Hari-hari bersama Ricardo terasa seperti bonus tak terduga dalam hidup Erica. Mereka tidak selalu pergi ke tempat mewah, tidak pula mengumbar foto di media sosial seperti pasangan lain. Tapi justru dalam keheningan itulah, cinta mereka tumbuh dalam diam yang hangat.
Pagi hari di akhir pekan, Ricardo datang membawa dua cangkir kopi dan sekotak roti isi kesukaan Erica. Mereka duduk di balkon apartemen, menatap langit yang mendung. "Aku nggak nyangka, pagi-pagi begini udah ada Ricardo bawa bekal," canda Erica sambil menyenggol lengannya. Ricardo tertawa ringan. “Aku cuma nggak mau ada orang lain yang lebih dulu nemenin sarapan kamu.” Erica hanya tertawa kecil, menunduk menyembunyikan rona merah di pipinya. Sambil menyeruput kopi, ia tak sadar bahwa Ricardo sedang menatapnya lekat. “Aku serius sama kamu, Ric,” ucap Erica tiba-tiba, suaranya pelan, tapi cukup terdengar di antara gemerisik angin. Ricardo tidak terkejut. Ia justru mengangguk pelan, lalu meraih tangan Erica. “Aku juga, Ca. Aku nggak pengen hubungan ini cuma berhenti di kata pacaran. Aku lihat kamu sebagai rumah.” Kalimat itu membuat Erica tercekat. Matanya berkaca-kaca, dan dalam diam ia mengangguk. Hatinya seolah berkata, akhirnya, aku bisa percaya lagi. Sejak hari itu, hubungan mereka semakin dalam. Ricardo mulai membicarakan masa depan. Tentang rumah kecil di pinggir kota, tentang dua anak dan taman belakang. Bahkan tentang menu makan malam yang ingin ia masak sendiri sepulang kerja. Erica mendengarkan semuanya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak takut membayangkan masa depan. Namun hidup, seperti biasa, tak pernah membiarkan bahagia bertahan terlalu lama tanpa ujian. Sore itu, saat mereka hendak pergi makan malam, Ricardo menerima email yang membuatnya terdiam cukup lama. Erica memanggil namanya, tetapi pria itu hanya menatap layar tanpa berkedip. “Ada apa?” tanya Erica pelan. Ricardo menoleh, senyum tipis di wajahnya. Tapi tatapan matanya tidak bisa berbohong. Ia sedang menahan sesuatu. “Aku... dipindah tugas,” jawabnya singkat. “Mutasi ke Kalimantan. Dua minggu lagi.” Hening menggantung di antara mereka. Erica merasa dunia tiba-tiba berhenti berputar. Napasnya tersangkut di tenggorokan. “Berapa lama?” tanyanya akhirnya, berusaha terdengar tenang. “Tidak ada batas waktu. Bisa enam bulan. Bisa satu tahun. Mungkin lebih,” jawab Ricardo pelan. Mereka tidak bicara selama beberapa menit. Hanya ada suara kendaraan lewat dan angin yang menerpa jendela. Kemudian Erica mengangguk. “Kamu akan pergi, kan?” Ricardo menghela napas. “Aku harus. Tapi bukan berarti aku ninggalin kamu.” Ia meraih tangan Erica, menggenggamnya erat. “Aku akan tetap ada, meski jaraknya jauh. Aku nggak akan pergi dari hati kamu. Erica, aku serius. Kita tetap jalani ini. Aku percaya kita bisa.” Mata Erica berkaca-kaca, tapi ia tersenyum. “Kalau memang kamu yakin, aku juga akan berjuang.” Hari itu, mereka tidak makan malam di luar. Ricardo memesan makanan favorit Erica, dan mereka duduk di lantai ruang tengah, seperti biasa—tertawa, bercerita, berusaha menepis ketakutan yang perlahan merayap masuk. Dua minggu berikutnya berjalan cepat. Terlalu cepat. Ricardo sibuk mengurus keberangkatan, tapi ia menyempatkan waktu sebanyak mungkin untuk Erica. Mereka menonton ulang film yang dulu mereka tonton di bioskop. Ricardo membawa Erica ke tempat pertama kali mereka bertemu. Ia juga menuliskan surat, yang baru boleh dibuka Erica di hari ke-30 sejak kepergiannya. Dan di hari keberangkatan, Ricardo memeluk Erica erat di bandara. “Kita bukan lagi dua orang yang saling mencari arah. Kita sudah saling memilih, dan itu cukup,” bisik Ricardo sebelum pergi. Erica tak berkata apa-apa. Ia hanya menggenggam erat jaket Ricardo, seolah jika dilepaskan, semuanya akan benar-benar pergi. Lalu, Ricardo melangkah pergi. Menoleh sekali sebelum menghilang di balik pintu keberangkatan. Dan Erica berdiri di sana, dengan hati yang setengah kosong—menanti hari-hari baru yang harus ia hadapi sendirian, namun dengan harapan bahwa cinta mereka cukup kuat untuk bertahan.Ricardo masih mengingat jelas isi pesan Erica semalam. Kata-kata yang menusuk itu terus berputar dalam pikirannya sepanjang hari. Namun, entah bagaimana, ia tetap memilih untuk memulai pagi seperti biasa, dengan secangkir kopi dan tumpukan berkas yang harus diselesaikan. Nadya sudah tiba di kantor lebih dulu, duduk di meja kerjanya yang terletak tak jauh dari ruang kerja Ricardo. Ia terlihat tenang, seperti tak ada yang terjadi semalam—padahal mereka baru saja melewati batas yang tak seharusnya dilanggar. "Pagi, Pak Ricardo," sapa Nadya saat pria itu melintas di depannya. Suaranya hangat, namun tak berlebihan. Tapi senyum di wajahnya... menyiratkan lebih dari sekadar profesionalitas. Ricardo mengangguk singkat. "Pagi, Nadya. Ada agenda rapat pagi ini?" "Ada, jam sepuluh. Saya sudah siapkan materi presentasinya." "Baik. Terima kasih." Seketika itu juga, Ricardo kembali larut dalam rutinitas. Tapi pikirannya terus melayang ke arah Nadya. Semalam mereka tak hanya bicara lama—mereka
Ricardo terduduk diam di balkon kamar hotel yang disediakan perusahaan. Malam di Kalimantan tak pernah seramai ibukota, tapi entah kenapa malam ini terasa bising—oleh suara pikirannya sendiri. Suasana senyap di luar, disertai suara rintik hujan yang jatuh pelan di atap seng, justru memperjelas kekacauan dalam hatinya.Ponselnya tergeletak di meja kecil di sebelah cangkir kopi yang sudah dingin. Layar menyala—pesan dari Erica.Ia menatapnya lama, jantungnya berdetak tak karuan. Ada rasa bersalah yang mengendap, mendesak untuk diakui. Ia ulurkan tangan, lalu membuka pesan itu dengan jari yang gemetar."Ricardo... kamu baik-baik saja, kan? Aku cuma merasa kita mulai jauh. Aku rindu, dan mungkin... kamu sudah tak merindukanku lagi?"Seolah dunia berhenti berputar. Kata-kata itu menohok langsung ke pusat kesadarannya. Di luar, hujan mulai turun lebih deras, seirama dengan dentuman jantungnya yang kini terdengar memekakkan telinga.Ricardo menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya te
Erica duduk di meja makan dengan secangkir teh yang kini hanya tinggal setengah. Jam dinding menunjukkan pukul 21.17—Ricardo biasanya sudah mengirim kabar sejak satu jam yang lalu, sekadar bilang dia sudah pulang, atau bertanya apakah Erica sudah makan malam. Tapi malam ini, tidak ada satu pesan pun.Ponselnya diletakkan di atas meja. Dipelototi. Diteteskan harapan. Tetap hening.Erica menghela napas, mencoba mengusir kekhawatiran yang mulai mengetuk. Ia menatap langit malam dari jendela apartemennya, dan entah mengapa, untuk pertama kalinya sejak menjalin hubungan jarak jauh dengan Ricardo, ada perasaan tidak tenang menyusup ke dalam pikirannya.“Ricardo, kamu kenapa sih akhir-akhir ini?” gumamnya lirih.Sejak tiga minggu terakhir, ada hal-hal kecil yang terasa berbeda. Jika dulu Ricardo selalu antusias meneleponnya dan bercerita panjang tentang proyek, sekarang ia hanya mengabari seperlunya. Suaranya terdengar lelah. Tapi bukan lelah karena pekerjaan—lelah karena menjaga jarak. Lela
Hari-hari di Kalimantan tak lagi sama. Entah sejak kapan, kehadiran Nadya mulai menjadi rutinitas yang tak bisa diabaikan. Jika sebelumnya Ricardo hanya mengandalkannya untuk urusan administrasi proyek, kini Nadya adalah teman mengobrol, tempat curhat saat tekanan kerja menumpuk, bahkan sesekali, jadi penawar sepi ketika malam datang terlalu cepat.“Kopi pagi untuk Pak Ricardo,” ucap Nadya suatu pagi, meletakkan cangkir di atas meja kerjanya. Ia mengenakan blus putih sederhana dan celana hitam rapi, tapi senyumnya selalu menjadi hal pertama yang Ricardo lihat tiap hari.Ricardo menatapnya, lalu mengambil cangkir itu. “Terima kasih, kamu selalu datang tepat waktu.”“Kebiasaan,” sahut Nadya. “Lagipula... saya suka ketemu Bapak di pagi hari.”Kalimat itu menggantung sejenak. Ricardo tak langsung menjawab, tapi ia tersenyum kecil. Ia tahu Nadya mulai menunjukkan perhatian lebih. Dan yang lebih mengganggu pikirannya: ia tak menolak.Beberapa minggu terakhir, mereka sering makan siang bersa
Ricardo menatap bayangan dirinya di cermin kamar hotel. Rambutnya acak-acakan, dasinya longgar, dan matanya... lelah. Tapi bukan karena pekerjaan. Bukan juga karena kurang tidur. Ada sesuatu yang lebih berat dari itu—beban yang mengendap diam-diam di dadanya.Ia menatap dirinya lebih dalam. Seseorang yang bahkan tak bisa menjawab pertanyaan sederhana : Apa yang sebenrnya kamu rasakan?Ciuman itu kembali berputar dikepalanya. Tak disengaja, begitu cepat, begitu tiba-tiba. Namun, meninggalkan jejk yang nyata. Tapi juga tak bisa dihapus. Bukan karena Nadya. Tapi karena dirinya.Ia yang diam. Ia yang tak langsung menarik diri. Ia yang membiarkan detik itu berlama-lama tinggal di antara kesunyian dan kilat dari luar jendela. Dan sekarang, ia tk bisa berpura-pura lupa.Ia belum bercerita pada Erica. Dan justru itu yang mengusiknya paling dalam. Jika tak ada apa-apa, kenapa ia menyembunyikannya?Ponselnya berdering. Nama Erica muncul di layar. Ia menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya
Hujan masih merintik perlahan di luar jendela. Suara titik - titik air yang jatuh di atap kantor memberi irama lembut yang menenangkan, namun sekaligus mengusik. Kantor itu sudah lama sepi. Mayoritas karyawan sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Kantor itu hanya diterangi lampu redup dari meja Ricardo dan bias temaram dari lampu lorong yang menerobos celah pintu. Di antara dua gelas kopi yang mulai kehilangan uapnya, Ricardo dan Nadya duduk dalam diam.Dua cangkir kopi yang mulai mendingin di atas meja menjadi saksi bisu percakapan yang tak banyak kata. Ricardo duduk bersandar, tangannya memainkan pena tanpa arah, Nadya, yang duduk di seberangnya menatap keluar jendela dengan pandangan jauh.Tak canggung. Hanya... hening.“Kadang, saya suka aroma hujan begini,” ujar Nadya pelan, memecah sunyi. Ia tak menoleh ke Ricardo. Matanya masih menatap bulir hujan yang membekas si kaca jendela. “Rasanya... damai. Seolah dunia berhenti sebentar”Ricardo mengangguk, tersenyum tipis. “Tapi hujan