"Pergi! Pergi semua kalian dari sini!"
Tubuhku benar-benar sudah bergetar hebat. Tak tahu lagi berapa lama aku bisa berdiri. Linda terlihat bingung, namun Mas Wahyu membawanya keluar segera dari sana.
Aku bernafas lega. Menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Kupandangi kakiku yang terlihat gemetar hebat. Mungkin efek di paksakan.
"Asih!" Aku memanggil penjagaku yang selalu membantu aku kemanapun aku pergi. Dia akan stanby didepan pintu kamar saat aku didalam.
"Iya, Bu." Ia masuk dengan sedikit tergesa. Mungkin tadi mendengar keributan.
"Ibu, ngga papa?" tanyanya khawatir saat melihat aku yang tengah kelelahan.
Dengan sigap ia mengambilkan air minum dan membantu menyodorkan gelas itu pada mulutku.
"Terima kasih, Sih. A-aku tadi terlalu memaksakan. Kakiku rasanya kaku kembali." Aku berbicara terus terang. Asih langsung mengangkat kakiku agar lurus dan sejajar.
Dia memijit berlahan, aku kesakitan. Rasanya linu semua tulang kakiku.
"Lebih baik kita kembali kedokter saja, Bu!" Usulnya. Aku mengangguk. Segera Asih menelfon supir untuk mempersiapkan mobil.
"Ayo, Bu!" Asih mendekatkan kursi roda padaku dan membantuku untuk berpindah.
Aku dan Asih berjalan keluar, tak kulihat ada tanda-tanda Mas Wahyu ataupun Linda disana. mungkinkah mereka pergi?
"Kamu lihat Linda dan Mas Wisnu kemana?" tanyaku pada Asih saat melewati pintu depan.
"Tadi sepertinya keatas, Bu. Mungkin kekamar Linda." Jawab Asih sedikit segan.
Aku terdiam, tak ingin berkomentar apapun untuk hal ini sekarang. Aku sudah membuangnya pada tempat yang benar dan tak akan aku pungut kembali.
Mobil melaju dengan cepat, setelah tadi kukabarkan kedatanganku pada dokter Raihan. Kini aku bisa langsung konsultasi tanpa menunggu antrian.
"Bu Afi, bagaimana bisa seperti ini? Kondisi kaki ibu tidak baik-baik saja sekarang. Ini terlalu berbahaya jika di paksakan. Pelan-pelan saja, asal rutin insya Allah akan segera sembuh." Penjelasan Dokter Raihan membuat aku sedikit menyesali. Karena setelah aku tadi paksakan berjalan kini kondisi kakiku sedikit kaku dan agak susah untuk kembali di gerakan.
Mungkin benar karena di paksakan. Harusnya semua pelan-pelan. Tapi, aku yang tersulut emosi langsung ingin memberi pelajaran pada mereka yang telah menikam dari belakang.
"Tapi ini masih bisa kembali normal kan, Dok?" tanyaku takut.
"Alhamdulilah, sejauh ini kulihat masih. Tapi jangan ulangi hal yang tadi ya. Ini sangat berbahaya. Sabar dan pelan-pelan saja. Kaki yang sudah lama tak menopang tubuh dengan sempurna, butuh penyesuaian dan berlahan. Tak dapat langsung bisa kembali normal. Urat-urat yang kaku harus di lemaskan secara teratur bukan secara langsung."
Aku mengangguk, mendengarkan dengan seg sama apa yang telah di katakan oleh Dokter Raihan. Sedikit menyesal dengan tindakanku yang ceroboh.
***
Tiba dirumah Asih akan membawa aku kedalam kamar, tapi Linda mencegahku.
"Mbak! Aku mau bicara," ucapnya dengan nada ketus. Aku yakin dia pasti sudah dengar apa yang aku sampaikan pada Mas Wahyu.
"Kamu pergi dulu, Sih!" Perintahku. Ia sepertinya ragu, namun akhirnya menurut.
"Kenapa, Mbak. Sudah bisa jalan saja masih pake kursi roda? Menyusahkan orang lain saja!" Cemoohnya.
Aku menatapnya sekilas. Ada raut kemarahan disana.
"Kenapa? Aku sedang tak merepotkanmu kan? Bahkan tak pernah selama aku lumpuh menyuruh kamu mendorong atau apapun. Jadi tak perlulah kamu banyak komentar!" tandasku.
Ia mencebik.
"Tak usah berbasa-basi langsung saja katakan apa yang akan kamu sampaikan. Aku tak punya banyak waktu mengurus para benalu di sini!" Cetusku langsung membuat wajah Linda memerah.
"Mbak! Kamu .... " Linda geram dengan mengacungkan tangannya.
"Kenapa?"
"Kamu jahat, Mbak?" Akhirnya ia mengeluarkan kata-kata.
Jahat? Apa tidak salah?
"Jahat? Jahat bagaimana? Kamu yang jahat! Kamu itu manusia tak tahu di untung! Sudah dibesarkan tapi setelah besar mampu menikam aku dari belakang! Kurang apa kami selama ini padamu?" Aku mulai kesal dengannya.
"Kurang apa?" Dia menatapku dengan sedikit tertawa. "Kurang banyak, Mbak. Aku menginginkan lebih dari segalanya. Aku ingin seperti dirimu, Mbak!"
Aku kaget dengan apa yang baru di sampaikan Linda. Dia ingin seperti aku? Artinya ....
Aku ingin sepertimu, Mbak. Punya segalanya! Bukan hanya penumpang atau mendapat belas kasihan. Selama ini aku selalu iri dengan apa yang kamu miliki!" Linda berkata tanpa tersendat. Seolah ia tengah meluapkan segala isi didada.Aku tertegun. Tak menyangka jika selama ini, Linda memiliki rasa iri yang luar biasa. Padahal ... Segala sesuatu aku bagi dengan adil, bahkan ayah saja memperlakukan dia tak berbeda denganku."Kamu, Mbak! Selalu jadi kebanggan Om Indra. Kamu selalu saja di agung-agungkan di depan semua orang. Bahkan nama kamu juga yang akhirnya di sematkan dalam nama perusahaan Om Indra. Sedangkan aku? Aku ... Aku selalu di kesampingkan. Seolah tak pernah terlihat oleh mereka, dalam hal apapun Om Indra tak pernah menyebut namaku."Aku menelan saliva, ternyata hal sepele seperti itu saja mampu membuat hati Linda iri. Ternyata semua yang di berikan Ayah untuk Linda, masih saja dianggap tak bermakna."Aku! Aku hanya anak dari Kakak Om Indra. Ayahku meninggal dan ...." Linda menjed
Kubuka pintu kamar ayah. Dia tengah terlelap dalam mimpi. Ayah terkena stroke sudah tiga tahun lamanya. Dia hanya bisa berbaring, bahkan untuk bicara saja aku harus memanggil ahli tercemah karena dia sering mengatakan hanya dengan sandi mata."Ayah!" Panggilku pelan. Kucium tangannya lembut. Ia membuka mata dan sedikit dapat kulihat ia tersenyum.Ingin aku tanyakan tentang apa yang tadi di ucapkan oleh Linda, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. Terlebih tak ada Reno--penerjemah ayah-- dia sedang izin ada acara keluarga."Ayah tetap sehat ya, Afi akan meneruskan perjuangan ayah yang masih panjang. Afi janji tak akan ada yang bisa merebut apapun, apa yang telah ayah raih dengan meringat dan darahmu." Aku berkata dengan pelan. Namun, aku menangkap bola mata ayah yang berkaca-kaca."Ayah tak perlu khawatir. Afi sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Maafkan Afi yang terpaksa akan mengusir Linda keluar dari rumah ini. Afi rasa Kita sudah cukup berbaik hati pada mereka. Biar
Pak Samsul mundur satu langkah. Memberi ruang untuk aku maju dan tepat berhadapan dengan Mas Wahyu."Aku sendiri yang memecat kamu, Mas! Jadi sebaiknya tak perlu mengambil perlawanan. Toh percuma saja, karena keputusan mutlak ada padaku!" ucapku dengan menatap tajam pada Mas Wahyu.Ia meremas wajahnya kasar."Tapi tak semudah itu kamu bisa seenaknya memecat aku, Fi! Semua ada prosedurnya. Terlebih kamu hanya anak dari pemilik perusahaan ini. Jadi ... Aku yakin, semua tak segampang itu!" Mas Wahyu berusaha mempertahankan kedudukannya.Aku tersenyum miring, ternyata setelah aku katakan kemarin saja, dia masih belum teliti atau meneliti struktur perusahaan yang mungkin memang hanya beberapa orang yang tahu."Kamu itu b*doh atau memang terlalu malas, Mas. Aku tak akan seyakin ini jika memang aku belum bisa melakukannya. Jika aku belum berwenang memecat kamu!" Aku menunjuk jariku kepada Mas Wahyu. Ia tampak gusar.Dia memutari meja dan mendekat kearahku. Menenukan jariku yang tadi kuarahka
Oh, jadi kamu itu sebenarnya kesayangan Pak Indra? Saya hanya rekan bisnisnya. Yang sebentar lagi perusahaan ini akan berpindah tangan. Saya yang akan menggantikan kepemilikan perusahaan." Aku sengaja berbohong. Aku ingin tahu kesetiaannya pada Ayahku."Oh, begitu, Bu." Dia tertunduk. Ada raut sedih tergambar jelas disana."Kenapa? Saya tak akan memperhentikan kamu kok, asal tetap bekerja sesuai prosedur.""Terima kasih, Bu. Saya hanya sedih. Semenjak Pak Indra terkena stroke. Saya belum pernah berjumpa. Ingin kerumahnya tapi ... Saya segan. Saya ini bukan siapa-siapa beliau." Katanya dengan jujur. Aku dapat melihat kesedihan yang mendalam padanya.Aku menatapnya ragu. Benarkah dia ingin bertemu dengan Ayahku?"Kalau saya kabulkan keinginanmu, apa kamu mau berjanji untuk bekerja lebih giat?" Dia langsung mengadah, menatapku dengan wajah berbinar."Ten-tentu, Bu. Saya berjanji, bahkan akan saya lakukan lebih baik. Saya sungguh hanya rindu beliau yang selama ini saya rasa sebagai panut
"Bu Bos, yakin mau salat disini?" Asih bertanya. Aku mengangguk. Kemudian menyuruh Asih untuk membawa aku menuju tempat wudhu.Setelah itu membawaku masuk kedalam masjid. Sayang saat masuk Adzan telah selesai hingga aku tak bisa tahu suara siapa tadi yang sangat indah itu.Suasana masjid saat salat dhuhur ternyata membuatku kagum. Dari sekian banyak karyawan hampir separuh lebih menunaikan kewajiban untuk salat terlebih dahulu sebelum istirahat. Benar-benar sebuah kejadian yang hampir langka di jaman sekarang.Seorang perempuan muda yang salat disebelahku. Dia dengan sigap membuka mukena saat telah selesai."Mbak, karyawan baru? Saya baru lihat." tanyanya padaku yang sama juga tengah melepas mukena. Asih yang berada di sisi kananku beranjak namun segera kusuruh duduk kembali dengan kode."Iya, kebetulan hari ini baru kekantor dan baru pertama kali salat disini."Dia tersenyum, "Ya beginilah keadaan kalau waktu salat. Semua ini berkat Pak Indra yang dulu mengharuskan untuk melaksanakan
"Maaf, ngga sengaja!" ucap Faizal yang langsung membereskan botol yang roboh. Aku yakin dia tadi itu ....Ah! Mungkin perasaanku saja. Sejenak semua yang hadir didalam ruangan meeting menatap Faizal. Setelah ia berlalu pergi, aku kembali fokus pada orang yang tadi mengejek."Salahnya? Seorang CEO harus lumpuh. Apa kerja CEO menggunakan tenaga? Apa kerja seorang CEO itu harus bisa berjalan dan berlari. Yang lebih di butuhkan untuk pemimpin itu ini!" Aku menunjuk kekepala.Sejenak ruangan hening."Apa kalian ragu untuk bekerja dengan saya?" Aku menatap satu persatu orang. Kebanyakan mereka tertunduk."Kalau CEO butuh turun lapangan dengan fisik yang kuat dan prima. Terus apa gunanya saya punya kalian?"Lagi!Masih hening."Ada yang masih meragukan kemampuan saya? Sekarang juga saya persilahkan keluar. Saya tak butuh karyawan yang masih meragukan atasannya. Walau seperti ini keadaan saya. Insya Allah saya bisa bekerja sesuai dan sejalan dengan Pak Indra!"Beberapa karyawan saling tatap.
PoV Wahyu.Suasana kantin kantor terlihat sepi. Ya ... Karena jam istirahat sudah usai sedari tadi. Ini sudah pukul dua lebih, hampir setengah tiga."Wah, Pak Bos, baru makan?" tiba-tiba Linda sudah ada disini. Entah sejak kapan dia datang."Hemm, sibuk ngga sempat makan tadi," jawabku tanpa menoleh kearahku."Aaaa ... Aeem!" Tiba-tiba ia mengalihkan tanganku yang tengah memegang sendok kearah mulutnya. Aku masih tercengang."Kenapa? Ngga boleh?" tanyanya cuek, kemudian mengambil bangku dan duduk tak jauh dariku."Kamu belum makan juga?" tanyaku memastikan."Belum, kan tunggu Bos Istirahat. Takut di panggil saat pergi makan. Mana galak lagi! Dia kan suka marah-marah. Kesel deh aku sama dia!"Aku melotot, tentu tau siapa yang dia maksud. Aku. Dia kan sekretarisku. Sepupu istriku, entah bagaimana ceritanya, yang kutahu jika Linda sudah ikut Afi dan keluarganya sejak kecil."Cieee ... Tuh kan mulai melotot!" Linda memang berperangai riang, suka bercanda dan ... Manis juga sihh."Bang! K
"Mas Wahyu!" Aku terperanjat. Ternyata Mas Wahyu yang menahan laju kursi rodaku."Kenapa, Fi? Kamu takut aku berbuat sesuatu? Aku tidak sejahat itu!" Mas Wahyu berkata tanpa melepaskan tangannya dari kursi roda. Bahkan dia malah mendorongnya maju."Lepaskan, Mas!" "Kamu tak perlu panik begitu, Fi. Aku hanya ingin membantu. Lagian aku heran sama kamu. Sudah bisa jalan kenapa masih suka pake kursi roda?" Mas Wahyu membawaku menjauh dari lobi, membawa masuk kedalam namun bukan menuju lifh, lebih tepat seperti kedapur.Apa aku harus berdiri dan lari? Tapi ...."Kamu mau bawa aku kemana, Mas?" tanyaku lagi."Aku hanya butuh waktu sebentar berbicara denganmu, jangan panik. Aku tak akan berbuat jahat padamu selama kamu masih bisa berbaik hati."Duh! Pasti Mas Wahyu ingin meminta sesuatu. Aku celingukan, berharap Asih segera menyusul namun nyatanya tak jua kunjung datang.Dibawa kedapur kantor, Mas Wahyu mengehentikan aku tepat di pojok sebelah kulkas."Apa maumu, Mas?" tanyaku langsung begi