Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 23
Jodoh adalah pilihan hidup. Tidak boleh ada kata menyesal dengan banyaknya cobaan atas sesuatu yang sudah menjadi pilihan. Sebaik dan seburuk apapun jodoh pilihan kita, harus diterima dengan hati lapang, dijalani dengan ikhlas dan penuh syukur, agar tercipta rumah tangga yang harmonis dan seimbang.Bagaimanapun cobaannya, sebaiknya berusaha bertahan, dengan mencari solusi terbaik. Selama itu bukan adanya orang ketiga dalam bahtera rumah tangga, bagiku masih bisa diselamatkan. Tak baik jika setiap ada permasalahan, perpisahan menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan masalah.
Akan ada pilihan jalan untuk menyelesaikan setiap masalah yang Tuhan hadirkan. Juga akan ada sisi positif dari setiap cobaan yang menimpa diri. Tidak ada alasan untuk tidak bersyukur dalam menjalani kehidupan. Adakalanya, ujian datang karena kelalaian atas rasa syukur yang tak pernah hadir dalam diri.
"Tunggu Al!"
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 24"Sudah sehat betul, Suf? Bagaimana kabar motor kamu?" tanya Ayah pada Mas Yusuf. Kami baru sampai di rumah orang tuaku beberapa menit yang lalu."Alhamdulillah sudah lebih baik, Yah. Motornya masih di bengkel, masih proses perbaikan."Mas Yusuf duduk di kursi ruang tamu, bersebrangan dengan Ayah yang sedang menikmati secangkir kopi sambil mengulum sebatang rokok. Melihat kami datang, Ayah lantas mematikan rokok di asbak yang berada di atas meja."Parah? Apanya yang rusak?" Ayah menghadapkan pandangannya ke arah kami, menatap aku dan Mas Yusuf bergantian."Bagian depan rusak agak lumayan parah, tapi masih bisa diperbaiki. Hanya saja butuh waktu lumayan lama, Yah.""Bawa saja motor Nisa," usul Ayah."Baru saja saya mau minta izin sama Ayah.""Nggak apa-apa, pakai saja. Toh memang butuh. Nggak usah dikembalikan, biar kamu pakai. Motormu sudah lumayan t
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 25Dering ponsel menyadarkanku dari ingatan masa lalu, memaksaku untuk melihat mengapa benda ini berbunyi. Tertera sebuah nomor baru di layar. Hanya kupandangi, enggan menjawab, malas sekali jika ada yang basa-basi atau hal tak penting lainnya. Kuabaikan saja, biarlah ia terus berdering hingga bosan.Lagu favorit yang kugunakan sebagai nada dering panggilan mengalun indah. Tidak terlalu keras, juga tidak terlalu pelan, pas untuk didengar sebagai teman rebahan. Beberapa kali berbunyi akhirnya panggilan itu terhenti. Ganti dengan nada pesan masuk.Terpaksa kubuka pesan tersebut, barangkali ada sesuatu yang penting.Sebuah pesan singkat bertuliskan nama "Azam" tertera di layar. Membuatku seketika tersenyum lebar. Ternyata Mas Azam sungguh-sungguh menghubungiku. Belum sempat kubalas pesannya, Mas Azam sudah menghubungiku kembali. Gegas kuangkat panggilannya, karena sudah tau siapa pemilik nomor tersebut
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 26Pagi ini mentari tampak malu-malu keluar dari tempatnya. Sinarnya yang redup, membuat cuaca nampak mendung. Udara cukup dingin, membuatku enggan untuk bangkit dari tempat tidur. Setelah salat subuh tadi,aku kembali ke atas pembaringan. Membalut tubuh dengan selimut tebal hingga seluruh tubuh berada di dalamnya, karena hanya saat di rumah orang tuaku saja aku bisa seperti ini. Kesempatan.Kulirik Rumi yang masih nyenyak dalam balutan selimut tebal. Manis sekali anakku ini, wajahnya seperti fotokopi Ayahnya. Nggak ada mirip-miripnya denganku yang sudah mengandung selama sembilan bulan. Hanya saja, rambutnya yang lurus itu sama seperti rambut panjangku ini.Kuusap anakan rambut yang terurai di atas kening dan matanya. Matanya yang semula terpejam, kini mengerjap geli akibat gerakan rambut yang kupindah ke sisi telinganya. Hal itu membuatnya menggeliat
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 27Melihatku berani berbicara tegas, Mas Yusuf menatapku dalam. Melihat betapa emosi yang kukeluarkan tak seperti biasanya. Melihatku dalam keadaan seperti ini, ia tak membalasku dengan makian. Entahlah. Mungkin karena ia sudah mulai faham bagaimana kondisiku saat di rumah. Tak jarang aku mengeluh padanya. Jika dulu, bagaimanapun keluhanku, ia hanya menjawab untuk bersabar. Tapi sekarang, ia mulai peduli dengan perasaanku."Mas masih sayang kan sama aku?""Kamu ini bicara apa!" elaknya. Ia memalingkan wajahnya dari hadapanku."Mas, lihatlah bagaimana aku setiap harinya. Apa Mas mau kita terus seperti ini? Aku bisa menerima bila memang keadaan kita serba kekurangan, tapi jika ada rejeki seperti ini mengapa tak kita manfaatkan? Toh aku tak hanya duduk berpangku tangan, aku pasti akan turut membantu meringankan bebanmu, Mas! Aku bisa buka warung kecil-kecilan di depan kontrakan kita nanti," jelasku panjang. Meyaki
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 28Lelaki itu masuk ke area bengkel mobil tepat di sebelah bengkel motor tempat Mas Yusuf memperbaiki motornya. Dari jauh kulihat ia masuk ke sebuah ruangan berdinding kaca dan duduk di satu-satunya kursi besar yang ada di ruangan itu.Setelah duduk ia melambaikan tangan pada satu orang karyawan yang sedang mencuci mobil untuk masuk ke ruangan ber AC itu. Tak butuh waktu lama, seorang lelaki bertubuh kurus itu datang menghampirinya. Tampak kepala laki-laki muda itu mengangguk setelah mendapat perintah dari lelaki yang sedang duduk di kursi besar itu. Lelaki itu lantas berdiri dari kursinya, kemudian mengambil dua botol minuman dari lemari pendingin, lalu diberikannya kepada laki-laki muda.Laki-laki muda itu adalah karyawan yang bertugas sebagai pencuci mobil. Setelah menerima dia botol minuman, ia lalu berjalan dengan sedikit cepat menuju ke arah tempatku duduk.Sepasang bola mata dari dalam
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 29"Kamu nggak pernah cerita punya teman pemilik bengkel mobil?" tanya Mas Yusuf saat kami sedang istirahat bersama siang ini."Alina saja baru tahu, Mas, kalau dia punya bengkel. Dulu sih cuma karyawan biasa!" jawabku sambil melingkarkan lengan di perutnya. Menikmati saat-saat berdua setelah kemarin kami terpisah jarak. Rumi sudah lebih dulu tidur di sisiku, nyenyak sekali."Yang ngasih minum tadi? Kenal juga?" selidiknya."Oh itu, anak buah Mas Azam juga, disuruh sama bosnya ngasih minuman.""Namanya Azam?" Mas Yusuf merubah posisi tidurnya menjadi berhadapan denganku. Mengamati setiap inci perubahan wajahku atas pertanyaannya."Iya, Mas Azam namanya," jawabku jujur tanpa ada yang kututupi sedikitpun."Azam yang waktu kita nikahan datang pake bawa bunga?""Iya, Mas."Rupanya Mas Yusuf masih ingat kejadian beberapa tahun lalu. Saat di
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 30Mas Azam kembali dengan membawa sebotol bahan bakar di tangannya. Saat ia hendak menuangkan isi botol, bersamaan dengan itu Mas Yusuf melintas di depan kami. Ia melihatku berdiri di pinggir jalan, kemudian menghentikan laju kendaraannya. Lalu menghampiri kami tepat setelah Mas Azam selesai menuang seluruh isi bahan bakar dari botol ke dalam tanki kendaraaan.Mas Yusuf berjalan tergopoh menuju tempatku dan Mas Azam berdiri."Kenapa motornya, Dik?" tanya Mas Yusuf cemas."Ayaaahh!!!" teriak Rumi melihat Ayahnya datang menghampiri."Iya, Sayang." Rumi mendekat kemudian merangkul kaki Ayahnya."Kehabisan bahan bakar, Mas." Mas Azam menyahut setelah selesai menutup kembali tanki kendaraan milikku."Astaga!! Mas lupa isi, Dik! Maaf ya?" ucap Mas Yusuf. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya, sebab jarang sekali ia lupa. Biasanya sebelum menyerahkan uang hasil o
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 31"Ini obat yang Ibu minta," ucap Mas Yusuf seraya menyerahkan sebungkus obat. Kami tiba di rumah saat Ibu sedang melayani pembeli di warungnya."Berapa ini tadi? Ibu tadi habis dapat rejeki, lumayan bisa untuk beli obat ini," jelas Ibu setelah menerima obat dari tangan Mas Yusuf. Setelah obat itu dipegangnya, tangannya yang lain merogoh kantong bajunya, mengambil selembar uang lima puluh ribu untuk diserahkannya kepada Mas Yusuf."Ini, Suf.""Iya, Bu," jawab Mas Yusuf setelah menerima uang dari tangan Ibu dengan enggan. Kemudian Mas Yusuf masuk dengan wajah agak sungkan. Aku faham bagaimana perasaannya, dalam hatinya ia enggan menerima uang Ibu, tapi keadaan memaksa untuk ia menerimanya. Meskipun Mas Yusuf sudah diterima kerja kembali, tapi kami masih butuh biaya untuk menyambung hidup hingga ia gajian bulan depan. Biarlah sekarang ia terima uang Ibu, esok jika sudah gajian, akan kami beri sedikit rejek