Kubuka pintu kamar ayah. Dia tengah terlelap dalam mimpi. Ayah terkena stroke sudah tiga tahun lamanya. Dia hanya bisa berbaring, bahkan untuk bicara saja aku harus memanggil ahli tercemah karena dia sering mengatakan hanya dengan sandi mata.
"Ayah!" Panggilku pelan. Kucium tangannya lembut. Ia membuka mata dan sedikit dapat kulihat ia tersenyum.
Ingin aku tanyakan tentang apa yang tadi di ucapkan oleh Linda, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. Terlebih tak ada Reno--penerjemah ayah-- dia sedang izin ada acara keluarga.
"Ayah tetap sehat ya, Afi akan meneruskan perjuangan ayah yang masih panjang. Afi janji tak akan ada yang bisa merebut apapun, apa yang telah ayah raih dengan meringat dan darahmu." Aku berkata dengan pelan. Namun, aku menangkap bola mata ayah yang berkaca-kaca.
"Ayah tak perlu khawatir. Afi sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Maafkan Afi yang terpaksa akan mengusir Linda keluar dari rumah ini. Afi rasa Kita sudah cukup berbaik hati pada mereka. Biar aku kembalikan Linda pada ibunya." Ayah mengedipkan mata pertanda setuju.
®®®
"Sih, panggilkan security! Aku ingin mengusir Linda sekarang juga!"
"Baik, Bu!"
Asih segera keluar dan tak lama kembali dengan security.
"Suruh Linda keluar dari rumah ini sekarang juga!"
"Siap!"
Security langsung naik keatas. Mengetuk pintu kamar Linda yang terdengar sampai kesini. Linda turun namun belum membawa kopernya.
"Kamu ngusir aku, Mbak?" tanyanya. Seolah mengusir dia adalah hal yang bodoh.
"Iya, silahkan keluar dari rumah ini!"
"Tapi, Mbak ...."
"Kenapa? Kamu takut atau kamu sudah gengsi hidup dengan ibumu?"
"Bukan itu, Mbak. Kalau kamu mengusirku, itu artinya Mbak takut berhadapan denganku." Decisnya.
"Takut? Tak ada rumus Afi takut menghadapi benalu macam kamu!"
"Oh ... Baik, Mbak. Tapi aku akan tagih janji Om Indra. Dia pernah bilang jika aku punya hak atas apa yang dimiliki kamu sekarang. Mungkin termasuk rumah ini ataupun perusahaan?" Dia melirikku.
Aku langsung menatapnya. Dia seperti memang serakah. Menginginkan semuanya yang aku miliki.
Ternyata inilah maksud ayah yang langsung mengangkat aku menjadi CEO disaat aku di vonis lumpuh. Kupikir saat itu ayah hanya kasian padaku. Ternyata dibalik semua rahasia yang tidak diketahui banyak orang tentang penurunan pewaris perusahaan AFI Mandiri yang digelar secara tertutup. Bahkan saat itu Mas Wahyu saja tak tahu.
"Kita akan tahu semuanya nanti! Segera tinggalkan rumah ini secepatnya. Aku tak mau berlama-lama menghimpun manusia-manusia yang tak tahu terima kasih." Aku segera meninggalkan Linda, tak peduli lagi dengan rancauanya, kata-kata ancaman ataupun sumpah serapahnya.
"Hallo, Bang Tigor, bisa minta tolong!" Aku telfon Bang Tigor. Dia termasuk orang kepercayaan Ayah.
"Iya, Neng Afi. Ada yang bisa Abang bantu?" tanyanya disebrang sana.
"Iya, Bang. Aku butuh bantuan untuk melihat semua dokumen yang pernah ayah berikan. Merinci dan kemudian menyalinnya. Aku ingin ini dilakukan secepatnya."
"Baik, Neng. Segera akan Abang laksanakan."
Aku bernafas lega, setidaknya aku ingin mengetahui mana yang memang ada hak dari Linda. Atau apa yang di katakan Linda itu hanya sebuah kebohongan belaka.
"Asih, besok siapkan aku untuk pergi kekantor!"
"Baik, Bu!"
Aku harus mengurus pemecatan Mas Wahyu segera. Karena pemecatan direktur utama tentu memiliki prosedur. Walau memang aku memegang kekuasaan penuh, tapi aku tetap harus menggunakan sesuai standar yang ada. Melalui berbagai proses dan mekanisme.
@@@
Suasana kantor terlihat lengang. Ini kali pertama setelah satu tahun. Baru hari ini aku menginjakan kakiku pada perusahaan yang terpampang besar namaku diatas sana.
Dengan didampingi Asih yang setia mendorong kursi roda. Banyak pasang mata yang menatapku sedikit aneh. Mungkin mereka yang belum tahu siapa aku sebenarnya.
Memasuki lifh menuju lantai tujuh. Sengaja aku ingin langsung menuju keruangan Mas Wahyu. Karena tadi dapat kabar jika dia masih masuk kantor.
"Aku direktur utama disini! Tak ada yang lebih berwenang. Sedangkan CEO-nya istriku sendiri!" Aku mendengar percakapan atau lebih tepatnya berdebat Mas Wahyu. Pasti dia menolak untuk pergi.
"Tapi, Pak. Ini perintah dari CEO sendiri. Anda harus keluar hari ini juga!" Suara Pak Samsul terdengar.
"Persetan! Jangan mengada-ada, kamu cuma iri kan?" Kali ini suara Mas Wahyu sedikit melunak. Aku sengaja tak langsung masuk. Mendengarkan apa yang sedang Mas Wahyu agungkan.
"Ngga ada yang iri, memang aku sendiri yang memerintahnya!"
Mas Wahyu menoleh dengan wajah pucat.
Pak Samsul mundur satu langkah. Memberi ruang untuk aku maju dan tepat berhadapan dengan Mas Wahyu."Aku sendiri yang memecat kamu, Mas! Jadi sebaiknya tak perlu mengambil perlawanan. Toh percuma saja, karena keputusan mutlak ada padaku!" ucapku dengan menatap tajam pada Mas Wahyu.Ia meremas wajahnya kasar."Tapi tak semudah itu kamu bisa seenaknya memecat aku, Fi! Semua ada prosedurnya. Terlebih kamu hanya anak dari pemilik perusahaan ini. Jadi ... Aku yakin, semua tak segampang itu!" Mas Wahyu berusaha mempertahankan kedudukannya.Aku tersenyum miring, ternyata setelah aku katakan kemarin saja, dia masih belum teliti atau meneliti struktur perusahaan yang mungkin memang hanya beberapa orang yang tahu."Kamu itu b*doh atau memang terlalu malas, Mas. Aku tak akan seyakin ini jika memang aku belum bisa melakukannya. Jika aku belum berwenang memecat kamu!" Aku menunjuk jariku kepada Mas Wahyu. Ia tampak gusar.Dia memutari meja dan mendekat kearahku. Menenukan jariku yang tadi kuarahka
Oh, jadi kamu itu sebenarnya kesayangan Pak Indra? Saya hanya rekan bisnisnya. Yang sebentar lagi perusahaan ini akan berpindah tangan. Saya yang akan menggantikan kepemilikan perusahaan." Aku sengaja berbohong. Aku ingin tahu kesetiaannya pada Ayahku."Oh, begitu, Bu." Dia tertunduk. Ada raut sedih tergambar jelas disana."Kenapa? Saya tak akan memperhentikan kamu kok, asal tetap bekerja sesuai prosedur.""Terima kasih, Bu. Saya hanya sedih. Semenjak Pak Indra terkena stroke. Saya belum pernah berjumpa. Ingin kerumahnya tapi ... Saya segan. Saya ini bukan siapa-siapa beliau." Katanya dengan jujur. Aku dapat melihat kesedihan yang mendalam padanya.Aku menatapnya ragu. Benarkah dia ingin bertemu dengan Ayahku?"Kalau saya kabulkan keinginanmu, apa kamu mau berjanji untuk bekerja lebih giat?" Dia langsung mengadah, menatapku dengan wajah berbinar."Ten-tentu, Bu. Saya berjanji, bahkan akan saya lakukan lebih baik. Saya sungguh hanya rindu beliau yang selama ini saya rasa sebagai panut
"Bu Bos, yakin mau salat disini?" Asih bertanya. Aku mengangguk. Kemudian menyuruh Asih untuk membawa aku menuju tempat wudhu.Setelah itu membawaku masuk kedalam masjid. Sayang saat masuk Adzan telah selesai hingga aku tak bisa tahu suara siapa tadi yang sangat indah itu.Suasana masjid saat salat dhuhur ternyata membuatku kagum. Dari sekian banyak karyawan hampir separuh lebih menunaikan kewajiban untuk salat terlebih dahulu sebelum istirahat. Benar-benar sebuah kejadian yang hampir langka di jaman sekarang.Seorang perempuan muda yang salat disebelahku. Dia dengan sigap membuka mukena saat telah selesai."Mbak, karyawan baru? Saya baru lihat." tanyanya padaku yang sama juga tengah melepas mukena. Asih yang berada di sisi kananku beranjak namun segera kusuruh duduk kembali dengan kode."Iya, kebetulan hari ini baru kekantor dan baru pertama kali salat disini."Dia tersenyum, "Ya beginilah keadaan kalau waktu salat. Semua ini berkat Pak Indra yang dulu mengharuskan untuk melaksanakan
"Maaf, ngga sengaja!" ucap Faizal yang langsung membereskan botol yang roboh. Aku yakin dia tadi itu ....Ah! Mungkin perasaanku saja. Sejenak semua yang hadir didalam ruangan meeting menatap Faizal. Setelah ia berlalu pergi, aku kembali fokus pada orang yang tadi mengejek."Salahnya? Seorang CEO harus lumpuh. Apa kerja CEO menggunakan tenaga? Apa kerja seorang CEO itu harus bisa berjalan dan berlari. Yang lebih di butuhkan untuk pemimpin itu ini!" Aku menunjuk kekepala.Sejenak ruangan hening."Apa kalian ragu untuk bekerja dengan saya?" Aku menatap satu persatu orang. Kebanyakan mereka tertunduk."Kalau CEO butuh turun lapangan dengan fisik yang kuat dan prima. Terus apa gunanya saya punya kalian?"Lagi!Masih hening."Ada yang masih meragukan kemampuan saya? Sekarang juga saya persilahkan keluar. Saya tak butuh karyawan yang masih meragukan atasannya. Walau seperti ini keadaan saya. Insya Allah saya bisa bekerja sesuai dan sejalan dengan Pak Indra!"Beberapa karyawan saling tatap.
PoV Wahyu.Suasana kantin kantor terlihat sepi. Ya ... Karena jam istirahat sudah usai sedari tadi. Ini sudah pukul dua lebih, hampir setengah tiga."Wah, Pak Bos, baru makan?" tiba-tiba Linda sudah ada disini. Entah sejak kapan dia datang."Hemm, sibuk ngga sempat makan tadi," jawabku tanpa menoleh kearahku."Aaaa ... Aeem!" Tiba-tiba ia mengalihkan tanganku yang tengah memegang sendok kearah mulutnya. Aku masih tercengang."Kenapa? Ngga boleh?" tanyanya cuek, kemudian mengambil bangku dan duduk tak jauh dariku."Kamu belum makan juga?" tanyaku memastikan."Belum, kan tunggu Bos Istirahat. Takut di panggil saat pergi makan. Mana galak lagi! Dia kan suka marah-marah. Kesel deh aku sama dia!"Aku melotot, tentu tau siapa yang dia maksud. Aku. Dia kan sekretarisku. Sepupu istriku, entah bagaimana ceritanya, yang kutahu jika Linda sudah ikut Afi dan keluarganya sejak kecil."Cieee ... Tuh kan mulai melotot!" Linda memang berperangai riang, suka bercanda dan ... Manis juga sihh."Bang! K
"Mas Wahyu!" Aku terperanjat. Ternyata Mas Wahyu yang menahan laju kursi rodaku."Kenapa, Fi? Kamu takut aku berbuat sesuatu? Aku tidak sejahat itu!" Mas Wahyu berkata tanpa melepaskan tangannya dari kursi roda. Bahkan dia malah mendorongnya maju."Lepaskan, Mas!" "Kamu tak perlu panik begitu, Fi. Aku hanya ingin membantu. Lagian aku heran sama kamu. Sudah bisa jalan kenapa masih suka pake kursi roda?" Mas Wahyu membawaku menjauh dari lobi, membawa masuk kedalam namun bukan menuju lifh, lebih tepat seperti kedapur.Apa aku harus berdiri dan lari? Tapi ...."Kamu mau bawa aku kemana, Mas?" tanyaku lagi."Aku hanya butuh waktu sebentar berbicara denganmu, jangan panik. Aku tak akan berbuat jahat padamu selama kamu masih bisa berbaik hati."Duh! Pasti Mas Wahyu ingin meminta sesuatu. Aku celingukan, berharap Asih segera menyusul namun nyatanya tak jua kunjung datang.Dibawa kedapur kantor, Mas Wahyu mengehentikan aku tepat di pojok sebelah kulkas."Apa maumu, Mas?" tanyaku langsung begi
Setelah kepergian Bang Tigor, aku membuka beberapa berkas yang pak Samsul bawa. Aku pelajari dengan segsama. Sepertinya masih ada harapan untuk menyelamatkan semuanya. Tentu Ayah peran utamanya.Beberapa klien menawarkan pertemuan. Aku masih bingung. Ucapan seorang staf marketing kemarin tetap membuatku insecure untuk langsung berhadapan dengan orang yang akan meminta kerja sama."Aku harus bisa mencari orang yang dapat di percaya untuk mewakili. Asih tak ahli dalam bidang ini. Iya cekatan namun sepertinya otaknya tak mampu menampung hal bisnis." Aku bergumam sambil mengetuk kepala."Asih, bagaimana tentang bodyguard yang akan menemaniku setiap hari, apa kamu sudah dapat?" tanyaku pada Asih yang tengah duduk bersandar disofa."Belum, Bu. Nanti secepatnya saya konfirmasi. Teman saya masih belum bisa dihubungi. Dia yang tau banyak tentang orang yang bisa menjadi bodyguard.".Aku mengangguk. "Tolong panggilkan Bayu. Aku ingin menyeleksi orang yang bisa mewakiliku bertemu klien.""Baik, B
Untuk apa? Apa Ayah masih menginginkan Faizal untuk menjadi suami Linda? Rasanya tak mungkin Linda mau.Faizal masuk dengan berlahan. Tatapannya langsung menuju pada brangkar dimana ayah terbaring."Pak Indra! Huuuu ...." Faizal langsung memeluk tubuh ayah dengan tangis yang pecah. Aku juga dapat melihat Ayah menitikan air mata. Seperti keduanya menyimpan kerinduan yang teramat. Apa Ayahku sedekat ini dengan seorang OB?"Maafkan saya, Pak. Baru bisa mengunjungi Bapak. Saya malu dan merasa tak pantas menginjakan kaki di rumah Bapak. Apalagi setelah di hina habis-habisan oleh keponakan Pak Indra." Faizal berkata dengan mengusap air matanya. Aku ikut terharu melihat itu.Ayah menggerakan mimik bibirnya."Reno, lihat Pak Indra!" Aku memanggil Reno yang seolah ia juga larut dalam kesedihan.Faizal langsung menatap Ayah."Apa yang beliau sampaikan?" tanyaku penasaran pada raut wajah ayah yang menyampaikan sesuatu."Beliau meminta sesuatu dari Faizal." Reno menjelaskan. Faizal langsung me