akan mungkin menjadi

"Lagian siapa juga yang mau sama manusia robot," seloroh Dina menirukan omonganku.

"Kalian ini, udah ah! aku mau kerja, dikejar deadline nih," pungkasku agar mereka tak menggodaku lagi.

"Iya, iya nyonya sekretaris silahkan bekerja," tukas Rosi.

Ceklek

Selalu saja jantungku akan berpacu lebih cepat jika pintu ruangan Pak Doni terbuka. Untung saja setelah tiga jam aku berkutat dengan pekerjaan dan akhirnya selesai.

"Laila, jika proposalnya sudah selesai silahkan masuk ke ruangan saya," ucap Pak Doni.

"Baik, Pak!" jawabku, gegas aku merapikan pekerjaanku dan kemudian akan membawanya ke ruangan Pak Doni.

"Tunggu Lai, memenjak kamu gabung lagi di perusahaan ini Pak Doni lebih sering manggil kamu secara langsung dari pada harus melewati sambungan telepon. Apalagi sejak kamu resign, hampir tiga bulan sekali ganti sekretaris namun semuanya dianggurin. Berbeda denganmu, memberi tugas saja dibela-belain buka pintu!" Sebenarnya yang diucapkan Rosi ada benarnya juga. Hanya memberi tugas atau menyuruhku masuk ke ruangannya saja perlu membuka pintu.

"Heran aku sama Pak Doni, padahal sekretarisnya itu masih single semua loh," tukas Rini ikut menimpali ucapan Rosi. Heran juga sih sebenarnya, apa Pak Doni tak tertarik salah satu diantara mereka.

"Sudah jangan bergosip dulu, dari pada kusumpal pakai kue loh!" kuhentikan pembicaraan mereka mengenai Pak Doni. Takut jika sampai kedengaran sampai ke telinga pak Doni.

"Eh, tapi beneran kok, Lai. Semenjak ada kamu, Pak Doni jadi kayak gimana gitu. Syukur-syukur kalau kamu bercerai dari lelaki pelit itu," ucapa Rosi membuatku ingat dengan perlakuan Mas Rizwan padaku.

"Hmmmm, semoga saja Mas Rizwan berubah sejak kejadian semalam," ucapanku masih terlihat ada perubahan pada suamiku.

"Rizwan kayak gitu aja masih diharepin, Lai, udah sama Pak Doni aja," seloroh Rosi. Selalu saja aku yang dijadikan bahan candaan.

"Aneh-aneh aja, kamu tidak kasian sama aku jika harus berpasangan dengan manusia robot?" sejenak membayangkannya saja sudah menakutkan.

Tanpa memperhatikan mereka lagi aku gegas menuju ke ruangan Pak Doni. Kuketuk pintunya sebelum aku dipersilahkan masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerja yang tak pernah berubah setelah aku mengundurkan diri dari perusahaan ini. Dulu saat masih merintis, aku sering merubah posisi tempat kerjanya dan sering mendekorasi ruangannya supaya Pak Doni tidak bosan dan jenuh di dalam ruangan. Masih terlihat jelas dekorasi saat terakhir kalinya aku lakukan di ruangan ini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
suka dg teman teman Laila gak pada iri malah saling bergurau
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status