Seperti biasa, setiap paginya Tania akan membantu sang suami untuk bersiap sebelum pergi ke kantor. Sosok itu memilihkan pakaian untuk Malik agar terlihat rapi setiap harinya. Namun, tanpa diduga Malik memeluk tubuh Tania dari belakang saat wanita itu tengah sibuk memilih kemeja yang berbaris di dalam lemari. "Aduh, Mas. Aku lagi pilihin baju loh ini," protes Tania. "Iya Mas tau. Kata siapa juga lagi masak, aneh kamu tu," canda Malik sembari menghirup wangi sang istri membuat Tania tersenyum geli dibuatnya. "Mas, udah ya. Nanti kamu telat loh, ini pake dulu bajunya." Tania berbalik tanpa menunggu dan dengan sedikit mendorong tubuh sang suami dia mengulurkan kemeja biru pilihannya. "Kamu bantuin Mas pake ya." "Kenapa emang? Tangannya sakit, hm?" "Iya," cicit Malik sembari mengerucutkan bibir yang langsung dijawab elusan lembut di wajahnya oleh Tania. "Yang mau punya bayi tapi kelakuan masih seperti bayi. Ya udah sini aku bantuin." Malik bersorak dalam
Bu Fatma dan Mely masih ada di dalam mobil. Keduanya belum beranjak pergi meski kini Tania dan Sheli sudah menghilang sejak insiden tadi.Mata Melly menatap nanar kaca mobil yang terkesan gelap. "Tante, jika sudah begini maka hanya ada satu cara terakhir yang harus kita lakukan." Kalimat lirih itu membuat Bu Fatma menatapnya cepat. "Apa maksudmu?" tanya Bu Fatma penasaran. Dengan segera Melly memutar arah duduknya. Menghadap Bu Fatma langsung agar bisa didengar dengan saksama. "Jika cara seperti ini juga tak bisa mencelakai Rania, maka kita harus menjebaknya agar Malik mulai meragukan kebaikan hatinya." "Tolong kau jelaskan dengan benar, agar Tante bisa paham," pinta Bu Fatma. Mely menunda kalimatnya, membuat sosok itu tak mengalihkan pandangan sedikit pun. "Tante harus menjebak Rania. Buat seolah-olah Tante terluka karena ulahnya, dengan begitu maka Malik mungkin akan mulai kecewa pada kebaikan hatinya." Bu Fatma cukup terkejut mendengar saran Mely b
"Malik. Kamu tidak bisa mendidik istri kamu dengan baik. Lihatlah apa yang dia lakukan pada mama," ujar Bu Fatma memanas-manasi Malik. "Mas!" panggil Tania pelan. Malik menoleh ke arah Tani seraya mengulas senyum lembut penuh cinta seperti biasanya. "Mas percaya sama kamu." "Malik! Setelah apa yang dia lakukan pada Mama. Kamu masih percaya padanya? Kamu pikir Mama mengarang cerita," bentak Bu Fatma. "Ma. Bisa saja Mama jatuh karena menendang botol minyak urut ini. Ini minyak zaitun yang bisa dipakai Mama untuk mengurut bukan?" Malik menunjuk botol yang terlempar di sudut tangga. Tania tersenyum lega. Sementara Bu Fatma semakin meradang. Dia kembali mengucapkan kata-kata yang menjelekan Tania agar membuat wanita itu tersudut. Namun, Malik tetap pada pendiriannya. Tidak mungkin istrinya tega melakukan hal tersebut. Tidak berapa lama, tiba-tiba saja Mely datang bersama seorang dokter gadungan yang sengaja dia bawa untuk memperlancar rencana mereka. Bu Fatma pura-pu
Di sebuah rumah besar dan megah. Terdengar suara rintihan wanita yang berasal dari salah satu kamar yang berada di sana. Suaranya begitu terasa memilukan seakan dia sedang menahan rasa sakit yang amat sangat. "Angkat mas," ucapnya penuh harap. Menunggu telponnya tersambung dengan nomer yang sedang di panggilnya. Lama menunggu yang di teleponnya tak kunjung juga mengangkat telpon. Rania, nama wanita tersebut. Melemparkan ponselnya ke atas kasur kemudian kembali menahan perutnya yang terasa sakit. Ia mencengkram sprei hingga tidak berbentuk lagi untuk menyalurkan rasa sakit yang sedang di alaminya. "Rania!" panggil seorang wanita paruh baya dari arah dapur. Wajahnya terlihat mengkerut menandakan ia sedang kesal. "Rania!" panggilnya lagi. Kali ini dengan setengah berteriak. "Non Rania di kamarnya, Bu," jawab seorang wanita yang memakai seragam pekerja. Ia menarik napas pelan, sebab merasa kasihan pada gadis yang terus di panggil oleh majikannya. Wanita paruh baya tersebut berna
Malik dan Rania seketika menoleh. Wajah mereka tegang saat melihat raut wajah Bu Fatma yang begitu emosi. Bu Fatma hanya mendengar sebagian cerita saat Rania mengatakan jika dia tidak bisa hamil. "Mimpi apa aku? Punya menantu seperti kamu. Sudah dari keluarga miskin, sekarang kamu juga mandul," cibir Bu Fatma. "Jaga ucapan Mama!" sentak Malik yang tidak terima Bu Fatma mengatakan hal buruk pada istrinya. "Bela aja terus istri kamu yang tidak berguna itu." Bu Fatma mencebikkan kaki lalu pergi meninggalkan rumah sakit. "Bagaimana ini Mas? Sepertinya Mama begitu kecewa padaku," ucap Sania sendu. Bulir airmata mengalir mengekspresikan rasa sakit hatinya. Bu Fatma pergi dari rumah sakit dengan keadaan penuh amarah dan kecewa. Di hatinya tidak ada sedikitpun rasa iba terhadap Rania. Hanya kecewa dan kecewa yang terus bertumpu di dalam dadanya kepada istri malik tersebut. "Tolong antarkan saya ke alamat ini, Pak." Bi Fatma menunjukkan sebuah alamat apartemen pada supir taksi. "Ba
Tania membantu Rania bangun dari sujudnya setelah melihat Paman Burhan. Wajahnya merah menandakan jika dia sedang marah besar. Mereka yakin, Paman Burhan pasti sudah salah paham terhadap Tania. Rania menyeka air matanya lalu menghampiri pamannya tersebut. Dia mencium punggung tangan Paman Burhan lalu memeluknya erat. Tania mengambil barang bawaan Paman Burhan dan menaruhnya di dapur. "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa bersujud dikaki kakakmu?" tanya Paman Burhan setelah Rania mengajaknya duduk di sofa. "Paman salah paham. Semua bukan karena kak Tania. Tapi karena …. " Rania menyeka air matanya yang kembali turun. Tania kembali dari dapur dengan membawa air untuk Paman Burhan. Dia sengaja duduk disamping Rania yang sedang menangis. Paman Burhan melihat wajah bingung begitu tercetak jelas dari raut Tania. Dia meneguk habis air yang disuguhkan Tania. Setelah merasa emosinya reda, Paman Burhan kembali bertanya pada Tania dan Rania secara bergantian. Kali in
Kamu kenapa Rania?" tanya Paman Burhan pada Rania yang baru saja siuman. Rania memijit kepalanya yang masih terasa pusing. "Mungkin aku kelelahan Paman," jawab Rania menutupi perasaannya. "Tabahkan dan kuatkan hatimu! Semua terjadi atas permintaan kamu. Paman tahu, dilubuk hati paling dalam kamu pasti merasa sedih melihat pernikahan Malik." "Iya Paman, aku tahu. Aku sedang berusaha ikhlas dengan semua ini. Semoga kehadiran Kak Tania dirumah itu membawa perubahan yang tidak bisa aku lakukan," lirih Rania sendu. Paman Burhan memeluk Rania sambil mengelus rambutnya. "Sekarang kamu fokus pada kesehatanmu dulu. Jangan banyak pikiran lagi!" "Terima kasih Paman. Maaf aku sudah merepotkan Paman dan juga Kak Tania." Sepanjang perjalan suasana di dalam mobil hening. Malik dan Tania sama-sama mengunci mulut mereka rapat-rapat. Keduanya masih tidak menyangka jika mereka sudah sah menjadi suami istri. Padahal Malik dan Tania baru bertemu dua kali, saat melamar Rania dan ha
Setiap hari ada saja tingkah Tania yang membuat Bu Fatma sakit kepala. Bu Fatma merasa aneh dengan perubahan sikap menantunya tersebut. Rania yang biasanya penurut dan tidak berani membantah, sekarang berubah drastis. Pagi-pagi sekali Tania sudah siap dengan alat pel dan embernya. Bukan Tania namanya, jika mau mengerjakan sesuatu tanpa ada maksud tertentu. Ia sengaja mengepel lantai dengan kain yang sangat basah tepat didepan anak tangga terakhir. "Nah begitu 'kan enak dilihat. Jadi menantu itu jangan cuma makan sama tidur aja," ejek Bu Fatma seraya melangkah melewati Tania yang sedang membungkuk. "Iya Ma." Tania mengepal erat gagang pel yang ada ditangannya. Dia segera membawa ember serta kain pel masuk kedalam kamar mandi dan tertawa keras. "Satu … dua … tig …." "Rania!" Bu Fatma berteriak cukup kencang. Bi Asih dan Darmi yang berada di dapur segera berlarian menuju sumber suara. Keduanya kaget melihat tubuh Bu Fatma sudah ada dilantai basah kuyup. Lantai yang basah