Tissa
"Lah, gue nggak salah lihat ini?" Aku mengusap-usap mata beberapa kali, saking tidak percayanya dengan apa yang aku lihat saat ini. Syailendra? Di teras rumahku? Pagi-pagi ini? Dia salah alamat atau bagaimana ya?
"Udah siap lo?"
"Udah, kenapa lo ada di sini pagi-pagi gini, Ndra?" Aku duduk di kursi sebelahnya, tempat yang tadi di duduki Ayahku untuk menemani Syailendra.
"Mau jemput lo, lo hari ini nggak berangkat bareng Lhambang, 'kan?" Tanyanya, Syailendra mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Tumben, ada angin apa?"
"Angin sepoy-sepoy. Serius nih, lo berangkat barenga cowok lo nggak?" Alis Syailendra bertaut, sepenasaran itukah dia dengan jawabanku?
"Enggak, dia masih sakit." Yah untung sajalah Lhambang masih sakit, jadi aku bisa berangkat dengan Syailendra pagi hari ini. Ngomong-ngomong ini hari apa ya kok kayaknya aku bakalan dapat hoki hari ini.
"Oh dia sakit? Sakit apaan tuh anak?" Dia bertanya dengan nada khawatir, sepertinya dia tidak tahu kalau Lhambang sedang sakit.
"Kecapean, kebanyakan lembur sih dia. Jadi begitu tuh sakit." Aku menjawab seadaanya enggan memberitahukan hal yang lebih dari ini karena malas.
Kulihat Syailendra menarik napas panjang kemudian mengangguk ringan. Sejujurnya aku bingung kenapa dia ada di rumahku pagi-pagi begini, apa mungkin dia sengaja menjemputku hari ini? Kalau memang sengaja kenapa pula waktunya bisa pas sekali. Syailendra pasti tahu kalau setiap harinya aku berangkat kerja dan pulang kerja bersama dengan Lhambang, jadi kenapa hari ini dia bisa nangkring ganteng di teras rumahku tanpa memberitahukan terlebih dahulu perihal kedatangannya kepadaku. Tidak takut kah dia bertemu dengan Lhambang? Maksudku takut rencana dia yang akan mengantarkan aku berangkat bekerja gagal karena aku berangkat dengan Lhambang, begitu lho maksudku.
Sebenernya, apa sih tujuan dia datang ke sini? Kalau untuk menemui Ghea aku rasa dia salah alamat. Ini bukan rumah Ghea kalau-kalau dia lupa, dan juga Ghea tidak mungkin ada di sini. Paling-paling dia saat ini sedang bersembunyi di loby kantor seperti kemarin saat aku melihatnya melamun di sana.
"Ngapin lo ke sini?" Mungkin nada tanyaku saat ini terdengar kasar, tapi ya mau bagaimana lagi aku sudah terlanjur kepo.
"Jemput lo, lah." Dia menjawab dengan cengiran gantengnya.
"Lo nyari Ghea, 'kan?"
"Enggak, gue emang beneran mau jemput lo." Aku ingin ketawa saat melihat Syailendra mengatakan kalimat barusan dengan muka innocentnya, memang benar ya orang ganteng mau diapain juga mukanya akan tetap terlihat ganteng.
"Yaaa itu dia yang bikin gue bingung, ada angin apaan lo mau jemput gue?"
"Biar gue ada temennya aja sih buat jalan ke kantor, temen ngobrol di mobil." Makin nggak nyambung ini alesannya dia.
"Kan kantor kita nggak searah?"
"Ya udahlah dibuat jadi searah aja kenapa lo pusing amat sih, Tiss?" Ya jelas aku pusing lah, kalau tahu dia akan mengajakku ke kantor bersama hari ini aku pasti akan berdandan dulu. Nggak keluar dengan muka tanpa make up begini, kali aja 'kan di mobil aku bisa sekalian pdktan dengan dia. Dia kan jomblo, aku juga calon jomblo jadi nggak apa-apalah nyari cadangan dulu sebelum sah jadi jomblo.
"Gue cuma heran aja sih, nggak pusing." Kataku berbohong.
"Ya udah yuk, mau jalan sekarang?" Dia bertanya dengan senyum manisnya, nada suaranya saat bertanya pun halus sekali. Aku jadi dag dig dug serr begini deh.
"Ya udah ayok, udah siang juga ini. Bentar ya gue pamitan dulu sama orang rumah." Kataku bergegas berdiri.
"Eh, Tiss. Di rumah ada siapa aja?" Dia bertanya masih sambil duduk, membuat aku sedikit menundukan pandanganku agar bisa melihat wajahnya.
Kalau aku lihat-lihat sih sepertinya mood syailendra sedang dalam kondisi baik, dia tidak terlihat berantakan seperti kemarin-kemarin saat masih sibuk nangkring di depan loby kantorku untuk menunggu Ghea. Aku tidak tahu apa yang dia sedang rencanakan hanya saja jika memang ini perihal Ghea aku pasti akan meladeninya, aku akan menjawab hal yang akan dia tanyakan perihal Ghea tapi aku juga akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya mengenai hubungannya dengan Ghea. Apa sebenarnya yang membuat dia cinta mati kepada Ghea, kenapa sesulit itu melepaskan Ghea dan apa dia tidak lelah terus bersikap bodoh seperti ini?
"Ada nyokap, bokap, sama abang gue. Kenapa?" Aku bertanya sambil mengalungkan tasku pada lengan.
Aku melihatnya heran sambil terus berpikir, Syailendra berdiri dari duduknya lalu merapihkan pakaiannya dan juga rambutnya. Sudah ganteng aku ingin mengatakan hal itu pada Syailendra namun aku malu, asli lah kenapa aku jadi alay begini ya?
Yuk, dia bilang. Tapi aku tidak bergerak dari tempatku berdiri tadi sehingga membuat Syailendra menatapku heran, kenapa jadi dia yang menatapku heran harusnya juga aku yang menatapnya heran bukan? Yuk yang dia katakan entah mengatapa terdengar sangat ambigu di telingaku. Apa maksudnya yuk itu, yuk berpacaran atau yuk kita ke kantor. Aku kan jadi bingung harus bagaimana meresponnya, seandainya kata yuk itu berarti yuk berpacran maka aku akan menolak kepadanya. Bukan apa aku ini masih punya orang lain, aku mungkin naksir dia tapi aku tidak akan menjadikannya selingan. Dia harus menjadi yang utama karena itu aku harus menyelsaikan kisah cintaku terlebih dahulu.
"Kenapa sih lo? Aneh bener pagi ini?" Syailendra terkekeh geli menatapku sementara aku malah menatapnya dengan kesal.
"Ya elo abisan, bikin gue bingung aja!" Syailendra tersenyum lebar membuat aku mendengus kesal.
"Apa lo bingung kenapa?" Ya aku juga bingung sebenarnya aku ini kenapa sih? Salah tingkah?
"Tadi lo bilang yuk itu yuk ngapain?"
***
GHEAAku dibawa ke rumah sakit oleh Tissa dan juga Syailendra, apa yang mereka pikirkan saat menolongku aku tidak tahu. Yang aku tahu adalah Tissa yang menangis saat dia melihatku di dalam kamar dalam kondisi yang tidak mau aku jelaskan, lalu dia pun menangis sepanjang jalan menuju rumah sakit. Dia terus mengusap punggungku tanpa mengatakan apapun, karena mungkin memang hanya itulah yang bisa dia lakukan, mengusap punggungku dan kemudian menangis. Syailendra tidak berbicara apapun padaku, sampai saat ini sampai kami tiba di rumah sakit dia tidak berbicara apapun padaku. Di UGD ini, aku hanya di temani Tissa, Syailendra sedang berada di luar ruangan menunggu Ibuku datang.Padahal aku sudah mengatakan kepadanya kalau dia tidak usah memberitahu kan Ibuku soal kondisiku saat ini, dan memang benar dia tidak memberitahukannya kepada Ibuku tapi dia malah memberitahu kakakku, jadilah sekarang Ibuku mengetahui bagaimana kondisi anak bungsunya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hi
TISSAAku berkali-kali mendapati Syailendra bergerak gelisah saat mengemudi. Berkali-kali pun jawabannya saat menanggapi obrolannya denganku tampak tidak nyambung, singkatnya. Syailendra sedang tidak fokus saat ini dan sialnya aku tahu kenapa dia jadi tidak fokus seperti itu. Berkali-kali aku memikirkannya, berkali-kali itu juga aku jadi kesal dibuatnya.Aku tidak bertanya kenapa kakaknya Ghea menelpon dan mengirimnya pesan, telponnya memang tidak dia angkat tetapi pesannya dia baca sehingga hal itulah yang membuat aku jadi kesal sendiri sebab setelahnya Syailendra terlihat sekali tidak fokus saat ini. Untungnya, hanya aku yang ikut di mobil Syailendra kalau betulan Mamaku juga ikut disini, bisa dipastikan suasana akan berubah menjadi canggung.Sejujurnya, aku penasaran sekali tentang apa isi pesan kakaknya Ghea kepada Syailendra sehingga pesan itu bisa membuat Syailendra menjadi seperti ini. Tapi, disatu sisi pun aku merasa bahwa aku tidak berhak bertanya sebab aku bukan siapa-siapa
SYAILENDRAPagi hujan, siang cerah. Kondisi cuaca Jakarta memang tidak bisa dipresiksi semaksimal mungkin, aku hampir saja merutuki cuaca karena mereka hari ini aku terpaksa datang dengan salah konstum. Kalau tahu siang hari ini tidak akan turun hujan juga seperti pagi hari tadi, mana mau aku datang ke kedai kopi kakaku dengan swetter panas begini.Yah, tapi apa mau dikata deh. Sudah kejadian, lagipula mau datang pakai baju apapun aku, aku yakin aku masih dan akan sangat terlihat tampan.Hahaha ...Kok aku geli sendiri ya mendengarnya? Biarlah, aku kan jomlo, tidak ada yang memuji aku ganteng lagi sekarang jadi biarkan saja aku memuji diriku sendiri saat ini."Kenapa sih?""Hah? Apa? Apa yang kenapa?""Kamu kenapa?""Aku?" aku menunjuk diriku sendiri saat Tissa bertanya aku kenapa, aku kamu dengan Tissa memang hal yang baru tapi entah kenapa aku nyaman dengan kata ganti Lo-Gue diantara kami ini. "Aku kenapa?""Kayak orang bingung." Tissa menggaruk kecil hidungnya, kemudian melemparkan
GHEAMalam minggu kemarin, aku tidak pulang ke rumah Ibuku. Aku juga tidak masuk lembur, padahal hari sabtu kemarin adalah hari dimana aku seharusnya bekerja lembur tapi aku tidak melakukannya sebab Lhambang tidak memperbolehkan aku untuk pergi ke kantor. Jadi, dari pada wajahku kena tampar lagi olehnya lebih baik aku menurut saja dan mengatakan kepada pihak kantor kalau aku sedang sakit.Yah, walaupun aku tidak menjamin alasan itu akan diterima oleh atasanku mengingat lembur kemarin adalah aku yang meminta sendiri dan aku juga yang membatalkan senaknya. Aku meminta lembur karena aku butuh uang lebih diakhir bulan nanti, tentu saja untuk mengganti uang yang aku pinjam untuk Lhambang, aku berjanji untuk menggantinya meskipun aku meminjam uang tersebut kepada kakakku."Ghe?" Itu suara Lhambang, yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri Lhambang di dalam kamar, aku tidak mau kena omel lagi hanya karena aku terlalu lama menghampirinya padahal katanya jar
TISSASelimut yang masih menyelimuti tubuhku, pendingin ruangan yang masih menyala serta hujan yang mengguyur bumi menjadi saksi bahwa hari mingguku kali ini benar-benar sangat nyaman. Masih menscroll media sosial, dari satu aplikasi lalu ke aplikasi berikutnya jam sembilan pagi ini aku masih betah tidur-tiduran diatas kasurku.Tumben sekali, biasanya Ibuku akan masuk kamar lalu menyuruhku untuk bangun. Setidaknya untuk membantunya membereskan rumah yang sebenarnya selalu rapih ini atau sekedar olahraga bersama keliling komplek dan berakhir singgah di pasar untuk membeli kebutuhan rumah. Tapi hari minggu kali ini agak berbeda, sedikit lebih tenang dan sedikit lebih membahagiakan karena ketika aku bangun ada satu pesan yang selalu aku mimpikan untuk masuk ke dalam ponselku ketika pagi tiba. Yap! Chat dari Syailendra yang berhasil membuat pagiku yang sedang mendung ini menjadi lebih berwarna.Pesannya memang bukan sebuah pesan yang romantis, dipesan itu Syailendra hanya membalas pesanku
SYAILENDRAHari ini aku berjanji untuk berkunjung ke rumah Tissa, tapi sebelum berkunjung aku sudah menyempatkan diri datang ke tukang martabak pinggir jalan. Bukan abang-abang yang sedang berdagang di pinggir jalan melainkan di sebuah toko yang letaknya kebetulan berada di pinggir jalan, katanya ayahnya Tissa sangat suka martabak telur di tempat ini sebab itulah aku membelikannya martabak telur saja sebagai bawaanku malam ini. Karena aku bingung, apa yang harus aku bawa ke sana. Niatku hanya ingin bertamu karena Ibunya Tissa mengundangku untuk makan malam, jadilah aku ke sana malam hari ini selepas pulang bekerja. Ini pun aku datang agak telat, biasanya memang aku pulang sore tetapi tadi ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini juga makanya aku datang agak terlambat sedikit."Ndra!" Seseorang memanggil namaku dari arah belakang, ketika aku menoleh. Aku sudah menemukan seseorang yang sangat aku kenali sekali.Karena itulah, sembari tersenyum aku melangkah mendekatinya
GHEAPada akhirnya Lhambang mengantarkan aku pulang ke rumah, dengan mengancam perihal mobil yang akan aku ambil barulah dia mau mengantarkan aku pulang ke rumah. Sepanjang jalan menuju rumahku ini dia terus-terusan mengoceh perihal ini dan itu membuatku makin malas untuk meladeni dirinya. Bukan, ini bukan pekara aku yang sudah tak cinta lagi dengannya tapi ini perkara harga diri. Sampai saat ini aku masih menyukainya, saat ini aku hanya sedang memberikan pelajaran saja bagi dirinya kalau dia tak boleh semena-mena dengan diriku karena semua yang dia pakai dan gunakan saat ini adalah milikku. Jadi satu-satunya orang yang boleh sombong dan semena-mena itu adalah aku."Kamu masih marah sama aku?" Sambil menyetir, dia menoleh padaku sesekali untuk melihat ekspresiku saat ini. "Ghe?""Hmm?" Tadinya aku masih enggan untuk menyahuti dirinya t
GHEATiada satupun dari kita yang selalu tertawa tanpa hadirnya air mata. Namun Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kadar kemampuan nya. Aku selalu ingat ketika Syailendra ceramah mengenai hidup manusia, dulu ketika Syailendra mengatakan kata-kata bijak perihal hidup aku tak pernah sama sekali mendengarkan apa yang dia katakan dengan seksama. Tapi kadang-kadang kata-katanya itu bisa masuk ke dalam pikiranku dengan sendirinya, membuat aku berpikir kalau apa yang dia katakan itu sebenarnya memang benar. Akunya saja yang selama ini menolak ini dan itu perihal perkataannya padahal perkataannya itu adalah benar, sangat-sangat benar dan memang fakta."Udah?" Aku menoleh pada Lhambang yang baru saja keluar dari kamar mandi."Apanya yang udah?""Transfer ke aku, udah belum?" Katanya santai sambil
SYAILENDRADulu waktu umurku masih belasan tahun, sering berkata kepada teman-temanku kalau nanti ketika aku ingin menikah aku pasti tak perlu pusing mengajak wanita manapun untuk menikah. Aku tampan, aku kaya. Keluargaku baik, aku juga bukan tipekal orang yang suka macam-macam. Siapa yang tak mau denganku? Pastilah mau, karena pada saat kita ada di umur-umur belasan tahun sesorang hanya akan mengagumi orang lain hanya dari kemewahan. Ketulusan hati? Tak perlu, pada umur-umur belasan tahun aku tak pernah memikirkan perihal hati. Semuanya dengan mudah bisa aku dapatkan kalau aku kaya dan hidup berkecukupan, wanita manapun pada saat umur belasan tahun pasti akan memikirkan hal yang sama.Tapi diumurku yang sekarang, yang hampir mencapai angka tiga, saat ini aku lebih memilih mengagumi seseorang karena ketulusan hatinya. Sebab itulah mungkin saat ini aku selalu gagal perihal per