Share

Office boy

Pak Samsul mundur satu langkah. Memberi ruang untuk aku maju dan tepat berhadapan dengan Mas Wahyu.

"Aku sendiri yang memecat kamu, Mas! Jadi sebaiknya tak perlu mengambil perlawanan. Toh percuma saja, karena keputusan mutlak ada padaku!" ucapku dengan menatap tajam pada Mas Wahyu.

Ia meremas wajahnya kasar.

"Tapi tak semudah itu kamu bisa seenaknya memecat aku, Fi! Semua ada prosedurnya. Terlebih kamu hanya anak dari pemilik perusahaan ini. Jadi ... Aku yakin, semua tak segampang itu!" Mas Wahyu berusaha mempertahankan kedudukannya.

Aku tersenyum miring, ternyata setelah aku katakan kemarin saja, dia masih belum teliti atau meneliti struktur perusahaan yang mungkin memang hanya beberapa orang yang tahu.

"Kamu itu b*doh atau memang terlalu malas, Mas. Aku tak akan seyakin ini jika memang aku belum bisa melakukannya. Jika aku belum berwenang memecat kamu!" Aku menunjuk jariku kepada Mas Wahyu. Ia tampak gusar.

Dia memutari meja dan mendekat kearahku. Menenukan jariku yang tadi kuarahkan padanya.

"Jangan berusaha jadi istri durhaka, Sayang. Semua bisa kita bicarakan. Iya kan?" 

Cuiihh!

Sorot mata Mas Wahyu berubah menjadi sorot mata elang. Ia pikir, aku akan mampu luluh saat dia mulai melunak.

"Fine, kita bicarakan. Tapi, tak akan mengubah apapun yang telah aku putuskan. Termasuk menendang kamu dan Linda dari perusahaan ini. Mengerti!" Aku menarik tanganku dan langsung menyuruh Asih untuk membawaku keruangan yang seharusnya aku tempati.

****

"Atur jadwal pertemuanku dengan Bang Tigor!" Perintahku pada Pak Samsul. 

Aku harus segera mengurus semuanya secepatnya. 

Huaaciimm!

Huaaacimm!

Aku bersin sampai berkali-kali. Merasakan banyaknya debu yang ada di ruangan ini. Mungkin karena ruangan yang jarang di gunakan dan juga di bersihkan.

"Tolong panggilkan Office boy untuk membersihkan ruangan ini. Aku merasa tak nyaman dan alergi debu." Asih mengangguk dan langsung berjalan keluar. Aku membuka gorden jendela agar cahaya masuk dan membuat suasana ruangan menjadi sejuk.

"Bersihkan segera, Bu Bos ngga suka tempat kotor apalagi debu. Dia alergi!" Perintah Asih pada seorang Office boy. Dia menggunakan seragam layaknya Office boy dan topi, serta membawa kemoceng dan sapu.

"Apa Bu Bos mau keluar dulu?" tanyanya padaku yang sedang menghidupkan laptop.

Aku menatap wajahnya sekilas. Seperti pernah aku melihatnya. Siapa?

"Ngga perlu, kerjakan saja pekerjaanmu. Biarkan saya disini." ujarku yang langsung menatap laptop. Aku tak ingin terlalu memikirkan siapa dia? Walau penasaran. Mungkin kebetulan saja wajahnya familiar.

"Beneran ngga papa, Bu?" tanyanya masih ragu,"cuma sepuluh menit saja kok."

Dia masih seperti segan untuk berberes di tempatku.

"Ngga papa, kamu keluar aja dulu, Sih. Nanti kalau meja ini mau di bersihkan aku pindah kemeja sofa." 

"Bener, Bu. Ngga papa saya tinggal?" 

Aku mengangguk mantap, dan Office boy tadi mengerjakan tugasnya. 

Layar laptop menyala, namun masih butuh waktu beberapa saat untuk loading dan siap di buka isinya. Kulirik dia yang fokus pada pekerjaan.

"Sudah berapa lama kerja disini?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan. 

Dia menengok tapi kemudian dia kembali bekerja.

"Saya tanya loh sama kamu?" Aku kembali bersuara. Kali ini aku menghadapnya.

"Ma-maaf, Bu. Tak kira bukan tanya sama saya. Saya sudah bekerja sejak enam tahun yang lalu, Bu. Saya senior Office boy disini," jawabnya dengan sedikit tersenyum dan tetap menundukkan pandangan.

"Senior? Wah cukup lama, juga. Kenapa ngga bosen jadi office boy. Ngga pengen jadi karyawan?" tanyaku memastikan.

"Ngga, Bu. Saya sudah suka dan ini pekerjaan yang pantas untuk saya, sesuai derajat tingkat pendidikan saya." 

Aku mengerutkan dahi. 

"Kenapa? Jika mampu pendidikan tak menjadi alasan." Entah kenapa aku makin penasaran.

"Dulu, Pak Indra juga bertanya demikian, bahkan beliau menawarkan saya untuk menjadi salah satu karyawan. Beliau bilang agar saya bisa menjadi lebih baik atau bisa mendapatkan pangkat atau jabatan sesuai kemampuan saya. Tapi ...." Dia menjeda ucapannya.

"Tapi kenapa?" Kali ini aku makin fokus untuk mendengarkan ceritanya. Aku makin penasaran, tak menyangka jika Ayah sampai bisa berkomunikasi dengan bawahannya sekelas Office boy.

"Tapi ... Aku lebih suka begini. A-aku lebih suka membersihkan ruangan beliau. Kalau saya jadi karyawan. Tentu kesempatan untuk bertemu beliau akan jarang terjadi. Ibu sepertinya memiliki sifat seperti beliau. Kalau boleh tahu, Ibu itu si-siapanya Pak Indra?"

Aku tersentak kaget. Apa dia itu yang akan di jodohkan dengan Linda saat itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status