Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabat
Happy Reading
***
Musik klasik terputar jelas di kediaman Adnan pagi ini, penghantar sejuknya udara pagi serta teman untuk sarapan.
“Pudingnya dimakan Aluna bukan dipelototi.”
Shap.
Kepala Aluna yang sedari tadi menunduk mendunga menatap Alisia. Kakak iparnya itu berdiri dengan tangan terlipat di depan perut, menatapnya dengan penuh tanya.
“Tidak enak ya pudding buatan kakak?” Alisia meraih pudding buatannya yang sedari tadi didiami. Mengambil suapan pertama dan langsung menatap Aluna.
“Enak kok,” bisik Alisia setelah merasakan pudding buatannya.
“Ya memang enak,” timpal Aluna.
“Terus kenapa kamu tatap terus dari tadi?” Alis kanan Alisia terangkat, tumben-tumben adik iparnya yang notaben seribut pasar dan seperti ulat pagi ini jadi pendiam. Tidak biasanya Aluna bersikap seperti sekarang, ya walau pun baru menikah dua tahun dengan Adnan setidaknya Alisia tahu beberapa sikap sang adik ipar.
“Hah… gimanaya ngomongnya, aku masih bingung.”
Aluna melipat kedua tangan didepan perut, menyenderkan punggung pada kepala kursi makan, menatap Alisia penuh dengan harapan. Ya siapa tahu saja kakak iparnya bisa membantu kesulitan dia pagi ini.
“Masalah universitas?”
See, apa Aluna bilang, Alisia memang sangat pas dengannya. Tanpa diberitahu kakak iparnya itu langsung tahu kemana arah pembicaraan mereka.
“Aku belum menemukan yang pas kak, sementara kak Adnan sudah meminta berkas dan beberapa persyaratan untuk mendaftar,” cerita Aluna, dia masih labil ingin melanjutkan kuliah dimana.
“Kamu mau melanjutkan program studi yang sama atau ingin mengganti jurusan?” tanya Alisa, setidaknya dia tahu sekarang alasan adik iparnya diam melamun.
“Bingung!”
Menekan kalimat, Aluna menggeleng keras. Ck! Labilnya muncul diwaktu yang tidak tepat.
“Kak Adnan meminta mengambil jurusan yang sama, tapi aku tidak tahu akan mampu atau tidak.”
Well, ternyata permasalahan Aluna sembilan puluh persen sama dengan mahasiswa diseluruh dunia. Saat ingin mengambil S2 bingung akan melanjutkan program studi yang sama saat S1 atau mengambil studi lain.
“Kemampuan kamu di mana?” Alisia meraih potongan buah apel diatas meja, memakan dengan santai sambil menatap Aluna yang terdiam.
“Entah.” Aluna hanya memberi jawaban singkat dan hendikan bahu.
Ya mau gimana, Aluna sendiri juga bingung basiknya ada dimana. Sedari dulu dia tidak punya suatu hal yang sangat disukai, atau bisa dikatakan hobi Aluna berubah setiap saat, ya bisa dikatakan musiman. Sudah seperti buah bukan.
“Ehm… gimana ya, bingung juga sih mau ngasih saran apa. Kakak juga dulu waktu kuliah program studinya pilihan dari kedua orang tua.”
Lah senasib ternyata, jika Aluna kakaknya yang memilihkan jurusan serta universitas saat S1, sementara Alisia orang tuanya. Sudahlah, dua perempuan ini memang sangat cocok untuk menjadi adik kakak. Sifat hampir sama, cantiknya sama, kelakuan aneh suka teriaknya sama. Cocok.
“Dulu kakak masuk jurusan hukum kan? Nah coba cerita kak gimana rasanya kuliah di fakultas hukum. Siapa tahu aku mau disana.” Lebih tepatnya Aluna tengah mencari referensi sih ceritanya.
“Biasa saja, lebih cenderung flat. Kakak rute hidupnya saat kuliah dulu itu ke kampus, terus pulang rumah, atau berdiam di perpustakaan kota,” jawab Alisia sambil mengingat masa kuliahnya.
Melongo pelan. Well, Aluna merasa dunia perkuliahannya dulu agaknya lebih bewarna sedikit dari pada Alisia. Setidaknya dia tahu nama mall dan pergi bermain dengan teman kampus. Tidak menjadi mahasiswa kupu-kupu seperti Alisia, kuliah pulang kuliah pulang.
“Orang tua kakak pengekang ya?” Aluna bertanya lirih karena takut menyinggung.
“Tidak sih. Tapi karena aku saja yang saat kuliah dulu melakukannya setengah hati,” jawab Alisia disertai hendik kan bahu pelan. Alisia juga bingung kenapa dunia perkuliahannya monoton.
“Sudahlah, bagaimana kalau kakak kasi kamu referensi beberapa kampus disini? Mungkin ada niat berkeliling dulu.”
“Boleh deh, lagi pula hari ini dari pada bosan dirumah.” Kepala Aluna mengangguk cepat, setidaknya ada kesibukan yang akan dia lakukan, tidak menekuk seperti burung dalam sangkar.
***
Bugh.
Mendudukkan diri pada salah satu kursi panjang di pinggir jalan, Aluna menatap keramaian jalan tempatnya sekarang.
“Universitas kedua, coret!” Wajah cemberut malas tercetak jelas pada mimik Aluna setelah keluar dari gerbang universitas kedua yang dia survei. Menatap selembar kertas yang berisi nama-nama universitas saran dari Alisia, sudah dua Aluna datangi tapi belum ada ketertarikan.
“Jangan sampai semua nama universitas dilist ini tercoret,” bisik Aluna lemas.
Hembusan napas pelan keluar dari hidung Aluna, kenapa juga sekarang dirinya harus repot karena masalah ingin masuk perguruan tinggi mana? Kenapa tidak asal langsung masuk saja? Oh tentu tidak bisa. Sekarang Aluna punya kriteria yang tinggi, setidaknya universitas yang akan dia pilih bisa membuatnya nyaman.
“Nona kue?”
Shap.
Wajah Jack adalah hal utama yang Aluna lihat setelah mendunga saat mendengar suara dari sampingnya. Tentu Aluna masih kenal dengan paras tampan Jack, pria yang menjaga rumah Daffin, si tampan incaran dirinya.
“Aluna ya bukan nona kue,” jelas Aluna, dia menekan dibagian namanya pada Jack. Enak saja namanya sudah cantik malah diganti dengan panggilan nona kue, memangnya dia pemilik toko kue.
“Ah maaf,” senyum tidak enak Jack.
“Tidak apa-apa, santai saja. By the way kamu sedang apa disini?”
“Menemani tuan Daffin dan kepala pelayan berbelanja bulanan,” jawab Jack.
Tap.
Tanpa ada kata lagi, Aluna langsung melangkah ke pusat perbelanjaan tepat di belakang bangku taman dekatnya duduk. Ternyata ada angin segar dikirimkan Tuhan untuknya. Beribu terima kasi untuk Jack yang memberi informasi.
***
Celingak-celinguk seperti orang tidak tahu arah, Aluna sudah seperti cctv menatap dengan teliti setiap orang yang ada di dalam supermarket. Bahkan dengan tidak tahu malunya gadis ini bertanya pada orang, apakah ada yg melihat Daffin. Oh ayolah, tidak mungkin salah satu dari orang-orang Canada tidak ada yang mengenal Daffin kan? Pasti ada walau hanya segelintir orang.
“Ck! Inimah namanya mencari jarum dalam tumpukan jerami.” Jika sampai Daffin tidak ketemu, fix! Aluna akan pulang dengan mood double jelek.
“Aku tidak keberatan jika harus banyak brokoli di dalam kulkas.”
Pucuk dicinta ulam pun tiba, tidak lama setelah Aluna mengeluarkan keluhannya ada suara berat terdengar dari rak di belakangnya. Tuhan memang sedang berbaik hati pada Aluna sekarang.
“Menurut aku lebih baik menyimpan banyak buah dari pada sayuran.”
Lihatlah, akibat ucapan tiba-tiba Aluna membuat dua orang didepannya menoleh serempak, dan benar saja itu memang Daffin dan satu wanita tua berumur kisaran empat puluh lima keatas. Kepala pelayan yang kemarin sempat Aluna tanya saat menerobos membawa kue untuk Daffin.
Menghembuskan nafas kasar, jujur ekspresi Daffin saat ini seperti mengatakan ‘kenapa dia lagi?’ dengan rasa ingin pergi dari tempatnya berdiri sekarang juga.
“Hai! Kalian sedang apa?” basa-basi Aluna untuk melihat sejauh mana Daffin akan membalas.
“Membali keperluan dapur nona,” dan see, yang menjawab ternyata kepala pelayan.
Agaknya kita harus menyiapkan kata-kata bela sungkawa pada Aluna karena akan menghadapi sikap pria yang sama sekali tidak mau didekati olehnya.
“Boleh aku ikut?”
“Tidak!” tolak Daffin, larangan jelas untuk Aluna mendekati daerah teritorial yang sudah Daffin buat.
Shap.
Bukan Aluna namanya kalau keinginannya tidak bisa dia wujudkan, tangannya dengan cekatan meraih troli dan melempar senyum pada kepala pelayan Daffin. Gadis seperti Aluna ini adalah ciri-ciri orang yang bodo amat dengan larangan orang lain, selama itu manurutnya masih sopan dan tidak mengganggu kenapa tidak? Oh ayolah Aluna, kamu sering datang tiba-tiba di depan Daffin itu tidak masuk dalam kategori mengganggu?
“Jadi kita akan membeli apa?”
Merolingkan mata malas, Daffin menatap malas Aluna. Kedua tangan dia masukkan ke dalam saku celana, memberi perintah pada kepala pelayannya hanya dengan gerakan dagu. Meminta sang kepala pelayan untuk mengikuti Aluna yang melangkah lebih dulu.
“Dia benar-benar mengganggu,” berbisik pelan untuk diri sendiri, Daffin menatap datar Aluna yang mulai memilih di arena buah.
.
To be continued
***
Terbit : 15/01/22
Happy reading***“Saya berterima kasih kepada seluruh tamu undangan, para investor yang telah menyempatkan diri hadir pada acara 12 tahun Royal Group.” Daffin berdiri di atas podium dalam acara ulang tahun perusahaan yang dirinya dan sang Papa rintis.Selesai dengan masa jabatan sebagai duta besar, Daffin benar-benar terjun dalam dunia bisnis dan mengambil alih perusahaan atas permintaan sang Papa. Ada begitu banyak kemajuan yang terjadi selama Daffin menjabat sebagai CEO Royal Group. Satu-persatu investor mulai mendekat dan mengajak kerja sama yang membuat Royal Group melebarkan sayap kesegala bidang. Malam ini sebagai pembuktian, Daffin yang berdiri dengan Aluna dan kedua buah hatinya dihadapan begitu banyak tamu undangan memaparkan keuntungan Royal Group selama satu tahun terakhir.“Tidak etis rasanya jika saya tidak membiarkan dewan direksi sekaligus pemegang saham terbesar di Royal Group hanya diam tanpa memberikan sambutan,” ucap Daffin, menoleh menatap Aluna yang masih terseny
Happy reading***“Sayang!”Daffin melambaikan tangan saat dirinya melihat Aluna celingak-celinguk menatap seisi ballroom. Jelas teriakan Daffin yang cukup menggelegar itu membuat banyak pasang mata menatap ke arah Aluna dan Alisia yang tengah berjalan menghampiri suami masing-masing.“Halo anak Papa.” Adnan langsung membawa Haresh ke dalam gendongannya.“Ini acara apa sebenarnya?” tanya Alisia yang masih belum tahu dirinya tengah menghadiri acara apa. “Teman kamu yang mana yang mengundang? Aku kenal mereka? Atau mereka kenal aku tidak?” cecar Alisia membuat suaminya terkekeh.“Bukan acara teman aku,” jawab Adnan, melirik Daffin yang tengah merapikan rambut Aluna. “Tapi acara kita,” lanjutnya.“Ha?” Aluna menatap kakaknya. “Kita?” Jujur Aluna semakin tidak mengerti dengan maksud acara kita.Baru saja Aluna ingin membuka mulut ada sep
Happy reading***Aluna sudah kelimpungan mengurus Ara dan Haresh, belum lagi Aziel yang sedari tadi terus merengek. Pagi-pagi kepalanya sudah dibuat pecah, mana Ara susah sekali diatur sejak Haresh datang. Kedua bocah itu hobi sekali berlari-lari membuat Aluna kewalahan untuk memasangkan pakaian.“Sini biar Aziel sama kakak.” Alisia muncul dengan gaun biru dongker miliknya.Mengembuskan napas lega, Aluna menganggukkan kepala lantas berjalan keluar kamar mencari Ara yang belum dikuncir rambutnya. Pagi ini mereka membagi tugas, tapi karena Gail tiba-tiba demam membuat Alisia haru benar-benar mengurus anaknya, jadilah Haresh Aluna yang mengurus.Aluna ingin menyumpah rasanya, tadi Daffin dan Adnan meminta mereka semua berdandan dengan rapi dan akan dijemput pukul sepuluh yang artinya tiga puluh menit lagi. Tidak ada penjelasan Daffin dan Adnan pergi begitu saja, menyerahkan tugas mengurus dan menyiapkan anak-anak pada istri masing-masing.
Happy reading***Daffin menahan tawanya saat menatap Aziel berjalan dengan sempoyongan. Bayi yang baru saja menginjak umur dua tahun itu tengah berjalan menghampiri Aluna yang tengah menguncir rambut Ara. Tersenyum lucu menatap putranya yang berjalan tertatih dengan menjaga keseimbangan tubuh. Jujur saja melihat Aziel yang pantatnya masih dilapisi popok dengan langkah sempoyongan membuat perut Daffin tergelitik.“Buahahahahaha…”Tawa Daffin tidak bisa ditahan lagi saat Aziel jatuh terduduk kala kakinya gagal menjaga keseimbangan tubuh. Anak laki-laki itu yang tahu tengah ditertawai langsung menangis kencang.“Hahaha…” bukannya berhenti tertawa Daffin malah menjadi-jadi, terpingkal-pingkal dengan melihat wajah memerah Aziel dengan air mata membanjiri wajah.“Daffin!” Aluna menatap tajam suaminya.“Haha… iya-iya.” Daffin mengangkat tangan, lekas bangun dari duduknya m
Happy reading***Semuanya mengerubungi si tampan yang berada pada ranjang khusus bayi. Anak laki-laki Daffin dan Aluna telah lahir dengan berat normal dan kondisi sehat. Alisia bahkan menangis saat dirinya yang diizinkan menggendong bayi Aluna pertama kali karena Daffin masih dalam kondisi bergetar setelah menemani Aluna melahirkan.“Lihat sayang, adiknya tampan sekali,” tunjuk Lisa yang tengah menggendong Ara. “Mirip banget sama Papa,” lanjutnya dengan senyum mengembang. Kepala Lisa mendunga menatap ke arah Aluna yang tengah istirahat karena tenaganya habis terkuras. Senyum bangga Lisa berikan pada Aluna walau kakaknya itu tidak melihat, Lisa bahagia kakaknya telah melewati rasa sakit saat melahirkan.“Mirip Ara ya adik kecilnya,” girang Ara melihat adiknya yang masih memejamkan mata.“Ih mirip tante tahu, tidak ada tuh mirip Ara sama sekali.” Salina menggelengkan kepala, waktunya menggoda Ara akhir
Happy reading***Alisia menggandeng Haresh dengan langkah terburu-buru melewati lorong rumah sakit, dibelakangnya ada Adnan dengan wajah panik. Suami Alisia itu sibuk menghubungi nomor telpon Daffin sejak sampai di rumah sakit. Sialnya, Daffin justru tidak mengangkat satu pun panggilan darinya.“Anak ini kemana sebenarnya,” gerutu Adnan, sudah ada puluhan panggilan hanya untuk Daffin saja tapi tak satu pun diangkat.“Gimana? Daffin ada angkat telpon?” tanya Alisia saat mereka sudah berada di depan salah satu ruangan VVIP rumah sakit.Adnan menggelengkan kepala. “Buru-buru diangkat, operator yang jawab terus,” ujarnya dengan napas berembus kasar. “Kita masuk saja dulu,” pinta Adnan. Menarik gagang pintu dan mendorong pelan.Pertama kali yang terlihat adalah Aluna yang meringis di atas ranjang rumah sakit, disamping Aluna ada kedua orang tua Daffin yang sudah terbang dari Australia ke Canada sej