"Eghem, bukan semena-mena, lebih tepatnya tegas, ingat pengkhianat itu harus dihukum biar jera. Mirna besok kalau punya suami terus suamimu tukang selingkuh langsung tendang saja dari rumah biar enggak tuman!" sahutku. Mas Eko lagi-lagi salah tingkah sedang Mirna hanya senyum-senyum saja.
"Nah, Mirna mulai hari ini kamu satu ruangan denganku, Mas Eko boleh pergi sekarang. Sudah waktunya makan siang kamu boleh istirahat dulu Mir, dan kamu Mas bersihkan ruangan bawah yang tampak kotor sekali,” titahku.
"Apa! Enggak mau, memang aku ini cleaning servis! Suruh saja Mirna, dia kan, pekerja di sini!" tolak Mas Eko seraya berkacak pinggang.
"Kalau enggak mau gampang kok, tinggal potong gaji saja, lagi pula selama ini Mas juga enggak pernah bersih-bersih di sini!" kataku tegas.
"Dik, otakmu di mana! Aku ini suamimu, durhaka kamu semena-mena begitu mentang-mentang kamu bisa cari uang!" teriaknya tak terima.
"Mas! Di mana otakmu! Saat istrimu rela hidup miskin dan bekerja di negeri orang setelah punya penghasilan sedikit saja kamu main perempuan! Kita sudah sepakat ya, Mas, tidak ada ampun untuk pengkhianat," jawabku santai, Mas Eko langsung mengkeret pergi dengan membanting pintu, Mirna sampai terlonjak kaget.
"Mas! Enggak usah seenaknya main banting pintu ya! Kalau sampai rusak aku potong gajimu untuk menggantinya!" teriakku menyusul Mas Eko, dia yang sudah di ujung tangga melongo heran dan berteriak. Rasain kamu Mas, aku akan buat kamu pelan-pelan tersiksa.
🌸🌸🌸
Mas Eko sudah sampai rumah terlebih dulu karena dia naik motor. Aku sudah melarangnya naik mobil ini biar tahu rasa. Rumah dalam keadaan ramai bukan karena banyak tamu, tapi karena suara Salsa, ibu dan juga ulet keket itu. Benar-benar perempuan tidak tahu malu, masih saja berani nampakin batang hidungnya di sini.
"Eghem! Seneng banget?" ucapku, mereka langsung diam dan terlihat ogah melihat kedatanganku.
"Mas, kenapa ulet keket ini masih ada di sini? Dia kan punya rumah sendiri."
"Namanya Rara, Dik," bela Mas Eko. Ulet kekrt itu tersenyum puas pasti dia merasa senang karena sudah dibela Mas Eko.
"Setahuku ulet keket kok, jadi terserah aku dong, mau nyebut dia siapa? Lagi pula nih, kayaknya Mas juga pingin selalu dekat-dekat sama dia, kebetulan banget kalau gitu dengan senang hati Mas juga sana pergi dan jangan balik lagi," kataku lagi, Mas Eko geleng-geleng kepala.
"Sudah, ayo kalian bersih-bersih badan dulu capek kan, baru pulang dari kerja," sahut ibu mertuaku.
"Aku memang capek, makanya enggak mau lihat pemandangan tidak sedap, segera gih, suruh dia pergi Mas!” Usirku lagi. Rara langsung menggandeng lengan Mas Eko. Dia tidak mau beranjak dari rumah ini.
Salsa mengajak Rara pergi, meski Rara berontak dan tidak mau. "Lisa, enggak usah sombong kamu ya! Ini juga rumah suamiku, aku berhak ada di sini!" teriaknya dari teras.
"Enggak usah mimpi ketinggian, sampah seperti kamu enggak pantas tinggal di rumah ini!" Takku pedulikan lagi ocehan racunnya segera kututup pintu.
"Kalau dia ada di sini lagi, bukan hanya dia yang aku usir, tapi kalian juga!" kataku memberi ultimatum, ibu terlihat sekali tak terima.
"Mama ....” Fia berlari menghampiriku. Kupeluk erat tubuh mungil putriku, meski hatiku rasanya sedikit berbeda.
"Anak Mama, wangi sekali pasti sudah mandi ya, sama Mbok Wati." Fia mengangguk lucu sekali. Gadis 1 tahun ini sedang lucu-lucunya dan wajahnya juga mirip denganku.
"Eh, Mbok, ngapain makanannya ditata rapi begitu? Simpan saja Mbok, mulai sekarang Mbok masak untuk kita bertiga saja," teriakku pada Mbok yang sedang menyajikan makanan di meja.
"Maksudnya apa!" sahut Mas Eko.
"Kurang jelas apa Mas? Untuk kami bertiga, Mas kan, laki-laki jadi harus bertanggung jawab pada keluarga. Sudah cukup selama ini baktiku padamu juga keluargamu, mulai sekarang ibumu masak sendiri. Kurasa penjelasanku jelas, jadi ibu dan Salsa tidak perlu bertanya lagi." Kutinggalkan mereka untuk mandi dan istirahat sebentar.
🌸🌸🌸Kurebahkan tubuh yang sangat lelah ini dan mencoba memejamkan mata berharap bisa tertidur pulas karena hanya dengan tidur aku bisa lupa semua tentang kisah pahit hidupku ini dan besok bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Jalan ini masih panjang aku tidak boleh lengah apalagi menyerah. Ini semua demi harga diriku. Perempuan apik sepertiku tidak pantas dicampakkan begini. Mereka harus membayar mahal untuk semua yang telah mereka ambil dariku.“Sayang, Mas rindu.” Kurasakan nafas berat di tengkuk leherku. Mas Eko memelukku dari belakang dan tangannya mulai meraba-raba tubuhku. Kurang ajar! Berani sekali laki-laki pengkhianat ini menjamah tubuhku. Tidak akan pernah aku biarkan. Memang berdosa menolak kemauan suami, tapi kali ini aku harus tegas. Aku tidak sudi lagi tidur dengan laki-laki yang sudah berbagi ranjang dengan perempuan sundal seperti Rara.Plak!Aku balik badan dan segera kutampar pipinya.“Jangan sentuh aku, Mas! Aku sudah tidak sudi lagi melayani kamu! Bahkan luk
Sebelumnya bantu follow akunku ya Dear, subs semua cerbungku, like, coment, and share biar makin banyak yang baca.#Ambil baiknya jika ada, buang buruknya. Happy reading ❤️🌸🌸🌸Klek!Ibu terjatuh saat aku kubuka pintu karena beliau menyandar di daun pintu.“Menantu kurang ajar!” pekiknya.Aku puas sekali melihat ibu jatuh begitu. Badanya yang gempal membuatnya susah untuk bangun.Aku hanya berkacak pinggang saja melihat ibu dan anak di depanku kesakitan.“Bu!” Lirih Mas Eko memanggil sambil memegangi selakangannya.“Kamu apakan anak kesayanganku, Lisa!”“Hanya aku tendang saja selakangannya, Bu. Eh, kena tuh, si burung puyung yang masih berdiri,” jawabku santai seraya cekikikan.“Dasar istri gemblung! Dosa kamu sama suami begitu. Terlaknat kamu!” sahut ibu lagi. Beliau berusaha meraih dinding kamar untuk berdiri.“Menyesal Ibu sudah membiarkan kamu untuk kembali. Harusnya kamu itu memang tidak usah balik ke sini. Mending jadi babu aja di luar negeri. Toh, Eko ada yang ngurusin. Rar
“Halah, kalau sudah mulai kan, nanti lupa. Kamu saja yang terlalu dramatis. Rasanya sama saja, kok! Perempuan itu nerimo tidak usah banyak protes!”“Oh, rupanya Ibu mendukung sekali ya, perbuatan Mas Eko. Sudah tahu anak salah masih saja dibela. Sudah sana pergi dari sini aku mau tidur!” Usirku.“Kamu itu ya, kalau orang tua ngomong didengarin bukan malah bantah terus! Sudah kebagusan benar tingkahmu itu!” bentak ibu. Duh, kupingku makin penging saja.“Aku sudah dengar kok, Bu. Ya, sudah ya, sana Ibu pergi bawa sekalian laki-laki tak berguna ini!” kataku kesal seraya kutunjuk wajah mereka berdua.“Apa kamu bilang, Dik? Tega ya, kamu ngomong begitu padahal aku ini masih sah suami kamu,” jawab Mas Eko dengan raut wajah memelas.“Enggak usah menyek-menyek gitu, Ko. Perempuan seperti dia masih banyak di luaran sana. Kamu ganteng dan kaya punya istri 4 yang jauh lebih cantik dan muda dari si Lisa,” sahut ibu.“Kaya? Dilihat dari manany, Bu? Kaya nebeng iya, juga! Ingat ya, ini semua aku ya
“Kenapa kamu melengos gitu, Dik? Kamu tidak percaya denganku?” tanya Mas Eko. Ah, dia tahu kalau aku ini tak mempercayai ucapannya hanya dengan gerakan wajahku saja. “Sudah tahu jawabannya kan, Mas? Sudah sana kalian pergi. Aku mau tidur besok aku harus kerja!” Usirku untuk yang ke sekian kalinya lagi. “Tidak bisa! Eko harus tidur di sini!” tolak ibu. “Iya, benar. Aku harus tidur di sini, Dik. Tidak apa kamu tidak melayaniku yang penting aku di sini bersama kamu,” sahut Mas Eko. “Jangan ngimpi, Mas! Sudah sana pergi atau kutendang lagi burung puyuhmu itu!” “Dasar perempuan enggak waras!” maki ibu dan memapah Mas Eko ke luar kamar ini. “Ayo, Ko! Besok kamu bisa tidur di sini! Jangan sampai pusaka kamu itu kena tendang untuk yang ke dua kali bisa loyo kamu,” ucap ibu. Aku ingin tertawa, tapi aku tahan. “Jangan harap! Sampai kapan pun kamar ini sudah aku haramkan untuk ditiduri Mas Eko!” bentakku seraya kudorong mereka berdua hingga hampir terjatuh. Brak! Kubanting pintu sampai F
“Sudah diam. Lapar itu makan bukan adu mulut begini,” sela ibu.“Mbok, masakin mie!” titah Mas Eko. Mbok menatapku lalu aku gelengkan kepala.“Ma—sak sendiri saja, Pak,” jawab Mbok.“Aku ini tuanmu. Aku harus kamu layani, Mbok!” bentak Mas Eko.“Mbok, masuk kamar Fia bawa dia. Mbok sudah selesai kan, makannya?” Mbok mengangguk dan permisi masuk ke dalam.“Dasar pembantu sok!” maki Mas Eko.“Diam, Mas! Aku sedang menikmati sarapanku!”“Berani kami bentak aku, Dik?”“Memang yang kamu dengar barusan apa, Mas? Panggilan sayang? Kan, bentakan berarti aku berani,” jawabku.“Makin enggak waras ini otak!” sela ibu.“Aku sudah selesai dan aku harus berangkat kerja. Kamu tidak bisa izin dan tidak boleh telat Mas atau gajimu aku potong!” tegasku."Kamu tega Dik, membiarkan kami kelaparan?" Mas Eko membuntutiku ke ruang tamu.“Aku bahkan belum sarapan, tapi sudah kamu suruh berangkat kerja?” katanya lagi."Kamu juga tega Mas berkhianat padaku," jawabku lagi dan lagi. Itu adalah kata kunci yang sa
Ibu, Salsa, dan Rara sangat senang mereka tersenyum mengejek melihat aku yang dimarahi Mas Eko."Oh, gitu, ini aku kembalikan, dan silakan Mas pergi dari sini bawa juga tiga benalu ini!" teriakku lantang.Kubuka pintu lebar-lebar mempersilakan mereka pergi. Sampai kuhitung di detik ke sepuluh masih saja diam."Kalian punya kuping, kan!? Cepetan pergi!" Bukannya pergi Mas Eko justru mencekal tanganku dan menyeretku ke gudang. Mereka semua tertawa puas Fia menangis, dan tantrum, Mbok Wati sampai kuwalahan menenangkan Fia. Rupanya anak itu tahu kalau ibunya sedang tidak baik-baik saja.Kutendang lagi selakangan Mas Eko kuat sekali sampai dia mengaduh kesakitan memegangi senjatanya dan terkapar untuk yang ke dua kalinya."Kurang ajar kamu ya, Lisa! Kalau Eko kenapa-kenapa kamu bakalan Ibu tuntut!" teriak ibu. Beliau berlari menghampiri Mas Eko yang meringkuk.Bugh! Bugh!Karena belum puas aku kembali menendang bagian perut Mas Eko. Dia menjerit kesakitan, bengkak deh, sana itu burung puyu
Bantu follow akunku ya Dears, subs semua cerbungku, like, coment, and share. Terima kasih ☺️🙏*Berharap pada manusia adalah seni terindah untuk menyakiti diri sendiri, itulah yang aku rasakan sekarang. Harapanku terlalu tinggi pada manusia yang bergelar suami, hingga Allah mengujiku begini.🌸🌸🌸“Set*n punya istri enggak yang muda enggak juga tua sama saja tidak ada yang berguna. Aku jadi tersiksa begini. Sakit semua badanku!” omel ibu mertuaku. Beliau tergopoh-gopoh jalan menuju kamarnya lewat pintu belakang. Aku kecolongan pintu belakang lupa aku kunci.“Kok, Ibu ngumpat aku begitu sih, Bu. Aku ini kurang apa jadi menantu Ibu! Awas saja kalau masih saja memakiku bakalan kubuat perhitungan!” jawab Rara. Dia pun jalan menuju kamar ibu seraya memapah Mas Eko dibantu Salsa.“Berisik kamu itu! Tanpa Eko, kamu bisa apa? Enggak becus jadi mantu!” kata ibu lagi. Kaki ini dia menunjuk wajah Rara.“Sudah diam, kalian kenapa malah bertengkar? Lihatlah aku di sini yang paling menderita. Tida
“Kalau aku bod*h Mas Eko tidak mau denganku,” ucapnya membela diri.“Justru perempuan seperti kamu ini yang gampang dibod*hi oleh laki-laki hidung belang. Sudahlah aku ke sini cuma mau kasih tahu saja itu ada dua orang yang cari kamu, Sha. Noh, di mobilmu!” Tunjukku ke luar jendela dari sini terpampang jelas mobil Salsa yang masih mulus karena baru dibeli beberapa bulan yang lalu.“Haduh, jangan-jangan mereka!” Refleks Mas Eko duduk. Dia melupakan sakit selakangannya.“Siapa, Mas? Apa mobilku bermasalah?” Kali ini Salsa pun ikut panik.“Jangan mengada-ada kamu, Eko. Adikmu baru saja lancar bawa mobil awas saja kalau sampai ditarik dealer itu mobil!” Ibu pun ikut panik. Beliau justru ke luar kamar lebih dulu. Nyelonong melawatiku begitu saja. Salsa dan Rara kembali memapah Mas Eko. Mereka terburu-buru keluar.Aku kasih kode ke Mbok untuk segera mengunci pintu belakang dan aku membuntuti mereka.“Mana, Mbak? Tidak ada siapa pun, kok!” seru Salsa saat sudah berada di dekat mobilnya.“Mun