Share

13 | Jadinya Gini?

Ghea

Aku baru saja tiba di kantor setelah bergulat dengan kantukku pagi-pagi buta begini. Bagaimana tidak, sudah beberapa hari ini aku berangkat dari rumah subuh buta karena menghindari Syailendra Akbar Gibran, mantan pacarku yang belum bisa move on dariku. Merepotkan? Tentu saja iya, perkara aku yang tidak mau pergi dan pulang dengannya aku jadi harus mengorbankan diriku sendiri beberapa hari ini. Bangun subuh, berangkat pagi-pagi buta dan sampai di kantor dengan keadaan kantor masih sepi begini. Aku heran dengan Syailendra, kenapa ya dia susah sekali move on padahal aku sudah jungkir balik membuat dia benci kepadaku, harus aku apakan ya dia?

Aku tidak mau mempunyai hubungan buruk dengannya, biar bagaimana pun juga sebenarnya Syailendra itu orang baik. Dia memperlakukan aku dengan baik dan dia juga dari keluarga baik-baik, jadi aku sama sekali tidak ingin mempunyai hubungan yang buruk dengannya kalau aku boleh jujur. Tapi ... bagaimana ya? Aku bingung menjelaskan situasiku saat ini.

Aku duduk di kursi loby, menunggu Tissa yang mungkin saat ini masih dalam perjalanan menuju ke kantor. Kantorku masih sepi, para pekerja juga belum banyak yang berdatangan dan aku bosan dengan situasi ssperti ini. Yang aku inginkan, saat Syailendra menyetujui keputusanku untuk putus dengannya dia hidup dengan kehidupannya sendiri dan berhenti merecokiku. Aku tidak masalah jika dia ingin mengajak kami--aku, Tissa dan Lhambang mengobrol bersama. Sungguh aku tidak ada masalah sama sekali dengan hal itu karena hal itu pula yang memang aku inginkan terjadi dengannya, kami berbincang layaknya seorang sahabat tanpa ada unsut nostalgia seperti yang dia lakukan kemarin.

Bagaimana caranya memberitahukan hal itu kepadanya, ya? Karena aku sudah bingung harus melakukan apa untuk membuatnya menjauh. Pakai cara jahat, sudah. Tapi dia tetap bertahan disisiku. Pakai cara baik-baik? Juga sudah, tapi dia malah semakin jadi gilanya. Jadi aku bingung harus pakai cara apa lagi.

Tidak mungkin kan aku begini setiap hari? Orang rumahku saja sudah bosan mungkin melihat aku yang setiap pagi harus marah-marah tidak jelas hanya karena telat bangun. Ibuku sudah tahu jika aku putus dengan Syailendra, dia menanyakan apa masalahnya katanya Syailendra tidak mungkin melakukan hal yang menyakiti aku. Lalu aku jawab saja dengan jujur bahwa ya, bukan Syailendra yang menyakiti aku tapi akulah yang menyakiti dirinya. Ibuku memang menyayangkan keputusanku untuk pisah dari Syailendra katanya aku pasti akan menyesalinya nanti, tapi Ibuku tetap mendoakan aku agar aku bisa mendapatkan jodoh yang baik agar aku tidak menyesal katanya karena sudah membuang Syailendra.

Ibuku memang sayang menyukai Syailendra, bukan karena dia kaya atau tampan. Tapi karena prilakunya yang baik dan tidak neko-neko jadi keluargaku semuanya rata-rata menyukai Syailendra. Hanya aku sajalah yang belum bisa menyukainya sepenuh hati, entah memang karena aku bodoh atau memang itu salah satu cara Tuhan memberikan aku petunjuk? Petunjuk bahwa sebenarnya Syailendra bukan laki-laki baik.

"Nunggu siapa lo, Ghe?" Tanpa sadar aku mengedipkan mata beberapa kali, kapan Tissa datang dan dia datang sendiri?

"Nungguin elo, eh lo sendirian?" Aku celingak-celinguk mencari Lhambang.

Kok tumben ya dia tidak ada, apa memang benar Tissa datang sendiri hari ini?

"Nyari siapa lo? Laki gue? Nggak ada, dia nggak masuk hari ini." Eh? Kok dia tahu ya aku nyari Lhambang? Apa sikapku ini terlihat jelas sekali aneh di mata Tissa?

"Tumben dia mau absen?" Kataku pura-pura bersikap biasa saja padahal aku sedang kepo mampus saat ini, aku berdiri menyamakan tinggi dengan Tissa.

Tissa masih memasang senyum manisnya, entah dia sadar atau tidak kalau menyukai Lhambang. Aku takut dia marah kepadaku karena aku menyukai pacarnya, biar bagaimana pun dia ini teman baikku. Kami sudah berteman sejak lama dan aku sangat hapal bagaimana dia, tapi saat ini aku benar-benar tidak bisa membaca jalan pikirannya. Apakah saat dia mengetahui aku menyukai pacarnya dan akan berjuang untuk mendapatkan pacarnya apa dia akan marah? Menganggapku orang yang paling jahat sedunia karena menikung temannya sendiri? Tapi aku tidak menikungnya, aku akan mengatakannya secara langsung bahwa aku menyukai pacarnya. Jadi, itu bukan berarti aku menikungnya, 'kan?

Kurasa sih tidak.

Karena kalau aku ada niat untuk menikungnya aku akan langsung bertindak tanpa memberitahukannya terlebih dahulu. Kalau begitu, dia pasti akan sakit hati dan benci padaku. Bukan hanya makian yang akan dia lontarkan kepadaku mungkin sebuah pukulan pun akan dia berikan kepadaku karena aku sudah merebut pacarnya.

Aku sering bertengkar dengannya tapi aku tidak pernah bertengkar dengannya perihal masalah laki-laki, paling-paling kami bertengkar karena masalah sepele. Masalah kami yang tidak sependapat atau kami yang memperebutkan sesuatu, barang misalnya. Selama kami berteman, aku dan Tissa sama sekali tidak pernah bertengkar perkara laki-laki. Mungkin, saat aku jujur kepadanya nanti itu akan menjadi pertengkaran perdana kami tentang laki-laki. Siapa yang akan mengalah aku juga tidak tahu, harusnya sih aku yang mengalah karena biar bagaimana pun aku yang seharusnya tahu diri. Aku tidak punya kelebihan apapun yang bisa aku pamerkan kepada Lhambang agar dia lebih memilihku daripada Tissa.

Itulah yang membuat aku pusing saat ini.

Dengan senangnya dia berkata, "Sakit dia."

Sakit? Tapi kok, Tissa malah kelihatan senang, ya? "Ohh, sakit apa dia?"

Mendengar kalimat tanyaku, Tissa mendengus kesal, namun sejurus kemudian matanya berbinar.

"Kecapean dia, istirahat sehari juga udah ssmbuh. Yakin gue." Dan pada akhirnya aku hanya bisa membiarkan hariku berjalan suram hari ini.

Tidak ada senyum Lhambang pagi hari itu bisa membuat duniaku berantakan, aku kadang kesal kalau tidak bisa melihat senyumnya. Bawaannya aku ingin marah saja kepada siapapun yang saat ini berhadapan denganku, Lhambang itu moodbosterku. Kalau tidak ada dia, sudah pasti hari-hariku akan suram. Sekarang saja semangat bekerjaku hilang.

Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mengetahui Lhambang sebagai moodbosterku, hanya saja ketika melihatnya aku menjadi sedikit lebih tenang saat tadi hampir mati kesal karena Syailendra. Aku tidak membenci Syailendra, aku hanya benci ketika aku berdekatan dengannya aku tidak bisa mengontol emosi. Apalagi saat aku sedang bersama Tissa dan Lhambang, aku harus berpura-pura baik kepadanya. Menunjukan diri bahwa aku mencintainya padahal aku muak sekali melakukan itu, tapi kalau aku melakukan itu dengan Lhambang sih, kayaknya aku tidak akan muak. 'Kan, aku suka Lhambang jadi aku tidak akan muak kepadanya sekali pun dia bersikap manja-manja menjijikan kepadaku seperti yang biasa Syailendra lakukan.

Kata-kataku nyakitin banget, ya?

Coba aja kalian rasakan sendiri gimana rasanya jadi aku, harus pura-pura bertahan dengan seseorang yang tidak kita sukai dan sayangi itu rasanya berat sekali. Sungguh aku tidak bohong, kadang malah aku suka tidak enak hati dengan Syailendra. Kenapa? Karena aku menyakitinya selalu.

Itulah alasan sebenarnya aku ingin putus darinya, agar aku dan dia bisa hidup dengan sehat. Agar dia mempunyai kehidupan yang lebih baik dari pada saat ini, aku kasihan kepadanya. Karena mencintaiku, hidupnya menjadi berantakan seperti saat ini. Aku ingin dia punya kehidupan yang normal, yang di dalamnya dia bisa bahagia.

Tapi dia tidak pernah mengerti dengan hal itu, yang dia tahu hanya dengan bersamaku dia bisa bahagia. Padahal tidak, ya mungkin dianya bahagia tapi kan akunya tidak. Hubungan itu dijalani dengan dua orang, kalau salah satu diantaranya tidak bahagia ya untuk apa dipertahankan? Sudahi saja, bukankah itu lebih baik?

Syailenda itu pintar, masa iya sih dia tidak mengerti dengan kata-kataku? Masa iya harus aku jabarkan semua alasanku ingin putus dengannya? 'Kan tidak perlu, jadi aku harus minta pertolongan siapa dong agar dia bisa menjalani kehidupannya lagi dan melepaskan aku dengan ikhlas?

Kakaknya?

Kakaknya dia itu Mas Bumi aku sering memanggilnya begitu, orang yang pendiam sekali. Aku sangsi dia akan menolongku karena untuk menolong dirinya sendiri saja dia susah, maksudku, kisah percintaannya itu lebih parah dari pada Syailendra, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima perempuan itu kembali.

Jadi, bagaimana dia bisa membantuku? Yang ada mungkin dia akan meminta aku untuk mempertahankan Syailendra. Pasti dia akan memintaku melakukan hal itu karena dia tidak mungkin menyuruh kami berpisah, dia kan sayang sekali dengan keluarganya, dia pasti ingin Syailendra terus bahagia dan dia mungkin tidak akan memikirkan perasaanku bagaimana.

"Ntar, pas balik kerja lo mau ke rumahnya?" Aku bertanya, setelah hening menyelimuti kami.

"Ke rumah siapa? Lhambang?" Aku mengangguk membenarkan.

Tapi Tissa menjawab tidak, hal itulah yang membuat aku kesal kemudian.

"Kenapa?" Aku bertanya dengan nada melas, kenapa aku ini? Mungkin karena memikirkan kondisi Lhambang?

"Kenapa gue nggak jenguk Lhambang atau kenapa apa nih?"

"Iya itu maksud gue, kenapa lo nggak jenguk Lhambnag?" Aku kadang heran dengan Tissa, kenapa ya dia sepertinya ogah-ogahan dengan Lhambang memangnya Lhambang punya salah apa sampai dia secara terang-terangan bersikap seperti ini?

"Kan lo mau ke sana, ngapain gue harus ke sana?" Dia berkata dengan senyum.

"Maksudnya?" Kulihat Tissa mengangkat sebelah alisnya, lalau tersenyum santai.

"Lo mau jenguk Lhambang, 'kan?"

"Enggak." Kalimatku diikuti dengan efek penegasan, tapi nyatanya hal itu malah membuat Tissa menatapku gemas.

"Kenapa enggak?"

"Karena lo nggak ke sana."

"Kalau lo mau ke sana, ya ke sana aja. Sekalian PDKT mungkin?" Jawaban sekaligus pertanyaan dari Tissa terdengar mantap. Tapi aku justru merasa pusing dengan pertanyaannya saat ini.

"Maksud lo gimana ya, Tiss?" Tanyaku, Tissa menatapku sekilas, sebelum kembali menjawab.

"Lo suka 'kan, sama Lhambang?" Mendengar pertanyaan Tissa, aku memicingkan mata. Pertanyaan Tissa membuat aku seperti perempuan jahat, namun sayangnya aku nggak bisa mengelak.

"Kenapa lo nanya gitu?"

"Kenapa lo nggak bisa jawab?" Aku menghela napas saat mendengar pertanyaannya lagi, saat ini aku sedikit menyesal karena terlibat perbincangan yang tidak mengenakan ini.

"Gue ... nggg, nggak. Gue nggak suka Lhambang." Akhirnya aku melihat Tissa merubah gesture tubuhnya, dia melipat tangan di depan dada lalu memicingkan mata, membut gue sedikit terintimidasi, sialan.

"Gue tahu kok lo suka Lhambang, trust me gue nggak akan marah." Demi kerang ajaib, aku membenci teman yang tidak bisa aku tebak jalan pikirannya ini.

Aku akhirnya memilih menghembuskan napas dengan kasar, merasakan kepala yang mulai berdenyut.

"Sori, Tiss..." akhirnya hanya kata itu yang bisa aku katakan padanya, Tissa terdiam cukup lama sampai akhirnya dia menjawab.

"Nggak apa-apa, nggak perlu minta maaf. Gue bilang, gue nggak akan marah, 'kan?" Oke, selain nggak bisa ditebak jalan pikirannya dia juga membuat aku merasa bersalah.

Karena bisa-bisanya dia bersikap sesantai ini.

Setahuku Lhambang bukan tipe laki-laki yang bisa berbuat kesalahan, lalu kenapa ya Tissa sepertinya santai sekali melepaskan Lhambang? Tissa memang sering berkata kepadaku agar aku jangan melihat baiknya Lhambang saja, tapi lihatlah buruknya Lhambang. Jangan membenarkan keburukan Lhambang hanya karena aku menyukainya, iya. Aku sering melihat kesalahan Lhambang tapi aku selalu membenarkannya.

Apa aku salah berprilaku seperti itu? Kalau memang salah ya aku mohon maaf. Tapi hal-hal yang dilakukan oleh Lhambang itu tidak berakibat salah yang besar sama sekali, itu hanya kesalahan-kesalahan kecil saja yang sebenarnya bisa dimaklumi. Tissanya saja yang lebay, masa begitu saja dia marah.

Padahal kesalahan seperti itu biasa dilakukan oleh pasangan lain, dan pasangan lain itu pasti memaklumi. Apa karena hal itu Tissa mau melepaskan Lhambang dengan sangat santai seperti ini? Kalau iya, aku harus berekspresi apa saat ini? Senang? Atau biasa saja? Toh, saat ini dia--Tissa sudah mengatakan dia tidak akan marah denganku.

Tissa itu orang yang omonannya akan selalu singkron dengan tindakannya, jika dia bekata tidak akan marah itu artinya dia memang benar tidak akan marah. Namun jika dia berkata dia akan marah, maka dia pasti akan marah. Beda halnya jika dia mengatakan tidak akan marah tapi ekpresi wajahnya dingin, itu pasti jelas dia akan mengamuk.

Tapi saat ini aku tidak menemukan ekspresi wajah dinginnya, jadi bisa aku simpulkan bahwa Tissa benar-benar tidak akan marah.  Jadi, sejak kapan dia tahu bahwa aku menyukai Lhambang? Duh, aku jadi tidak enak nih menghadapi Tissa. Kira-kira, dia akan mundur atau mempertahankan Lhambang, ya?

Aku sih berharapnya dia mundur saja.

"Dari kapan lo tahu?" Aku mencoba mencairkan suasana, atau bahkan menebus rasa bersalah karena nyatanya sadar atau tidak aku sudah menyakiti hati sahabatku sendiri.

"Udah lama, dari jaman lo masih sama Lendra." Tissa menjawab dengan gayanya yang tengil.

Aku menghela napas berat, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Terus kenapa lo diam aja? Kenapa lo nggak nanya ke gue?" Tissa diam, tapi nggak lama dia senyum, senyumnya pait banget.

"Karena gue mau lo lihat jeleknya Lhambang, nih cowok pantes nggak buat lo perjuangin. Gue sih, masih mikirin lo ya sebagai teman baik gue. Nggak tahu kalau lonya, masih mikirin gue nggak?"

"Ya masih lah, gue masih mikirin lo sebagai teman." Tuh 'kan, aku makin nggak tahu harus bersikap gimana saat ini.

"Emang iya?"

"Kenapa pertanyaan lo kayak gitu ya, Tiss? Pertanyaan lo itu terdengar seperti gue cewek jahat." Aku pikir ekspresinya kali ini akan sama dengan ekspresi-ekspresinya sebelumnya, tersenyum. Namun aku salah, dia malah menatapku datar.

"Waktu lo suka sama Lhambang, apa lo pernah mikir perasaan gue gimana?" Aku menatap Tissa bingung, dia bertanya padaku dengan nada tegas.

"Pernah, kok." Aku sendiri saja bingung dengan jawabanku saat ini. Apa iya aku pernah memikirkan perasaan Tissa?

"Oh, ya udah. Bagus deh, kalau lo pernah mikirin perasaan gue. Jadi sekarang, silahkan lo perjuangin Lhambang biar gue yang urus Lendra."

Saat mendengar jawaban Tissa entah mengapa senyumku merekah, sekarang aku tahu kenapa dia tidak marah kepadaku.

Karena dia menyukai Syailendra Akbar Gibran.

Benar 'kan? Aku benar bukan?

Gila.

Aku tidak menyangka bahwa persoalan ini akan berakhir dengan mudah, kalau aku tahu Tissa menyukai Syailendra, mungkin sudah sejak lama aku melepaskan Syailendra. Aku tidak akan makan hati terlalu lama dan aku bisa memiliki Lhambang sesegera mungkin, gila. Tissa memang temanku yang TOP, aku tidak menyangka dia akan sesantai ini.

Setelah ini, aku hanya berharap agar Tissa tidak menyesal karena sudah menyukai Syailendra.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status