Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabat
Happy reading
***
Harus kita mulai dengan apa cerita ini? Kebar-baran Aluna kah? Atau ingin membahas sitampan Daffin? Ah agaknya lebih seru kalau membahas sitampan, karena pasti kaum hawa suka dengan kaum Adam yang tampan, dingin, dan jangan lupa dompet tebal penjamin masa depan.
“Kesepakatan ini sangat penting untuk negara kita.”
Seperti biasa suara berat Daffin selalu sukses membuat gendang telinga orang yang lewat di sampingnya merinding suka.
“Jelas sangat penting karena bisa membuka era baru dalam hubungan ekonomi antara Canada dan Australia,” lagi Daffin bersuara.
“Hah… hah… hah…”
Kalimat yang setelahnya dilanjutkan dengan nafas terengah-engah, udara sejuk dipagi hari sangat bagus bukan dilengkapi dengan lari pagi seperti yang Daffin lakukan sekarang. Dengan setelah traning hitam, kaus oblong hitam, dan pelengkap topi hitam. Sudah seperti malaikat maut saja pria satu ini, iya malaikat maut tampan.
“Saya akan ke kantor hari ini, kita bahas tuntas semuanya,” ujar Daffin, menunduk menatap jam pada pergelangan tangan.
“Pukul 09.45 saya sudah di kan-“
“PAGII!!!!”
Hap.
“Shit!”
Bersabarlah untuk Daffin karena pagi indahnya sudah digangu oleh kembaran anabelle.
“Ih gak boleh memaki Daffin, mulut kamu mending cium aku dari pada ngeluarin kata-kata kasar,” suara cempreng Aluna langsung menusuk kasar telinga Daffin. Pria itu langsung memejamkan kedua matanya erat.
“Akan saya hubungi lagi nanti.”
Bip.
“Lepas!” jelas ada nada tidak suka dalam kalimat Daffin.
“Kamu lari pagi kan? Ya udah aku ikut.” Senyum Aluna merekah, gadis ini memang tidak kenal kata pantang menyerah walau sudah jelas Daffin tidak menyukainya.
“Lebih seru berdua tahu dari pada sendiri, kan aku bisa menemani bicara. Yuk!”
Tap.
Ya maaf-maaf saja Aluna, pria di dekat kamu tidak semudah itu untuk ditaklukkan. Daffin dengan rasa tidak sukanya sudah terlanjur menguar jelas padamu.
“Kamu bisa tidak mencari kesibukan lain? Jangan menganggu saya.” Daffin enggan menatap gadis di sampingnya, dia lebih focus pada jam tangan miliknya.
Melipat kedua tangan di depan dada, Aluna menatap Daffin dari atas setelahnya menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan.
“Tidak salah memang incaran aku, sudah sempurna dalam semua aspek,” bisik Aluna, tapi bukan bisikan namanya kalau Daffin saja sampai menoleh.
“Aku ada sih pekerjaan lain, tapi kamu itu tidak boleh dilewatkan. Jadi ayo aku temani, kita mau lari kemana?”
Kalau sudah terucap kata demikian dari mulut Aluna maka tidak ada kata menyerah dalam perjuangannya. Adik Adnan ini terlalu suka mencari masalah, bodo amat orang yang dia dekati akan merasa terganggu.
“Yah malah menolak,” kalimat kecewa jelas terucap jelas dari bibir Aluna setelah melihat Daffin berlari menjauh, tapi jangan salah kalau Aluna akan menyerah begitu saja, oh bukan gayanya.
“Memang pria dingin itu ti…”
Tap.
“Mau kemana? Katanya mau menemani belanja.”
Hembusan napas kecewa harus keluar dari hidung Aluna, baru saja kakinya mau melangkah menyusul Daffin, tangan kakak iparnya malah menahan.
“Kakak tidak mau belanja sendiri saja?” Aluna menatap memelas wajah Alisia, sungguh kaki Aluna masih sangat ingin menyusul Daffin yang sudah jauh di depan sana.
“Kenapa? Bukannya tadi kamu yang memaksa ingin ikut? Jadi sekarang, ayo!”
Oke, sepertinya rencana Aluna gagal karena Alisia sudah menarik tangannya untuk melangkah ke arah berbeda dari posisi Daffin saat ini. Aluna memang tadi saat di rumah mamaksa ikut dengan Alisia pergi ke swalayan dekat komplek. Ingin mengenal sekitar tempat tinggal kakaknya, tapi siapa sangka akan bertemu Daffin yang tengah berolahraga disertai kucuran keringat, errr menambah kesan wow untuk pria itu. Tapi lupakan, Aluna harus menelan rasa pahit karena keinginannya menamani Alisia.
Tap.
Langkah kaki Daffin terhenti, memutar tubuh ke arah belakang, menatap Aluna yang saat ini berjalan berlainan arah dengannya. Daffin sangat bersyukur karena ada wanita lain yang menghalang Aluna untuk mengganggu dirinya. Sangat jelas Daffin mengenal siapa wanita yang menarik Aluna pergi, siapa lagi kalau bukan istri sesama rekan kerjanya menjadi Duta Besar.
“Gadis gila,” satu kata dari Daffin untuk Aluna.
Kembali melanjutkan lari paginya, Daffin tidak mau sibuk berpikir tentang kehadiran Aluna. Dia hanya ingin gadis itu tidak datang menganggu lagi, dan semoga Tuhan mengabulkan doanya.
***
“Jadi bagaimana?”
“Duta besar Canada masih belum memastikan akan memperpanjang kerja sama atau tidak.”
Kepala Daffin mengangguk mendengar ucapan sang asisten, disinilah perannya sebagai Duta Besar akan bekerja. Berdiskusi untuk perpanjangan kontrak dengan negara yang bekerja sama dengan negaranya atau berhenti sesuai kesepakatan. Tergantung apa keuntungan yang akan diperoleh.
“Hubungkan saya dengan dengan sekretaris perdana menteri,” pinta Daffin.
Tentu saja sebagai utusan Australia, Daffin tidak akan mengecewakan negaranya. Tetap mempertahankan perekonomian negaranya adalah salah satu tugas Daffin sebagai Duta Besar, jika gagal namanya juga akan tercoreng buruk dimata pemerintah Australia.
“Ini mister,” sang sekretaris memberikan telpon ganggam pada Daffin.
“Hallo, selamat pagi Mister Smith.”
Langkah Daffin menuju jendela besar ruangan miliknya yang langsung menghadap jalanan Canada. Tatapan tajam miliknya sudah menjadi ciri khas Daffin dan tidak akan pernah berubah. Postur wajah pria ini terlalu tegas untuk sekedar murah senyum pada orang di sekitarnya.
“Maaf saya menganggu pekerjaan anda, tapi bisakah saya masuk dalam list jadwal bertemu dengan perdana Menteri hari ini?”
Jika kalian bertanya kenapa Daffin tidak bertemu saja dengan Presiden Canada? Just informasi untuk kalian. Canada memang sebuah negara, tapi negara monarki konstitusional, dengan pemerintahan yang berbentuk demokrasi parlementer federal. Ratu Elizabeth II menjadi kepala negara. Sudah jelas bukan, jika Canada adalah negara persemakmuran Inggris. Jadi yang memimpim bukan lagi Presiden melainkan perdana Menteri sebagai utusan Ratu Elizabeth II.
“Saya ingin membahas kerja sama dibidang export dan import antara Canada dengan Asutralia,” to the point adalah ciri khas Daffin. Setelah mendapat balasan selamat pagi dari sekretari Perdana Menteri Canada jelas Daffin langsung mengutarakan tujuannya.
Menganggukkan kepala, Daffin mengangkat sedikit sudut bibirnya, hanya sedikit sekedar membentuk kilasan senyum datar.
“Terima kasih, saya akan datang tepat waktu.”
Bip.
Telpon dimatikan, tubuh Daffin memutar. Berjalan ke arah sang sekretaris lantas memberikan ponsel.
“Atur ulang jadwal saya,” pinta Daffin, menatap sang sekretaris.
“Baik mister, kalau begitu saya permisi.”
Cklek.
Daffin kembali duduk di kursi kerjanya, terdiam sejenak. Menatap beberapa file berkas di depannya. Sudah menjadi makanan sehari-hari melihat tumpukan kertas diatas meja, pekerjaan yang harus cepat ia selesaikan.
“Setidaknya mereka tetap menguntungkan.”
See, pria ini memang seperti itu. Mau sebanyak apa pun pekerjaannya dia tidak peduli, selama itu nyaman dan menguntungkan untuknya kenapa tidak dikerjakan.
Daffin memang tipe pria seperti itu, hard working. Pagi siang sore dan malam, itu saja yang dia lakukan, mengurus urusan negaranya dengan Canada. Jika sudah selesai ya pulang ke rumah. Itu saja rutinitas Daffin setiap harinya, membosankan? Memang tapi untuk kita yang melihat, berbeda dengan Daffin yang menjalankan dengan senang hati. Liburan? Ya sudah di hari minggu saja, itu pun hanya berdiam diri di rumah.
Yah, seperti itu perkenalan kita dengan si pria incaran Aluna. Pria pekerja keras, perfeksionis, dan mungkin agak sedikit membosankan. Ingin terus lanjut dengan cerita ini? Jika iya, ayo kita simak bersama sejauh mana akan mengenal Daffin dan kehidupan pria itu.
.
To be continued
***
Terbit : 09/01/22
Happy reading***“Saya berterima kasih kepada seluruh tamu undangan, para investor yang telah menyempatkan diri hadir pada acara 12 tahun Royal Group.” Daffin berdiri di atas podium dalam acara ulang tahun perusahaan yang dirinya dan sang Papa rintis.Selesai dengan masa jabatan sebagai duta besar, Daffin benar-benar terjun dalam dunia bisnis dan mengambil alih perusahaan atas permintaan sang Papa. Ada begitu banyak kemajuan yang terjadi selama Daffin menjabat sebagai CEO Royal Group. Satu-persatu investor mulai mendekat dan mengajak kerja sama yang membuat Royal Group melebarkan sayap kesegala bidang. Malam ini sebagai pembuktian, Daffin yang berdiri dengan Aluna dan kedua buah hatinya dihadapan begitu banyak tamu undangan memaparkan keuntungan Royal Group selama satu tahun terakhir.“Tidak etis rasanya jika saya tidak membiarkan dewan direksi sekaligus pemegang saham terbesar di Royal Group hanya diam tanpa memberikan sambutan,” ucap Daffin, menoleh menatap Aluna yang masih terseny
Happy reading***“Sayang!”Daffin melambaikan tangan saat dirinya melihat Aluna celingak-celinguk menatap seisi ballroom. Jelas teriakan Daffin yang cukup menggelegar itu membuat banyak pasang mata menatap ke arah Aluna dan Alisia yang tengah berjalan menghampiri suami masing-masing.“Halo anak Papa.” Adnan langsung membawa Haresh ke dalam gendongannya.“Ini acara apa sebenarnya?” tanya Alisia yang masih belum tahu dirinya tengah menghadiri acara apa. “Teman kamu yang mana yang mengundang? Aku kenal mereka? Atau mereka kenal aku tidak?” cecar Alisia membuat suaminya terkekeh.“Bukan acara teman aku,” jawab Adnan, melirik Daffin yang tengah merapikan rambut Aluna. “Tapi acara kita,” lanjutnya.“Ha?” Aluna menatap kakaknya. “Kita?” Jujur Aluna semakin tidak mengerti dengan maksud acara kita.Baru saja Aluna ingin membuka mulut ada sep
Happy reading***Aluna sudah kelimpungan mengurus Ara dan Haresh, belum lagi Aziel yang sedari tadi terus merengek. Pagi-pagi kepalanya sudah dibuat pecah, mana Ara susah sekali diatur sejak Haresh datang. Kedua bocah itu hobi sekali berlari-lari membuat Aluna kewalahan untuk memasangkan pakaian.“Sini biar Aziel sama kakak.” Alisia muncul dengan gaun biru dongker miliknya.Mengembuskan napas lega, Aluna menganggukkan kepala lantas berjalan keluar kamar mencari Ara yang belum dikuncir rambutnya. Pagi ini mereka membagi tugas, tapi karena Gail tiba-tiba demam membuat Alisia haru benar-benar mengurus anaknya, jadilah Haresh Aluna yang mengurus.Aluna ingin menyumpah rasanya, tadi Daffin dan Adnan meminta mereka semua berdandan dengan rapi dan akan dijemput pukul sepuluh yang artinya tiga puluh menit lagi. Tidak ada penjelasan Daffin dan Adnan pergi begitu saja, menyerahkan tugas mengurus dan menyiapkan anak-anak pada istri masing-masing.
Happy reading***Daffin menahan tawanya saat menatap Aziel berjalan dengan sempoyongan. Bayi yang baru saja menginjak umur dua tahun itu tengah berjalan menghampiri Aluna yang tengah menguncir rambut Ara. Tersenyum lucu menatap putranya yang berjalan tertatih dengan menjaga keseimbangan tubuh. Jujur saja melihat Aziel yang pantatnya masih dilapisi popok dengan langkah sempoyongan membuat perut Daffin tergelitik.“Buahahahahaha…”Tawa Daffin tidak bisa ditahan lagi saat Aziel jatuh terduduk kala kakinya gagal menjaga keseimbangan tubuh. Anak laki-laki itu yang tahu tengah ditertawai langsung menangis kencang.“Hahaha…” bukannya berhenti tertawa Daffin malah menjadi-jadi, terpingkal-pingkal dengan melihat wajah memerah Aziel dengan air mata membanjiri wajah.“Daffin!” Aluna menatap tajam suaminya.“Haha… iya-iya.” Daffin mengangkat tangan, lekas bangun dari duduknya m
Happy reading***Semuanya mengerubungi si tampan yang berada pada ranjang khusus bayi. Anak laki-laki Daffin dan Aluna telah lahir dengan berat normal dan kondisi sehat. Alisia bahkan menangis saat dirinya yang diizinkan menggendong bayi Aluna pertama kali karena Daffin masih dalam kondisi bergetar setelah menemani Aluna melahirkan.“Lihat sayang, adiknya tampan sekali,” tunjuk Lisa yang tengah menggendong Ara. “Mirip banget sama Papa,” lanjutnya dengan senyum mengembang. Kepala Lisa mendunga menatap ke arah Aluna yang tengah istirahat karena tenaganya habis terkuras. Senyum bangga Lisa berikan pada Aluna walau kakaknya itu tidak melihat, Lisa bahagia kakaknya telah melewati rasa sakit saat melahirkan.“Mirip Ara ya adik kecilnya,” girang Ara melihat adiknya yang masih memejamkan mata.“Ih mirip tante tahu, tidak ada tuh mirip Ara sama sekali.” Salina menggelengkan kepala, waktunya menggoda Ara akhir
Happy reading***Alisia menggandeng Haresh dengan langkah terburu-buru melewati lorong rumah sakit, dibelakangnya ada Adnan dengan wajah panik. Suami Alisia itu sibuk menghubungi nomor telpon Daffin sejak sampai di rumah sakit. Sialnya, Daffin justru tidak mengangkat satu pun panggilan darinya.“Anak ini kemana sebenarnya,” gerutu Adnan, sudah ada puluhan panggilan hanya untuk Daffin saja tapi tak satu pun diangkat.“Gimana? Daffin ada angkat telpon?” tanya Alisia saat mereka sudah berada di depan salah satu ruangan VVIP rumah sakit.Adnan menggelengkan kepala. “Buru-buru diangkat, operator yang jawab terus,” ujarnya dengan napas berembus kasar. “Kita masuk saja dulu,” pinta Adnan. Menarik gagang pintu dan mendorong pelan.Pertama kali yang terlihat adalah Aluna yang meringis di atas ranjang rumah sakit, disamping Aluna ada kedua orang tua Daffin yang sudah terbang dari Australia ke Canada sej