Ghea
Mau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah satu ... Engkau disana ... Aku disini, meski hatiku memilihmu. Sejak duduk dibangku kafe ini, entah sudah berapa kali aku mendengar band kafe ini menyanyikan lagu milik Raisa tersebut. Di hadapanku, ada Syailendra. Dia memaksaku untuk ikut pulang dengannya, katanya dia akan mengantarkan aku pulang dengan selamat sampai di rumah hitung-hitung sekalian nostalgia. Itu sih katanya, tapi kalau sudah begini ceritanya ini bukan lagi nostalgia. Tapi dia sedang terus berusaha untuk mengajakku kembali padanya, memangnya aku tidak tahu apa jika dia mengeluarkan uang lebih untuk para personil band itu agar mereka mau menyanyikan lagu Mantan Terindah berulang-ulang kali seperti kaset rusak?
Entah apa yang Syailendra lihat dariku sehingga dia tetap berusaha membuatku yakin bahwa dialah orangnya, dia laki-laki yang pantas untukku. Karna jujur aku sendiri tidak pernah melakukan hal istimewa apapun untuk membuat Syailendra jatuh cinta kepadaku, selama ini aku hanya menikmati. Hal-hal yang Syailendra lakukan untukku, aku hanya meniknati itu tanpa mau membalasnya. Lagi pula, untuk apa aku balas? Toh, aku juga sebenarnya tidak mempunyai perasaan khusus kepadanya. Kalau aku membalas apa yang sudah dia berikan padahal aku tidak sama sekali menyukainya, bukankah kedengarannya seperti aku sedang memberikan harapan palsu nantinya?
“Iya aku tahu, meskipun aku mau ngelakuin hal yang nggak norak kayak gini sekalipun. Kamu, nggak bakalan balik sama aku 'kan, Ghe?” aku memandangnya datar saat mendengar kalimatnya barusan, sedangkan cowok yang sedang berada di hadapanku itu langsung tersenyum, seolah-olah dia tahu bahwa ini bukanlah pertemuan untuk melepas rindu ala anak-anak remaja.
“Nggak bisa apa kita jalan masing-masing? Kamu dengan hidup kamu, aku ya dengan hidup aku. Sekalu pun, Ndra. Kamu jadi Presiden aku tetap nggak akan mau balik sama kamu.” Aku tahu, nada suara ku barusan terdengar kasar. Tapi kelihatannya cowok di hadapanku ini sama sekali nggak tersinggung dengan kata-kataku.
“Iya iya, aku tahu. Akunya masih belum bisa aja, Ghe. Aku ini bener-bener sayang kamu. Aku yaaa ... Duh, gimana ya ngomongnya? Kok, aku jadi bingung sendiri begini, sih. Haha....” aku melirik singkat jam dipergelangan tanganku, lalu mendesah singkat saat nyatanya hampir satu jam aku melakukan obrolan yang sia-sia dengan Syailendra. Karena sejujurnya, obrolan ini tidak pernah akan ada ujungnya.
“Pulang aja yu, Ndra.” Aku sudah siap untuk berdiri, namun Syailendra menahanku. Mau apalagi sih dia? Harus aku katakan dengan bahasa apa kepadanya jika aku tidak pernah sama sekali ingin kembali padanya?
“Sebentar ya, sebentar aja. Sebentar lagi aja, Ghe. Janji sebentarrr aja, aku masih pengen lihat kamu.” Syailendra tersenyum lebar saat mengatakan kalimat itu, like a psikopat ya dia.
Aku menghela napas begitu saja karena tidak tahu harus menjawab perkataan Syailendra dengan kalimat yang bagaimana lagi, dadaku sedikit sesak jika melihat wajahnya saat ini. Obrolan dengan Tissa tadi, jujur saja sangat mengganggu pikiranku. Entah untuk alasan apa aku juga tidak tahu, yang jelas aku hanya merasa tak nyaman dengan obrolanku dan Tissa sehingga membuat aku makin kesal dengan Syailendra. Dia ini ganteng, kaya, dan juga yah menyenangkan. Tidak susah untuknya mencari pacar baru. Tapi kenapa dia malah bersikap seperti ini, aku bukan Tuan Putri. Aky hanyalah Ghea. Aninda Ghea yang hanya terlahir dari keluarga yang biasa saja, jadi apa yang Syailendra lihat dariku sehingga dia tidak bisa melepaskan aku?
“Tadi aku ngobrol sama Tissa, kayaknya dia suka kamu.” Dia tersenyum singkat, tapi tak langsung merespon kata-kataku barusan. Kenapa sih dia? Dari tadi senyam senyum terus?
Tak berapa lama, Syailendra menegakkan duduknya. Dia melipat kedua tangannya diatas meja seperti anak TK yang hendak pulang ke rumah namun harus duduk rapih dulu agar bisa pulang paling cepat. “Keren dong, kamu suka Lhambang, eh pacarnya si monyet malah suka aku. Kayak judul sinetron ajab ya ini?” aku menaikkan sebelah alisku, apa sih yang lucu? Kok dia malah tertawa sendiri mendengar perkataanya barusan.
“Kamu deketin Tissa aja, biar dia putus sama Lhambang. Siapa tahu, Tissa perempuan yang pas buat kamu.” Senyumku mengembang ketika mengatakan kalimat barusan, tapi Syailendra malah memutar bola matanya saat mendengar kalimatku barusan. Iya sih, kalau kupikir-pikir kalimatku barusan terdengar sangat jahat dan licik.
“Aku lebih tertarik buat ngajak kamu balik sih dari pada harus pdkt lagi sama orang baru, dan lagi apa-apaan? Masa aku harus pdktin pacar orang? Nggak ah, dosa.” dia—Syailendra, malah terkekeh mendengar perkataannya sendiri.
“Aku nggak akan pernah mau balik sama kamu, Syailendra.”
“Awas ya kalau nanti malah kamu yang balik ngejar-ngejar aku minta balikan.” Dengan cepat, aku menjawab nggak akan mungkin kepadanya.
“Move on, Ndra. move on, move on itu nggak susah asal kamunya niat.” Kali ini, aku tidak sama sekali melihat senyum Syailendra mengembang. Susah lelah kah dia tersenyum?
“Niat aku cuma bisa nikahin kamu, punya anak dari kamu, berkeluarga sama kamu. Hidup bahagia sampai kakek nenek, itu niat aku. Kalau move on, itu bukan niat aku sekarang. Apa sih, apa? Apa yang nggak bisa aku kasih dan lakuin ke kamu tapi Lhambang bisa? Apa? Jangan pernah lihat orang dari luarnya aja, Ghe. Karena laki-laki romantis, baik dan pendiam juga kadang lebih mengerikan dari pada laki-laki kayak aku gini. Harusnya kamu bersyukur udah punya aku, bukannya malah membanding-bandingkan aku sama laki-laki lain yang belum tentu sebaik itu hidupnya, Ghe.” Syailendra berbicara panjang lebar, lalu dia menundukkan kepalanya, lelah sendiri menghadapi aku. Tapi aku, malah tersenyum mendengar kata-katanya.
“Apa yang harus aku syukuri karena punya kamu, Ndra?”
-----
Syailendra“Apa yang harus aku syukuri karena punya kamu, Ndra?” Anjrit. Apa yang harus dia syukuri karena punya aku katanya? Yah, maksudku. Meskipun aku ini tidak ada harga dirinya sama sekali di mata Ghea tapi apa sih salahnya ketika dia punya aku sebagai pasangannya dia mensyukuri itu? Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga itu memang jauh lebih indah, tapi mensyukuri apa yang kita punya itu bukannya jauh lebih indah? Buat apa iri dengan kepunyaan orang lain kalau yang kita punya saja itu jauh lebih indah dari milik orang lain, seharusnya Ghea berpikiran seperti itu entah kemarin atau saat ini.“Wah, aku nggak nyangka banget kamu bisa jawab begitu sadis, Ghe.” aku hanya tertawa bodoh, ketika mengatakan kalimat barusan.“Yah makanya, udah lupain aja aku. Kamu move on, cari yang
TissaSetiap orang di dunia ini pasti mempunyai kriteria masing-masing untuk memilih pasangannya, ada yang suka cowok ganteng, ada juga yang suka cowok biasa aja. Ada yang menyukai cewek cantik, dan ada juga cowok yang nenyukai cewek yang biasa-biasa saja. Semua orang punya tipenya masing-masing, dan setiap orang akan punya waktunya tersendiri dimana dia akan terlihat sangat tampan atau cantik. Dan bagiku, nilai plus seorang cowok adalah ketika mereka menunjukan raut wajah khawatirnya ketika pasangannya terluka. Atau kadang kala, ketika mereka sedang fokus melakukan hobinya. Bukan hobi bermain cewek ya ini melainkan hobinya yang berbau-bau olahraga atau semacam hal-hal yang mereka sukai.“Tiss, nanti kamu tolong mampir ke toko kue dulu ya pulangnya? Bawain kue buat Ibuku, lagi pengen makan kue katanya dia.” Aku memutar bola mataku jengah, mendengar kalimat dengan nada lembut yang berupa
Ghea"Lah, lo di sini, Ghe? Itu si Lendra nyariin lo juga." Aku hanya tersenyum bodoh saja waktu Lhambang datang menghampiriku yang sedang berdiri di loby dalam kantor dengan tampang bingung.Seneng sih aku bisa melihat wajahnya pagi-pagi gini, apalagi yang barusan aku lihat itu wajahnya Lhambang yang imut abis. Saat dia menghampiriku dengan ekspresi wajah seperti itu rasanya aku ingin sekali berlari menghampirinya lalu menciumi kedua pipinya gemas, tapi aku sadar diri jika itu dosa. Itu hanya pemikiran liarku saja yang mungkin nanti akan berubah menjadi kenyataan, yah 'kan, apa salahnya kita berdoa dulu. Siapa tahu Tuhan mengabulkan doa kita dengan cepat bisa jadi kita juga 'kan yang akan bahagia nantinya? Lagi pula, siapa sih orang yang tidak akan bahagia jika keinginannya yang sudah lama ia pendam terkabul?Semua orang di dunia ini
Tissa"Yaaahhh, ketemu lo lagi ketemu lo lagi gue." Aku yang sedang mengetikan pesan untuk Lhambang mendadak menjadi tersenyum lebar dan mengunci layar ponselku dengan segera, bodo amat deh dengan Lhambang. Manusia dihadapanku ini lebih menarik soalnya."Hahaha .... iya nih, bosen nggak lo ketemu gue terus?" Dia menjawab sembari memasukan kedua tangan pada saku celannya, senyumnya lebar dan ganteng abis.Kadang kalau lagi punya pikiran begini aku suka istighfar dalam hati, yaiyalah aku istighfar orang yang lagi aku puji-puji dan kagumi ini adalah pacar orang lain. 'Kan, kalau begini kedengarannya aku seperti cewek gatel yang nggak punya kerjaan lain selain gangguin cowok orang. Tapi mau bagaimana lagi, katanya 'kan, selama janur kuning belum melengkung ya hajar saja terus. Lagi pula Ghea ini juga nggak ada otak sih, udah dapat cowok yang sempurna macem Syaile
SYAILENDRATahu ah, gondok aku sama Tissa. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu, ya itu memang haknya sih. Dia mau berbicara seperti apa juga itu haknya, hanya saja seharusnya dia bisa sedikit saja lebih prihatin gitu kepadaku. Saat ini 'kan aku sedang dalam kondisi patah hati, meskipun aku nggak tahu pasti dia tahu atau tidak kondisiku saat ini tapi setidaknya mbok ya dia jangan tarlalu kejam gitulah bicaranya kepadaku. Aku saja tadi saat dia berbicara seperti itu langsung diam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena jujur aku merasa tertampar saat Tissa mengatakan kalimat panjang kali lebar itu kepadaku tadi.Jadi yang tadi aku lakukan padanya hanyalah diam, balik badan dan pergi begitu saja dengan tampang bodoh bin tolol yang pernah aku punya. Padahal aku tahu, Ghea ada di dalam. Sedang memandangi kami dari balik pintu loby, aku tahu tapi aku pura-pura tidak
GheaAku baru saja tiba di kantor setelah bergulat dengan kantukku pagi-pagi buta begini. Bagaimana tidak, sudah beberapa hari ini aku berangkat dari rumah subuh buta karena menghindari Syailendra Akbar Gibran, mantan pacarku yang belum bisa move on dariku. Merepotkan? Tentu saja iya, perkara aku yang tidak mau pergi dan pulang dengannya aku jadi harus mengorbankan diriku sendiri beberapa hari ini. Bangun subuh, berangkat pagi-pagi buta dan sampai di kantor dengan keadaan kantor masih sepi begini. Aku heran dengan Syailendra, kenapa ya dia susah sekali move on padahal aku sudah jungkir balik membuat dia benci kepadaku, harus aku apakan ya dia?Aku tidak mau mempunyai hubungan buruk dengannya, biar bagaimana pun juga sebenarnya Syailendra itu orang baik. Dia memperlakukan aku dengan baik dan dia juga dari keluarga baik-baik, jadi aku sama sekali tidak ingin mempunyai hubungan
Tissa"Lah, gue nggak salah lihat ini?" Aku mengusap-usap mata beberapa kali, saking tidak percayanya dengan apa yang aku lihat saat ini. Syailendra? Di teras rumahku? Pagi-pagi ini? Dia salah alamat atau bagaimana ya?"Udah siap lo?""Udah, kenapa lo ada di sini pagi-pagi gini, Ndra?" Aku duduk di kursi sebelahnya, tempat yang tadi di duduki Ayahku untuk menemani Syailendra."Mau jemput lo, lo hari ini nggak berangkat bareng Lhambang, 'kan?" Tanyanya, Syailendra mengalihkan pandangannya ke arahku."Tumben, ada angin apa?""Angin sepoy-sepoy. Serius nih, lo berangkat barenga cowok lo nggak?" Alis Syailendra bertaut, sepenasaran itukah dia dengan jawabanku?"Enggak, dia masih
SyailendraAku tidak menyangka jika Tissa memang bisa selucu ini, kupikir dia hanya akan bersikap galak dan kalau ngomong suka nggak ngenakin aja. Tapi tadi aku sedikit mau ketawa ngakak saat melihat tingkah konyolnya, kok bisa-bisanya ya dia seambigu tadi. Orang lain mungkin akan berpikir negatif tentang kata yuk yang aku ucapkan tadi, dan Tissa salah satu dari orang lain yang berpikir negatif itu.Maksudku tadi saat mengatakan yuk padanya artinya aku mengajaknya berpamitan kepada orang rumahnya, masa iya aku datang bersalaman dengan Ayahnya dan pulang main slonong boy saja 'kan tidak sopan. Biarpun kurang iman gini aku masih tahu adat dan sopan santun kali.Tapi Tissa malah menganggap yuk ku yang tadi adalah yuk yang lain, kalau aku pacarnya saat ini mungkin yuk yang kumaksudkan a