SYAILENDRA.
"Nungguin Ghea, Ndra?" Sebuah suara membuat pandanganku teralihkan, aku menoleh, lalu memutar bola mata saat mengetahui siapa yang menyapaku tadi.
"Iya nih, lo liat Ghea, Lham?"
"Kalian gak berangkat bareng memang?" Lhambang berjalan mendekat, lalu ikut bersandar pada badan mobilku.
"Kebetulan lagi gak bareng, sih." Males banget aku kalau bilang kami udah putus ke dia, hiiiy nggak kebayang aku gimana reaksinya. Karena ekspresi wajah Lhambang tuh susah banget buat ditebak kayak kakakku—Bumi, jadi aku rada-rada nggak bisa menilai, gimana sebenarnya Lhambang melihat Ghea. Apa dia benar-benar tidak tertarik, atau hanya sekedar pura-pura tidak tertarik saja padanya.
"Lo udah hubungi? Atau emang lo lagi berencana mau ngasih dia kejutan?"
"Gue gak sekurang kerjaan lo juga kali, ngasih kejutan tiap hari ke pacar." Sarkasku. Dan alis Lhambang langsung bertaut, mungkin dia heran dengan kata-kataku yang tidak selow dengannya hari ini. Wajar lah, dia kan, salah satu penyebab Ghea memilih pisah dariku.
"Kenapa lo?" Tanyanya setelah terkekeh. "Lagi mens? Sensi bener kayaknya." Dia membenarkan letak tas kantornya sebentar, kemudian tersenyum dan melambai pada seorang wanita yang berjalan melewati kami. Itu Tissa, dia nampak terburu-buru sehingga hanya mampu menyapa kami lewat senyuman saja.
"Iya, lagi puyeng pala gue. Sono buru masuk, daripada kena semprot gue terus lo!" Aku mendorong tubuhnya agar menjauh dariku, males banget aku lama-lama berdekatan dengan cowok sok keren macem dia.
"Yaelah... santai aja kali, kenapa sih lo?" Aku mendengus, dan memutar bola mata malas. Kepo amat sih nih cowok!
"Gak apa-apa, udah sana masuk! Hus... sana pergi." Usirku, dia terkekeh tapi tak lama dia pergi juga setelah menepuk pundakku.
Baguslah, pergi juga itu monyet satu.
Aku mengamati kepergiannya dengan hembusan napas lelah. Cowok itu, cowok yang paca—ah mantan pacarku lebih tepatnya, sukai. Cowok itu, cowok yang digilai mati-matian sama mantan pacarku. Yang selalu dia banding-bandingan dengan aku dan yang selalu dia tatap dengan tatapan memuja oleh mantan pacarku.
Yah, perkara jodoh memang tidak bisa kita atur, pada akhirnya benar memang kita akan mengerti dengan sendirinya. Bahwa, jodoh bukan tentang yang terbaik, tetapi yang menerima kita dengan baik.
"Ndra? Ngapain?" Terlalu menghayati kepergian Lhambang, aku sampai tidak fokus dengan kedatangan Ghea yang tau-tau sudah berada dihadapanku.
"Aku? Nungguin kamu."
"Ngapain nungguin aku? Kan aku gak minta kamu tungguin?" Pengen banget aku pukul itu mulutnya Ghea dengan bibirku. Jujur banget dia, heran. Yah meskipun gak nungguin basa-basi dikit sama mantan yang baru beberapa jam putus gak apa-apa, 'kan?
"Nih, sarapan."
"Wuidihhh, kamu bawain aku bekal?" Dia, menerima paper bag yang aku sodorkan padanya, melongok sebentar untuk melihat isinya, aku sempat menangkap senyum kecil yang tercetak jelas pada wajahnya.
"Iya, itu aku masak sendiri, lhoo."
"Kamu? Masak? Serius? Udah gak takut sama kompor kamu sekarang?" Cieee dia masih hafal dong kalau aku takut sama kompor. Senangnya... eh, tapi jangan terlalu senang juga lah. Bahaya, Ghea senang PHP soalnya. Satu menit buat senang dan satu menit kemudian buat sedih. Kayak kemarin aja contohnya, gak ada angin gak ada hujan, tau-tau minta putus.
"Semenjak kamu putusin aku, aku jadi gak takut sama apapun termasuk kompor." Kataku, berceloteh tidak jelas.
"Apa hubungannya?" Dia bertanya.
"Karena kalimat yang bikin nyawa aku hampir ilang aja bisa aku lewatin dan aku tahan sakitnya, masa kena api dari kompor aja aku gak bisa tahan sakitnya." Dia memandangku heran, tapi tak lama setelah dia berpikir agak lama dia terkekeh juga. Entah itu terkekeh mengerti, entah juga terkekeh karena tidak mengerti dengan kata-kataku.
"Kalimat apa emangnya yang bikin nyawa kamu hampir hilang?"
"Aku mau putus, Ndra. Kalimat itu, kalimat dari kamu kemarin, buat aku." Katanya hal yang cepat berubah didunia ini adalah hati manusia, tapi kenapa rasa dihatiku untuk perempuan dihadapanku tidak cepat berubah? Aku masih sayang dia, masih menyukai dia, masih sangat sangat sangat ingin menjadikannya istriku. Tuhan, kapan kau ubah rasaku untuknya? Kalau bisa jangan lama-lama Tuhan. Aku takut tidak bisa merelakannya.
Ghea tidak menjawab, dia menunduk seraya tersenyum canggung.
Ghea itu jarang tersenyum canggung seperti ini, sekalipun itu kepada Lhambang—orang yang dia sukai, dia jarang tersenyum seperti itu. Jenis-jenis senyum canggung inilah yang membuat aku ingin selalu mempertahkannya. Ghea itu istimewa, manusia favoritku yang selalu membuat aku merasa bersyukur sekali bisa memilikinya.
"Kamu udah sarapan?" Ghea mengangkat wajah, menatapku.
"Udah kok." Aku tersenyum lebar, dia memalingkan wajah tapi tak lama memandangku lagi.
"Aku masuk duluan kalau gitu, makasih buat makanannya ya, Ndra." Dia sudah bersiap untuk pergi, namun aku menahan pergelangan tangannya, membuat dia berbalik badan menatapku lagi dan berkata apa padaku.
"Pulangnya mau aku jemput? Kamu, gak bawa mobil kan?" Setelahnya, adalah penolakan yang aku terima darinya. Gelengan kepalanya saat menolak tawaranku, serta senyum manisnya saat pamit meninggalkan aku adalah patah hati pertamaku pagi hari ini. Tuhan, putus cinta itu nggak enak ya ternyata rasanya?
Ck.
.
...Ghea“Makanan nggak akan habis kalau cuma dilihatin, Ghe.” Tissa duduk disampingku, menaruh makananya dan menoleh padaku dengan cengiran jenakanya.“Lo sendirian?”“Keliatannya?” Tissa menyahutiku acuh tak acuh sambil mulai memakan makanan siangnya, bento rupanya. Kelihatannya sih enak.“Tumben Lhambang nggak ngikut?” Kalimatku kali ini membuat Tissa menoleh padaku sebentar, namun itu tak berselang lama. Karena setelah aku melihat pandangan heran dari matanya, cepat-cepat ia memalingkan wajah lagi.“Kan gue udah bilang, dia lagi sibuk-sibuknya.”“Oohh ... Masih sibuk.” Tissa tidak menjawab kata-kataku, mungkin dia sedang terheran-heran d
GheaMau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah satu ... Engkau disana ... Aku disini, meski hatiku memilihmu. Sejak duduk dibangku kafe ini, entah sudah berapa kali aku mendengar band kafe ini menyanyikan lagu milik Raisa tersebut. Di hadapanku, ada Syailendra. Dia memaksaku untuk ikut pulang dengannya, katanya dia akan mengantarkan aku pulang dengan selamat sampai di rumah hitung-hitung sekalian nostalgia. Itu sih katanya, tapi kalau sudah begini ceritanya ini bukan lagi nostalgia. Tapi dia sedang terus berusaha untuk mengajakku kembali padanya, memangnya aku tidak tahu apa jika dia mengeluarkan uang lebih untuk para personil ban
Syailendra“Apa yang harus aku syukuri karena punya kamu, Ndra?” Anjrit. Apa yang harus dia syukuri karena punya aku katanya? Yah, maksudku. Meskipun aku ini tidak ada harga dirinya sama sekali di mata Ghea tapi apa sih salahnya ketika dia punya aku sebagai pasangannya dia mensyukuri itu? Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga itu memang jauh lebih indah, tapi mensyukuri apa yang kita punya itu bukannya jauh lebih indah? Buat apa iri dengan kepunyaan orang lain kalau yang kita punya saja itu jauh lebih indah dari milik orang lain, seharusnya Ghea berpikiran seperti itu entah kemarin atau saat ini.“Wah, aku nggak nyangka banget kamu bisa jawab begitu sadis, Ghe.” aku hanya tertawa bodoh, ketika mengatakan kalimat barusan.“Yah makanya, udah lupain aja aku. Kamu move on, cari yang
TissaSetiap orang di dunia ini pasti mempunyai kriteria masing-masing untuk memilih pasangannya, ada yang suka cowok ganteng, ada juga yang suka cowok biasa aja. Ada yang menyukai cewek cantik, dan ada juga cowok yang nenyukai cewek yang biasa-biasa saja. Semua orang punya tipenya masing-masing, dan setiap orang akan punya waktunya tersendiri dimana dia akan terlihat sangat tampan atau cantik. Dan bagiku, nilai plus seorang cowok adalah ketika mereka menunjukan raut wajah khawatirnya ketika pasangannya terluka. Atau kadang kala, ketika mereka sedang fokus melakukan hobinya. Bukan hobi bermain cewek ya ini melainkan hobinya yang berbau-bau olahraga atau semacam hal-hal yang mereka sukai.“Tiss, nanti kamu tolong mampir ke toko kue dulu ya pulangnya? Bawain kue buat Ibuku, lagi pengen makan kue katanya dia.” Aku memutar bola mataku jengah, mendengar kalimat dengan nada lembut yang berupa
Ghea"Lah, lo di sini, Ghe? Itu si Lendra nyariin lo juga." Aku hanya tersenyum bodoh saja waktu Lhambang datang menghampiriku yang sedang berdiri di loby dalam kantor dengan tampang bingung.Seneng sih aku bisa melihat wajahnya pagi-pagi gini, apalagi yang barusan aku lihat itu wajahnya Lhambang yang imut abis. Saat dia menghampiriku dengan ekspresi wajah seperti itu rasanya aku ingin sekali berlari menghampirinya lalu menciumi kedua pipinya gemas, tapi aku sadar diri jika itu dosa. Itu hanya pemikiran liarku saja yang mungkin nanti akan berubah menjadi kenyataan, yah 'kan, apa salahnya kita berdoa dulu. Siapa tahu Tuhan mengabulkan doa kita dengan cepat bisa jadi kita juga 'kan yang akan bahagia nantinya? Lagi pula, siapa sih orang yang tidak akan bahagia jika keinginannya yang sudah lama ia pendam terkabul?Semua orang di dunia ini
Tissa"Yaaahhh, ketemu lo lagi ketemu lo lagi gue." Aku yang sedang mengetikan pesan untuk Lhambang mendadak menjadi tersenyum lebar dan mengunci layar ponselku dengan segera, bodo amat deh dengan Lhambang. Manusia dihadapanku ini lebih menarik soalnya."Hahaha .... iya nih, bosen nggak lo ketemu gue terus?" Dia menjawab sembari memasukan kedua tangan pada saku celannya, senyumnya lebar dan ganteng abis.Kadang kalau lagi punya pikiran begini aku suka istighfar dalam hati, yaiyalah aku istighfar orang yang lagi aku puji-puji dan kagumi ini adalah pacar orang lain. 'Kan, kalau begini kedengarannya aku seperti cewek gatel yang nggak punya kerjaan lain selain gangguin cowok orang. Tapi mau bagaimana lagi, katanya 'kan, selama janur kuning belum melengkung ya hajar saja terus. Lagi pula Ghea ini juga nggak ada otak sih, udah dapat cowok yang sempurna macem Syaile
SYAILENDRATahu ah, gondok aku sama Tissa. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu, ya itu memang haknya sih. Dia mau berbicara seperti apa juga itu haknya, hanya saja seharusnya dia bisa sedikit saja lebih prihatin gitu kepadaku. Saat ini 'kan aku sedang dalam kondisi patah hati, meskipun aku nggak tahu pasti dia tahu atau tidak kondisiku saat ini tapi setidaknya mbok ya dia jangan tarlalu kejam gitulah bicaranya kepadaku. Aku saja tadi saat dia berbicara seperti itu langsung diam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena jujur aku merasa tertampar saat Tissa mengatakan kalimat panjang kali lebar itu kepadaku tadi.Jadi yang tadi aku lakukan padanya hanyalah diam, balik badan dan pergi begitu saja dengan tampang bodoh bin tolol yang pernah aku punya. Padahal aku tahu, Ghea ada di dalam. Sedang memandangi kami dari balik pintu loby, aku tahu tapi aku pura-pura tidak
GheaAku baru saja tiba di kantor setelah bergulat dengan kantukku pagi-pagi buta begini. Bagaimana tidak, sudah beberapa hari ini aku berangkat dari rumah subuh buta karena menghindari Syailendra Akbar Gibran, mantan pacarku yang belum bisa move on dariku. Merepotkan? Tentu saja iya, perkara aku yang tidak mau pergi dan pulang dengannya aku jadi harus mengorbankan diriku sendiri beberapa hari ini. Bangun subuh, berangkat pagi-pagi buta dan sampai di kantor dengan keadaan kantor masih sepi begini. Aku heran dengan Syailendra, kenapa ya dia susah sekali move on padahal aku sudah jungkir balik membuat dia benci kepadaku, harus aku apakan ya dia?Aku tidak mau mempunyai hubungan buruk dengannya, biar bagaimana pun juga sebenarnya Syailendra itu orang baik. Dia memperlakukan aku dengan baik dan dia juga dari keluarga baik-baik, jadi aku sama sekali tidak ingin mempunyai hubungan