Siapa Dewi? Akte lahir ini jelas sekali milik Fia. Kuturuni anak tangga mencari keberadaan Mas Eko, aku akan tanyakan langsung padanya jika dia tidak mau menjawab maka aku yang akan mencari jawabannya sendiri. Aku memang bukan tipe orang yang nrimo dan pasrah dengan keadaan apa pun akan aku cari tahu dan perjuangkan.
"Mirna, Bapak ke mana?"
"Tadi ada di sini Bu, duduk di sofa tamu sedang menungguku membereskan berkas-berkas ini." Tanpa menyahut lagi ucapan Mirna, aku menyusuri halaman depan. Ternyata Mas Eko sedang menelepon seseorang.
"Baik segera kamu urus semuanya Ji, nanti bagianmu akan aku transfer lebih, Adikku membutuhkan untuk memperbaiki mobilnya," ucap Mas Eko pada seseorang di telepon.
"Kalau bisa siang ini harus sudah selesai ya, istri mudaku juga butuh untuk bayar kontrakan, ingat Ji hanya kita yang tahu, jaga rahasia kita," katanya lagi lalu menutup telepon.
"Iya, halo Sayang, sabarla kamu jangan uring-uringan begitu aku juga pusing. Kamu itu sama aja dengan Lisa enggak mau nurut, kan Aa' sudah bilang kamu tinggal saja di kampung seperti selama ini lihat karena kamu nekat kita jadi ketahuan!" Kali ini Mas Eko sudah kupastikan sedang berbicara dengan ulat keket itu.
"Ya, nanti kalau Aa' enggak bisa bayar lagi kamu pulang saja biar semua aman, kalau sudah begini urusan jadi terkendala semua! Ya, sudah Aa' mau kerja dulu nanti Lisa tahu bisa kena semprot lagi." Mas Eko menutup obrolannya dan kaget melihatku yang ada di belakangnya.
"Dik, se—jak kapan kamu di sini?" tanyanya terbata-bata.
"Sejak dari tadi kamu teleponan, Mas," jawabku santai Mas Eko makin salah tingkah. Dia menggaruk kepalanya yang tidak galat.
"Em, oh, itu, tadi telepon teman Mas ada mau pinjam duit buat benerin mobil yang dipakai Salsa," jawabnya tanpa kutanya.
"Pinjam duit kok, Mas sendiri yang akan transfer?" tanyaku telak.
"Eh, itu, ya, suda, Mas mau masuk mau pindahin meja admin ke ruangan atas," ucap Mas Eko gugup lalu berlalu begitu saja. Awas saja Mas jika benar dugaanku tidak segan-segan segan aku seret kamu ke polisi.
Sepertinya aku harus urungkan niatku menanyakan siapa Rosalina, apa dia juga istri Mas Eko. Arrgh aku berjuang mati-matian di negeri orang malah Mas Eko seenak sendiri main perempuan. Tahu begini aku sudah tidak sudi dari dulu dengannya.
Orang tuaku selalu bilang kalau Mas Eko menantu yang baik selalu membantu pekerjaan bapak jika tidak kerja, apa memang orang tuaku yang terlalu lugu jadi mudah dibohongi?
"Mir, kok mejanya belum diangkat? Sekarang Bapak di mana?”
"Kata Bapak nanti saja Bu, nunggu ada kawan yang bantuin. Bapak naik ke atas.”
"Memang supir yang dua tadi ke mana, Mir?"
"Sudah pulang Bu, istirahat besok pagi narik lagi."
Kususul Mas Eko ke atas. Benar-benar keterlaluan, angkat meja segini saja tidak kuat.
Benar saja dia sedang asyik main games, dasar enggak bertanggung jawab! "Mas! Kamu ya, benar-benar keterlaluan aku sudah minta tolong dari tadi untuk angkat meja Mirna. Kubaca kok, kamu malah enak-enakan main games begitu!" teriakku, Mas Eko kaget dan langsung ngacir ke bawah.
"Punya istri mentang-mentang bisa cari duit jadi semena-mena sama suami, besok kamu kalau punya suami jangan begitu Mir, enggak baik. Terlaknat dan durhaka." Samar-samar kudengar nasihat konyol Mas Eko pada Mirna. Mereka tampak kesusahan mengangkat meja ke atas sini.
"Eghem, bukan semena-mena, lebih tepatnya tegas, ingat pengkhianat itu harus dihukum biar jera. Mirna besok kalau punya suami terus suamimu tukang selingkuh langsung tendang saja dari rumah biar enggak tuman!" sahutku. Mas Eko lagi-lagi salah tingkah sedang Mirna hanya senyum-senyum saja."Nah, Mirna mulai hari ini kamu satu ruangan denganku, Mas Eko boleh pergi sekarang. Sudah waktunya makan siang kamu boleh istirahat dulu Mir, dan kamu Mas bersihkan ruangan bawah yang tampak kotor sekali,” titahku."Apa! Enggak mau, memang aku ini cleaning servis! Suruh saja Mirna, dia kan, pekerja di sini!" tolak Mas Eko seraya berkacak pinggang."Kalau enggak mau gampang kok, tinggal potong gaji saja, lagi pula selama ini Mas juga enggak pernah bersih-bersih di sini!" kataku tegas."Dik, otakmu di mana! Aku ini suamimu, durhaka kamu semena-mena begitu mentang-mentang kamu bisa cari uang!" teriaknya tak terima."Mas! Di mana otakmu! Saat istrimu rela hidup miskin dan bekerja di negeri orang setela
🌸🌸🌸Kurebahkan tubuh yang sangat lelah ini dan mencoba memejamkan mata berharap bisa tertidur pulas karena hanya dengan tidur aku bisa lupa semua tentang kisah pahit hidupku ini dan besok bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Jalan ini masih panjang aku tidak boleh lengah apalagi menyerah. Ini semua demi harga diriku. Perempuan apik sepertiku tidak pantas dicampakkan begini. Mereka harus membayar mahal untuk semua yang telah mereka ambil dariku.“Sayang, Mas rindu.” Kurasakan nafas berat di tengkuk leherku. Mas Eko memelukku dari belakang dan tangannya mulai meraba-raba tubuhku. Kurang ajar! Berani sekali laki-laki pengkhianat ini menjamah tubuhku. Tidak akan pernah aku biarkan. Memang berdosa menolak kemauan suami, tapi kali ini aku harus tegas. Aku tidak sudi lagi tidur dengan laki-laki yang sudah berbagi ranjang dengan perempuan sundal seperti Rara.Plak!Aku balik badan dan segera kutampar pipinya.“Jangan sentuh aku, Mas! Aku sudah tidak sudi lagi melayani kamu! Bahkan luk
Sebelumnya bantu follow akunku ya Dear, subs semua cerbungku, like, coment, and share biar makin banyak yang baca.#Ambil baiknya jika ada, buang buruknya. Happy reading ❤️🌸🌸🌸Klek!Ibu terjatuh saat aku kubuka pintu karena beliau menyandar di daun pintu.“Menantu kurang ajar!” pekiknya.Aku puas sekali melihat ibu jatuh begitu. Badanya yang gempal membuatnya susah untuk bangun.Aku hanya berkacak pinggang saja melihat ibu dan anak di depanku kesakitan.“Bu!” Lirih Mas Eko memanggil sambil memegangi selakangannya.“Kamu apakan anak kesayanganku, Lisa!”“Hanya aku tendang saja selakangannya, Bu. Eh, kena tuh, si burung puyung yang masih berdiri,” jawabku santai seraya cekikikan.“Dasar istri gemblung! Dosa kamu sama suami begitu. Terlaknat kamu!” sahut ibu lagi. Beliau berusaha meraih dinding kamar untuk berdiri.“Menyesal Ibu sudah membiarkan kamu untuk kembali. Harusnya kamu itu memang tidak usah balik ke sini. Mending jadi babu aja di luar negeri. Toh, Eko ada yang ngurusin. Rar
“Halah, kalau sudah mulai kan, nanti lupa. Kamu saja yang terlalu dramatis. Rasanya sama saja, kok! Perempuan itu nerimo tidak usah banyak protes!”“Oh, rupanya Ibu mendukung sekali ya, perbuatan Mas Eko. Sudah tahu anak salah masih saja dibela. Sudah sana pergi dari sini aku mau tidur!” Usirku.“Kamu itu ya, kalau orang tua ngomong didengarin bukan malah bantah terus! Sudah kebagusan benar tingkahmu itu!” bentak ibu. Duh, kupingku makin penging saja.“Aku sudah dengar kok, Bu. Ya, sudah ya, sana Ibu pergi bawa sekalian laki-laki tak berguna ini!” kataku kesal seraya kutunjuk wajah mereka berdua.“Apa kamu bilang, Dik? Tega ya, kamu ngomong begitu padahal aku ini masih sah suami kamu,” jawab Mas Eko dengan raut wajah memelas.“Enggak usah menyek-menyek gitu, Ko. Perempuan seperti dia masih banyak di luaran sana. Kamu ganteng dan kaya punya istri 4 yang jauh lebih cantik dan muda dari si Lisa,” sahut ibu.“Kaya? Dilihat dari manany, Bu? Kaya nebeng iya, juga! Ingat ya, ini semua aku ya
“Kenapa kamu melengos gitu, Dik? Kamu tidak percaya denganku?” tanya Mas Eko. Ah, dia tahu kalau aku ini tak mempercayai ucapannya hanya dengan gerakan wajahku saja. “Sudah tahu jawabannya kan, Mas? Sudah sana kalian pergi. Aku mau tidur besok aku harus kerja!” Usirku untuk yang ke sekian kalinya lagi. “Tidak bisa! Eko harus tidur di sini!” tolak ibu. “Iya, benar. Aku harus tidur di sini, Dik. Tidak apa kamu tidak melayaniku yang penting aku di sini bersama kamu,” sahut Mas Eko. “Jangan ngimpi, Mas! Sudah sana pergi atau kutendang lagi burung puyuhmu itu!” “Dasar perempuan enggak waras!” maki ibu dan memapah Mas Eko ke luar kamar ini. “Ayo, Ko! Besok kamu bisa tidur di sini! Jangan sampai pusaka kamu itu kena tendang untuk yang ke dua kali bisa loyo kamu,” ucap ibu. Aku ingin tertawa, tapi aku tahan. “Jangan harap! Sampai kapan pun kamar ini sudah aku haramkan untuk ditiduri Mas Eko!” bentakku seraya kudorong mereka berdua hingga hampir terjatuh. Brak! Kubanting pintu sampai F
“Sudah diam. Lapar itu makan bukan adu mulut begini,” sela ibu.“Mbok, masakin mie!” titah Mas Eko. Mbok menatapku lalu aku gelengkan kepala.“Ma—sak sendiri saja, Pak,” jawab Mbok.“Aku ini tuanmu. Aku harus kamu layani, Mbok!” bentak Mas Eko.“Mbok, masuk kamar Fia bawa dia. Mbok sudah selesai kan, makannya?” Mbok mengangguk dan permisi masuk ke dalam.“Dasar pembantu sok!” maki Mas Eko.“Diam, Mas! Aku sedang menikmati sarapanku!”“Berani kami bentak aku, Dik?”“Memang yang kamu dengar barusan apa, Mas? Panggilan sayang? Kan, bentakan berarti aku berani,” jawabku.“Makin enggak waras ini otak!” sela ibu.“Aku sudah selesai dan aku harus berangkat kerja. Kamu tidak bisa izin dan tidak boleh telat Mas atau gajimu aku potong!” tegasku."Kamu tega Dik, membiarkan kami kelaparan?" Mas Eko membuntutiku ke ruang tamu.“Aku bahkan belum sarapan, tapi sudah kamu suruh berangkat kerja?” katanya lagi."Kamu juga tega Mas berkhianat padaku," jawabku lagi dan lagi. Itu adalah kata kunci yang sa
Ibu, Salsa, dan Rara sangat senang mereka tersenyum mengejek melihat aku yang dimarahi Mas Eko."Oh, gitu, ini aku kembalikan, dan silakan Mas pergi dari sini bawa juga tiga benalu ini!" teriakku lantang.Kubuka pintu lebar-lebar mempersilakan mereka pergi. Sampai kuhitung di detik ke sepuluh masih saja diam."Kalian punya kuping, kan!? Cepetan pergi!" Bukannya pergi Mas Eko justru mencekal tanganku dan menyeretku ke gudang. Mereka semua tertawa puas Fia menangis, dan tantrum, Mbok Wati sampai kuwalahan menenangkan Fia. Rupanya anak itu tahu kalau ibunya sedang tidak baik-baik saja.Kutendang lagi selakangan Mas Eko kuat sekali sampai dia mengaduh kesakitan memegangi senjatanya dan terkapar untuk yang ke dua kalinya."Kurang ajar kamu ya, Lisa! Kalau Eko kenapa-kenapa kamu bakalan Ibu tuntut!" teriak ibu. Beliau berlari menghampiri Mas Eko yang meringkuk.Bugh! Bugh!Karena belum puas aku kembali menendang bagian perut Mas Eko. Dia menjerit kesakitan, bengkak deh, sana itu burung puyu
Bantu follow akunku ya Dears, subs semua cerbungku, like, coment, and share. Terima kasih ☺️🙏*Berharap pada manusia adalah seni terindah untuk menyakiti diri sendiri, itulah yang aku rasakan sekarang. Harapanku terlalu tinggi pada manusia yang bergelar suami, hingga Allah mengujiku begini.🌸🌸🌸“Set*n punya istri enggak yang muda enggak juga tua sama saja tidak ada yang berguna. Aku jadi tersiksa begini. Sakit semua badanku!” omel ibu mertuaku. Beliau tergopoh-gopoh jalan menuju kamarnya lewat pintu belakang. Aku kecolongan pintu belakang lupa aku kunci.“Kok, Ibu ngumpat aku begitu sih, Bu. Aku ini kurang apa jadi menantu Ibu! Awas saja kalau masih saja memakiku bakalan kubuat perhitungan!” jawab Rara. Dia pun jalan menuju kamar ibu seraya memapah Mas Eko dibantu Salsa.“Berisik kamu itu! Tanpa Eko, kamu bisa apa? Enggak becus jadi mantu!” kata ibu lagi. Kaki ini dia menunjuk wajah Rara.“Sudah diam, kalian kenapa malah bertengkar? Lihatlah aku di sini yang paling menderita. Tida