Share

12 | Curhatan Hati Sadboy

SYAILENDRA

Tahu ah, gondok aku sama Tissa. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu, ya itu memang haknya sih. Dia mau berbicara seperti apa juga itu haknya, hanya saja seharusnya dia bisa sedikit saja lebih prihatin gitu kepadaku. Saat ini 'kan aku sedang dalam kondisi patah hati, meskipun aku nggak tahu pasti dia tahu atau tidak kondisiku saat ini tapi setidaknya mbok ya dia jangan tarlalu kejam gitulah bicaranya kepadaku. Aku saja tadi saat dia berbicara seperti itu langsung diam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena jujur aku merasa tertampar saat Tissa mengatakan kalimat panjang kali lebar itu kepadaku tadi.

Jadi yang tadi aku lakukan padanya hanyalah diam, balik badan dan pergi begitu saja dengan tampang bodoh bin tolol yang pernah aku punya. Padahal aku tahu, Ghea ada di dalam. Sedang memandangi kami dari balik pintu loby, aku tahu tapi aku pura-pura tidak tahu saja tadi agar kelihatan keren.

Sebenarnya, aku juga tahu kalau Ghea sedang menghindariku selama ini. Dia tidak mengangkat teleponku, tidak membalas semua pesanku. Bahkan, saat aku datang untuk menjemputnya pun orang-orang di rumahnya mengatakan bahwa dia sudah berangkat kerja. Apa namanya kalau begitu? Dia sedang menghindariku bukan? Aku tahu akan hal itu, tapi lagi-lagi aku bersikap seolah-olah aku tak tahu. Karena aku berpikir saat ini mungkin Ghea hanya sedang mengujiku saja seperti kemarin-kemarin, dia tidak ingin putus denganku dia hanya ingin mengujiku saja. Apakah aku sudah layak untuk menjadi pendampingnya atau belum, saat ini aku hanya berpikir seperti itu saja tidak lebih.

Sampai akhinya saat ini, yang aku lakukan hanyalah guling-guling bodoh di tempat tidur saja sejak tadi. Mikirin kata-kata Tissa tadi sore, yang mungkin akan menyadarkan aku saat ini. Mungkin memang aku harusnya melepaskan Ghea dengan ikhlas dan berkata padanya untuk tidak jatuh cinta terlalu dalam dengan Lhambang.

Mungkin saat aku mengatakan hal itu kepada Ghea, hal yang pertama kali akan dia lakukan adalah menabokku lalu mencaiku. Aku sudah hapal betul hal itu diluar kepala, karena saat aku mengatakan hal buruk tentang Lhambamg dia pasti akan langsung marah kepadaku. Seharusnya dia tidak perlu melakukan itu padaku, aku ini 'kan pacarnya saat itu. Dia jelas tahu kalau aku biara tentang seseorang itu berdasarkan fakta, aku paling anti membicarakan tentang hal yang tidak pasti mengenai seseorang kepada orang-orang di sekitarku. Karena bisa jadi nantinya itu akan menjadi fitnah, dan aku tidak ingin menambah dosa dengan memfitnah seseorang. Gila, aku kalau ngomong kaya orang bener, ya?

Jadi sekarang aku harus bagaimana dong? Mempertahankan Ghea atau melepaskannya saja? Aku ini sebenarnya mau-mau saja melepaskan Ghea asalkan orang yang akan menjadi pendampingnya nanti bukan Lhambang. Biar bagaimana pun aku tahu Ghea ini orang baik, kami kenal cukup lama jadi mana mungkin aku tega menjerumuskan Ghea?

Dan lagi itu si Tissa, kok bisa ya dia tahan lama punya hubungan sama si Lhambang? Aku yakin sebenarnya dia sudah tahu tentang sifat Lhambang, mungkin saat ini dia juga sudah jengah bersama Lhambang. Tapi kenapa dia masih menutupi semua aibnya? Kalau aku jadi dia, saat dia--Lhambang meninggalkan sebuah bukti, aku akan langsung pergi ke kantor polisi. Meminta perlindungan di sana dan juga membuat si pelaku jera akan tindakannya, bukannya malah diam saja. Bermesraan seolah-olah tidak ada hal menyakitkan yang sedang terjadi, kalau Tissa bersikap seperti ini terus bisa jadi Lhambang akan besar kepala terus seumur hidupnya.

"Ndra, belum tidur?" Abangku, bang Bumi masuk ke dalam kamarku. Tumben dia ke sini? Ada angin apa ya kira-kira?

"Belum Mas, kenapa?" Aku bangkit dari posisku dan duduk bersila di atas kasur.

"Kenapa belum tidur?" Anak sulung di keluarga kami itu masih berdiri, pandangannya datar menatapku membuatku merinding ketakutan.

"Lagi nggak bisa tidur, Mas." Karena kami tidak terbiasa mengobrol santai, aku jadi bingung sendiri harus berkata apa padanya.

"Lagi mikirin apa emang kamu? Hutang?" Satu pandangan malas lolos begitu saja dari wajahku, bisa-bisanya ya dia berkata seperti itu. Luar biasa memang kakakku ini.

Aku dan kakakku yang bernama Jalaludin Bumi Bagaisar ini memang beda sekali, dari sifat dan wajah saja sudah jelas kami berbeda. Kalau ganteng, memang gantengan dia aku tidak akn berkata kalau aku yang paling ganteng di keluarga kami. Tidak, manusia paling ganteng di keluarga kami itu ya dia. Abangku.

Dia baru saja menikah dengan pacarnya yang ia pacari sudah lama, aku tidak tahu berapa lamanya mereka berpacaran namun yang aku tahu mereka berpacaran sudah lumayan lama. Nama pacarnya Shania, perempuan beruntung yang sayangnya pernah menyelingkuhi kakakku ini satu kali. Aku tidak tahu terbuat dari apa hati kakaku ini hanya saja, kalau aku jadi dirinya saat aku tahu kalau pacarku berselingkuh aku akan meinggalkannya detik itu juga. Tidak pakai kompromi dan tidak pakai belas kasihan, pokoknya putus. Selesai the end titik. Bukannya malah di nikahi seperti yang kakakku lakukan sekarang ini, agak kurang waras sih sepertinya dia.

Saat memutuskan untuk menikahi Shania, banyak dari keluargaku yang menentangnya. Mereka bilang begini dan begitu tapi entah kenapa hasil akhirnya mereka tetap jadi menikah dan akan melahirkan anak pertama, saat ini kakak iparku itu tinggal di Paris. Dan abangku satu bulan sekali menjenguknya di sana, di Paris Shania tinggal dengan Ibu dan Ayahku. Jadi tidak mungkin 'kan dia bisa berselingkuh lagi?

Kalau dia bisa sampai berselingkuh lagi di sana mungkin aku akan menyuruh kakakku untuk memceraikan dia, tidak ada yang bisa di pertahankan dari seseorang yang gemar berselingkuh. Dan kalau semisal kakakku masih tetap mempertahankannya, aku akan buat dia memilih antara keluarga kami dan keluarganya mana yang akan dia pilih? Setahuku, dia ini tipekal orang yang sangat sayang keluarga tapi keluarga yang benar keluarga. Bukan keluarga jadi-jadian yang saat ini dia punya, meresahkan. Aku bukannya tidak menyukai Shania hanya saja kalau dia berani menyakiti kakakku sekali lagi, lihat saja.

Akan aku buat hidupnya menderita, menyesal dan sedih selalu. Masa iya dia tega menyakiti orang dan keluarga yang sudah baik kepadanya? Yang mau memaafkan kesalahannya, mau menutupi keburukannya. Dan mau menerimanya sebagai keluarga, seolah-olah kesalahannya tidak pernah ada dan terjadi. Jadi, masa iya dia tega menyakiti kami lagi?

Aduh, kok malah jadi membahas kakakku sih? Sorry, sorry ... kelepasan aku.

"Enggak, Mas. Saya belum punya hutang ke siapa-siapa." Jawabanku itu akhirnya membuat Mas Bumi beranjak dari tempatnya berdiri dan duduk di sofa yang ada di dalam kamarku.

"Sombong bener kamu." Mas Bumi hanya menjawab begitu, sedangkan aku mulai pusing harus menjawab apa lagi. Haruskah aku tertawa canggung?

"Kapan ke Paris, Mas?" Ya sudah, basa-basinya begitu sajalah dulu.

"Akhir bulan." Katanya.

"Oh, salam ya sama keponakan dan kakak ipar. Buat Ayah sama Ibu juga."

"Iya." Gumamnya ringan.

"Mas?" Harus aku usir saja kali ya? Aku 'kan, sedang galau ceritanya malam hari ini.

"Hmmm?" Tuh 'kan, irit banget lagi dia kalau ngomong. Sedangkan aku cerewet banget macam cewek.

Terus aku harus bagaimana dong sekarang? Aku bingung, sebenarnya aku ingin curhat kepadanya mengenai Ghea. Tapi aku takut kalau nanti responnya hanya ala kadarnya saja, aku kan sedang ingin di beri masukan saat ini. Kalau aku curhat sama dia, itu sama saja seperti aku curhat sama tembok.

Yah walaupun tidak bisa aku pungkiri sih, ada perasaan senang yang timbul di dalam hati ini. Karena kami sudah lama tidak nggak ngobrol berdua seperti ini, aku bahkan hampir lupa kapan terakhir kali kami bisa mengobrol bebas sebelum hari ini.

Kami sudah terlalu sibuk masing-masing, sampai akhirnya kami sadar, mungkin sudah nggak akan banyak waktu lagi sampai akhirnya istrinya melahirkan anak mereka dan dia sudah tidak tinggal di sini lagi.

"Mas ... inget Ghea, 'kan?" Mendengar pertanyaanku, sontak wajah Mas Bumi mengeluarkan ekspresi wajah berpikir.

"Ingat, kenapa?" Dahi Mas Bumi berlipat menatapku.

"Dia, minta putus Mas." Aku menghela napas berat, ketika mengatakan kalimat barusan.

Mas Bumi menatapku datar. "Terus?"

"Saya nggak mau putus." Mendengar kalimatku barusan, Mas Bumi makin menatapku datar.

"Kenapa?" Bisa lebih panjang nggak ya dia perihal merespons seseorang?

"Karena saya sayang dia." Terdengar klise, tapi memang begitulah alasannya.

"Terus?" Aku menatap Mas Bumi kesal, tidak ada jawaban lain yang bisa dia keluarkan apa ya?

"Udah nggak ada terusannya, Mas." Jawabku jutek.

"Oh, yaudah." Tatapan kesalku berubah menjadi datar seketika saat mendengar jawaban dari kakakku ini.

"Saya ini sebenernya lagi minta saran, lho, Mas."

"Oh, gitu ya?" Mendengar jawabannya makin membuatku kesal, aku jadi menyesal menyahuti perkataannya barusan.

"Ya iya emang begitu." Mas Bumi terkekeh sebentar, baru kali ini aku mendengarnya terkekeh seperti itu.

"Ya maaf, kamu 'kan tadi cuman nanya Mas inget apa enggak sama dia. Terus kamu bilang kalau kamu sama dia putus, ya Mas mana tahu kalau kamu lagi minta saran. Orang kata-kata kamu nggak terdengar seperti orang yang lagi minta saran, kok." Tumben dia ngomong panjang kali lebar?

"Emang begitu ya? Ya udah maaf, saya nggak biasa curhat soalnya." Kataku.

"Jadi, kenapa dia minta putus?" Tanyanya dengan nada kalem.

"Alasan pastinya, karena dia nggak percaya saya dan karena dia lagi suka sama orang lain." Perlu aku sebutkan nama orang yang sedang dia suka sekalian?

"Ya bagus kalau kalian putus." Setelah itu, hening menyelimuti kami. Tapi ini bukan jenis keheningan yang memuakan, dan aku menikmatinya.

"Kenapa bagus?" Mendengar pertanyaanku, Mas Bumi tersenyum.

"Karena kamu nggak akan kehilangan hidup kamu nantinya."

"Maksudnya?" Mas Bumi tersenyum sebentar, matanya tampak menerawang tapi sama sekali tidak menoleh.

"Dia minta udahan sama kamu karena dia suka orang lain, dia nggak percaya kamu ya karena hal apa? Karena kamu orang yang nggak bisa di percaya atau apa? Orang, kalau udah bilang dia suka sama orang itu dia bisa nekat ngelakuin apa aja buat orang itu jadi miliknya. Dan kita nih, orang yang bertahan mati-matian buat orang yang kia sayang itu nggak akan di lirik sama sekali. Yang ada, kamu kehilangan masa depan kamu cuma buat orang itu. Syukur kalau dia minta putus, kamu bisa ngelanjutin hidup dengan pasangan yang lebih baik." Aku terpekur mendengar jawaban Mas Bumi, merasa lengkap.

Baik, sepertinya aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.

Thanks to kakakku, Mas Bumi.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status