Tissa
Setiap orang di dunia ini pasti mempunyai kriteria masing-masing untuk memilih pasangannya, ada yang suka cowok ganteng, ada juga yang suka cowok biasa aja. Ada yang menyukai cewek cantik, dan ada juga cowok yang nenyukai cewek yang biasa-biasa saja. Semua orang punya tipenya masing-masing, dan setiap orang akan punya waktunya tersendiri dimana dia akan terlihat sangat tampan atau cantik. Dan bagiku, nilai plus seorang cowok adalah ketika mereka menunjukan raut wajah khawatirnya ketika pasangannya terluka. Atau kadang kala, ketika mereka sedang fokus melakukan hobinya. Bukan hobi bermain cewek ya ini melainkan hobinya yang berbau-bau olahraga atau semacam hal-hal yang mereka sukai.
“Tiss, nanti kamu tolong mampir ke toko kue dulu ya pulangnya? Bawain kue buat Ibuku, lagi pengen makan kue katanya dia.” Aku memutar bola mataku jengah, mendengar kalimat dengan nada lembut yang berupa manipulasi itu membuatku merasa jijik.
“Iya, kue yang biasa 'kan?” Aku bertanya dengan ketus, berharap dengan begitu dia akan menghentikan tingkah menjijikannya ini. Aku muak dengan dia yang masih mempertahankan sifat munafiknya.
“Iya yang biasa, tapi nanti jangan langsung pulang dulu. Kamu lihat-lihat di rumah apa yang belum di kerjain, kalau ada cucian ya kamu tolong cuciin dulu baju kotor Ibuku. Aku pulang agak telat, nanti aku antar kamu pulang setelahnya.” Bulu kudukku merinding mendengar kata-katanya barusan. Lagi-lagi ia menjadikan aku sebagai babunya, padahal di rumahnya itu ada adik perempuannya. Sudah dewasa dan sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah, tapi dia—Lhambang, selalu berkata tidak enak katanya kalau menyuruh adiknya ini dan itu.
“Emang Astrid ke mana? Kalau dia ada di rumah ya suruh dia ajalah yang bantu-bantu Ibu dulu, kalau kamu nggak enak ngomongnya sama Astrid ya aku nih yang ngomong.” Persetan dengan muka Lhambang yang langsung nggak enak ketika mendengar kalimatku, cowok-cowok macam ini, kalau nggak dipaitin sampe kiamat juga bakalan bertingkah seenak jidatnya terus sama kita.
“Tiss, Ghea udah datang? Weh Lham, kenapa muka lo kusut amat? Kurang jatah?” aku mendongak dan menemukan Syailendra di depanku, ngapain dia pagi-pagi gini sudah nangkring di loby kantorku? Oh, iya lupa. Dia pasti lagi mengusahakan untuk merebut hati Ghea lagi.
“Emang iya muka gue kusut, Ndra? Kayaknya enggak deh biasa aja. Tapi lo ngapain di sini pagi-pagi gini?”
“Nyari Ghea gue, udah datang belum dia Tiss? Lham?” tuh 'kan, Ghea lagi pasti alasan wajah paniknya itu pagi-pagi begini muncul lagi.
“Duh, nggak tahu. Gue sama Tissa baru aja datang soalnya ini.” Syailendra langsung mengerti ketika Lhambang mengatakan hal itu.
“Dia susah banget dihubungi dari semalam, gue takut ada apa-apa aja sama dia. Tadi pagi juga pas gue samper ke rumahnya, dia udah jalan kata nyokapnya. Tar kalau lo ketemu dia kasih tahu gue ya Tiss kondisinya? Tolong banget nih ....” Syailendra langsung menjawab dengan kalimat yang sebenernya tidak pernah lagi aku mau mendengarnya dari mulut Syailendra Akbar Gibran.
“Oh, iya. Okee, ntar gue wa kalau gue ketemu dia, Ndra.”
“Makasih ya Tiss, dan sori nih kalau gue ngerepotin lo terus.”
“Iya nggak apa-apa, santai aja, Ndra. Guenya juga nggak merasa direpotin, kok.”
“Duh, baik banget sih lo, Tiss. Seandainya lo masih sendiri udah gue pepet deh lo buat jadi pacar.” Syailendra mengatakan itu sambil nyengir-nyengir bodoh, aku tahu dia mengatakan itu hanya untuk candaan semata. Buktinya ketika Lhambang menoyor kepadanya, tawa Syailendra langsung mengudara.
Udah cerita belum aku soal Lhambang dan Syailendra? Lhambang itu pacarku, sedangkan Syailendra itu pacarnya sahabatku—Ghea. Kami sering ngumpul bareng, intinya ya kami ini memenang sedekat itu, tapi sialnya kisah ini justru menjadi kisah yang rumit seperti judul sinetron yang tayang seminggu tujuh kali, kalian tahu tidak?
Endingnya kalian tahu? Sahabatku—Ghea, menyukai pacarku Lhambang. Dan aku, menyukai Syailendra. Gila ya memang kami ini.
Aku sudah lebih dulu tahu kalau Ghea menyukai Lhambang, entah untuk alasan apa dia menyukai Lhambang tapi jika Ghea jatuh hati karena kebaikan dan perlakuan lembut Lhambang kepadaku, aku sudah sering kali bilang kepadanya untuk jangan terlalu mempercayai apa yang dia lihat, karena ketika dia menemukan kebenarannya dari sudut pandang lain. Aku takut, dia nantinya tidak bisa menerima kenyataan dan malah menyesal. Aku sudah sering kali berkata seperti itu, namun Ghea malah mengabaikannya.
“Aku masuk duluan deh ya? Kamu kalau masih mau ngobrol sama Lendra, ya nggak apa-apa tapi aku tinggal, ya?” aku menoleh, baru sadar kalau dari tadi aku mengabaikan Lhambang. Aku langsung mengangguk mengiyakan, baguslah. Aku sedang malas bersama dengan Lhambang sebenernya, jadi setelah dia mengusap kepalaku dan tersenyum manis, dia langsung berpamitan kepada Syailendra dan berjalan masuk ke dalam kantor.
“Ghea nggak akan kenapa-kenapa.”
“Iya, gue harap juga gitu, sih.”
“Lo nggak ke kantor?” aku bertanya kepada Syailendra karena aku kasihan dan bingung harus berbicara apa lagi untuk membuat Syailendra paham bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ghea dengan berlebihan.
“Bentar lagi lah, lo udah mau masuk emang?” aku menggeleng dengan semangat, ngapain juga aku buru-buru masuk kalau waktu masuk kantor saja masih ada dua puluh menit lagi. Lebih baik, aku mengobrol-ngobrol sebentar dengan Syailendra.
“Lo hari ini lagi nggak pake make up ya, Tiss?”
“Iya nih, lagi malas. Kenapa?” Syailendra hanya menggeleng, sementara aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
Lucu deh dia ini kalau lagi khawatir.
“Lo cantikan begini.”
“Hah?” aku melotot panik ketika mendengar kalimat Syailendra barusan, selama aku mengenalnya. Baru kali ini dia mengatakan aku cantik.
“Lo cantikan begini, kalau make up muka lo jadi lain. Tapi kalau begini, keliatan lebih alami. Sama kayak Ghea, sebenernya gue lebih suka lihat dia tanpa make up, tapi dia selalu pake make up kalau ketemu gue seolah-olah dia selalu ingin gue ngerasain rindu sama dia.” Senyum lemah ku langsung muncul begitu saja, Syailendra memang seperti ini. Selalu memuji Ghea dan mengagung-agungkan Ghea.
“Lo sesayang itu ya, Ndra. Sama Ghea?” Syailendra tersenyum sangat lebar, andai saja senyum itu akan selalu aku lihat hanya untukku mungkin aku akan menjadi perempuan paling beruntung di dunia ini.
“Iya, gue sesayang itu sama Ghea, Tiss.” Syailendra tersenyum sangat lebar, tulus dan menenangkan. Oh God, aku suka dia tapi dia masih gagal move on dari temanku. Payah.
*****
Ghea"Lah, lo di sini, Ghe? Itu si Lendra nyariin lo juga." Aku hanya tersenyum bodoh saja waktu Lhambang datang menghampiriku yang sedang berdiri di loby dalam kantor dengan tampang bingung.Seneng sih aku bisa melihat wajahnya pagi-pagi gini, apalagi yang barusan aku lihat itu wajahnya Lhambang yang imut abis. Saat dia menghampiriku dengan ekspresi wajah seperti itu rasanya aku ingin sekali berlari menghampirinya lalu menciumi kedua pipinya gemas, tapi aku sadar diri jika itu dosa. Itu hanya pemikiran liarku saja yang mungkin nanti akan berubah menjadi kenyataan, yah 'kan, apa salahnya kita berdoa dulu. Siapa tahu Tuhan mengabulkan doa kita dengan cepat bisa jadi kita juga 'kan yang akan bahagia nantinya? Lagi pula, siapa sih orang yang tidak akan bahagia jika keinginannya yang sudah lama ia pendam terkabul?Semua orang di dunia ini
Tissa"Yaaahhh, ketemu lo lagi ketemu lo lagi gue." Aku yang sedang mengetikan pesan untuk Lhambang mendadak menjadi tersenyum lebar dan mengunci layar ponselku dengan segera, bodo amat deh dengan Lhambang. Manusia dihadapanku ini lebih menarik soalnya."Hahaha .... iya nih, bosen nggak lo ketemu gue terus?" Dia menjawab sembari memasukan kedua tangan pada saku celannya, senyumnya lebar dan ganteng abis.Kadang kalau lagi punya pikiran begini aku suka istighfar dalam hati, yaiyalah aku istighfar orang yang lagi aku puji-puji dan kagumi ini adalah pacar orang lain. 'Kan, kalau begini kedengarannya aku seperti cewek gatel yang nggak punya kerjaan lain selain gangguin cowok orang. Tapi mau bagaimana lagi, katanya 'kan, selama janur kuning belum melengkung ya hajar saja terus. Lagi pula Ghea ini juga nggak ada otak sih, udah dapat cowok yang sempurna macem Syaile
SYAILENDRATahu ah, gondok aku sama Tissa. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu, ya itu memang haknya sih. Dia mau berbicara seperti apa juga itu haknya, hanya saja seharusnya dia bisa sedikit saja lebih prihatin gitu kepadaku. Saat ini 'kan aku sedang dalam kondisi patah hati, meskipun aku nggak tahu pasti dia tahu atau tidak kondisiku saat ini tapi setidaknya mbok ya dia jangan tarlalu kejam gitulah bicaranya kepadaku. Aku saja tadi saat dia berbicara seperti itu langsung diam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena jujur aku merasa tertampar saat Tissa mengatakan kalimat panjang kali lebar itu kepadaku tadi.Jadi yang tadi aku lakukan padanya hanyalah diam, balik badan dan pergi begitu saja dengan tampang bodoh bin tolol yang pernah aku punya. Padahal aku tahu, Ghea ada di dalam. Sedang memandangi kami dari balik pintu loby, aku tahu tapi aku pura-pura tidak
GheaAku baru saja tiba di kantor setelah bergulat dengan kantukku pagi-pagi buta begini. Bagaimana tidak, sudah beberapa hari ini aku berangkat dari rumah subuh buta karena menghindari Syailendra Akbar Gibran, mantan pacarku yang belum bisa move on dariku. Merepotkan? Tentu saja iya, perkara aku yang tidak mau pergi dan pulang dengannya aku jadi harus mengorbankan diriku sendiri beberapa hari ini. Bangun subuh, berangkat pagi-pagi buta dan sampai di kantor dengan keadaan kantor masih sepi begini. Aku heran dengan Syailendra, kenapa ya dia susah sekali move on padahal aku sudah jungkir balik membuat dia benci kepadaku, harus aku apakan ya dia?Aku tidak mau mempunyai hubungan buruk dengannya, biar bagaimana pun juga sebenarnya Syailendra itu orang baik. Dia memperlakukan aku dengan baik dan dia juga dari keluarga baik-baik, jadi aku sama sekali tidak ingin mempunyai hubungan
Tissa"Lah, gue nggak salah lihat ini?" Aku mengusap-usap mata beberapa kali, saking tidak percayanya dengan apa yang aku lihat saat ini. Syailendra? Di teras rumahku? Pagi-pagi ini? Dia salah alamat atau bagaimana ya?"Udah siap lo?""Udah, kenapa lo ada di sini pagi-pagi gini, Ndra?" Aku duduk di kursi sebelahnya, tempat yang tadi di duduki Ayahku untuk menemani Syailendra."Mau jemput lo, lo hari ini nggak berangkat bareng Lhambang, 'kan?" Tanyanya, Syailendra mengalihkan pandangannya ke arahku."Tumben, ada angin apa?""Angin sepoy-sepoy. Serius nih, lo berangkat barenga cowok lo nggak?" Alis Syailendra bertaut, sepenasaran itukah dia dengan jawabanku?"Enggak, dia masih
SyailendraAku tidak menyangka jika Tissa memang bisa selucu ini, kupikir dia hanya akan bersikap galak dan kalau ngomong suka nggak ngenakin aja. Tapi tadi aku sedikit mau ketawa ngakak saat melihat tingkah konyolnya, kok bisa-bisanya ya dia seambigu tadi. Orang lain mungkin akan berpikir negatif tentang kata yuk yang aku ucapkan tadi, dan Tissa salah satu dari orang lain yang berpikir negatif itu.Maksudku tadi saat mengatakan yuk padanya artinya aku mengajaknya berpamitan kepada orang rumahnya, masa iya aku datang bersalaman dengan Ayahnya dan pulang main slonong boy saja 'kan tidak sopan. Biarpun kurang iman gini aku masih tahu adat dan sopan santun kali.Tapi Tissa malah menganggap yuk ku yang tadi adalah yuk yang lain, kalau aku pacarnya saat ini mungkin yuk yang kumaksudkan a
GheaRencana PDKT? Bubar jalan.Aku sudah mempunyai niat untuk menjenguk Lhambang nanti sore selepas pulang bekerja, tadinya aku memang akan mengunjungi dia kemarin tapi kemarin aku sibuk sekali. Lembur pula, jadi aku tidak bisa menjenguk Lhambang kemarin. Dan sepertinya hari ini pun aku gagal untuk menjenguk Lhambang, kenapa? Orang yang mau aku jenguk rupanya sudah masuk saat ini. Jadi, untuk apa aku menjenguknya kalau dia saja sudah masuk. Lhambang memang masih terlihat sekali tidak enak badannya, wajahnya masih pucat dan aku masih terlalu khawatir dengan kondisinya. Kalau masih sakit begitu untuk apa juga dia masuk kerja? Lebih baik dia istirahat saja di rumah.Lhambang yang aku tahu memang gila kerja, dia anak sulung dari keluarga yang sederhana. Jadi aku mewajarkan jika dia gila kerja, dia pasti ingin memberikan khidupan yang baik
GheaAku nggak terlalu mikirin juga sih soal kata-kata Lhambang tadi pagi yang katanya nganter Ghea karena kebetulan ketemu di jalan. Tadi, saat aku kebingungan setengah mampus karena takut Lhambang marah kepadaku karena aku menjelek-jelekan Tissa secara langsung. Aku malah dibuat terkesima kepadanya karena dia malah bilang Tissa kadang emang suka ngelengkelin sih, Ghe. Wajar kalau sekarang lo marah karena Tissa bersikap begini sementara lo tahu gue lagi sakit. Gila, aku pikir tadinya Lhambang malah akan marah dan memakiku, tapi dia malah bilang begitu dan lalu berkata nggak apa-apa, nggak usah dipikirin. Gue nggak marah, santai aja.Tadinya kami memang akan langsung makan dikantin bersama, tapi sebuah mobil yang sangat aku kenali berhenti di lobi. Aku dan Lhambang sempat berhenti karena terkejut salah satu orang yang turun dari mobil itu adalah Tissa, orang