“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
Nikmat yang dirasakan saat mengecap manisnya perselingkuhan, akan terasa makin melenakan, sebab setan tiada henti menjalankan peran.***“El, kamu sudah tidur, Sayang?” Binsar menepuk pipi istrinya.Tak ada sahutan, Elma meletakkan kepala di atas meja makan.“Hebat! Obat tidur itu bekerja sangat cepat,” ucap pria itu mengacungkan jempol ke arah Riris. Kasir toko yang tinggal bersama mereka itu membalas dengan kedipan dan senyum penuh makna.“Abang amankan dulu, ya, Sayang!” kata Binsar membalas dengan kedipan tak kalah nakal, lalu menggendong tubuh ringkih istrinya.“Ok, jangan lama-lama, ya! Udah nyut-nyut, nih!” goda Riris lagi seraya membasahi bibir tipisnya dengan sapuan lidah.“Tenang!” sahut Binsar lalu berjalan menuju kamar. Tubuh istrinya yang berbobot hanya tiga puluh tujuh kilogram itu dia baringkan di atas kasur dengan pelan-pelan. Dia lalu menarik selimut tebal, menutupi badan wanita itu hingga sebatas bahu. “Tidurlah yang nyenyak, ya, Sayang! Maaf, aku butuh kehang
“Abang! Itu Abang, kan? Dan itu … siapa?” Elma semakin memicingkan mata. Tetapi tumor yang dia derita membuat pandangannya semakin terganggu saja. Cahaya temaram dari sorot televisi tak membantu penglihatannya sama sekali. Segera dia berjalan lagi dengan berpegangan pada dinding, Jemarinya mencari saklar lampu penerangan.“Cepat, istri Abang mau nyalain lampu!” bisik Riris sambil memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu bersembunyi di balik sofa. Binsar menyambar celana boxernya, lalu memakainya dengan buru-buru.Ceklek! Seketika ruang televisi itu menjadi terang benderang.“Oh, Abang sendirian, ya? Tadi sepertinya dua orang. Mataku makin parah saja akhir-akhir ini,” sesal Elma seraya berjalan mendekati sofa. Langkah kakinya makin terhuyung. Wanita dengan tulang pipi yang kian menonjol itu tampak seperti tengkorak berjalan.“Kamu melihat apa, sih? Dari tadi juga aku sendirian di sini! Sepertinya matamu harus diperiksakan ke dokter spesialis, Sayang!” sahut Binsar gu
“Kau harus pergi dari sini, Ris! Sekarang kemasi semua pakaianmu!” Binsar berkata tegas.“Apa? Abang bilang apa?” Wanita itu tersentak kaget.“Kemasi semua pakainmu! Selepas subuh nanti, aku akan mengantarmu ke terminal. Kau pulang kampung dengan bus yang berangkat pertama! Aku akan telpon Mama. Mama yang akan menjelaskan pada orang tuamu di kampung kalau aku terpaksa memecatmu!”“Abang bercanda, kan, Bang? Ini maksudnya apa? Abang ngeprank ini, kan, Abang?” Riris bangkit lalu menghampiri Binsar yang masih berdiri di dekat pintu. “Abang jangan buat Riris takut, dong Bang!” rengeknya bergelayut di lengan pria itu.“Maaf, Ris! Tapi aku serius! Kita harus mengkhiri ini. Kau harus tinggalkan rumah ini!” Binsar melepas rangkulan Riris di lengannya.“Tapi salahku apa, Abang?” Riris mulai berkaca-kaca. Wanita itu menatap lekat wajah Binsar tepat di manik-manik mata. Dia kira leguhan nikmat sang pujaan di sofa tadi, akan mampu mengikat hati pria itu terhadap dirinya. Ternyata tidak sa
Binsar cepat-cepat menuju pintu, Elma yang sudah merasa sedikit bertenaga pagi ini ikut berjalan di belakangnya.“Kamu! Kenapa belum …,” sergah Binsar begitu daun pintu dibuka.“Ris, kamu rajin banget buatin sarapan segala! Terima kasih, ya! Kamu memang gadis yang baik!” sela Elma dengan senyum mekar di bibirnya.“Iya, Kak. Kakak sarapan, ya! Aku juga udah buatkan jus jeruk hangat buat Kakak.” Riris memeluk pinggang Elma, lalu membawa wanita itu menuju ruang makan. Binsar melongo. Kalimat kasar yang ingin dia ucap tertahan di tenggorokan.“Oh, iya, Bang, Tante beserta anak-anak sudah dalam perjalanan ke sini,” imbuh gadis itu menoleh sekali lagi ke belakang. Binsar tersentak kaget.“Anak-anak?” seru Elma gembira.“Iya, Kak. Aku meminta Tante membawa anak-anak Kakak ke sini, pasti Kakak sudah kangen, kan?”“Riris, kamu pengertian banget, sih. Kalau aku yang minta pada mertuaku agar bawa anak-anak ke sini, enggak pernah dikabulkan. Katanya penyakitku bisa nular ke anak-anak. Terima