Ghea
“Makanan nggak akan habis kalau cuma dilihatin, Ghe.” Tissa duduk disampingku, menaruh makananya dan menoleh padaku dengan cengiran jenakanya.
“Lo sendirian?”
“Keliatannya?” Tissa menyahutiku acuh tak acuh sambil mulai memakan makanan siangnya, bento rupanya. Kelihatannya sih enak.
“Tumben Lhambang nggak ngikut?” Kalimatku kali ini membuat Tissa menoleh padaku sebentar, namun itu tak berselang lama. Karena setelah aku melihat pandangan heran dari matanya, cepat-cepat ia memalingkan wajah lagi.
“Kan gue udah bilang, dia lagi sibuk-sibuknya.”
“Oohh ... Masih sibuk.” Tissa tidak menjawab kata-kataku, mungkin dia sedang terheran-heran dengan aku yang terus menanyakan Lhambang padanya.
“Kenapa? Kangen lo sama laki gue?” aku hampir saja mengangguk ketika mendengar kalimat itu, namun beruntungnya aku berhasil menahan diri sehingga yang aku lakukan hanyalah tersenyum saja.
“Gue putus sama Syailendra, Tiss.” Senggaja aku mengalihkan topik, jika terus membahas Lhambang, bisa-bisa pertemanan aku dan Ghea terancam bubar.
“Kenapa?” Tissa tak terlihat kaget, ia bahkan tak repot-repot menghentikan aktifitasnya dalam mengunyah makanan. Ia masih makan dengan lahap, wajahnya masih tetap menikmati makanan itu seolah-olah itu adalah makanan yang sudah lama sekali ingin dia makan.
Aku menarik napas panjang, lalu memulai cerita kandasnya kisah cintaku pada Tissa. Tidak ada yang aku tutup-tutupi semuanya kubuka, sampai akhirnya aku melihat senyum sinis di wajah Tissa untukku ketika aku mengatakan sudah tidak nyaman dengan Syailendra.
Dalam ceritaku, aku bercerita bahwa aku merasakan tidak yakin dengannya, tidak percaya jika dia akan seserius itu padaku. Bermodalkan alasan itu aku meminta putus darinya dan dia mengiyakan. Setiap detail ceritanya aku ceritakan pada Tissa dan dia hanya meresponku dengan anggukan kecil saja. Bento di hadapannya lebih menarik daripada ceritaku rupanya.
“Makan aja dulu, Ghe. Masa makanan gue udah abis lo belum?” Aku menggeleng, menutup kembali kotak makan yang Syailendra berikan padaku tadi pagi. Katanya makanan ini untuk sarapan, tapi aku terlalu malas memakannya tadi pagi sehingga niatku tadi makanan ini aku jadikan makan siang saja. Namun sama seperti tadi pagi, aku pun malas menyentuh makanan ini. Padahal, isinya cukup enak. Tidak tahu deh kalau rasanya bagaimana katanya 'kan, ini Syailendra yang memasak.
“Nggak nafsu gue, Tiss.” Kataku kemudian.
“Syailendra ya yang ngasih?”
“Apaan? Ini?” Aku menunjuk kotak makan yang Syailendra berikan tadi pagi dan Tissa mengangguk ringan sembari meminum minumannya.
“Iya, ini Lendra yang ngasih.”
“Bento yang gue makan barusan juga dari Lendra, Ghe.” Lendra? Serius? Kapan dia ngasih makanan itu ke Tissa? Kok bisa?
“Lendra?”
“Iya.” Hanya itu jawabannya, ia tidak menjelaskan bagaimana dia bisa menerima makanan itu dari Lendra, dan atas dasar apa Lendra memberinya makan siang. Harusnya Tissa jangan hanya menjawab 'iya' saja, harusnya ia menjelaskan secara detail bagaimana bisa dia menerima makan dari Syailendra.
“Lhambang, tau?” Aku melayangkan pertanyaan itu dengan sangat hati-hati. Barangkali memang takutnya Tissa tersinggung dengan pertanyaanku nantinya, namun aku lihat dia tertawa, artinya dia tidak tersinggung dengan pertanyaanku.
“Tau. Orang dia juga kebagian kok bentonya.” Aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Ada angin apa sih Syailendra Akbar Gibran bagi-bagi makanan?
“Kapan dia ngasihnya?” Akhirnya pertanyaan kepo itu meluncur dengan bebas begitu saja dari mulutku. Tissa terlalu lama menjelaskan karena itulah aku tanya poin intinya saja langsung padanya.
“Yaa menjelang istirahat siang aja, baru dia kirim. Lewat gojek kok, Ghe. Dia nggak nganterin langsung makananya kayak punya lo tadi pagi. ” Kok dia tahu kalau pagi tadi Syailendra datang ke kantor? Apa mereka berpapasan lalu mengobrol sebentar? Syailendra 'kan, mulutnya agak comel seperti perempuan. Bisa jadi, tadi pagi dia bercerita pada Tissa kalau kami putus makanya Tissa tidak terkejut saat aku mengatakan aku putus dengan Syailendra tadi.
Bisa saja 'kan? Aku bukannya mau bersuzon pada Syailendra. Tapi Lendra yang aku kenal memang seperti itu, mulutnya seperti perempuan tak tahan jika tidak bercerita kalau sedang mengalami hal yang tidak mengenakan. Seharusnya jika dia ingin bercerita, cerita saja pada Lhambang, jangan Tissa. Iya, Tissa memang sahabatku kalau dia berpikir bercerita pada Tissa akan membantunya kembali padaku karena Tissa akan membujukku kembali padanya itu salah besar. Aku tidak akan kembali padanya karena kelakukannya justru makin membuatku ilfil. Tidak bisakan dia bersikap layaknya laki-laki dewasa seperti Lhambang?
“Lo ketemu Lendra tadi pagi, Tiss?” Aku kembali bertanya setelah diam cukup lama menyelimuti kami. Situasi ini membuatku canggung, hal inilah yang paling aku benci jika mantan pacarku meminta tolong atau bercerita pada sahabatku. Aku, tidak tahu apa yang dia ceritakan pada Tissa karena itulah aku takut jika ceritaku tidak singkron dan Tissa malah lebih mempercayai Syailendra karena Tissa sendiri tahu kalau aku memang sudah lama ingin putus dari Syailendra.
“Ketemu, cuma gue buru-buru banget tadi pagi jadi gue say hello saja. Dia lagi ngobrol sama Lhambang pagi tadi.” Oiya? Masa? Kok aku baru tahu.
“Lhambang?” Dan Tissa kembali mengangguk ringan.
Jadi ... Syailendra tidak berbicara apapun pada Tissa tadi pagi?
“Mereka lagi ngobrolin apaan, Tiss?” Tanyaku lagi yang mulai makin penasaran dan merasa sedikit bersalah pada Syailendra.
“Kurang tau, Ghe. Coba aja lo tanya Lhambang nanti. Gue belum ada nanya-nanya sih ke dia.”
“Boleh?”
Tissa mengangguk. “Boleh. Tapi, Ghe. Umm ... Nggak deh, nggak jadi. Gue duluan deh, Ghe.” Tissa langsung berdiri dan melenggang pergi.
.
...GheaMau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah satu ... Engkau disana ... Aku disini, meski hatiku memilihmu. Sejak duduk dibangku kafe ini, entah sudah berapa kali aku mendengar band kafe ini menyanyikan lagu milik Raisa tersebut. Di hadapanku, ada Syailendra. Dia memaksaku untuk ikut pulang dengannya, katanya dia akan mengantarkan aku pulang dengan selamat sampai di rumah hitung-hitung sekalian nostalgia. Itu sih katanya, tapi kalau sudah begini ceritanya ini bukan lagi nostalgia. Tapi dia sedang terus berusaha untuk mengajakku kembali padanya, memangnya aku tidak tahu apa jika dia mengeluarkan uang lebih untuk para personil ban
Syailendra“Apa yang harus aku syukuri karena punya kamu, Ndra?” Anjrit. Apa yang harus dia syukuri karena punya aku katanya? Yah, maksudku. Meskipun aku ini tidak ada harga dirinya sama sekali di mata Ghea tapi apa sih salahnya ketika dia punya aku sebagai pasangannya dia mensyukuri itu? Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga itu memang jauh lebih indah, tapi mensyukuri apa yang kita punya itu bukannya jauh lebih indah? Buat apa iri dengan kepunyaan orang lain kalau yang kita punya saja itu jauh lebih indah dari milik orang lain, seharusnya Ghea berpikiran seperti itu entah kemarin atau saat ini.“Wah, aku nggak nyangka banget kamu bisa jawab begitu sadis, Ghe.” aku hanya tertawa bodoh, ketika mengatakan kalimat barusan.“Yah makanya, udah lupain aja aku. Kamu move on, cari yang
TissaSetiap orang di dunia ini pasti mempunyai kriteria masing-masing untuk memilih pasangannya, ada yang suka cowok ganteng, ada juga yang suka cowok biasa aja. Ada yang menyukai cewek cantik, dan ada juga cowok yang nenyukai cewek yang biasa-biasa saja. Semua orang punya tipenya masing-masing, dan setiap orang akan punya waktunya tersendiri dimana dia akan terlihat sangat tampan atau cantik. Dan bagiku, nilai plus seorang cowok adalah ketika mereka menunjukan raut wajah khawatirnya ketika pasangannya terluka. Atau kadang kala, ketika mereka sedang fokus melakukan hobinya. Bukan hobi bermain cewek ya ini melainkan hobinya yang berbau-bau olahraga atau semacam hal-hal yang mereka sukai.“Tiss, nanti kamu tolong mampir ke toko kue dulu ya pulangnya? Bawain kue buat Ibuku, lagi pengen makan kue katanya dia.” Aku memutar bola mataku jengah, mendengar kalimat dengan nada lembut yang berupa
Ghea"Lah, lo di sini, Ghe? Itu si Lendra nyariin lo juga." Aku hanya tersenyum bodoh saja waktu Lhambang datang menghampiriku yang sedang berdiri di loby dalam kantor dengan tampang bingung.Seneng sih aku bisa melihat wajahnya pagi-pagi gini, apalagi yang barusan aku lihat itu wajahnya Lhambang yang imut abis. Saat dia menghampiriku dengan ekspresi wajah seperti itu rasanya aku ingin sekali berlari menghampirinya lalu menciumi kedua pipinya gemas, tapi aku sadar diri jika itu dosa. Itu hanya pemikiran liarku saja yang mungkin nanti akan berubah menjadi kenyataan, yah 'kan, apa salahnya kita berdoa dulu. Siapa tahu Tuhan mengabulkan doa kita dengan cepat bisa jadi kita juga 'kan yang akan bahagia nantinya? Lagi pula, siapa sih orang yang tidak akan bahagia jika keinginannya yang sudah lama ia pendam terkabul?Semua orang di dunia ini
Tissa"Yaaahhh, ketemu lo lagi ketemu lo lagi gue." Aku yang sedang mengetikan pesan untuk Lhambang mendadak menjadi tersenyum lebar dan mengunci layar ponselku dengan segera, bodo amat deh dengan Lhambang. Manusia dihadapanku ini lebih menarik soalnya."Hahaha .... iya nih, bosen nggak lo ketemu gue terus?" Dia menjawab sembari memasukan kedua tangan pada saku celannya, senyumnya lebar dan ganteng abis.Kadang kalau lagi punya pikiran begini aku suka istighfar dalam hati, yaiyalah aku istighfar orang yang lagi aku puji-puji dan kagumi ini adalah pacar orang lain. 'Kan, kalau begini kedengarannya aku seperti cewek gatel yang nggak punya kerjaan lain selain gangguin cowok orang. Tapi mau bagaimana lagi, katanya 'kan, selama janur kuning belum melengkung ya hajar saja terus. Lagi pula Ghea ini juga nggak ada otak sih, udah dapat cowok yang sempurna macem Syaile
SYAILENDRATahu ah, gondok aku sama Tissa. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu, ya itu memang haknya sih. Dia mau berbicara seperti apa juga itu haknya, hanya saja seharusnya dia bisa sedikit saja lebih prihatin gitu kepadaku. Saat ini 'kan aku sedang dalam kondisi patah hati, meskipun aku nggak tahu pasti dia tahu atau tidak kondisiku saat ini tapi setidaknya mbok ya dia jangan tarlalu kejam gitulah bicaranya kepadaku. Aku saja tadi saat dia berbicara seperti itu langsung diam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena jujur aku merasa tertampar saat Tissa mengatakan kalimat panjang kali lebar itu kepadaku tadi.Jadi yang tadi aku lakukan padanya hanyalah diam, balik badan dan pergi begitu saja dengan tampang bodoh bin tolol yang pernah aku punya. Padahal aku tahu, Ghea ada di dalam. Sedang memandangi kami dari balik pintu loby, aku tahu tapi aku pura-pura tidak
GheaAku baru saja tiba di kantor setelah bergulat dengan kantukku pagi-pagi buta begini. Bagaimana tidak, sudah beberapa hari ini aku berangkat dari rumah subuh buta karena menghindari Syailendra Akbar Gibran, mantan pacarku yang belum bisa move on dariku. Merepotkan? Tentu saja iya, perkara aku yang tidak mau pergi dan pulang dengannya aku jadi harus mengorbankan diriku sendiri beberapa hari ini. Bangun subuh, berangkat pagi-pagi buta dan sampai di kantor dengan keadaan kantor masih sepi begini. Aku heran dengan Syailendra, kenapa ya dia susah sekali move on padahal aku sudah jungkir balik membuat dia benci kepadaku, harus aku apakan ya dia?Aku tidak mau mempunyai hubungan buruk dengannya, biar bagaimana pun juga sebenarnya Syailendra itu orang baik. Dia memperlakukan aku dengan baik dan dia juga dari keluarga baik-baik, jadi aku sama sekali tidak ingin mempunyai hubungan
Tissa"Lah, gue nggak salah lihat ini?" Aku mengusap-usap mata beberapa kali, saking tidak percayanya dengan apa yang aku lihat saat ini. Syailendra? Di teras rumahku? Pagi-pagi ini? Dia salah alamat atau bagaimana ya?"Udah siap lo?""Udah, kenapa lo ada di sini pagi-pagi gini, Ndra?" Aku duduk di kursi sebelahnya, tempat yang tadi di duduki Ayahku untuk menemani Syailendra."Mau jemput lo, lo hari ini nggak berangkat bareng Lhambang, 'kan?" Tanyanya, Syailendra mengalihkan pandangannya ke arahku."Tumben, ada angin apa?""Angin sepoy-sepoy. Serius nih, lo berangkat barenga cowok lo nggak?" Alis Syailendra bertaut, sepenasaran itukah dia dengan jawabanku?"Enggak, dia masih