Share

06 | Masa Iya?

Ghea

“Makanan nggak akan habis kalau cuma dilihatin, Ghe.” Tissa duduk disampingku, menaruh makananya dan menoleh padaku dengan cengiran jenakanya.

“Lo sendirian?”

“Keliatannya?” Tissa menyahutiku acuh tak acuh sambil mulai memakan makanan siangnya, bento rupanya. Kelihatannya sih enak.

“Tumben Lhambang nggak ngikut?” Kalimatku kali ini membuat Tissa menoleh padaku sebentar, namun itu tak berselang lama. Karena setelah aku melihat pandangan heran dari matanya, cepat-cepat ia memalingkan wajah lagi.

“Kan gue udah bilang, dia lagi sibuk-sibuknya.”

“Oohh ... Masih sibuk.” Tissa tidak menjawab kata-kataku, mungkin dia sedang terheran-heran dengan aku yang terus menanyakan Lhambang padanya.

“Kenapa? Kangen lo sama laki gue?” aku hampir saja mengangguk ketika mendengar kalimat itu, namun beruntungnya aku berhasil menahan diri sehingga yang aku lakukan hanyalah tersenyum saja.

“Gue putus sama Syailendra, Tiss.” Senggaja aku mengalihkan topik, jika terus membahas Lhambang, bisa-bisa pertemanan aku dan Ghea terancam bubar.

“Kenapa?” Tissa tak terlihat kaget, ia bahkan tak repot-repot menghentikan aktifitasnya dalam mengunyah makanan. Ia masih makan dengan lahap, wajahnya masih tetap menikmati makanan itu seolah-olah itu adalah makanan yang sudah lama sekali ingin dia makan.

Aku menarik napas panjang, lalu memulai cerita kandasnya kisah cintaku pada Tissa. Tidak ada yang aku tutup-tutupi semuanya kubuka, sampai akhirnya aku melihat senyum sinis di wajah Tissa untukku ketika aku mengatakan sudah tidak nyaman dengan Syailendra.

Dalam ceritaku, aku bercerita bahwa aku merasakan tidak yakin dengannya, tidak percaya jika dia akan seserius itu padaku. Bermodalkan alasan itu aku meminta putus darinya dan dia mengiyakan. Setiap detail ceritanya aku ceritakan pada Tissa dan dia hanya meresponku dengan anggukan kecil saja. Bento di hadapannya lebih menarik daripada ceritaku rupanya.

“Makan aja dulu, Ghe. Masa makanan gue udah abis lo belum?” Aku menggeleng, menutup kembali kotak makan yang Syailendra berikan padaku tadi pagi. Katanya makanan ini untuk sarapan, tapi aku terlalu malas memakannya tadi pagi sehingga niatku tadi makanan ini aku jadikan makan siang saja. Namun sama seperti tadi pagi, aku pun malas menyentuh makanan ini. Padahal, isinya cukup enak. Tidak tahu deh kalau rasanya bagaimana katanya 'kan, ini Syailendra yang memasak.

“Nggak nafsu gue, Tiss.” Kataku kemudian.

“Syailendra ya yang ngasih?”

“Apaan? Ini?” Aku menunjuk kotak makan yang Syailendra berikan tadi pagi dan Tissa mengangguk ringan sembari meminum minumannya.

“Iya, ini Lendra yang ngasih.”

“Bento yang gue makan barusan juga dari Lendra, Ghe.” Lendra? Serius? Kapan dia ngasih makanan itu ke Tissa? Kok bisa?

“Lendra?”

“Iya.” Hanya itu jawabannya, ia tidak menjelaskan bagaimana dia bisa menerima makanan itu dari Lendra, dan atas dasar apa Lendra memberinya makan siang. Harusnya Tissa jangan hanya menjawab 'iya' saja, harusnya ia menjelaskan secara detail bagaimana bisa dia menerima makan dari Syailendra.

“Lhambang, tau?” Aku melayangkan pertanyaan itu dengan sangat hati-hati. Barangkali memang takutnya Tissa tersinggung dengan pertanyaanku nantinya, namun aku lihat dia tertawa, artinya dia tidak tersinggung dengan pertanyaanku.

“Tau. Orang dia juga kebagian kok bentonya.” Aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Ada angin apa sih Syailendra Akbar Gibran bagi-bagi makanan?

“Kapan dia ngasihnya?” Akhirnya pertanyaan kepo itu meluncur dengan bebas begitu saja dari mulutku. Tissa terlalu lama menjelaskan karena itulah aku tanya poin intinya saja langsung padanya.

“Yaa menjelang istirahat siang aja, baru dia kirim. Lewat gojek kok, Ghe. Dia nggak nganterin langsung makananya kayak punya lo tadi pagi. ” Kok dia tahu kalau pagi tadi Syailendra datang ke kantor? Apa mereka berpapasan lalu mengobrol sebentar? Syailendra 'kan, mulutnya agak comel seperti perempuan. Bisa jadi, tadi pagi dia bercerita pada Tissa kalau kami putus makanya Tissa tidak terkejut saat aku mengatakan aku putus dengan Syailendra tadi.

Bisa saja 'kan? Aku bukannya mau bersuzon pada Syailendra. Tapi Lendra yang aku kenal memang seperti itu, mulutnya seperti perempuan tak tahan jika tidak bercerita kalau sedang mengalami hal yang tidak mengenakan. Seharusnya jika dia ingin bercerita, cerita saja pada Lhambang, jangan Tissa. Iya, Tissa memang sahabatku kalau dia berpikir bercerita pada Tissa akan membantunya kembali padaku karena Tissa akan membujukku kembali padanya itu salah besar. Aku tidak akan kembali padanya karena kelakukannya justru makin membuatku ilfil. Tidak bisakan dia bersikap layaknya laki-laki dewasa seperti Lhambang?

“Lo ketemu Lendra tadi pagi, Tiss?” Aku kembali bertanya setelah diam cukup lama menyelimuti kami. Situasi ini membuatku canggung, hal inilah yang paling aku benci jika mantan pacarku meminta tolong atau bercerita pada sahabatku. Aku, tidak tahu apa yang dia ceritakan pada Tissa karena itulah aku takut jika ceritaku tidak singkron dan Tissa malah lebih mempercayai Syailendra karena Tissa sendiri tahu kalau aku memang sudah lama ingin putus dari Syailendra.

“Ketemu, cuma gue buru-buru banget tadi pagi jadi gue say hello saja. Dia lagi ngobrol sama Lhambang pagi tadi.” Oiya? Masa? Kok aku baru tahu.

“Lhambang?” Dan Tissa kembali mengangguk ringan.

Jadi ... Syailendra tidak berbicara apapun pada Tissa tadi pagi?

“Mereka lagi ngobrolin apaan, Tiss?” Tanyaku lagi yang mulai makin penasaran dan merasa sedikit bersalah pada Syailendra.

“Kurang tau, Ghe. Coba aja lo tanya Lhambang nanti. Gue belum ada nanya-nanya sih ke dia.”

“Boleh?”

Tissa mengangguk. “Boleh. Tapi, Ghe. Umm ... Nggak deh, nggak jadi. Gue duluan deh, Ghe.” Tissa langsung berdiri dan melenggang pergi.

.

.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status