Jika ini operasi ketiga, bisa dibayangkan sendiri betapa tinggi risiko dan tingkat kesulitannya. Dalam situasi seperti ini, dokter anestesi yang masih punya akal sehat pasti ogah ikut ambil bagian, apalagi kalau dokter bedah utamanya adalah Ardi, yang terkenal perfeksionis dan suka pilih-pilih.Seperti yang sudah kukatakan, operasi ini jelas bukan hal sepele. Kalau berhasil, ya itu memang bagian dari tanggung jawab seorang dokter. Namun kalau gagal, catatan riwayat karirnya bisa ternoda dan sulit dihapus.Melihat semua orang mendadak bungkam dan tidak bersuara, aku akhirnya memberanikan diri untuk angkat bicara, "Pasien ini adalah keluargaku sendiri. Dua operasi sebelumnya, aku juga yang bertugas menangani proses anestesinya. Jadi aku ingin mengajukan diri untuk ikut lagi kali ini. Mohon para atasan bisa memberi kesempatan itu padaku."Dokter Roni langsung menoleh dan menanyakan pendapat Ardi.Ardi melirikku sekilas lalu berkata, "Dokter Raisa memang selalu terlibat dalam perawatan sej
Kalau ini terjadi beberapa tahun lalu, mungkin aku masih bisa menolak. Namun sekarang, aku tahu… aku tidak punya pilihan lain.Operasi pamanku sudah di depan mata. Kalau sampai aku menyinggung perasaan Ardi hanya karena masalah sepele ini, maka kesepakatan di antara kami akan hancur dalam sekejap.Permintaan agar aku meminta maaf, secara tidak langsung juga berarti membenarkan versi mereka, sekaligus mengakui bahwa memang ada hubungan di antara mereka berdua.Sesuatu yang sebenarnya sudah aku ketahui sejak lama.Namun Ardi pasti paling tahu, menjalin hubungan asmara dengan rekan satu departemen itu berarti apa, ‘kan?Apalagi dengan statusnya yang sekarang, sedangkan Zelda hanyalah seorang dokter magang.Selama dia tidak mengaku, semua rumor itu hanya akan dianggap sebagai gosip. Dia bisa maju dan bisa mundur kapan saja, dia selalu memegang kendali penuh. Namun, dalam satu kalimat barusan, perintah agar aku minta maaf, itu artinya dia sudah mengakui hubungan mereka di hadapan semua oran
Efisiensi kerjanya cukup tinggi.Nyonya Larasati mendapat kabar ini dari mulut Rian."Sepertinya Ardi masih punya rasa kemanusiaan kalau sudah menyangkut urusan penting," kata Nyonya Larasati, seolah dia menemukan sebentang harapan terakhir. "Semoga kali ini bisa benar-benar menyelamatkan nyawa pamanmu," tambahnya.Namun, Rian justru heran kenapa Ardi tiba-tiba setuju untuk menjalani operasi itu. "Ardi biasanya orang yang keras kepala. Dokter Raisa pakai cara apa buat merayu dia?"Jujur saja, aku juga tidak menyangka kalau dia bakal setuju secepat itu. Mungkin kata-kataku soal tanggung jawab dan perkembangan kariernya berhasil menyentuh hatinya."Dia... menyulitkanmu, ya?" tanya Rian buru-buru dengan nada cemas saat melihatku tidak menjawab.Aku menggeleng pelan dan membalas, "Dokter Ardi itu orangnya berjiwa besar. Dia tidak tega melihat pamanku terus-terusan menderita karena penyakitnya.""Begitu, ya... " Rian tampaknya masih setengah percaya.Tentu saja aku tidak mungkin bilang soal
Begitu mendengar kata "pengecut", alis Ardi langsung berkerut tanpa sadar. Namun dengan cepat, ekspresinya kembali dingin dan santai seperti biasa. Dia berkata ringan, "Sudah kubilang, trik murahan begitu tidak akan mempan padaku. Dokter Raisa, lebih baik simpan tenagamu."Memang, aku sengaja memancing reaksi Ardi. Namun, tujuan utamaku hanya ingin mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya.Melihat garis keras yang tercetak di sudut bibir pria itu, juga jari-jarinya yang terus mengetuk meja tanpa sadar, aku sadar sebenarnya Ardi sedang marah.Nada suaranya barusan pun demikian, walaupun dia masih berusaha mengendalikan kecepatan bicara, tetapi rasa kesalnya tetap terpampang jelas.Aku menebak kalau dia sedang menahan emosi.Seperti seekor macan tutul yang menyembunyikan cakar dan mondar-mandir di sekitar mangsanya, ketukan jarinya di atas meja makin cepat. Seolah dalam detik berikutnya, dia akan merobek topeng yang dia pakai untuk mengendalikan dirinya itu.Sepertinya pancinganku cukup
"Resusitasi jantung paru memerlukan napas buatan dari mulut ke mulut." Napas hangatnya menyapu bulu mataku yang basah kuyup. Dia lalu berkata, "Dokter Raisa, apa kamu sedang memberiku isyarat?"Bunyi benturan terdengar dari dinding keramik. Belakang kepalaku membentur tangan pria itu yang sengaja ditopangkan terlebih dahulu. Ketika ciuman dengan aroma darah mendarat di pembuluh leherku, suara air dari shower yang jatuh ke lantai menutupi suara erangan tertahan dari tenggorokanku.Beberapa saat kemudian, pria itu pergi begitu saja, meninggalkanku seorang diri di dekat bak mandi.Tubuhku yang semula dingin dan kaku, perlahan mulai terasa hangat.Malam itu, Ardi tidak pergi, tetapi dia tidur di kamar tamu.Sedangkan aku, tetap tidur di kamar utama sendirian.Untuk dua orang yang akan segera bercerai, semua ini terdengar agak aneh. Namun saat teringat pamanku masih terbaring di ICU, aku menekan perasaanku dan memaksakan diri untuk tetap terbaring.Malam itu, aku tidur tidak nyenyak.Keesok
Entah sudah berapa lama aku berdiri di sana, seluruh tubuhku seperti mati rasa. Selain suara hujan yang tajam dan deras, di sekelilingku justru hanya ada kesunyian yang mencekam. Lampu-lampu di atas kepalaku padam satu per satu, hanya tersisa satu atau dua saja yang tetap menyala.Tiba-tiba, cahaya terang menyorotiku dari kejauhan. Dua petugas keamanan berlari ke arahku dan langsung mengapit di kedua sisi."Itu dia." Salah satu dari mereka berkata dengan galak, "Jangan biarkan dia kabur. Tunggu sampai pemilik mobil datang.""Dari tadi hanya mondar-mandir dengan gerak-gerik mencurigakan. Pasti bermaksud buruk…."Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Aku disangka maling mobil. Aku buru-buru menjelaskan, "Kalian… salah paham… Aku…."Namun bibirku sudah kaku karena dingin, bahkan berbicara pun sulit.Saat itulah, suara lain terdengar dari kejauhan. "Pemilik mobil datang. Biar dia yang urus."Aku mengangkat kepala. Benar saja, orang yang muncul dengan wajah me