Share

2. Tak Semangat Bekerja

HAPPY READING 😍

Dalam sebuah kamar mewah, seorang laki-laki yang sedang terbaring di atas ranjang King Size itu sibuk menatap cincin berlian di tangannya. Padahal, waktu hampir menjelang pagi.

"Heh, mari kita lihat berapa hari kau akan bertahan di luar sana. Kau tidak bisa hidup selain di bawah ketiak mamaku. Dasar menyusahkan!" monolog Ammar kemudian mencengkram erat cincin itu.

Ingin mengakhiri ikatan suci, tapi hati kecilnya melarang. Ingin berhenti menyakiti tapi hatinya juga telah dibutakan oleh dendam. Setitik penyesalan yang hinggap, tak mampu melenyapkan rasa bencinya pada wanita bernama Elif Sabrina.

Ammar membenci Elif, ya laki-laki itu mencintainya.

.

Hari ini Elif tampak bersemangat untuk berkerja, baginya ini adalah awal yang baru dan berharap lebih baik dari sebelumnya.

Mulai sekarang Elif tidak perlu lagi berada di toilet kantor dalam durasi waktu yang lama hanya demi menumpahkan segala rasa sakit melalui air mata saat bekerja.

Bagi wanita bersurai panjang itu, kemarin adalah akhir dari segalanya. Untuk apa bertahan jika tidak bahagia, menurutnya.

"Semua akan baik-baik saja."

Elif memutar handel pintu apartemen, lalu berjalan ke arah pintu lift untuk turun menuju lobi. Blues warna peach yang dipadukan dengan kulot warna senada tampak menyatu dengan kulitnya yang putih gading. Elif cantik dan cerdas, nyaris sempurna, sangat bertolak belakang dengan nasibnya. Kisah cintanya.

Mobil yang dikendarai wanita itu kini telah melaju membelah jalanan. Melewati gedung-gedung menjulang di kedua sisi jalan. Sementara pepohonan tampak semakin tersisihkan seolah tak memiliki peran yang begitu penting bagi lingkungan.

Padahal, tumbuhan-tumbuhan itulah yang selalu setia untuk menyuplai oksigen dan menyerap karbon dioksida agar manusia-manusia serakah bisa merasakan betapa nikmatnya menghirup udara segar tanpa tercampur polusi berbahaya.

Yah, pada dasarnya manusia memang tempatnya tak pernah puas. Menebang pohon untuk diganti dengan bangunan-bangunan megah merupakan sesuatu yang wah.

Haha, selain menatap dengan prihatin, apa yang bisa wanita cantik itu lakukan? Nasib rumah tangganya jauh lebih mengerikan ketimbang pohon-pohon yang mulai tersisihkan itu.

Setelah hampir tiga puluh menit Elif dalam perjalanan. Mobil SUV miliknya mulai memasuki area kantor.

Surai panjangnya yang sengaja dikuncir sesekali tampak ikut bergerak saat Elif berjalan dengan langkah elegan. Bersamaan dengan ketukan high heels yang begitu kentara.

Para karyawan mulai menunduk saat Elif melewati mereka, dan Elif membalas dengan senyuman tulus. Elif tak pernah haus rasa hormat atau sanjungan. Tapi, yang para pekerja itu tahu, wanita cantik itu adalah istri direktur utama. Wajar dihormati, meski suaminya sendiri tidak sudi.

"Huft, sepertinya sangat banyak yang harus dikerjakan hari ini," ucapnya pada diri sendiri setelah mendaratkan tubuh di atas kursi, di balik meja kerja.

"Baiklah. Mari bekerja, Elif. Semangat!"

Akhir bulan, memang sangat melelahkan bagi seorang manager keuangan sepertinya. Setiap laporan harus diperiksa dengan teliti sebelum akhirnya diserahkan pada atasan.

.

Waktu menunjukkan hampir sepuluh pagi. Tapi, mata Ammar masih sibuk memandang ruangan yang terletak tepat di depan ruangan kebesarannya dengan wajah yang kusut.

Sang raja tampak beberapa kali membuang nafas dengan kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan sambungan telepon pada bagian HRD.

"Kemana manager bagian keuangan? Kenapa ruangannya kosong?" tanya Ammar to the point pada seseorang di seberang sana.

"Apa? Dipindahkan? Ke lantai berapa? Siapa yang berani melakukannya tanpa perintah dariku?!" Ammar murka.

Ammar meletakkan gagang telepon dengan kasar.

"Mama? Kenapa Mama melakukan itu? Bukankah mama sendiri yang awalnya menempatkan Elif di ruangan itu?" monolog laki-laki itu tidak percaya.

"Dasar wanita miskin. Selalu saja menyebalkan!"

Hati kecilnya merasa ada yang hilang, tapi buru-buru Ammar menepis. Baginya, wanita miskin itu adalah benalu yang mengambil posisinya sebagai anak tunggal dalam keluarga.

Laki-laki berbola mata elang itu sangat membenci Elif semenjak pertama kali gadis itu menginjakkan kaki di rumah megahnya. Kebencian yang kian hari kian bertambah, membuat Ammar merencanakan sesuatu untuk membalas wanita itu.

Ammar dengan segala pesonanya, membuat siapapun akan bertekuk lutut bahkan berbaring dengan suka rela di hadapannya.

Tak terkecuali Elif Sabrina, meski Elif tak bertindak murahan seperti wanita-wanita di luar sana—yang rela memberikan tubuh untuk Ammar, tapi hatinya telah terpenjara oleh perhatian dan cinta palsu dari suaminya.

Ammar dengan segala ketulusannya kala itu, menurut Elif. Membuat gadis yang merupakan anak dari sahabat almarhum papa Ammar memantapkan hatinya menerima pinangan Ammar untuk menjadi teman hidupnya.

Ditambah Ny. Risma yang begitu antusias saat mengetahui putra semata wayangnya dan Elif terjebak dalam sebuah rasa. Hingga akhirnya, acara sakral itu tak bisa ditunda, dan terlaksana dengan khidmat. Hari di mana Elif harus tersadar dari mimpi indah untuk menghadapi kenyataan yang tak pernah terduga sebelumnya.

Elif. Gadis cerdas, namun, terlalu lugu untuk menilai sandiwara yang Ammar perankan dengan sangat sempurna.

Elif mulai terbiasa dengan rasa sakit di setiap detik hembusan nafasnya, demi sebuah keajaiban yang menjadi pinta di kala malam. Ditemani air mata juga jeritan pilu sanubari kala wanita cantik itu tak lagi mampu menahan.

Lama sekali dirinya bertahan, berjalan dengan kaki telanjang di atas duri-duri tajam. Kemarin, dadanya sudah terlalu sesak, muatan untuk luka sudah melebihi kadar. Meski hati kecil wanita itu selalu berbisik, bahwa Tuhan tidak akan menguji di luar batas kemampuan.

Elif hanya manusia biasa, ada kalanya rasa lelah menghasutnya untuk menyerah saja. Kesabaran wanita itu sudah sampai pada titik puncak, menurutnya, tak perlu bertahan jika tidak bahagia.

Ya, Ammar kini terbebas dari wanita benalu yang menghancurkan hidupnya, menurut pikiran sempit laki-laki itu.

"Lancang sekali wanita itu pergi tanpa seizinku."

Moodnya untuk bekerja mendadak hilang begitu saja. Ammar malah termagu menatap cincin yang diambil dari saku celananya.

"Ck, aku membencinya. Tapi, kenapa pikiranku harus kacau karenanya? Argh ...!"

Ammar kembali meraih gagang telpon, matanya menatap nyalang ke arah ruangan di seberang sana.

"Suruh manager keuangan ke ruanganku, sekarang!"

Bruakk!

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status