Share

09 | Crush

Tissa

Setiap orang di dunia ini pasti mempunyai kriteria masing-masing untuk memilih pasangannya, ada yang suka cowok ganteng, ada juga yang suka cowok biasa aja. Ada yang menyukai cewek cantik, dan ada juga cowok yang nenyukai cewek yang biasa-biasa saja. Semua orang punya tipenya masing-masing, dan setiap orang akan punya waktunya tersendiri dimana dia akan terlihat sangat tampan atau cantik. Dan bagiku, nilai plus seorang cowok adalah ketika mereka menunjukan raut wajah khawatirnya ketika pasangannya terluka. Atau kadang kala, ketika mereka sedang fokus melakukan hobinya. Bukan hobi bermain cewek ya ini melainkan hobinya yang berbau-bau olahraga atau semacam hal-hal yang mereka sukai.

“Tiss, nanti kamu tolong mampir ke toko kue dulu ya pulangnya? Bawain kue buat Ibuku, lagi pengen makan kue katanya dia.” Aku memutar bola mataku jengah, mendengar kalimat dengan nada lembut yang berupa manipulasi itu membuatku merasa jijik.

“Iya, kue yang biasa 'kan?” Aku bertanya dengan ketus, berharap dengan begitu dia akan menghentikan tingkah menjijikannya ini. Aku muak dengan dia yang masih mempertahankan sifat munafiknya.

“Iya yang biasa, tapi nanti jangan langsung pulang dulu. Kamu lihat-lihat di rumah apa yang belum di kerjain, kalau ada cucian ya kamu tolong cuciin dulu baju kotor Ibuku. Aku pulang agak telat, nanti aku antar kamu pulang setelahnya.” Bulu kudukku merinding mendengar kata-katanya barusan. Lagi-lagi ia menjadikan aku sebagai babunya, padahal di rumahnya itu ada adik perempuannya. Sudah dewasa dan sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah, tapi dia—Lhambang, selalu berkata tidak enak katanya kalau menyuruh adiknya ini dan itu.

“Emang Astrid ke mana? Kalau dia ada di rumah ya suruh dia ajalah yang bantu-bantu Ibu dulu, kalau kamu nggak enak ngomongnya sama Astrid ya aku nih yang ngomong.” Persetan dengan muka Lhambang yang langsung nggak enak ketika mendengar kalimatku, cowok-cowok macam ini, kalau nggak dipaitin sampe kiamat juga bakalan bertingkah seenak jidatnya terus sama kita.

“Tiss, Ghea udah datang? Weh Lham, kenapa muka lo kusut amat? Kurang jatah?” aku mendongak dan menemukan Syailendra di depanku, ngapain dia pagi-pagi gini sudah nangkring di loby kantorku? Oh, iya lupa. Dia pasti lagi mengusahakan untuk merebut hati Ghea lagi.

“Emang iya muka gue kusut, Ndra? Kayaknya enggak deh biasa aja. Tapi lo ngapain di sini pagi-pagi gini?”

“Nyari Ghea gue, udah datang belum dia Tiss? Lham?” tuh 'kan, Ghea lagi pasti alasan wajah paniknya itu pagi-pagi begini muncul lagi.

“Duh, nggak tahu. Gue sama Tissa baru aja datang soalnya ini.” Syailendra langsung mengerti ketika Lhambang mengatakan hal itu.

“Dia susah banget dihubungi dari semalam, gue takut ada apa-apa aja sama dia. Tadi pagi juga pas gue samper ke rumahnya, dia udah jalan kata nyokapnya. Tar kalau lo ketemu dia kasih tahu gue ya Tiss kondisinya? Tolong banget nih ....” Syailendra langsung menjawab dengan kalimat yang sebenernya tidak pernah lagi aku mau mendengarnya dari mulut Syailendra Akbar Gibran.

“Oh, iya. Okee, ntar gue wa kalau gue ketemu dia, Ndra.”

“Makasih ya Tiss, dan sori nih kalau gue ngerepotin lo terus.”

“Iya nggak apa-apa, santai aja, Ndra. Guenya juga nggak merasa direpotin, kok.”

“Duh, baik banget sih lo, Tiss. Seandainya lo masih sendiri udah gue pepet deh lo buat jadi pacar.” Syailendra mengatakan itu sambil nyengir-nyengir bodoh, aku tahu dia mengatakan itu hanya untuk candaan semata. Buktinya ketika Lhambang menoyor kepadanya, tawa Syailendra langsung mengudara.

Udah cerita belum aku soal Lhambang dan Syailendra? Lhambang itu pacarku, sedangkan Syailendra itu pacarnya sahabatku—Ghea. Kami sering ngumpul bareng, intinya ya kami ini memenang sedekat itu, tapi sialnya kisah ini justru menjadi kisah yang rumit seperti judul sinetron yang tayang seminggu tujuh kali, kalian tahu tidak?

Endingnya kalian tahu? Sahabatku—Ghea, menyukai pacarku Lhambang. Dan aku, menyukai Syailendra. Gila ya memang kami ini.

Aku sudah lebih dulu tahu kalau Ghea menyukai Lhambang, entah untuk alasan apa dia menyukai Lhambang tapi jika Ghea jatuh hati karena kebaikan dan perlakuan lembut Lhambang kepadaku, aku sudah sering kali bilang kepadanya untuk jangan terlalu mempercayai apa yang dia lihat, karena ketika dia menemukan kebenarannya dari sudut pandang lain. Aku takut, dia nantinya tidak bisa menerima kenyataan dan malah menyesal. Aku sudah sering kali berkata seperti itu, namun Ghea malah mengabaikannya.

“Aku masuk duluan deh ya? Kamu kalau masih mau ngobrol sama Lendra, ya nggak apa-apa tapi aku tinggal, ya?” aku menoleh, baru sadar kalau dari tadi aku mengabaikan Lhambang. Aku langsung mengangguk mengiyakan, baguslah. Aku sedang malas bersama dengan Lhambang sebenernya, jadi setelah dia mengusap kepalaku dan tersenyum manis, dia langsung berpamitan kepada Syailendra dan berjalan masuk ke dalam kantor.

“Ghea nggak akan kenapa-kenapa.”

“Iya, gue harap juga gitu, sih.”

“Lo nggak ke kantor?” aku bertanya kepada Syailendra karena aku kasihan dan bingung harus berbicara apa lagi untuk membuat Syailendra paham bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ghea dengan berlebihan.

“Bentar lagi lah, lo udah mau masuk emang?” aku menggeleng dengan semangat, ngapain juga aku buru-buru masuk kalau waktu masuk kantor saja masih ada dua puluh menit lagi. Lebih baik, aku mengobrol-ngobrol sebentar dengan Syailendra.

“Lo hari ini lagi nggak pake make up ya, Tiss?”

“Iya nih, lagi malas. Kenapa?” Syailendra hanya menggeleng, sementara aku tertawa kecil melihat tingkahnya.

Lucu deh dia ini kalau lagi khawatir.

“Lo cantikan begini.”

“Hah?” aku melotot panik ketika mendengar kalimat Syailendra barusan, selama aku mengenalnya. Baru kali ini dia mengatakan aku cantik.

“Lo cantikan begini, kalau make up muka lo jadi lain. Tapi kalau begini, keliatan lebih alami. Sama kayak Ghea, sebenernya gue lebih suka lihat dia tanpa make up, tapi dia selalu pake make up kalau ketemu gue seolah-olah dia selalu ingin gue ngerasain rindu sama dia.” Senyum lemah ku langsung muncul begitu saja, Syailendra memang seperti ini. Selalu memuji Ghea dan mengagung-agungkan Ghea.

“Lo sesayang itu ya, Ndra. Sama Ghea?” Syailendra tersenyum sangat lebar, andai saja senyum itu akan selalu aku lihat hanya untukku mungkin aku akan menjadi perempuan paling beruntung di dunia ini.

“Iya, gue sesayang itu sama Ghea, Tiss.” Syailendra tersenyum sangat lebar, tulus dan menenangkan. Oh God, aku suka dia tapi dia masih gagal move on dari temanku. Payah.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status