Kamu lupa, Mas. Aku CEO di perusahaan?!" tatapku sinis.
Tubuhku bergetar, sebenarnya aku belum bisa berjalan dengan sempurna. Masih satu langkah dua langkah. Namun, ternyata kekuatan hati yang tersakiti mampu bangkit hingga aku seolah telah bisa jalan sempurna.
Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Aku tak boleh terlihat bahwa aku masih lemah. Kulirik Mas Wahyu yang masih mematung.
Terlalu shock kah dia?
"Fi ... Ta-tadi aku ngga serius loh! A-aku hanya bercanda dan kamu kasih kejutan ini. Alhamdulilah, akhirnya kamu bisa jalan lagi." Mas Wahyu mendekat padaku. Duduk tepat disebahku.
Kenapa? Nyesel!
"Iya, Mas. Seperti yang kamu lihat. Aku kembali bisa berjalan. Sayang kamu tahu dan terlambat!"
"Ter-terlambat bagaimana, Fi? Ki-kita masih bisa bersama kan?" Mas Wahyu terlihat panik.
Munafik!
"Bersama?"
"Iya, bersama. I-ini aku batalkan!" Ia meraih kertas yang ia berikan tadi dan menyobeknya. "Semua akan kembali seperti dulu. Aku masih mencintaimu, Fi."
Cuihhh!
"Kamu pikir aku bodoh, Mas? Setelah apa yang kamu katakan tadi, jika kamu sudah menjalin hubungan dengan ponakanku sendiri?" Aku berdecih. Sedikit mengeser tubuh agar lebih berjarak.
"I-itu semua karena Linda, Fi. Dia yang merayuku. Dia menggodaku setiap hari dengan selalu memamerkan bentuk tubuhnya. Tapi ... Melihat kamu sembuh, aku sudah tak tertarik lagi!" Mas Wahyu masih terus saja merayu.
"Gayung bersambut, Mas. Tak perlu menyalahkan satu sama lain. Intinya kalian sama-sama salah."
"Tapi, Fi. Aku cuma cinta sama kamu!"
B*suk!
Tadi saat aku mengiba tentang cinta, dia bergeming. Kenapa sekarang bicara tentang cinta?
"Sungguh? Terus kenapa tadi saat aku tanyakan kamu diam, Mas? Apa kamu begini karena kamu baru ingat jika kamu bekerja di bawah kendaliku. Selama ini kamu meyakini bahwa kamu paling berkuasa, tanpa tahu jika aku terus memantau kamu dalam perusahaan. Itulah kenapa, aku hanya menempatkan kamu hanya sebagai direktur utama, bukan pemilik perusahaan!"
Dia menunduk, aku yakin dia bersiap membuat tampang memelas seperti biasanya.
"Fi, maafkan aku, tapi sungguh aku khilaf tadi, bahkan surat itu saja Linda yang buat. Semua ia yang mengaturnya." Mas Wahyu meraih tanganku.
Kutangkis segera, tak Sudi harus bersentuhan dengan orang yang berkhianat.
"Yang jelas kalian berdua telah bersekongkol menusuk aku. Apa kamu akan tetap meminta Seperti ini jika aku tak mengungkap sudah bisa berjalan? Kamu itu terlalu pelupa, terlalu terobsesi pada Linda hingga tak sadar dengan apa yang kamu lakukan. Sekarang pergilah! Nikahi wanita tercintamu itu!" Kuacungkan tangan padanya menuju pintu.
"Fi ... Percayalah, semua bisa di bicarakan." Mas Wahyu masih terus memohon.
Aku berdiri, menguatkan segenap tenaga untuk kembali melawan ketidak adilan.
"Pergi, Mas! Pergi! Sebentar lagi kamu bukan apa-apa di rumah ini! Pergilah!" Aku emosi. Gemuruh didada yang makin membuat nafasku memburu.
Mas Wahyu berjalan gontai dengan sesekali melihat kearah belakang. Aku masih membuang wajah. Tak Sudi untuk iba pada manusia yang tak punya hati macam dia.
Belum sampai Mas Wahyu di depan pintu. Suara pintu dibuka membuat aku menoleh.
"Mbak .... " Linda ternyata. Dia mematung juga melihat aku yang sudah berdiri tegak. Pasti dia shock juga melihat hal ini.
Bersikap baik dan manis didepanku, nyatanya menusuk aku dari belakang. Pinter sekali anak jaman sekarang. Dibesarkan dengan kasih sayang namun sudah besar memangsa si pemberi cinta.
Seperti memelihara harimau kecil yang tumbuh dewasa kemudian justru memangsa si empu.
Munafik!
"Soal Faizal ....""Aku siap kok, Om. Jika disuruh nikah sama dia sebagai syarat untuk mendapatkan perusahaan. Lagian aku sudah tahu jika Faizal itu laki-laki salehah. Itu yang penting, agar bisa membimbing kita sebagai istri kejalan yang benar." Ucapan Linda tentu membuat hatiku berdenyut nyeri. Rasa apa ini hingga aku seperti tak ikhlas mendengar apa yang baru disampaikan oleh Linda. Aku memajukan bibir.Ayah tersenyum. Apa benar ayah akan melakukan itu. Ia tak berkata namun mendekat pada kami berdua."Masalah yang satu ini kan berhubungan dengan perasaan Faizal. Jadi semuanya aku serahkan Padanya. Datanglah kekantor esok hari dan kamu akan mendengar keputusannya." Ayah berkata dengan tegas. Sambil melihat kearah aku dan juga Linda.Setelah kepergian Linda yang tadi sudah janji akan datang kekantor esok hari. Aku memasang wajah cemberut didepan Ayah."Kamu kenapa? Kok mukanya ditekuk gitu?" Ayah mendekat padaku."Ayah itu punya prinsip ngga sih? Pertama di jodohkan dengan Linda, ke
Aku tersenyum senang saat Faizal keluar dengan wajah sedikit bingung. Dia tentu kaget karena aku tak memberitahukan terlebih dahulu.Aku melihat dari CCTV yang sudah kupasang di ruang staf HDR. Kulihat Pak Samsul tengah menjelaskan apa yang harus dia kerjakan. Dengan segsama Faizal serius menyimak. Ayah memang tak salah memilih dia menjadi seperti sekarang."Eheem!" Asih yang berada diruanganku berdehem."Asih! Kapan kamu datang? Ngga ketok pintu dulu lagi!" Aku otomatis langsung menutup laptop. Tentu takut ketahuan jika aku tengah mengawasi Faizal."Kenapa di tutup? Lagi lihat film dewasalah?" ocehnya. Aku mendelik padanya."Emangnya otakku semesum itu!" gerutuku. "Ngomong-ngomong ada apa kamu nyusul?" Dia tak langsung menjawab. Justru menjatuhkan bobot pada sofa di samping ruangan."Aku cuma mau mengabari tentang Linda. Dia tinggal di kontrakan kecil di daerah Lebak bulus." ungkapnya.Aku mengangguk. "Apa kamu dapat nomor telfonnya?""Tentu, Asih kalau cari tahu ngga akan setengah-
Benarkah?Ayah menceritakan bagaimana dulu membiayai sekolah Faizal. Dari masuk ponpes hingga jadi hafidz dan kuliah yang memang ayah memilih jurusan sesuai yang dibutuhkan untuk mengelola pekerjaan."Tapi, Faizal pernah bilang jika dia hanya lulusan SMA hingga ia akhirnya hanya bisa bekerja sebagai OB. Dia bilang Ayah menawari kerjaan yang lebih layak karena kegigihnya." Aku mengingat itu, saat pertama masuk kekantor."Iya begitulah. Dia selalu tak mau menunjukan sekolah tingginya. Dia bilang masih tak pantas dirinya menerima gelar itu. Dia percaya jika nasib akan merubahnya tanpa harus menunjukan apa yang dia sendiri merasa begitu beruntung." Ayah menjelaskan. Aku hanya mengangguk. Faizal memang laki-laki yang selalu bersikap rendah hati tapi ....Sebenarnya dulu memang ayah menginginkan dia untuk kamu, tapi tentu ayah tahu jika kamu sudah menentukan pilihannya pada laki-laki yang bernama Wahyu. Ayah hanya ingin kebahagiaanmu."Terus bagaimana ayah menjodohkan dia dengan Linda? Bahk
"Eh, Bu Bos!" Faizal langsung menurunkan ponselnya. Aku tak tahu sudah di matikan atau belum."Siapa yang sedang kamu telfon?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tentu aku tak mau kecolongan lagi. Sudah terlalu banyak kecolongan oleh Linda dan Mas Wahyu. Aku tak mau kecolongan dari orang lain. Apalagi dia bukan siapa-siapa."Bukan siapa-siapa kok, Bu Bos. Hanya teman biasa. Biasalah, bisnis kecil-kecilan." Dia membuka saku dan akan memasukan ponselnya."Tunggu! Aku mau lihat siapa yang kamu telfon. Bisa berikan ponselmu?" Aku langsung mengarahkan tangan.Dia terlihat bingung. Namun kemudian menarik tangannya."Sepertinya ada yang mulai cemburu, mungkin ia kira aku tak setia."Settt!Dia memang sekarang begitu PD! "Mana!" Aku kembali memajukan tangan."Kenapa si calon istriku ini? Cemburunya begitu amat sampai-sampai meminta ponselku. Duhh ... Tambah manis deh!" aku tahu, dia sedang membuat aku urung meminta ponselnya."Maaf, ya. Ini bukan urusan pribadi antara anda dan saya! Ini masal
PoV Faizal.Aku yatim sejak kecil. Saat itu, aku hanya mampu menangis melihat ku--Permadi-- terbujur kaku didepanku. Ibu tak kuasa menahan tangis terlebih saat itu, kami tak punya apapun untuk sekedar di makan."Bapak, pergi dulu. Siapa tahu dapat rejeki dan kita bisa beli makan. Setelah ini, Bapak pastikan hidup kalian tak akan kekurangan." Pamit Bapak saat itu. Ibu memelukku erat. Mengangguk dan melihat punggung Bapak Permadi sampai menghilang di lorong jalan.Namun, baru saja satu jam Bapak pergi, kami mendengar jika dia pergi untuk selamanya. Tentu, sakit dan kaget menyatu. "Permadi meninggal karena ditabrak sama mobil, Mbak! Sedangkan yang punya mobil juga meninggal karena tertabrak teronton." Tetangga mengabari. Aku sendiri bingung, bagaimana Bapak di tabrak dan yang menabrak ikut meninggal?Sampai akhirnya aku paham kronologinya. Tentu marah! Bagaimanapun dia telah membuat Bapak meninggal walau setimpal dia juga meninggal.Sebelum Bapak di kebumikan, ada beberapa orang yang da
"Bang Tigor meninggal?" aku masih tak percaya. Karena pagi tadi juga kami masih komunikasi.Aku lemas. Bagaimanapun dia banyak membantu keluarga ini. Bahkan Ayah sudah mengagap dia seperti saudara sendiri."Kenapa, Bu?" tanya Asih yang melihat aku masih mematung di anak tangga.Bibirku bergetar. Ada rasa tak percaya akan semua hal ini."Bang Tigor, Sih. Dia di kabarkan meninggal baru saja." Akhirnya aku bisa mengucapkannya. Aku melangkah menuruni anak tangga. Segera menyuruh Asih untuk meminta sopir mengantarkan kerumah duka.Tiba di rumah Bang Tigor, suasana sudah ramai. Banyak pelayat yang tengah membaca Al Qur'an. Aku mendekat pada jenasah. Wajah yang telah ditutup oleh kain jarik, kusingkap sedikit. Air mata ini langsung luruh."Bang!" ucapku dengan sedikit isakan. Aku memilih mundur, takut jika air mata ini jatuh di atas jenazah. Ada raut bingung pada beberapa orang dengan kedatanganku. Tak terkecuali istri bang Tigor yang masih duduk lemas di samping Bang Tigor."Bang Tigor ora