Share

05 | Senyum Milik Mantan

SYAILENDRA.

"Nungguin Ghea, Ndra?" Sebuah suara membuat pandanganku teralihkan, aku menoleh, lalu memutar bola mata saat mengetahui siapa yang menyapaku tadi.

"Iya nih, lo liat Ghea, Lham?"

"Kalian gak berangkat bareng memang?" Lhambang berjalan mendekat, lalu ikut bersandar pada badan mobilku.

"Kebetulan lagi gak bareng, sih." Males banget aku kalau bilang kami udah putus ke dia, hiiiy nggak kebayang aku gimana reaksinya. Karena ekspresi wajah Lhambang tuh susah banget buat ditebak kayak kakakku—Bumi, jadi aku rada-rada nggak bisa menilai, gimana sebenarnya Lhambang melihat Ghea. Apa dia benar-benar tidak tertarik, atau hanya sekedar pura-pura tidak tertarik saja padanya.

"Lo udah hubungi? Atau emang lo lagi berencana mau ngasih dia kejutan?"

"Gue gak sekurang kerjaan lo juga kali, ngasih kejutan tiap hari ke pacar." Sarkasku. Dan alis Lhambang langsung bertaut, mungkin dia heran dengan kata-kataku yang tidak selow dengannya hari ini. Wajar lah, dia kan, salah satu penyebab Ghea memilih pisah dariku.

"Kenapa lo?" Tanyanya setelah terkekeh. "Lagi mens? Sensi bener kayaknya." Dia membenarkan letak tas kantornya sebentar, kemudian tersenyum dan melambai pada seorang wanita yang berjalan melewati kami. Itu Tissa, dia nampak terburu-buru sehingga hanya mampu menyapa kami lewat senyuman saja.

"Iya, lagi puyeng pala gue. Sono buru masuk, daripada kena semprot gue terus lo!" Aku mendorong tubuhnya agar menjauh dariku, males banget aku lama-lama berdekatan dengan cowok sok keren macem dia.

"Yaelah... santai aja kali, kenapa sih lo?" Aku mendengus, dan memutar bola mata malas. Kepo amat sih nih cowok!

"Gak apa-apa, udah sana masuk! Hus... sana pergi." Usirku, dia terkekeh tapi tak lama dia pergi juga setelah menepuk pundakku.

Baguslah, pergi juga itu monyet satu.

Aku mengamati kepergiannya dengan hembusan napas lelah. Cowok itu, cowok yang paca—ah mantan pacarku lebih tepatnya, sukai. Cowok itu, cowok yang digilai mati-matian sama mantan pacarku. Yang selalu dia banding-bandingan dengan aku dan yang selalu dia tatap dengan tatapan memuja oleh mantan pacarku.

Yah, perkara jodoh memang tidak bisa kita atur, pada akhirnya benar memang kita akan mengerti dengan sendirinya. Bahwa, jodoh bukan tentang yang terbaik, tetapi yang menerima kita dengan baik.

"Ndra? Ngapain?" Terlalu menghayati kepergian Lhambang, aku sampai tidak fokus dengan kedatangan Ghea yang tau-tau sudah berada dihadapanku.

"Aku? Nungguin kamu."

"Ngapain nungguin aku? Kan aku gak minta kamu tungguin?" Pengen banget aku pukul itu mulutnya Ghea dengan bibirku. Jujur banget dia, heran. Yah meskipun gak nungguin basa-basi dikit sama mantan yang baru beberapa jam putus gak apa-apa, 'kan?

"Nih, sarapan."

"Wuidihhh, kamu bawain aku bekal?" Dia, menerima paper bag yang aku sodorkan padanya, melongok sebentar untuk melihat isinya, aku sempat menangkap senyum kecil yang tercetak jelas pada wajahnya.

"Iya, itu aku masak sendiri, lhoo."

"Kamu? Masak? Serius? Udah gak takut sama kompor kamu sekarang?" Cieee dia masih hafal dong kalau aku takut sama kompor. Senangnya... eh, tapi jangan terlalu senang juga lah. Bahaya, Ghea senang PHP soalnya. Satu menit buat senang dan satu menit kemudian buat sedih. Kayak kemarin aja contohnya, gak ada angin gak ada hujan, tau-tau minta putus.

"Semenjak kamu putusin aku, aku jadi gak takut sama apapun termasuk kompor." Kataku, berceloteh tidak jelas.

"Apa hubungannya?" Dia bertanya.

"Karena kalimat yang bikin nyawa aku hampir ilang aja bisa aku lewatin dan aku tahan sakitnya, masa kena api dari kompor aja aku gak bisa tahan sakitnya." Dia memandangku heran, tapi tak lama setelah dia berpikir agak lama dia terkekeh juga. Entah itu terkekeh mengerti, entah juga terkekeh karena tidak mengerti dengan kata-kataku.

"Kalimat apa emangnya yang bikin nyawa kamu hampir hilang?"

"Aku mau putus, Ndra. Kalimat itu, kalimat dari kamu kemarin, buat aku." Katanya hal yang cepat berubah didunia ini adalah hati manusia, tapi kenapa rasa dihatiku untuk perempuan dihadapanku tidak cepat berubah? Aku masih sayang dia, masih menyukai dia, masih sangat sangat sangat ingin menjadikannya istriku. Tuhan, kapan kau ubah rasaku untuknya? Kalau bisa jangan lama-lama Tuhan. Aku takut tidak bisa merelakannya.

Ghea tidak menjawab, dia menunduk seraya tersenyum canggung.

Ghea itu jarang tersenyum canggung seperti ini, sekalipun itu kepada Lhambang—orang yang dia sukai, dia jarang tersenyum seperti itu. Jenis-jenis senyum canggung inilah yang membuat aku ingin selalu mempertahkannya. Ghea itu istimewa, manusia favoritku yang selalu membuat aku merasa bersyukur sekali bisa memilikinya.

"Kamu udah sarapan?" Ghea mengangkat wajah, menatapku.

"Udah kok." Aku tersenyum lebar, dia memalingkan wajah tapi tak lama memandangku lagi.

"Aku masuk duluan kalau gitu, makasih buat makanannya ya, Ndra." Dia sudah bersiap untuk pergi, namun aku menahan pergelangan tangannya, membuat dia berbalik badan menatapku lagi dan berkata apa padaku.

"Pulangnya mau aku jemput? Kamu, gak bawa mobil kan?" Setelahnya, adalah penolakan yang aku terima darinya. Gelengan kepalanya saat menolak tawaranku, serta senyum manisnya saat pamit meninggalkan aku adalah patah hati pertamaku pagi hari ini. Tuhan, putus cinta itu nggak enak ya ternyata rasanya?

Ck.

.

.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status