Syailendra
“Apa yang harus aku syukuri karena punya kamu, Ndra?” Anjrit. Apa yang harus dia syukuri karena punya aku katanya? Yah, maksudku. Meskipun aku ini tidak ada harga dirinya sama sekali di mata Ghea tapi apa sih salahnya ketika dia punya aku sebagai pasangannya dia mensyukuri itu? Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga itu memang jauh lebih indah, tapi mensyukuri apa yang kita punya itu bukannya jauh lebih indah? Buat apa iri dengan kepunyaan orang lain kalau yang kita punya saja itu jauh lebih indah dari milik orang lain, seharusnya Ghea berpikiran seperti itu entah kemarin atau saat ini.
“Wah, aku nggak nyangka banget kamu bisa jawab begitu sadis, Ghe.” aku hanya tertawa bodoh, ketika mengatakan kalimat barusan.
“Yah makanya, udah lupain aja aku. Kamu move on, cari yang baru. Yang bisa lebih ngehargain kamu, yang bisa baik-baik ngomongnya ke kamu, yang nggak bikin kamu sakit hati mybe.” Move on lagi aja yang dia katakan, haduh. Jadinya saat ini aku hanya bisa tertawa bodoh lagi saja, tapi sambil menahan diri untuk nggak mengata-ngatainya balik.
Tapi mana mungkin aku bisa mengata-ngatainya balik, ya? Aku 'kan, sayang sekali sama si kunyuk satu ini.
Demi bisa bersama Ghea saat ini, aku harus mencari alasan yang bagus agar dia mau makan dan pulang bersamaku. Kalau saat menjemputnya tadi sore aku mengatakan jika aku rindu kepadanya, mungkin aku tidak akan bisa bersamanya saat ini. Menghabiskan makanan bersama, sambil ditemani iringan lagu Raisa-Mantan Terindah. Yah, memang aku agak norak. Tapi mau bagaimana, seperti yang kukatakan tadi bahwa sekali pun aku melakukan hal keren, Ghea ini memang tidak akan mau kembali kepadaku. Karena dia sudah tergila-gila dengan Lhambang, si laki-laki yang katanya paling baik dan peka sedunia itu. Padahal ya, hanya karena dia berprilaku baik, belum tentu dia tidak punya pikiran jahat sama sekali.
Hanya karena Lhambang, aku kehilangan Ghea. Padahal aku, sudah mati-matian menunjukan diri bahwa hanya aku yang bisa sabar menghadapi sikapnya. Cowok lain, mana mungkin bisa menghadapi Ghea seperti aku menghadapinya saat ini. Apa sih salahku kalau dipikir-pikir, iya. Memang, kalau orang tidak mau lebih baik nggak usah dipaksa sama sekali. Karena kita saja kalau dipaksa belum tentu akan langsung mau 'kan? Cuman masalahnya ini ada di diri Ghea. Okelah, kalau cowok lain mungkin aku akan terima Ghea mutusin aku. Tapi ini Lhambang, cowok yang bahkan Ghea tidak tahu cowok ini benar-benar baik atau tidak.
“Udah yuk ah, pulang. Obrolan kita ini nggak akan ada ujungnya, Ndra. Kamu percaya deh sama aku.” Ghea mengatakannya sambil mengalungkan tas pada tangannya, agar aku cepat-cepat berdiri dan mengantarkannya pulang mungkin.
“Bentar, adzan ini. Tunggu lah lima menit lagi, nanti baru aku antar pulang.”
“Ya udah, kita cari tempat ibadah aja dulu deh.” Aku mengeryitkan dahi ketika mendengar perkataan Ghea. Tumben dia minta pergi ke tempat ibadah dulu saat adzan, setidak nyaman itukah dia saat ini denganku atau mungkin memang dia sedang benar-benar ingin beribadah?
“Kamu mau sholat?” aku tahu, pertanyaanku ini mungkin terdengar bodoh. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah bingung mencari topik obrolan dan menahan Ghea untuk tinggal lebih lama lagi denganku.
“Ya menurut kamu aku ngapain ngajak ke tempat ibadah tapi nggak sholat?” kan bener, aku pasti sudah terlihat bodoh saat ini.
“Tumben kamu sholat?”
“Iya, lagi pengen minta sesuatu sama Tuhan.” Semoga saja dia minta agar diberikan jodoh yang baik, jodoh yang bertanggung jawab dan sayang kepada keluarganya. Dan taraaa Tuhan mengirimkan aku sebagai jawaban atas doa-doanya, wah. Keren sekali.
Mungkin, sekarang kalian lagi mikir kalau aku ini bodog sekali. Nagapin ngejar cewek yang jelas sudah nggak mau sama kita? Seperti yang Ghea katakan tadi, aku kaya dan ganteng. Masa iya aku nggak bisa cari penggantinya Ghea? Yang lebih baik, yang lebih cantik dan yang lebih segala-galanya dari Ghea mungkin banyak. Tapi kalau orang itu bukan Ghea ya aku nggak mau, orang aku maunya Ghea. Dia aja udah cukup, dia udah mencakupi semua yang aku perlukan. Singkatnya, Ghea itu istimewa makanya aku bersusah-susah payah mau memilikinya kembali, karena memang yah cuma dia yang aku butuhkan. Jadi, paham dong kenapa aku ngotot minta Ghea balik ke aku?
Ini bukan masalah harga diri, kalau itu masih Lhambang alasan Ghea ingin meminta putus denganku, aku masih nggak akan menerima itu dengan lapang dada. Maksudnya begini, aku tahu Lhambang itu orang macam apa. Tapi kalau aku beritahu Ghea tentang orang macam apa itu Lhambang, apakah Ghea akan terima? Tahu sendirilah kalian kalau Ghea lagi tergila-gila sekali dengan Lhambang, salahnya Lhambang saja mungkin akan menjadi benar bagi Ghea. Dan kalau aku mengatakan orang seperti apa Lhambang ini bisa jadi setelahnya malah aku yang kena batunya, aku yang akan dijauhi Ghea nantinya padahal sebenernya kata-kataku itu benar adanya.
“Aku lagi pengen minta Tuhan supaya bisa kasih jalan aku buat deket sama Lhambang, makanya ayok deh cepat berdiri, bayar terus kita cari tempat ibadah dulu.” Yaelah, cuy! Lambang lagi Lhambang lagi, pusing abdi.
*****
GHEAAku dibawa ke rumah sakit oleh Tissa dan juga Syailendra, apa yang mereka pikirkan saat menolongku aku tidak tahu. Yang aku tahu adalah Tissa yang menangis saat dia melihatku di dalam kamar dalam kondisi yang tidak mau aku jelaskan, lalu dia pun menangis sepanjang jalan menuju rumah sakit. Dia terus mengusap punggungku tanpa mengatakan apapun, karena mungkin memang hanya itulah yang bisa dia lakukan, mengusap punggungku dan kemudian menangis. Syailendra tidak berbicara apapun padaku, sampai saat ini sampai kami tiba di rumah sakit dia tidak berbicara apapun padaku. Di UGD ini, aku hanya di temani Tissa, Syailendra sedang berada di luar ruangan menunggu Ibuku datang.Padahal aku sudah mengatakan kepadanya kalau dia tidak usah memberitahu kan Ibuku soal kondisiku saat ini, dan memang benar dia tidak memberitahukannya kepada Ibuku tapi dia malah memberitahu kakakku, jadilah sekarang Ibuku mengetahui bagaimana kondisi anak bungsunya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hi
TISSAAku berkali-kali mendapati Syailendra bergerak gelisah saat mengemudi. Berkali-kali pun jawabannya saat menanggapi obrolannya denganku tampak tidak nyambung, singkatnya. Syailendra sedang tidak fokus saat ini dan sialnya aku tahu kenapa dia jadi tidak fokus seperti itu. Berkali-kali aku memikirkannya, berkali-kali itu juga aku jadi kesal dibuatnya.Aku tidak bertanya kenapa kakaknya Ghea menelpon dan mengirimnya pesan, telponnya memang tidak dia angkat tetapi pesannya dia baca sehingga hal itulah yang membuat aku jadi kesal sendiri sebab setelahnya Syailendra terlihat sekali tidak fokus saat ini. Untungnya, hanya aku yang ikut di mobil Syailendra kalau betulan Mamaku juga ikut disini, bisa dipastikan suasana akan berubah menjadi canggung.Sejujurnya, aku penasaran sekali tentang apa isi pesan kakaknya Ghea kepada Syailendra sehingga pesan itu bisa membuat Syailendra menjadi seperti ini. Tapi, disatu sisi pun aku merasa bahwa aku tidak berhak bertanya sebab aku bukan siapa-siapa
SYAILENDRAPagi hujan, siang cerah. Kondisi cuaca Jakarta memang tidak bisa dipresiksi semaksimal mungkin, aku hampir saja merutuki cuaca karena mereka hari ini aku terpaksa datang dengan salah konstum. Kalau tahu siang hari ini tidak akan turun hujan juga seperti pagi hari tadi, mana mau aku datang ke kedai kopi kakaku dengan swetter panas begini.Yah, tapi apa mau dikata deh. Sudah kejadian, lagipula mau datang pakai baju apapun aku, aku yakin aku masih dan akan sangat terlihat tampan.Hahaha ...Kok aku geli sendiri ya mendengarnya? Biarlah, aku kan jomlo, tidak ada yang memuji aku ganteng lagi sekarang jadi biarkan saja aku memuji diriku sendiri saat ini."Kenapa sih?""Hah? Apa? Apa yang kenapa?""Kamu kenapa?""Aku?" aku menunjuk diriku sendiri saat Tissa bertanya aku kenapa, aku kamu dengan Tissa memang hal yang baru tapi entah kenapa aku nyaman dengan kata ganti Lo-Gue diantara kami ini. "Aku kenapa?""Kayak orang bingung." Tissa menggaruk kecil hidungnya, kemudian melemparkan
GHEAMalam minggu kemarin, aku tidak pulang ke rumah Ibuku. Aku juga tidak masuk lembur, padahal hari sabtu kemarin adalah hari dimana aku seharusnya bekerja lembur tapi aku tidak melakukannya sebab Lhambang tidak memperbolehkan aku untuk pergi ke kantor. Jadi, dari pada wajahku kena tampar lagi olehnya lebih baik aku menurut saja dan mengatakan kepada pihak kantor kalau aku sedang sakit.Yah, walaupun aku tidak menjamin alasan itu akan diterima oleh atasanku mengingat lembur kemarin adalah aku yang meminta sendiri dan aku juga yang membatalkan senaknya. Aku meminta lembur karena aku butuh uang lebih diakhir bulan nanti, tentu saja untuk mengganti uang yang aku pinjam untuk Lhambang, aku berjanji untuk menggantinya meskipun aku meminjam uang tersebut kepada kakakku."Ghe?" Itu suara Lhambang, yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri Lhambang di dalam kamar, aku tidak mau kena omel lagi hanya karena aku terlalu lama menghampirinya padahal katanya jar
TISSASelimut yang masih menyelimuti tubuhku, pendingin ruangan yang masih menyala serta hujan yang mengguyur bumi menjadi saksi bahwa hari mingguku kali ini benar-benar sangat nyaman. Masih menscroll media sosial, dari satu aplikasi lalu ke aplikasi berikutnya jam sembilan pagi ini aku masih betah tidur-tiduran diatas kasurku.Tumben sekali, biasanya Ibuku akan masuk kamar lalu menyuruhku untuk bangun. Setidaknya untuk membantunya membereskan rumah yang sebenarnya selalu rapih ini atau sekedar olahraga bersama keliling komplek dan berakhir singgah di pasar untuk membeli kebutuhan rumah. Tapi hari minggu kali ini agak berbeda, sedikit lebih tenang dan sedikit lebih membahagiakan karena ketika aku bangun ada satu pesan yang selalu aku mimpikan untuk masuk ke dalam ponselku ketika pagi tiba. Yap! Chat dari Syailendra yang berhasil membuat pagiku yang sedang mendung ini menjadi lebih berwarna.Pesannya memang bukan sebuah pesan yang romantis, dipesan itu Syailendra hanya membalas pesanku
SYAILENDRAHari ini aku berjanji untuk berkunjung ke rumah Tissa, tapi sebelum berkunjung aku sudah menyempatkan diri datang ke tukang martabak pinggir jalan. Bukan abang-abang yang sedang berdagang di pinggir jalan melainkan di sebuah toko yang letaknya kebetulan berada di pinggir jalan, katanya ayahnya Tissa sangat suka martabak telur di tempat ini sebab itulah aku membelikannya martabak telur saja sebagai bawaanku malam ini. Karena aku bingung, apa yang harus aku bawa ke sana. Niatku hanya ingin bertamu karena Ibunya Tissa mengundangku untuk makan malam, jadilah aku ke sana malam hari ini selepas pulang bekerja. Ini pun aku datang agak telat, biasanya memang aku pulang sore tetapi tadi ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini juga makanya aku datang agak terlambat sedikit."Ndra!" Seseorang memanggil namaku dari arah belakang, ketika aku menoleh. Aku sudah menemukan seseorang yang sangat aku kenali sekali.Karena itulah, sembari tersenyum aku melangkah mendekatinya