Share

Pertanyaan

Oh, jadi kamu itu sebenarnya kesayangan Pak Indra? Saya hanya rekan bisnisnya. Yang sebentar lagi perusahaan ini akan berpindah tangan. Saya yang akan menggantikan kepemilikan perusahaan." Aku sengaja berbohong. Aku ingin tahu kesetiaannya pada Ayahku.

"Oh, begitu, Bu." Dia tertunduk. Ada raut sedih tergambar jelas disana.

"Kenapa? Saya tak akan memperhentikan kamu kok, asal tetap bekerja sesuai prosedur."

"Terima kasih, Bu. Saya hanya sedih. Semenjak Pak Indra terkena stroke. Saya belum pernah berjumpa. Ingin kerumahnya tapi ... Saya segan. Saya ini bukan siapa-siapa beliau." Katanya dengan jujur. Aku dapat melihat kesedihan yang mendalam padanya.

Aku menatapnya ragu. Benarkah dia ingin bertemu dengan Ayahku?

"Kalau saya kabulkan keinginanmu, apa kamu mau berjanji untuk bekerja lebih giat?" 

Dia langsung mengadah, menatapku dengan wajah berbinar.

"Ten-tentu, Bu. Saya berjanji, bahkan akan saya lakukan lebih baik. Saya sungguh hanya rindu beliau yang selama ini saya rasa sebagai panutan hidup. Beliau sosok yang membuat saya tak pernah putus asa." Jawabnya antusias. Tercetak jelas kebahagiaan dari suaranya.

"Baik, semua bisa diatur. Nanti akan saya beritahu kapan kamu bisa bertemu dengan Pak Indra." Kataku mantap. Office boy ini mungkin tak mengenaliku karena aku dulu tak terlalu sering datang kekantor. Aku lebih suka di rumah menjadi kutu buku.

Tentu tentang kabar kecelakaan anaknya Pak Indra pun pasti tak sampai ke telinganya. Karena Ayah sudah stroke saat aku mengalami kecelakaan ini.

"Terima kasih, Bu. Sungguh saya beruntung bertemu Bu Bos hari ini. Saya izin kembali membersihkan ruangan ini."

Aku mengangguk. Kemudian dia kembali sibuk mengelap apa yang kotor. Dengan cekatan dan juga calakan. Aku hanya memperhatikan sekilas saja.

Aku fokus pada laptop. Melihat beberapa struktur dan mekanisme perusahaan. Kepalaku berdenyut nyeri. Suara ketukan pintu terdengar.

"Masuk!" 

Asih masuk kedalam, "Linda ingin bertemu dengan anda, Bu?"

Aku menutup laptop. Pasti dia cari gara-gara lagi. Pria itu langsung menyelesaikan pekerjaannya.

"Saya pamit, Bu," ucapnya yang langsung aku anggukan.

Duh ... Belum tanya namanya lagi!

Sempat didepan pintu office boy itu berpapasan dengan Linda.

"Ihhhh!" Gumaman Linda mampu kudengar. Bahkan dia mengibaskan tangannya seolah jijik dengan sesuatu.

"Ada apa kamu datang kesini, Lin? Apa mau kembali aku usir lagi!" tanyaku dengan mendorong kursi roda mendekat padanya.

"Jangan jumawa, Mbak. Aku masih punya hak disini. Tentu, aku akan meminta hak itu. Ibuku juga tak terima karena kamu memperlakukan aku seperti ini!" cetusnya.

"Aku tak jumawa dan aku tak akan mengambil apa yang bukan hak aku. Bersabarlah, menunggu hasil tentang apa yang telah ayah titipkan. Aku masih butuh pengacara dan notaris untuk meresmikan, anak perusahaan mana yang memang hakmu dan setelah aku tahu itu hakmu, aku akan cabut semua kerja sama, suntikan dana ataupun donatur keuangan. Kamu akan berdiri sendiri. Hanya itu hak kamu!" 

"Tentu, aku pun mampu berkembang sendiri tanpa perusahaan ini. Mengerti!" Dia sedikit arogan dengan kata-kata terakhirnya. Aku makin curiga jika dia telah bermain sedikit lebih jauh untuk urusan ini.

Setelah kepergian Linda, aku mengusap wajah. Bagaimanapun aku mengenal sosok Linda. Bukan takut, hanya saja sepertinya aku tak boleh ambil remeh untuk satu hal ini.

"Belum ada kabar dari Bang Tigor?" tanyaku pada Asih.

"Belum, Bu. Ada yang bisa saya lakukan?" tanyanya kemudian.

"Ada. Cari nama office boy tadi. Saya ingin segera!" cicitku yang langsung di tanggapi expresi kaget oleh Asih.

"Kamu dengar?" 

"I-iya, Bu. Maaf, saya kaget saja karena Bu Bos hanya meminta saya untuk mencari nama seorang Office boy."

"Segera laksanakan!"

"Baik."

Jam istirahat datang, kumandang adzan yang kudengar dari speaker kecil didalam ruangan ini sontak membuat aku kaget. Sejak kapan ayah memasang speaker adzan disini? Dan lagi, suara adzan itu ....

"Panggilkan Bayu!" 

"Baik, Bu." Asih membuka pintu dan langsung memanggil Bayu yang tak jauh dari pintu ruanganku.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bayu begitu masuk. Terlihat wajah takut-takut. Apa aku semenakutkan itu.

"Saya mau tanya, sejak kapan Pak Indra memasang speaker Azan itu?" 

"I-itu sudah lama terpasang, Bu. Mungkin 5-6 tahunan yang lalu. Biasanya beliau akan langsung beranjak jika mendengar Muazin itu mulai adzan." jelas Bayu. "Kalau Bu Bos tak suka, nanti saya suruh Office boy mencopotnya."

"Tidak, tidak. Saya juga setuju. Itu membuat saya ingat untuk langsung mengerjakan salat tanpa menunda. Asih! Antar aku ke masjid." 

"Baik, Bu!" Asih segera mendorong dan membawaku kelantai dasar. Karena letak masjid kantor tepat berada disamping gedung. Mungkin ayah memang sengaja membuat masjid itu agar para karyawan rajin ibadah.

Memasuki area masjid, aku kaget karena suara adzan yang terdengar diatas sama persis dengan suara adzan yang baru saja dikumandangkan di masjid kantor.

Itu artinya, suara adzan yang indah tadi benar-benar dari suara Muazin masjid kantor? Aku penasaran siapa yang memiliki suara seindah itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status