Share

07 | Mantan Terindah

Ghea

Mau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah satu ... Engkau disana ... Aku disini, meski hatiku memilihmu. Sejak duduk dibangku kafe ini, entah sudah berapa kali aku mendengar band kafe ini menyanyikan lagu milik Raisa tersebut. Di hadapanku, ada Syailendra. Dia memaksaku untuk ikut pulang dengannya, katanya dia akan mengantarkan aku pulang dengan selamat sampai di rumah hitung-hitung sekalian nostalgia. Itu sih katanya, tapi kalau sudah begini ceritanya ini bukan lagi nostalgia. Tapi dia sedang terus berusaha untuk mengajakku kembali padanya, memangnya aku tidak tahu apa jika dia mengeluarkan uang lebih untuk para personil band itu agar mereka mau menyanyikan lagu Mantan Terindah berulang-ulang kali seperti kaset rusak?

Entah apa yang Syailendra lihat dariku sehingga dia tetap berusaha membuatku yakin bahwa dialah orangnya, dia laki-laki yang pantas untukku. Karna jujur aku sendiri tidak pernah melakukan hal istimewa apapun untuk membuat Syailendra jatuh cinta kepadaku, selama ini aku hanya menikmati. Hal-hal yang Syailendra lakukan untukku, aku hanya meniknati itu tanpa mau membalasnya. Lagi pula, untuk apa aku balas? Toh, aku juga sebenarnya tidak mempunyai perasaan khusus kepadanya. Kalau aku membalas apa yang sudah dia berikan padahal aku tidak sama sekali menyukainya, bukankah kedengarannya seperti aku sedang memberikan harapan palsu nantinya?

“Iya aku tahu, meskipun aku mau ngelakuin hal yang nggak norak kayak gini sekalipun. Kamu, nggak bakalan balik sama aku 'kan, Ghe?” aku memandangnya datar saat mendengar kalimatnya barusan, sedangkan cowok yang sedang berada di hadapanku itu langsung tersenyum, seolah-olah dia tahu bahwa ini bukanlah pertemuan untuk melepas rindu ala anak-anak remaja.

“Nggak bisa apa kita jalan masing-masing? Kamu dengan hidup kamu, aku ya dengan hidup aku. Sekalu pun, Ndra. Kamu jadi Presiden aku tetap nggak akan mau balik sama kamu.” Aku tahu, nada suara ku barusan terdengar kasar. Tapi kelihatannya cowok di hadapanku ini sama sekali nggak tersinggung dengan kata-kataku.

“Iya iya, aku tahu. Akunya masih belum bisa aja, Ghe. Aku ini bener-bener sayang kamu. Aku yaaa ... Duh, gimana ya ngomongnya? Kok, aku jadi bingung sendiri begini, sih. Haha....” aku melirik singkat jam dipergelangan tanganku, lalu mendesah singkat saat nyatanya hampir satu jam aku melakukan obrolan yang sia-sia dengan Syailendra. Karena sejujurnya, obrolan ini tidak pernah akan ada ujungnya.

“Pulang aja yu, Ndra.” Aku sudah siap untuk berdiri, namun Syailendra menahanku. Mau apalagi sih dia? Harus aku katakan dengan bahasa apa kepadanya jika aku tidak pernah sama sekali ingin kembali padanya?

“Sebentar ya, sebentar aja. Sebentar lagi aja, Ghe. Janji sebentarrr aja, aku masih pengen lihat kamu.” Syailendra tersenyum lebar saat mengatakan kalimat itu, like a psikopat ya dia.

Aku menghela napas begitu saja karena tidak tahu harus menjawab perkataan Syailendra dengan kalimat yang bagaimana lagi, dadaku sedikit sesak jika melihat wajahnya saat ini. Obrolan dengan Tissa tadi, jujur saja sangat mengganggu pikiranku. Entah untuk alasan apa aku juga tidak tahu, yang jelas aku hanya merasa tak nyaman dengan obrolanku dan Tissa sehingga membuat aku makin kesal dengan Syailendra. Dia ini ganteng, kaya, dan juga yah menyenangkan. Tidak susah untuknya mencari pacar baru. Tapi kenapa dia malah bersikap seperti ini, aku bukan Tuan Putri. Aky hanyalah Ghea. Aninda Ghea yang hanya terlahir dari keluarga yang biasa saja, jadi apa yang Syailendra lihat dariku sehingga dia tidak bisa melepaskan aku?

“Tadi aku ngobrol sama Tissa, kayaknya dia suka kamu.” Dia tersenyum singkat, tapi tak langsung merespon kata-kataku barusan. Kenapa sih dia? Dari tadi senyam senyum terus?

Tak berapa lama, Syailendra menegakkan duduknya. Dia melipat kedua tangannya diatas meja seperti anak TK yang hendak pulang ke rumah namun harus duduk rapih dulu agar bisa pulang paling cepat. “Keren dong, kamu suka Lhambang, eh pacarnya si monyet malah suka aku. Kayak judul sinetron ajab ya ini?” aku menaikkan sebelah alisku, apa sih yang lucu? Kok dia malah tertawa sendiri mendengar perkataanya barusan.

“Kamu deketin Tissa aja, biar dia putus sama Lhambang. Siapa tahu, Tissa perempuan yang pas buat kamu.” Senyumku mengembang ketika mengatakan kalimat barusan, tapi Syailendra malah memutar bola matanya saat mendengar kalimatku barusan. Iya sih, kalau kupikir-pikir kalimatku barusan terdengar sangat jahat dan licik.

“Aku lebih tertarik buat ngajak kamu balik sih dari pada harus pdkt lagi sama orang baru, dan lagi apa-apaan? Masa aku harus pdktin pacar orang? Nggak ah, dosa.” dia—Syailendra, malah terkekeh mendengar perkataannya sendiri.

“Aku nggak akan pernah mau balik sama kamu, Syailendra.”

“Awas ya kalau nanti malah kamu yang balik ngejar-ngejar aku minta balikan.” Dengan cepat, aku menjawab nggak akan mungkin kepadanya.

Move on, Ndra. move on, move on itu nggak susah asal kamunya niat.” Kali ini, aku tidak sama sekali melihat senyum Syailendra mengembang. Susah lelah kah dia tersenyum?

“Niat aku cuma bisa nikahin kamu, punya anak dari kamu, berkeluarga sama kamu. Hidup bahagia sampai kakek nenek, itu niat aku. Kalau move on, itu bukan niat aku sekarang. Apa sih, apa? Apa yang nggak bisa aku kasih dan lakuin ke kamu tapi Lhambang bisa? Apa? Jangan pernah lihat orang dari luarnya aja, Ghe. Karena laki-laki romantis, baik dan pendiam juga kadang lebih mengerikan dari pada laki-laki kayak aku gini. Harusnya kamu bersyukur udah punya aku, bukannya malah membanding-bandingkan aku sama laki-laki lain yang belum tentu sebaik itu hidupnya, Ghe.” Syailendra berbicara panjang lebar, lalu dia menundukkan kepalanya, lelah sendiri menghadapi aku. Tapi aku, malah tersenyum mendengar kata-katanya.

“Apa yang harus aku syukuri karena punya kamu, Ndra?”

-----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status