i
"Iya tunggu sebentar," saut Clarissa yang mendengar Sinta mengetuk pintu dari luar. Clarissa berjalan mendekati pintu dan membukanya.
"Apa kamu sudah nungguin aku?" Sinta bertanya dengan yang tersenyum lebar saat memandang temannya tersebut.
"Ya, nungguin siap lagi. Kamu tau sendiri mau nungguin pacar, tapi gak punya," jawab Clarissa yang tersenyum.
"Apa masuk dulu?" Clarissa menawarkan."Iya dong. Aku capek habis berdiri di atas busway. Terus jalan kaki masuk ke sini," ucap Sinta yang masuk ke dalam rumah yang begitu sangat sederhana. Sinta duduk di lantai yang beralas dengan karpet.
"Berhubung kita baru siap gajian aku ada beli gula dan juga teh. Kamu mau aku buatin minum gak?" tanya Clarissa yang berdiri di dekat pintu.
"Boleh," jawab Sinta.
Clarissa sedikit menutup pintu rumahnya. "Tunggu sebentar," ucapnya yang berjalan menuju ke dapur.
Clarissa datang dengan membawa segelas teh ditangannya. Carissa tersenyum memandang Sinta."Apa kamu nggak takut tinggal di sini sendiri?" ucap Sinta yang memandang rumah tersebut.
"Awal-awalnya takut tapi kalau sekarang tidak. Lagian mau ngajak orang tinggal sama dengan Aku, aku nggak ada yang kenal," kata Clarissa menjelaskan. Ia duduk di depan temannya.
“Aku nggak bisa tinggal di sini, soalnya aku di sini tinggal sama Tante dan om aku,” jawab Sinta.
“Iya aku tahu,” jawab Clarissa.
“Tapi kondisi rumah ini terlihat sangat rawan,” ungkap Sinta yang memandang rumah yang ditempati Clarissa.
"Gak bakalan ada yang niat rampok di sini," ucap Clarissa sambil tertawa. "Apa coba yang mau diambil? Barang-barang aku aja gak punya," ucap Carissa.
"Gak semua orang niat rampok, banyak juga yang niat untuk memperkosa," ucap Sinta yang memandang pintu rumah yang terlihat sangat tidak kokoh.
Keringat bercucuran dikening Clarisa saat mendengar ucapan temannya. Wajahnya memucat seketika.
"Maafin aku, aku nggak niat nakutin kamu," ucap Sinta yang merasa bersalah.
Clarissa tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aku sering mikir seperti itu juga, hanya saja kalau malam aku selalu periksa pintu dan tidur di kamar dengan kondisi pintu yang terkunci," jelas Clarissa.
"Kamu disini tinggal sendiri, jadi harus hati-hati. Apalagi bila malam-malam, lampu padam karena elcibi kilometer yang membalik."
"Kenapa?" Tanya Clarissa.
"Kamu sebaiknya jangan keluar untuk menaikkan elcibi lampu," ucap Sinta yang berbicara dengan wajah yang terlihat sangat serius.
"Kenapa gak boleh? Bila gak aku naikkan, aku bakal tidur gelap-gelapan tanpa lampu," tolak Clarissa.
"Iya, tidak apa kamu tidur gelap-gelapan sampai pagi. Sudah banyak kejadian, elcibi yang sengaja di turunkan orang dari luar. Gitu lihat korbannya keluar, orang itu akan masuk dan memukul tengkuk sehingga korban pingsan. Orang itu kemudian memperkosa korbannya. Di sini tindakan kejahatan sangat tinggi. Kita wajib hati-hati dan waspada," ucap Sinta menasehati.
Tubuh Clarissa bergetar saat mendengar apa yang disampaikan oleh temannya. Bayangan pemerkosaan itu kembali melintas di dalam ingatannya.
“Aku mau ganti baju sebentar,” ucap Carissa.Sinta menganggukkan kepalanya. Sinta masih sangat menikmati teh hangat yang diminumnya.
Clarissa masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamar. Air matanya kembali menetes saat mengingat apa yang terjadi dengan dirinya. Clarissa berusaha meredam tangisnya agar tidak terdengar oleh temannya.
Setelah puas menangis Carissa mengganti pakaiannya. Ia memakai bedak bayi dan juga lip berwarna pink di bibirnya."Aku sudah siap,” ucap Clarissa yang berdiri di depan kamarnya.
“Ya udah, ayo berangkat,” ucap Sinta.
"Tapi kita ke kantor pos dulu ya,” pinta Clarissa.
"Apa mau kirim paket?" tanya Sinta yang memandang Clarissa.
Clarissa tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aku mau kirimin uang untuk bunda di panti," jelas Clarissa.
Sinta mengerti maksud temannya ia kemudian menganggukkan kepalanya.
"Kantor pos tidak jauh dari sini. Apa kita jalan kaki aja," usul Clarissa.
"Boleh, uang bayar ongkos angkot bisa kita beliin teh dingin," Sinta berucap dengan tersenyum.
"Iya benar Kita harus irit," ucap Carissa yang mengunci pintu rumahnya. Mereka berjalan ke Simpang dan menuju ke kantor pos.
"Aku sudah kerja di sini, jadi Aku ingin setiap bulan bisa menyisihkan uang untuk dikirimkan ke panti. Bila tidak di bulan Ramadhan, adik-adik di pantai sangat kesulitan untuk makan. Karena sangat jarang donatur datang ke panti kami untuk menyumbang. Kami begitu sangat senang bila bulan romadhon datang. Perut kami terasa sangat kenyang. Makan kami sangat banyak dan juga enak-enak. Begitu banyak yang memberikan kami sumbangan baik berbentuk makanan, sembako, pakaian dan uang. Kalau udah dekat lebaran Kami sering dapat pemberian baju-baju bekas yang layak pakai. Bila baju-baju itu ada, maka kami akan berebut untuk memilih pakaian kami masing-masing. Baju yang aku pakai ini dari sumbangan- sumbangan yang diberikan oleh donator ataupun warga yang ingin menyumbang. Namun ada juga yang memberikan kami baju baru yang memiliki warna yang sama semua. Ini untuk pertama kalinya aku akan mencoba membeli baju sendiri," Clarisa bercerita panjang lebar. Clarissa begitu sangat merindukan suasana di panti asuhannya.
Sinta begitu sangat asyik mendengarkan Sinta bercerita. Gadis bertubuh mungil dan berwajah manis itu hanya tersenyum saat mendengar. "Kehidupan di panti walaupun sangat sederhana, serba kekurangan namun pasti sangat menyenangkan ya?" Tanya Sinta.
Clarissa menganggukkan kepalanya. "Di sana sangat ramai. Adek-adek begitu banyak. Walaupun sangat ribut dengan suara yang menagis, menjerit, ketawa dan yang lari-larian. Namun kami bahagia dan gembira," ucap Clarissa yang menahan rasa sesak didadanya.
Clarissa dan Sinta sampai di kantor pos dia mengirimkan uang untuk ibu pantinya.
"Sudah?" Ucap Sinta yang duduk di kursi tunggu.
Clarissa tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Ayo kita jalan-jalan," ucap Sinta yang kemudian berdiri."Ayo," ucap Clarissa.
"kita mau ke mana?" Tanya Clarissa saat mereka berjalan menuju halte busway."Untuk beli baju, sepatu dan sandal, enaknya di tanah Abang,” jawab Sinta.
"Akhirnya aku coba juga naik busway," ucap Clarissa yang begitu sangat senang dan memegang besi di atas kepala mereka.Sinta tersenyum memandangnya. "Naik busway walaupun berdiri tapi pakai AC," ucapnya.
"Iya, jadi tetap adem," imbuh Clarissa yang tersenyum.
"Lokasi ke tanah Abang lumayan jauh dari tempat tinggal kamu jadi kita naik busway dua kali," Sinta menjelaskan saat busway itu berhenti di halte terakhir.
"Apa kita harus menyambung lagi naik busway yang satu lagi, untuk menuju jurusan tanah Abang?" ucap Clarissa saat mereka berdiri di halte busway.
"Iya,” jawab Sinta, “kamu gak pusingkan naik busway?"
"Enggak apa-apa aku pengen jalan-jalan," Clarissa berkata dengan penuh semangat.
"Itu busway ayo cepat," ajak Sinta yang menarik tangan temannya .
"Iya," jawab Clarissa yang berusaha mempercepat langkah kakinya.
Mereka naik busway dan berdiri kembali seperti yang tadi, berhubung busway yang dinaikinya sudah penuh.
"Kalau begini aku berharap di depan dan juga di belakang bukan laki-laki genit dan badannya nggak bau," ucap Shinta yang tersenyum memandang Carissa. Mereka berdiri saling berhadap-hadapan.
"Iya aku kesel sama cowok yang dibelakang megang-megang aku pura-pura goyang-goyang," Clarissa berkata kesal dengan bibir yang maju ke depan.
"Sikut aja," usul Sinta.
"Aku nggak berani," ucap Clarissa.
"Kita ganti posisi," Sinta memberi saran.
Clarisa menganggukkan kepalanya ia kemudian mengambil posisi tempat Sinta berdiri dan Shinta berdiri di depan pria yang yang cukup berumur dengan kulit berwarna hitam dan perut buncit.
Pria Itu sengaja seperti sedang ingin terjatuh agar bisa menyenggol gadis di depannya. Pria itu meringis kesakitan saat Sinta menyikutkan perutnya dengan sikunya cukup keras.
"Tolong jangan genit ya Om," ucap Sinta dengan sangat lantang.
"Siapa yang genit," ucap pria tersebut yang seakan tidak terima saat mendengar perkataan Sinta.
"Jangan pura-pura nggak sengaja ya Om," Shinta berkata dengan sangat berani.
Clarissa memandang temannya itu. Ia tidak menyangka bahwa ternyata Sinta begitu sangat berani orangnya.
Pria itu seakan tidak ingin menambah masalah. Pria itu memutuskan untuk meminta busway itu menepi agar ia bisa turun secepatnya.
Pria itu sangat malu Saat penumpang yang ada di busway itu menyorakinya saat turun dari busway.
"Aku gak nyangka, kalau kamu seberani itu," ucap Clarissa yang memandang kagum temannya.
"Kita harus berani, biar tidak diinjak-injak," Sinta berkata tegas.
Clarissa tersenyum memandangnya. "Kamu hebat, keren," puji Clarissa.
Carissa dan juga Sinta berdiri sambil memegang besi di atas kepala mereka."Akhirnya aku coba juga naik busway," kata Clarissa yang begitu sangat senang. Matanya memandang ke luar jendela.Sinta tersenyum memandangnya. "Naik busway walaupun berdiri tapi pakai AC," ucapnya."Iya, jadi tetap adem," jawab Clarissa yang tersenyum."Lokasi ke tanah Abang lumayan jauh dari tempat tinggal kamu jadi kita naik busway dua kali," Sinta berucap saat busway itu berhenti di halte terakhir."Apa kita harus menyambung lagi naik busway yang satu lagi, untuk menuju jurusan tanah Abang?" tanya Clarissa. mereka berdiri di halte busway."Iya,” jawab Sinta, “kamu gak pusingkan naik busway?""Enggak apa-apa aku pengen jalan-jalan." Clarissa tersenyum."Itu buswaynya ayo cepat," a
Fathir meremas-remas rambutnya dengan sangat kasar. "Apa yang telah aku lakukan,” ucapnya saat dia sadar dan memandang sekeliling ruangannya yang berantakan.Wajah pria itu memucat saat menyadari apa yang dilakukannya. Walaupun kondisinya dalam keadaan mabuk, namun pria itu masih bisa mengetahui apa yang diperbuatnya. Ia memejamkan matanya saat mengingat gadis cleaning service yang masuk ke dalam ruangannya. Baju-baju yang berserakan di lantai di kutip nya satu persatu dan memakainya. Matanya memandang lantai. "Apa yang telah kulakukan?" ucapnya yang melihat bercak darah yang menempel di lantai yang ada di ruangannya.Fathir membersihkan lantai itu dengan memakai tisu. Ia duduk di kursi sambil mengusap-ngusap wajahnya dan memijat-mijat pelipis keningnya. Berulang kali pria itu mengutuk perbuatannya. "Aku sudah menghancurkan masa depan seorang gadis," ucapnya.Fathir meminum a
“Perusahaan aku bisa bangkrut bila aku memberikan kamu kartu itu,” ucap Fathir.“Mas tahukan berapa pengeluaran yang harus aku keluarkan setiap hari setiap minggu dan setiap bulan," ungkap Farah.“Kamu sibuk dengan dunia kamu, kamu sibuk jalan-jalan dengan teman-teman mu, sedangkan kamu tidak memikirkan bagaimana aku dan juga anak kamu, anak kita itu masih kecil dia masih butuh kasih sayang ibu. Namun kamu lebih mengutamakan teman-teman mu. Satu minggu pergi dan kamu baru pulang sekarang, begitu kamu pulang kamu minta uang.” Fathir berkata dengan begitu sangat kesal memandang wajah istrinya.“Aku pergi aku bilang ya Mas.” Farah membela dirinya.“Kamu bilang iya, memang kamu bilang dengan saya, kamu pergi,” ucap Fathir.“Salah aku apa,” tanya Farah.“Kamu tanya salah
Fathir duduk di kursi kerjanya. Tangannya tidak ada henti-hentinya memijat pelipis keningnya. Kepalanya serasa akan pecah saat memikirkan masalah yang dihadapinya. Masalah keluarganya belum selesai. Sekarang datang masalah baru. Ingin rasanya ia memecat semua karyawan yang ada di perusahaannya saat ini. Kalau bukan karena ulah karyawannya, kesalahan seperti ini tidak mungkin dilakukannya.Berulang kali pria itu memukul mejanya sebagai tempat pelampiasan kemarahannya.Pada saat itu Ia sengaja ingin menenangkan dirinya. Ruangan tempat kerjanya merupakan tempat yang mungkin paling nyaman yang dirasakannya. Fathir memilih minum dengan harapn bisa sedikit melupakan masalahnya. Ia meminum-minuman itu setelah jam kantor berakhir. Fathir yakin sudah tidak akan ada lagi karyawan yang tersisa. Ia tidak menyangka bahwa masih ada karyawannya yang masih bekerja di malam hari.Fathir
"Aku nggak ngerti kenapa semua cleaning service diberhentikan dan sekarang masuk cleaning service yang baru." Clarissa memandang rombongan cleaning service yang baru datang. Shinta hanya menggelengkan kepalanya dan mengangkat bahunya. "Apa semuanya ada hubungan dengan kita?” tanyanya. "Maksudnya?” Clarissa bertanya dengan membesarkan matanya. “Kita diberi uang lembur, itu artinya perusahaan mungkin tahu kalau kita kerja di sini melebihi dari jam yang seharusnya." Melihat kejanggalan yang terjadi Shinta mengambil kesimpulan. “Apa karena itu mereka jadi benci sama kita?” tanya Carissa. “Aku rasa seperti itu,” ucap Sinta yang membesarkan matanya. Clarissa mengangkat telepon yang berbunyi di ruang pantry tersebut. “Halo ruang pantri di sini. Saya Clarissa. Apa ada yang bisa saya bantu," sapa Clarissa saat mengangkat panggilan tele
Sinta memandang Clarissa yang masuk ke ruang pantri. "Ada apa?" tanyanya memandang temannya tersebut. Sinta memperhatikan wajah teman yang terlihat berbeda. Matanya tampak sembab seperti habis menangis. "Apa kamu dipecat?" tanya Sinta yang begitu sangat menghawatirkan temannya.Carissa tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Clarissa tersenyum lebar hingga matanya terlihat begitu sangat kecil. "aku dikasi libur tiga hari." Clarissa mengangkat tiga jarinya. Clarissa berusaha menutupi masalahnya agar temannya tidak curiga.“Kenapa,” tanya Sinta.“Sewaktu aku mengantar kopi Aku pusing, jadi cangkir kopinya jatuh, makanya kata pak direktur aku libur aja dulu selama tiga hari." Clarissa berkata dengan raut wajah yang terlihat begitu sangat senang.“Aku merasa kamu sepertinya tidak sehat, ternyata pak direktur itu baik ya,” puji Sinta memandang temannya.
Clarissa diam dan menelan air ludahnya ketika mendengar ucapan bosnya tersebut.“Kemarin saya tidak berani untuk melanjutkan pembicaraan karena kondisi kamu masih sangat takut dengan saya. Saya tahu setelah peristiwa itu, kamu pasti sangat trauma dan benci sama saya. Namun percayalah saya benar-benar tidak pernah berniat melakukan itu,” Fathir berkata dengan memandang gadis yang hanya menundukkan kepala didepannya. “Saya sangat tidak tenang sebelum masalah ini bisa selesai,” jelas pria itu.Clarissa hanya diam saat mendengar ucapan bosnya, dia tidak tahu harus berbicara apa saat ini.“Kamu tahu bahwa saya pria yang sudah beristri,” ungkap Fathir.Clarissa menganggukkan kepalanya."Saya sudah memiliki dua orang anak."Clarissa hanya diam saat mendengar penjelasan pria tersebut.Fathir diam cukup la
Clarissa memegang dadanya yang berdegup dengan hebatnya. Clarissa tidak menyangka bahwa bosnya akan datang ke rumahnya. Dari tatapan mata pria itu terlihat bahwa pria itu begitu sangat menyesal. "Risa tidak tahu apa yang harus Risa dilakukan," ucap Clarissa yang mengacak-ngacak rambutnya yang panjang. Ia hanya duduk di atas kasur yang ada di dalam kamarnya. Clarissa masih ingat apa yang disampaikan oleh bosnya. Tidak ada satupun pilihan yang bisa diambilnya. Semua pilihan yang ada sulit untuk diputuskannya. Clarissa tidak mungkin meminta pertanggung jawaban dari pria tersebut atau meminta uang sebagai ganti rugi karena itu sama saja menjual harga dirinya. Clarissa menangis disaat menyadari tidak ada tempat untuknya mengadu atau sekedar meminta pendapat. "Ini sudah takdir yang harus aku dijalani. Aku cuma bisa pasrah dan jalani ini semua," ucapnya yang mengusap air matanya dan berusaha untuk tegar.