Share

04 | Stop Panggil Aku Beautiful

Aninda Ghea

Aku kesal dengan Syailendra. Hobi membuatku malunya makin jadi saja.

Aku tidak masalah jika dia memanggil panggilan sayang beautiful hanya saat bersamaku atau saat kami sedang bersama dengan Lambang juga Tissa.

Tapi lama kelamaan aku jengah juga dengan sapaannya itu. Bikin malu ternyata.

Semenjak menjemputku di lobi kantor, sampai berjalan masuk ke dalam apartemen Syailendra untuk berganti baju sebelum akhirnya berangkat ke rumahnya, dia tidak henti-hentinya memanggilku beautiful dengan suara yang kencang. Hal hasil setiap orang yang mendengar itu langsung menoleh dan memandangi aku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menyebalkan bukan?

Karena itu aku dengan sangat kerendahan hati yang besar meminta Syailendra berhenti memanggilku dengan sebutan itu, malu kubilang. Tapi dia menolak, dengan alasan apapun dia menolak berhenti memanggilku beautiful. Hal itulah yang membuat moodku buruk dan berdampak tidak bersemangatnya aku mengikuti acara makan malam keluarga ini.

Masih sayang adalah alasan yang akan ditoleransi oleh pasangan ketika berbuat salah. Tapi disini, aku tidak sepenuhnya menyayangi Syailendra jadi aku tidak akan mentoleransi kesalahannya yang itu.

“Kamu masih marah?” di sebelahku Syailendra bertanya, makan malamnya sudah selesai dan sekarang kami hanya sedang ngobrol-ngobrol biasa saja. Aku memilih memisahkan diri dengan alasan pekerjaan padahal sedari tadi aku hanya sibuk lihat-lihat i*******m.

“Menurut kamu sih gimana?” aku menjawab tanpa melepaskan pandangan dari ponselku, sengaja ... malas memang melihat wajah Syailendra.

“Marah,” katanya. Berangsur duduk lebih dekat denganku. “Maaf...” dia melanjutkan kalimatnya, memandangku.

“Berhenti panggil aku beautiful kalau gitu.” Lewat ekor mataku, aku melihat dia menggeleng. Sekeras kepala itu memang Syailendra. Kalau katanya tidak, dia akan selamanya berkata tidak. Sedikit aku mulai mengenali dirinya, dia itu tipe orang yang tidak mudah goyah prinsipnya.

Malam ini juga hadir Kakak pertamanya Syailendra, juga kedua adiknya. Adik Syailendra yang paling bungsu baru saja datang dari Yogyakarta. Dia baru lulus dan akan melanjutkan kuliah di sini, Jakarta.

Syailendra memang yang paling beda dengan semua saudara-saudaranya. Kakaknya—Bumi, tidak banyak bicara dan yah apa adanya. Tipe-tipe orang yang jalan hidupnya lurus-lurus saja. Sementara Syailendra dia banyak bicara, terlalu aktif dan bahkan terkesan alay. Menurutku.

Kesan pertama bertemu Syailendra pasti penilaian orang terhadapnya adalah dia lelaki yang sempurna. Dia tampan, murah senyum, baik dan lain sebagainya tapi siapa yang sangka jika dibalik itu semua Syailendra mempunyai sifat manja. Manja yang benar-benar manja sekali.

Bagaimana bisa aku mencintainya, sedangkan dia saja tidak punya hal-hal istimewa yang membuat aku mencintainya.

Tapi ngomong-ngomong, aku jadi kepikiran ucapan Tissa tadi sore. Sebenarnya, Ge. Dia itu cemburu tapi dia diam. Sebenarnya juga Ge, gue tau, tapi gue juga sama kayak Syailendra. Diam.

Kalau tidak salah begitu tadi dia bilang. Perasaan tidak enak mungkin muncul saat aku bersama Tissa tadi, jadi, dia tau? Dia tau kalau aku naksir pacarnya? Dia tau? Kalau aku sering membandingkan-bandingkan Syailendra dengan Lambang? Apa Syailendra diam-diam curhat dengan Tissa?

“Kamu ... Punya kontaknya Tissa, 'kan?” tanyaku. Masih setia memandang layar ponselku.

“Kontak Tissa? Punya, kenapa?” Syailendra menjawab setelah dia bersin. Saat kulit tangannya menempel pada kulit tanganku tadi, aku sempat merasakan jika suhu tubuhnya memang sedikit panas. Apa dia sakit?

“Kamu sering kontekan sama dia?” aku berhenti memainkan ponsel dan menaruhnya di atas meja, saat aku menoleh Syailendra tersenyum.

“Enggak tuh, kenapa sih emang?” dia menaikan sebelah alisnya, memandangku dengan pandangan yang heran.

“Yaaa gak apa-apa, cuma nanya aja.”

“Enggak biasanya kamu nanyain soal Tissa, biasanya juga yang kamu bahas si Lambang.” Mendengar jawabannya itu, aku langsung memutar bola mata malas. Dia nyindir?

“Itu baru mau aku bahas sekarang,” kataku, sedangkan Syailendra kini sudah tertawa.

“Gak bisa apa kita bahas kita aja? Gak usah mereka?” aku menghembuskan napas keras-keras, apa yang mau dia bahas soal kami?

“Apa yang perlu kita bahas emangnya?” aku menoleh lagi, memandangnya.

Dia terkekeh, aku mengamati nada kekehannya itu dan ya, mungkin Tissa benar. Aku terlalu kelewatan dengan Syailendra. Hubungan ini tidak sehat, apakah harus aku akhiri saja?

“Banyak, Ge. Banyak yang perlu kita bahas. Sadar gak sih kamu kalau selama kita berhubungan nama Lambang gak pernah absen kamu bahas setiap hari?” aku diam mendengarkan, memikirkan kata-kata Syailendra barusan kenapa membuatku terusik? Biasanya aku baik-baik saja saat dia mengeluhkan apapun tentang Lambang, tapi kenapa sekarang...

“Syailendra, kamu 'kan tau kalau aku naksir Lambang, sampai sekarang pun aku masih naksir Lambang.” Kataku ringan, seolah-olah kata-kataku itu tidak akan pernah menyakiti siapapun.

“Ghea, sampai sekarang juga aku masih naksir kamu. Sampai sekarang juga, kamu masih jadi manusia favorit aku. Gak bisa kamu syukuri itu aja? Gak bisa kamu terima aku aja apa adanya?” mendengar kalimatnya, aku sontak menatapnya lagi, kali ini dia berbicara dengan nada suara yang serius membuat aku semakin merasa bersalah.

“Kalau kita putus, gimana, Ndra?” aku berkata ringan kembali, dan melihat kali ini dia tersenyum.

Setelah itu, tidak ada lagi ekspresi apapun yang aku lihat dari wajahnya selain senyumnya tadi. Dia masih tersenyum sambil sesekali mengusap lehernya, tapi ini bukan seperti Syailendra yang aku kenali. Biasanya dia akan langsung membantah jika tidak suka, bukannya malah diam dengan waktu yang cukup lama.

Dipaksain seperti apapun, kalau dasarnya memang tidak suka ya akan tetap berakhir tidak suka. Diterima seperti apapun, kalau niatnya memang menolak ya pasti akan tertolak terus.

Begitulah gambaran hatiku untuk seorang Syailendra Akbar Gibran. Waktu aku mau membuka hati menerimanya aku ragu, apa dia memang sesetia ini orangnya? Apa memang dia menyayangi aku setulus ini? Apa benar selama ini dia memang mencintaiku? Syailendra dengan perangainya yang terkenal fakboi abis membuat aku lagi-lagi merutuki diriku yang sampai bisa berurusan dengannya sampai sejauh ini.

“Jujur yah, Ge. Aku tuh udah lama nunggu kamu ngucapin kata itu ke aku.” Mendengar kata-kata itu, kepalaku terasa kaku. Tidak bisa bergerak kemanapun selain memandang wajahnya.

“Ngapain nungguin?” senyumnya tertarik sangat lebar. Aku, baru pertama kali melihat dia tersenyum seperti ini.

“Yaa gak ngapa-ngapain, cuma mau tau aja sejauh mana kamu sanggup pura-pura.” Dia menghela napas berat.

Dia sadar ternyata, jika selama ini aku masih berpura-pura. “Maaf...”

“Kamu bener gak sayang sama sekali sama aku? Meskipun aku udah jungkir-balik bikin kamu senyum, gak ada gitu sedikit aja rasa kamu buat aku?” aku tersenyum, kejujuran apa lagi yang ingin dia dengar?

“Cara aku natap kamu dan Lambang aja beda, Ndra. Kamu harusnya ngerti jawaban itu.” Dia meraih satu tanganku, untuk dia genggaman.

“Harus banget putus, Ge? Kalau pun kita putus, belum tentu kamu bisa dapetin Lambang, 'kan? Aku cuma kurang usaha aja kali ya, Ge?” usaha dia sudah terlalu banyak, tapi memang dasar akunya saja yang tidak ingin dia.

“Usaha kamu udah banyak, Ndra. Tapi emang akunya aja yang gak bener-bener niat nerima kamu.” Dia makin erat menggenggam tanganku.

“Kasih aku waktu lagi, Ge. Sedikit lagi aja buat usahain sayang kamu ke aku, ya?”

“Percuma, Ndra ....” mendengar jawabanku, Syailendra menundukkan pandangannya, memandang genggaman tangan kami yang saling bertautan. Ekspresinya terlihat sedih, apa iya dia memang sesayang ini denganku? Dia ... Tidak sedang berakting, 'kan?

“Gak ada yang percuma, Ge. Aku yakin aku bisa.” lihat, 'kan? Dia masih sekeras kepala itu mempertahankan aku. Inilah Syailendra yang aku kenal.

“Buktinya, selama ini kamu gak bisa bikin aku sayang yang bener-bener sayang ke kamu 'kan, Ndra?” ujarku masih tidak mau kalah.

“Kamu tau gak salahnya di mana?” dia bertanya.

“Di kita lah, aku yang selalu nolak dan kamu yang gak mau ngerti. Kita salah, hubungan ini salah, makannya itu aku gak bisa ngerasain sayang yang bener-bener sayang ke kamu.” Setelah berkata seperti itu, hening menemani kami selama beberapa menit. Aku mendengar Syailendra beberapa kali menghembuskan napas keras-keras sepertinya dia sedang menahan emosi.

“Bukan di situ, Ge. Letak salahnya.” Mendengar suaranya aku menoleh lagi padanya, sedangkan dia, masih setia menatap lurus, menatap taman kecil yang berada di hadapan kami.

“Terus di mana letak salahnya menurut kamu?”

“Letak salahnya ada di saat kamu yang masih mau terus ada di sekitar Lambang dan aku yang gak bisa tegas ke kamu soal Lambang. Aku, terlalu baik ke kamu sampai-sampai lupa kalau sebenarnya aku pun ada hak buat ngatur kamu, karena aku pacar kamu.” Dia tersenyum sebentar, tapi tetap tidak menatapku.

“Nggak gitu, Ndra. Dari awal 'kan kita udah sepakat buat nggak ngatur satu sama lainnya. Aku juga bilang kalau aku gak suka kamu ngatur-ngatur aku dengan Lambang, aku gak suka jaga jarak dari Lambang dan kamu tau itu.” Bukan Syailendra yang terkejut mendengar kalimat itu, melainkan aku. Kok, kesannya aku egois sekali ya?

Dan, apa memang aku seegois ini?

Setelah memandangiku cukup lama, akhirnya Sayilendra berkata. “Ayok kita coba sekali lagi, tapi dengan kita yang gak usah melakukan interaksi apapun dengan Tissa juga Lambang. Ayok kita lihat, apa aku masih gak bisa buat kamu suka aku. Ya?”

Setelah sekian lama berhubungan, baru kali ini aku melihat Syailendra yang meminta dengan benar-benar meminta. Permintaannya terdengar tulus membuat aku sungkan menolak.

“Aku setuju tapi gak dengan jaga jarak dari mereka.” Kataku.

“Kenapa?”

“Bukannya bagus, kalau kamu bisa bikin aku sayang kamu sekaligus lupain Lambang?”

“Tapi aku perlu kamu janji satu hal,”

“Apa?”

“Di sini,” dia menyentuh mulutku dengan tangannya. “Jangan sering-sering ngucap nama Lambang waktu sama aku.” katanya. “Di sini,” lalu dia sentuh kepalaku. “Jangan pikirin Lambang dengan semua kebaikan dan kelebihannya tapi sering-seringlah mikirin aku dengan segala kurang dan keras kepalaku.” lanjutnya. “Terakhir di sini,” dia menunjuk hatiku. “Terima aku dengan ikhlas.” Akhirnya.

Mudah bukan? Iya, terdengar sangat mudah memang. Tapi begitu sulit untuk kuiyakan karena memang sesulit itu rasanya.

Dan ketika, satu kalimat lagi yang dia ucapkan terdengar di telingaku, rasanya duniaku memang harus dipaksa berpusat padanya.

“Dia yang bahkan gak tau kalau kamu suka dia dan sampai rela mengacuhkan banyak hati hanya demi menunggu dia lihat kamu, gak pantas untuk kamu ingat dan kamu bangga-banggakan.” Aku tidak langsung tersenyum, melainkan berpikir. Haruskah kuangguki semua keinginannya tadi?

“Aku ... Nggak bisa, Ndra. Enggak bisa.” Aku menggeleng lemah.

Tuhan, sudah malu rasanya aku menghadapi dia. Kali ini saja aku hanya ingin meminta dia mengerti.

Mungkin perpisahan ini akan menjadi salahku, aku mungkin tidak sadar apa yang sudah aku lakukan padanya. Aku terlalu fokus pada Lambang, sehingga lupa mungkin benar Syailendra jauh lebih baik dari Lambang. Karena Syailendra, tak pernah sedikitpun meninggalkan aku meskipun semua sikapku buruk padanya. Berkali-kali aku coba berpikir untuk menerima dan memulai tapi rasanya sulit...

“Kamu tetep mau putus?” setelahnya yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk. Mengiyakan pertanyaannya itu, karena memang sepertinya aku harus merasakan kehilangan dulu baru bisa mengerti.

“Iya, Ndra ... Aku, mau putus.” Kupikir dia akan marah, tapi responnya terlalu tidak bisa kuprediksi. Dia makin erat menggenggam tanganku, dia tertawa ... Lalu tak lama ada air mata yang keluar dari matanya. Tawa itu perlahan-lahan berubah, menjadi isak tangis.

Itulah tangisan pertama Syailendra yang kulihat. Tangisan yang dia tunjukkan karena takut kehilanganku, tangisan yang seolah-olah memohon agar aku tidak meninggalkannya.

Aku ingat dulu, ketika dia pertama kali mengenalkan aku pada Ibunya, wajahnya ceria, senyum tak henti-hentinya ia pancarkan dari wajahnya. Bahkan, hari itu kukira Syailendra adalah manusia yang tidak akan pernah bisa menangis karena putus cinta.

Bu, aku mau ngenalin perempuan. Ini namanya Ghea, Aninda Ghea lengkapnya. Cantik 'kan Bu? Oh iya, selain cantik Ghea juga anaknya ceria, cocok sama Syailendra. Ghea juga perhatian, lucu lagi mukanya kalau lagi marah. Tapi Bu, dia belum sayang sama Syailendra, baru suka aja kata. Doain Ghea yah Bu, biar sayang sama Syailendra. Ibu jangan khawatir, Ghea anaknya enak kok di ajak ngobrol, ibu kalau bosen bisa ajak Ghea ngobrol. Tenang Bu, Ghea tipe anak yang sayang banget sama orang tuanya, karena itu Syailendra pilih dia. Jangan kebanyakan muji Ghea juga tapi Bu, sebab dia kalau lagi malu-malu karena dapat pujian jadi tambah cantik.

Itu kata-kata yang Sayilendra katakan pada ibunya hari itu. Hari di mana ibunya menyambutku dengan senyum, Hari di mana ibunya berterima kasih karena mau menerima anaknya yang nakal itu. Hari di mana aku, akhirnya masuk lebih jauh ke dalam hidup Syailendra Akbar Gibran.

Seperti disambar petir, rasanya aku terkejut bukan main saat Syailendra tiba-tiba saja berlutut di hadapanku. Aku tidak ingin begini, aku hanya ingin berpisah secara baik-baik.

“Ghe... Jangan t—”

“Jangan gini, Ndra. Aku gak enak sama keluarga kamu. Ayok bangun.” Kusentuh kedua tangannya, membantunya untuk bangkit dan kembali pada posisinya semua.

Ketika dia sudah duduk kembali, wajahnya masih tertunduk. Tangisnya masih terjadi tanpa suara membuat aku spontan memeluknya untuk menenangkan. Syailendra, laki-laki ini, yang selalu siap menerima hal buruk dari diriku. Yang selalu bertanggungjawab atas apapun yang terjadi padaku, yang tidak meninggalkan aku dalam kondisi tersulitku, dan yang paling sering memberi kabar dan menanyakan kabarku juga keluargaku.

“Ini yang terbaik, Ndra. Percaya deh.” Kutepuk-tepuk punggungnya, dengan lembut.

Tidak ada kata apapun yang Syailendra katakan padaku sampai pelukan kami terlepas. Bahkan, dia tidak mau menatapku sampai dia mengantarkan aku pulang.

Perlahan, kusentuh punggung tangannya saat dia akan berbalik pergi setelah berpamitan kepada orang tuaku. Dia menoleh, tapi tak menaikan pandangannya. 

“Gantian nih, kamu yang marah?” kutanya begitu, tapi dia tersenyum, jenis senyuman andalannya yang sudah kuhafal.

“Enggak lah, ngapain. Pergi dulu ya, Ge. Besok kalau mau di jemput bilang aja. Meskipun udah jadi mantan, buat kamu aku always free, kok.” Di terkekeh di akhir kalimatnya, dan benar-benar pergi meninggalkan aku begitu saja di depan rumah.

Biasanya saat pergi, mobil itu akan membunyikan klakson atau menurunkan kaca samping lalu tangan Syailendra dengan heboh bergerak ke kiri dan kanan sambil mengucapkan kata dadah beautiful dengan kerasnya. Tapi ini tidak, mobil itu berlalu begitu saja, tanpa membunyikan klakson juga menurunkan kaca samping.

Tidak apa-apa, mungkin Syailendra masih perlu waktu untuk menerima situasi ini. Mungkin juga, setelah ini aku jadi mengerti apa sebenarnya arti Syailendra selama ini di hidupku.

Tapi satu hal yang aku benarkan tentang sebuah quotes yang aku baca tadi bahwa diam adalah cara pamit yang paling sakit.

Sedari tadi Syailendra hanya diam, semenjak kami resemi berputus secara baik-baik yang dia lakukan hanya diam. Aku masih mengijinkan Sayilendra ada di sekitarku, aku juga tidak akan memblokir kontak dan semua akses yang terhubung dengannya.

Karena putus baik-baik artinya berhenti secara baik-baik, tidak mendendam tidak juga pura-pura menerima.

“Yaudah kalau itu keputusan kamu, aku hargai. Tapi, jangan larang aku untuk terus berusaha ya, Ge?” katanya sebelum meninggalkan rumahnya tadi.

“Iya, Ndra. Tapi jangan maksa ya? Karena dipaksa dan memaksa itu gak enak.” Kuingat aku menjawab begitu pertanyaannya saat itu, dan dia hanya tersenyum.

Aku bukan tipe orang yang bisa bilang aku kangen kamu secara terus terang. Tapi saat sesekali mengingat dia—yang selalu mengucapkan kata itu padaku padahal kami baru saja bertemu. Rasanya, aku sedikit senang mengingat hal itu. Dan, terkadang mungkin hal-hal absurd seperti itu yang akan membuatku menyesali keputusanku yang memilih untuk melepaskan Sayilendra.

Tapi jika tidak begini, aku hanya akan terus menyakiti Syailendra sehingga dia mungkin kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan seseorang yang bisa menghargai keberadaan juga usahanya.

.

.

.

.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status