HAPPY READING 😍
Dalam sebuah kamar mewah, seorang laki-laki yang sedang terbaring di atas ranjang King Size itu sibuk menatap cincin berlian di tangannya. Padahal, waktu hampir menjelang pagi."Heh, mari kita lihat berapa hari kau akan bertahan di luar sana. Kau tidak bisa hidup selain di bawah ketiak mamaku. Dasar menyusahkan!" monolog Ammar kemudian mencengkram erat cincin itu.Ingin mengakhiri ikatan suci, tapi hati kecilnya melarang. Ingin berhenti menyakiti tapi hatinya juga telah dibutakan oleh dendam. Setitik penyesalan yang hinggap, tak mampu melenyapkan rasa bencinya pada wanita bernama Elif Sabrina.Ammar membenci Elif, ya laki-laki itu mencintainya..Hari ini Elif tampak bersemangat untuk berkerja, baginya ini adalah awal yang baru dan berharap lebih baik dari sebelumnya.Mulai sekarang Elif tidak perlu lagi berada di toilet kantor dalam durasi waktu yang lama hanya demi menumpahkan segala rasa sakit melalui air mata saat bekerja.Bagi wanita bersurai panjang itu, kemarin adalah akhir dari segalanya. Untuk apa bertahan jika tidak bahagia, menurutnya."Semua akan baik-baik saja."Elif memutar handel pintu apartemen, lalu berjalan ke arah pintu lift untuk turun menuju lobi. Blues warna peach yang dipadukan dengan kulot warna senada tampak menyatu dengan kulitnya yang putih gading. Elif cantik dan cerdas, nyaris sempurna, sangat bertolak belakang dengan nasibnya. Kisah cintanya.Mobil yang dikendarai wanita itu kini telah melaju membelah jalanan. Melewati gedung-gedung menjulang di kedua sisi jalan. Sementara pepohonan tampak semakin tersisihkan seolah tak memiliki peran yang begitu penting bagi lingkungan.Padahal, tumbuhan-tumbuhan itulah yang selalu setia untuk menyuplai oksigen dan menyerap karbon dioksida agar manusia-manusia serakah bisa merasakan betapa nikmatnya menghirup udara segar tanpa tercampur polusi berbahaya.Yah, pada dasarnya manusia memang tempatnya tak pernah puas. Menebang pohon untuk diganti dengan bangunan-bangunan megah merupakan sesuatu yang wah.Haha, selain menatap dengan prihatin, apa yang bisa wanita cantik itu lakukan? Nasib rumah tangganya jauh lebih mengerikan ketimbang pohon-pohon yang mulai tersisihkan itu.Setelah hampir tiga puluh menit Elif dalam perjalanan. Mobil SUV miliknya mulai memasuki area kantor.Surai panjangnya yang sengaja dikuncir sesekali tampak ikut bergerak saat Elif berjalan dengan langkah elegan. Bersamaan dengan ketukan high heels yang begitu kentara.Para karyawan mulai menunduk saat Elif melewati mereka, dan Elif membalas dengan senyuman tulus. Elif tak pernah haus rasa hormat atau sanjungan. Tapi, yang para pekerja itu tahu, wanita cantik itu adalah istri direktur utama. Wajar dihormati, meski suaminya sendiri tidak sudi."Huft, sepertinya sangat banyak yang harus dikerjakan hari ini," ucapnya pada diri sendiri setelah mendaratkan tubuh di atas kursi, di balik meja kerja."Baiklah. Mari bekerja, Elif. Semangat!"Akhir bulan, memang sangat melelahkan bagi seorang manager keuangan sepertinya. Setiap laporan harus diperiksa dengan teliti sebelum akhirnya diserahkan pada atasan..Waktu menunjukkan hampir sepuluh pagi. Tapi, mata Ammar masih sibuk memandang ruangan yang terletak tepat di depan ruangan kebesarannya dengan wajah yang kusut.Sang raja tampak beberapa kali membuang nafas dengan kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan sambungan telepon pada bagian HRD."Kemana manager bagian keuangan? Kenapa ruangannya kosong?" tanya Ammar to the point pada seseorang di seberang sana."Apa? Dipindahkan? Ke lantai berapa? Siapa yang berani melakukannya tanpa perintah dariku?!" Ammar murka.Ammar meletakkan gagang telepon dengan kasar."Mama? Kenapa Mama melakukan itu? Bukankah mama sendiri yang awalnya menempatkan Elif di ruangan itu?" monolog laki-laki itu tidak percaya."Dasar wanita miskin. Selalu saja menyebalkan!"Hati kecilnya merasa ada yang hilang, tapi buru-buru Ammar menepis. Baginya, wanita miskin itu adalah benalu yang mengambil posisinya sebagai anak tunggal dalam keluarga.Laki-laki berbola mata elang itu sangat membenci Elif semenjak pertama kali gadis itu menginjakkan kaki di rumah megahnya. Kebencian yang kian hari kian bertambah, membuat Ammar merencanakan sesuatu untuk membalas wanita itu.Ammar dengan segala pesonanya, membuat siapapun akan bertekuk lutut bahkan berbaring dengan suka rela di hadapannya.Tak terkecuali Elif Sabrina, meski Elif tak bertindak murahan seperti wanita-wanita di luar sana—yang rela memberikan tubuh untuk Ammar, tapi hatinya telah terpenjara oleh perhatian dan cinta palsu dari suaminya.Ammar dengan segala ketulusannya kala itu, menurut Elif. Membuat gadis yang merupakan anak dari sahabat almarhum papa Ammar memantapkan hatinya menerima pinangan Ammar untuk menjadi teman hidupnya.Ditambah Ny. Risma yang begitu antusias saat mengetahui putra semata wayangnya dan Elif terjebak dalam sebuah rasa. Hingga akhirnya, acara sakral itu tak bisa ditunda, dan terlaksana dengan khidmat. Hari di mana Elif harus tersadar dari mimpi indah untuk menghadapi kenyataan yang tak pernah terduga sebelumnya.Elif. Gadis cerdas, namun, terlalu lugu untuk menilai sandiwara yang Ammar perankan dengan sangat sempurna.Elif mulai terbiasa dengan rasa sakit di setiap detik hembusan nafasnya, demi sebuah keajaiban yang menjadi pinta di kala malam. Ditemani air mata juga jeritan pilu sanubari kala wanita cantik itu tak lagi mampu menahan.Lama sekali dirinya bertahan, berjalan dengan kaki telanjang di atas duri-duri tajam. Kemarin, dadanya sudah terlalu sesak, muatan untuk luka sudah melebihi kadar. Meski hati kecil wanita itu selalu berbisik, bahwa Tuhan tidak akan menguji di luar batas kemampuan.Elif hanya manusia biasa, ada kalanya rasa lelah menghasutnya untuk menyerah saja. Kesabaran wanita itu sudah sampai pada titik puncak, menurutnya, tak perlu bertahan jika tidak bahagia.Ya, Ammar kini terbebas dari wanita benalu yang menghancurkan hidupnya, menurut pikiran sempit laki-laki itu."Lancang sekali wanita itu pergi tanpa seizinku."Moodnya untuk bekerja mendadak hilang begitu saja. Ammar malah termagu menatap cincin yang diambil dari saku celananya."Ck, aku membencinya. Tapi, kenapa pikiranku harus kacau karenanya? Argh ...!"Ammar kembali meraih gagang telpon, matanya menatap nyalang ke arah ruangan di seberang sana."Suruh manager keuangan ke ruanganku, sekarang!"Bruakk!Next?Laki-laki yang berada di kursi kebesaran itu masih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan saat ketukan pintu mulai terdengar dari luar. "Masuk!" Beberapa detik setelah Ammar mengeluarkan perintah, pintu mulai terbuka, seorang wanita muncul di baliknya. Wanita yang hingga kemarin masih haus akan perhatian serta mengemis cinta darinya. Maksudnya, hanya sampai kemarin, tidak lagi untuk hari ini.Elif berjalan ragu-ragu sampai langkahnya terhenti tepat di depan meja Ammar. Sedikit menunduk layaknya bawahan ketika bertemu atasan. Ammar memberikan tatapan entah, tapi yang sedang ditelisik tidak menyadari akan hal itu. Ah, lebih tepatnya tidak peduli. "Siapa yang menyuruhmu pindah ke ruangan lain? Bukankah dulu kau yang memohon-mohon pada Mama untuk ditempatkan di ruangan yang dekat denganku?" cerca laki-laki itu meremehkan. "Maaf, Pak! Menurut laporan HRD, saya dipindahkan atas perintah Ny. Risma. Dan terkait perkataan Bapak yang nomor dua, saya ingin sedikit mengoreksi, saya tida
Sesaat setelah kepergian Elif dari ruangannya, Ammar melirik dengan perasaan senang ke arah pintu yang mulai kembali terbuka. Namun, hatinya kembali menciut saat seseorang yang berbeda dengan yang terlintas di pikirannya muncul di baliknya."Hai Sayang, kamu kok kayak nggak semangat gitu lihat aku datang?" "Heum." Tadinya, Ammar mengira Elif yang kembali untuk mengambil cincin pernikahan. Namun, kepercayaan diri Ammar seketika runtuh ketika wanita seksi bernama Rani yang menghampiri. Ternyata, dugaan laki-laki itu tentang Elif yang sangat cepat mengambil keputusan untuk pulang bersamanya, salah besar. "Apa karena perempuan itu, kamu mengabaikanku sekarang?" tanya Rani setelah mendaratkan tubuh ke atas meja kerja Ammar. "Perempuan yang mana?" Ammar pura-pura tidak tahu ke mana arah pembicaraan kekasihnya."Elif""Tidak. Turunlah, ini membuat pekerjaanku terganggu!" "Kamu aneh hari ini. Biasanya malah selalu menyuruhku duduk di depanmu seperti ini." Rani melongos, dan berjalan den
."Kenapa? Di jemarimu tidak ada lagi cincin pernikahan. Berarti, sekarang aku bisa mengajakmu kemanapun, 'kan?" tanya Alzam dengan suara lantang sembari melirik pada jemari Elif kemudian beralih dengan tatapan sinis pada laki-laki yang berdiri tidak jauh dari mereka. Hati Ammar serasa diremas, netranya menatap nyalang ke arah dua manusia yang tengah berdiri di depannya.Hati Ammar juga menyalahkan Elif yang sembarangan melepas cincin pernikahan. Entahlah, ditubuhnya ada wanita lain yang sedang menempel dengan manja. Tapi, jiwanya terperangkap untuk wanita yang sedang bingung menerima ajakan makan siang dari sepupunya sendiri.Ya, Alzam Elfata adalah sepupu Ammar dari pihak mamanya. Laki-laki dengan tubuh atletis berwajah rupawan yang sebelas dua belas dengan Ammar itu adalah satu-satunya orang yang berani melawan Ammar di perusahaan. Selain keluarganya sebagai salah satu investor penting bagi d'Arr Group, Alzam memang di tempatkan Ny. Risma untuk memantau kelakukan Ammar pada menan
Dalam perjalanan, Alzam dan Elif ditemani kebisuan. Tak ada yang ingin memulai percakapan. Meski sesekali, Alzam mencuri-curi pandang pada wajah sendu yang sibuk menatap kosong sekitar. Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, mobil yang dikendarai Alzam berhenti di depan sebuah resto yang ingin Elif kunjungi. Ada beberapa teman yang sudah menunggu di dalam sana. "Masuklah! Teman-temanmu sudah menunggu bukan?" perintah Alzam. "Lalu ... Kak Alzam, bagaimana?" Tatapan tidak enak dari wanita di sampingnya, membuat senyum laki-laki itu mengembang. 'Kau terlalu sibuk menjaga perasaan orang lain. Hingga lupa dengan perasaanmu sendiri yang hampir hancur tak berbentuk.' "Aku bukan anak kecil, aku juga punya urusan di sekitar sini. Habiskan waktu bersama mereka hingga kau bosan. Jangan khawatir kakau kita telat kembali ke kantor! Itu akan menjadi urusanku. Ingat, hubungi aku kalau sudah selesai!" "Benar, Kak Alzam tidak apa-apa sendirian? Eum, kalau tidak keberatan, Kak Alzam bisa ik
"Arghh ...!" Ammar melempar kertas itu sembarangan. Kertas yang isinya surat pengunduran diri dari Elif Sabrina. Beberapa saat laki-laki itu menyenderkan kepala ke belakang kursi kehormatannya, memejam sesaat, lalu kembali melek dengan cincin cantik di atas meja sebagai objek pertama yang tampak di depan mata. Sebelah tangannya tergerak untuk meraih benda kecil itu. Menelisik dengan hati-hati, hingga ukiran nama Ammar di balik cincin ter-eja dengan pasti."Apa susahnya mengambil cincin ini. Dasar angkuh." "Dia memilih pergi. Itu yang aku tunggu-tunggu dari dulu. Apa dia sudah bosan jadi benalu? Memangnya, ada tempat yang mau menerimanya selain keluargaku. Ck." Ammar sibuk bermonolog dalam ruangannya. Berasumsi, bertanya dan menjawab sendiri. Kadang memaki, menganggap Elif terlalu angkuh karena tidak memilih kembali. Ammar mulai mengingat banyak hal tentang Elif yang tak pernah lelah mengambil perhatian darinya. Mas, sudah pulang? Mau mandi atau makan dulu. Mas ini ... Mas itu da
'Aku harus ke mana?'Elif menengadah ke langit dengan tangan menyilang di dada. Berharap siang ini hujan turun lebat seperti semalam, agar wanita itu dapat bersembunyi di baliknya. Ya, jika di bawah guyuran, siapa yang mampu membedakan air mata dan air hujan yang bercampur di pipinya. Namun, sepertinya angan tak pernah jadi kenyataan. Sebab bumi tengah begitu hangat dipeluk matahari. Elif pun bisa merasakan panas yang merasuk pada kedua kaki telanjangnya. "Apa aku pulang ke rumah saja?" Elif tersenyum getir, rumah gubuk yang ditinggal puluhan tahun lalu, masihkah ada hingga hari ini? Tidak. Elif menggelengkan kepala. Untuk dapat melihat bekas rongsokannya saja, wanita itu merasa terlalu berlebihan. Lalu, ke mana kaki mungil itu hendak melangkah? Arah mana yang akan dituju dalam kondisi memprihatinkan seperti itu. Tidak mungkin 'kan dia mengikuti arah mata angin? Mencari kerja?Secepat itu? Tanpa ijazah, tanpa alas kaki, tanpa apapun selain pakaian yang masih melekat di tubuhn
Ammar menepikan mobilnya di pinggir jalan yang agak sepi. Pikirannya semakin kalut saat melirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dari sore hari dia berkeliling mencari Elif ke sana ke mari. Menelusuri setiap jengkal yang mungkin dilewati wanita itu. Menurutnya. Tapi, nihil. Elif lenyap begitu saja tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. "Apa jangan-jangan ... tidak. Itu tidak mungkin ...." Ammar menggeleng-geleng kepala, lalu meremas rambutnya dengan kasar. Entah apa yang terbesit dalam kepalanya, hingga berakhir dengan membenamkan wajah pada setir. Lumayan lama Ammar menelungkup. Hingga dering ponsel membangunkannya. Matanya berbinar, kala menatap nama siapa yang muncul di layar panggilan. Berharap ada kabar baik yang akan diterima. "Ya," ujar Ammar ketika panggilan tersambung...."Baiklah. Hentikan dulu pencarian! Tunggu sampai aku memberi perintah, besok!" jawab Ammar lesu.Tut.Tidak ada kabar baik sama sekali. Orang-orang suruhan Ammar ti
Entah berapa lama mereka saling menyerang. Keduanya terkapar di lantai dalam keadaan sama-sama memprihatinkan. "Lepaskan dia! Kau tidak pantas untuk Elif," ujar Alzam pelan sambil meringis dengan wajah yang sudah babak belur. "Heh. Siapa kau berani memerintahku?" sanggah Ammar dengan kondisi tak kalah mengenaskan. Wajah keduanya penuh lebam bahkan di beberapa bagian sampai berdarah. Seluruh bagian tubuh terasa nyeri, tapi mulut mereka belum berhenti untuk menghina satu sama lain. "Aku ... salah satu orang yang menginginkannya dari sekian banyak pria." Telinga Ammar seketika panas. Ia melirik seseorang yang terkapar tidak jauh darinya dengan ekor mata. Dalam hati, laki-laki itu bersumpah, jika saja tenaganya masih ada, ia akan menghabisi Alzam saat ini juga. "Kenapa diam? Kau tidak mencintainya melainkan kebencian yang sudah lama kau tanam untuk menyiksanya. Dia terlalu baik untuk manusia setengah iblis sepertimu," sambung Alzam yang berhasil membuat dada Ammar berdenyut. "Ck.