Entah apa jawaban dari sana. Arfan tak mengaktifkan loud speaker ponselnya. Namun, kalimat Arfan berikutnya sungguh membuat Alva kaget tak percaya. “Dua puluh juta? Sinting, kau, Dek! Pulang kau sekarang! Entah buat apa kau uang sebanyak itu! Mau apa kau rupanya, ha!” teriak Arfan makin kencang. Alva tak habis pikir. Pasti si Binsar yang telah mempengaruhi Rosa agar meminta uang sebanyak itu. “Apa? Mau buka usaha? Yang udah gak waras nya, kau Rosa!” senggak Arfan. “Kita itu akan pulang ke kampung lagi bila Elma sudah keluar dari rumah sakit! Buat apa kau buka usaha di dekat rumah Bapak Uda kau itu? Kita balik ke kampung, Dek! Tidak cocok kita tinggal di kota ini! Di kampung kita udah hidup tenang, kan? Biarpun aku capek kerja di kebun dan di sawah, badanku gosong dipanggang sinar matahari, tak apa! Yang penting kita hidup tenang! Kita bahagia!” bujuk Arfan akhirnya merendahkan volume suaranya. “Pulang kau, cepat! sekarang juga harus pulang, pokoknya!Kalau kau tidak pulang, ak
Arfan menoleh kepada Alva.”Tolong transfer lima juta lagi! Begitu Elma bangun, dia akan segera mengganti uangmu!" perintahnya tanpa sungkan sedikitpun.Alva meraih ponsel miliknya, menyalakan benda itu, mengutak-atiknya sebentar, lalu …. “Sebelum aku transfer lagi, tolong lihat dulu Video ini, Bang!”Alva memutuskan untuk membongkar kebejatan istri Arfan. Keputusan yang sangat terpaksa. Dia siap dengan segala resikonya. Daripada Arfan memaksa transfer uang lagi. Semoga pria polos tapi bucin ini tidak kena serangan jantung saat melihat kenyataan yang sebenarnya.“Maaf, Bang! Saya tidak bermaksud merendahkan istri Abang!” ucapnya seraya menunjukkan layar ponsel kepada Arfan. Suara desahan dan erangan bersahutan sepasang manusia langsung terdengar dari benda pipih itu.“Apa ini?” gumam Arfan dengan wajah memucat. Matanya tertuju tepat ke layar ponsel. “Ini sipa? Ini … ini Rosa? Sama siapa? Ini aku? Apakah laki-laki ini aku?”Bagai orang tolol Arfan sempat kebingungan. Posisi si pria ya
Arfan tersenyum tipis. Pria itu lalu menelpon istrinya. “Sayang? Abang sudah bicara dengan Elma. Dia setuju meminjami Abang seratus juta. Kamu mau buka usaha di kampung, kan, Sayang!” “Se se seratus juta?” teriak Rosa tergagap dari ujung sana. “Iya, Sayang! Abang berhasil merayu dia. Tapi, kamu buka usahanya di kampung, ya!” “Ya, udah enggak apa-apa! Di kampung juga boleh. Transfer sekarang, ya, Abang! Adek tunggu, nih!” “Tapi, kata Elma, uangnya gak usah di transfer. Dia mau nyerahinnya langsung sama kamu! Dia juga mau ngasi sedikit nasihat buat kamu, Dek. Biar kamu bertanggung jawab untuk usaha kamu nanti! Kamu tidak tersinggung, kan, Sayang?” “Ya, enggaklah! Gak masalah meski si Elma menasehati aku, sampai berbuih mulutnya pun tak apa-apa. Asal duitnya ada!” “Gak boleh ngomong, gitu, Sayang!” “Eh, iya. Maaf. Lupa kalau Elma itu adek kamu! Jadi gimana, Bang?” “Kamu datang ke rumah sakit, ya! Ambil uangnya, lalu kamu duluan pulang kampung! Aku pulang dua hari lagi, setelah
“Jangan lupa bawa uang bayar ongkos taksinya!” perintah Rosa mengingatkan. “Hem!” Arfan memutuskan panggilan, lalu menoleh kepada adiknya. “El, aku pinjam mobil kamu, ya?” pintanya dengan wajah dingin. “Abang mau ke mana? Di luar ada kak Rosa, kan? Kenapa tidak disuruh masuk saja?” tanya Elma penasaran. “Ya, aku ada urusan sebentar dengan Rosa. Sekalian, em, aku pinjam uang kamu dulu seratus ribu, isi bensin. Dan dua ratus ribu buat ongkos taksi Rosa menuju kemari tadi!” “Tadi sudah saya isi full minyak mobilnya, Bang!” Alva menyela. “Hem terima kasih! Kapan kapan pasti aku ganti. Aku utang lima juta seratus ribu sama kamu!” kata Arfan datar. Elma mengeluarkan lima lembar kertas berwarna merah dari dalam amplop coklat. “Pakai saja, Bang!” titahnya menyerahkan uang itu kepada sang kakak. “Terima kasih!” Arfan menepuk pelan pundak Alva, meraih kunci mobil di dekat kepala Elma, lalu berjalan tergesa menyongsong sang istri pengkhianat. Alva sama bingungnya dengan Elma. Sikap
“Kamu tunggu di warung seberang itu saja! Nanti aku telon begitu aku dapat uangnya! Kamu udah janji mau bawa aku pergi beberapa hari, kan? Kita akan segera berangkat begitu uangnya aku dapat!” kata Rosa penuh semangat. “Iya, Sayang! Kamu mau kita ke mana, hem?” “Kita bulan madu ke Danau Toba, ya, Sayang! Kamu udah janji mau muaskan aku tujuh hari tujuh malam, kan?” rengek Rosa kembali bergelayut di lengan kekar Binsar. “Ya, tentu, Sayang! Bawa uang seratus jutanya, ya!” jawab Binsar seraya mengecup kening Rosa. Itu tak luput dari perhatian Arfan. Pria itu membeku menyaksikan tingkah sepasang manusia tak tau malu itu. Keduanya tak menyadari kalau Arfan telah berdiri tegak di teras rumah sakit, terhalang para pengunjung yang ramai berlalu lalang. “Sudah, sana! Nanti kita lanjut, ya! Tunggu aku di warung itu!” Rosa melepas rangkulan, mengukir senyum penuh birahi kepada sang adik ipar. “Ya, Sayang! Sukses, ya! Oh, iya, jangan bersikap agresif juga pada suamimu! Aku tidak akan kuat
“A … Abang!” pekik Rosa terperanjat kaget. ‘Ini belum seberapa Rosa, kau akan lebih kaget, dengan apa yang akan aku lakukan sesaat lagi!’ Arfan bermonolog. “Abang dapat ini dari Alva, ya?” lirih wanita itu gemetar. Untuk pertama kalinya, dia merasa begitu ketakutan melihat sikap suaminya. Padahal Arfan terlihat begitu tenang. Tak ada kemarahan sedikitpun tergambar dari wajahnya. “Tidak penting Abang dapat dari mana, Abang hanya ingin kau mempraktekkannya dengan abang! Mau, kan?” “Abang? Abang ini sedang marah atau bagaimana? Aku bingung, Abang?” Rosa makin mengkerut di sudut ranjang. “Abang tidak marah. Abang malah bersyukur karena sudah tahu permainan seperti apa yang kau sukai. Mau mencobanya dengan Abang, kan?” tutur Arfan tetap dengan nada sangat tenang. “Tidak! Abang pasti sedang marah! Abang pasti mau memukulku, Abang pasti ingin menyiksaku, iya, kan?” “Tidak, aku tidak marah. Sini, Sayang! Kenapa ke sudut situ! Aku susah mau megang kamu, kan?” Arfan mulai menghampir
“Lho, bukannya kalau udah sore baru kamu setor ke rekening Elma?” tanya Binsar kaget. “Untuk toko cabang, iya. Khusus untuk toko induk beda. Sepertinya Kak Elma sengaja biar kita tidak bisa mengambil uangnya sepeserpun. Perempuan licik!” dengus Riris. “Bukan licik, tapi cerdas! Kini kuakui, Elma memang cerdas. Diam, tak pernah marah, tak ada protes. Bahkan saat dia tau kita berselingkuh, dia tak marah. Tak terdengar suaranya sepatah katapun. Tapi lihat pembalasannya. Andai aku tau Elma secerdas ini, mungkin aku tak akan pernah meyepelekan dia. Selama ini kukira dia diam karena bodoh! Nyatanya aku yang bodoh!” “Abang tidak bodoh! Kalau Abang mau, Abang bisa merebut semuanya sebelum terlambat!” “Sepertinya sudah terlambat Ris! Sudahlah! Aku selesaikan dulu urusanku! Jangan ganggu aku dulu, ya!” Binsar memepercepat langkahnya yang tertatih menuju kamar tamu. “Abang dengarkan aku dulu! Aku punya rencana bagus buat nyingkirin Kak Elma mumpung dia masih di rumah sakit! Jangan sempat
Kamar tamu itu sengaja dikunci dari dalam. Arfan tengah menikmati rasa sakit di dalam hatinya. Sakit karena pengkhianatan sang istri tercinta. Wanita yang selalu dia puja dan dia bela. Wanita yang sellau diperjuangakannya. Demi kebahagiaan sang istri, Arfan bahkan ihklas kehilangan seluruh harta bagiannya, warisan dari orang tua. Arfan bahkan rela bekerja keras banting tulang, tak pernah mengeluh meski dipanggang sinar matahari. Tak surut meski kena hujan kala cuaca tak mendukung. Semua demi sang istri. Rosa, yang dia cinta laiknya seorang bidadari. Tetapi, lihat! Apa balasan wanita ini padanya? Rosa tega mencari kepuasan batinnya dengan pria lain. Suami dari adik kandung Arfan sendiri. Pantas Binsar sering bilang kalau Rosa kerap menelponnya. Arfan mengira telpon itu hanya sebatas hubungan keluarga. Sedikitpun dia tak mengira, kalau ternyata istrinya tergila-gila pada keperkasaan adik iparnya. Hari ini, secara nyata, Arfan menyaksikan sendiri bagaimana bergairahnya sang istri