Erica tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama. Baginya, cinta adalah sesuatu yang tumbuh perlahan, melalui waktu, kepercayaan, dan luka yang disembuhkan bersama. Tapi entah mengapa, sejak malam itu, sejak mata Ricardo menatapnya tanpa gentar, hatinya tak lagi sepenuhnya milik logika.
Ia berusaha menyangkal. Berkali-kali. Bahwa apa yang ia rasakan hanyalah efek dari suasana malam yang magis, dari lampu temaram dan wine yang menghangatkan dada. Tapi waktu membuktikan bahwa perasaan itu bukan sekadar ilusi pesta semalam. Dua hari setelah pertemuan itu, Ricardo mengirim pesan singkat. "Kamu suka kopi pahit atau manis?" Pertanyaan absurd yang entah kenapa membuat Erica tersenyum. Ia membalas singkat: "Pahit. Seperti realita." Tak lama kemudian, seorang kurir datang ke meja kerjanya dengan satu cup kopi hitam tanpa gula dan selembar sticky note bertuliskan, "Tapi hidup bisa lebih manis kalau kamu mau." Erica menggigit bibir, menahan senyum. Bodoh. Ini bodoh. Tapi kenapa jantungnya berdebar seperti remaja? Mereka mulai sering bertukar pesan. Ringan, tidak mendalam. Tapi cukup untuk membuat Erica menantikan setiap getar notifikasi di ponselnya. Ricardo selalu punya cara menyapa yang unik—kadang dengan candaan receh, kadang dengan kutipan film, kadang hanya dengan, “Aku lihat kamu tadi lewat, kayaknya kamu capek. Kamu oke?” Dan itulah yang membuat Erica mulai goyah. Karena ia terbiasa menjadi perempuan kuat yang tak ada yang benar-benar memperhatikan. Yang hadir di ruangan tapi sering diabaikan. Bersama Ricardo, ia merasa terlihat. Lalu datang hari Minggu itu. Ricardo menawarinya jalan-jalan pagi ke taman kota. Katanya, hanya untuk mengganti suasana. Erica sempat ragu. Ia bukan tipe yang nyaman menghabiskan waktu bersama pria yang belum terlalu ia kenal. Tapi saat Ricardo menjemputnya dengan jaket hitam dan senyum yang menenangkan, semua keraguan itu lenyap. Mereka duduk di bangku taman, menikmati udara pagi dan aroma roti panggang dari kedai dekat situ. Erica menceritakan masa kecilnya—tentang ibunya yang keras, tentang ayah yang sudah lama meninggalkannya. Tentang rasa sepi yang tumbuh bahkan sejak ia belum benar-benar mengerti makna kehilangan. Ricardo mendengarkan. Tanpa memotong, tanpa memberi nasihat. Ia hanya ada di sana. Dan Erica, untuk pertama kalinya, merasa tidak sendiri. “Kamu tahu nggak,” kata Ricardo tiba-tiba, “kadang kita nggak sadar bahwa yang kita cari bukan cinta... tapi pulang.” Erica menoleh. Matanya bertemu mata Ricardo. Dalam. Hangat. Lurus. “Kamu merasa sendiri terus, ya?” lanjut Ricardo. Erica terdiam. Tak menjawab. Tapi anggukannya nyaris tak terlihat. Ricardo tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menggenggam tangan Erica, pelan. Lalu diam-diam mengusap ibu jarinya di sana. Tak ada yang perlu dikatakan. Karena semuanya sudah terasa. Sejak hari itu, segalanya berubah cepat. Terlalu cepat. Ricardo mulai sering datang ke kantor, kadang hanya untuk menitipkan makanan ringan. Kadang hanya menunggu Erica selesai kerja agar bisa mengantarnya pulang. Erica, yang biasanya menjaga jarak dari siapa pun, mulai merindukan kehadirannya. Mulai mencari-cari wajahnya di antara lalu lalang kantor. Mulai merasa hampa saat Ricardo tak menghubunginya satu hari saja. Teman-teman sekantornya mulai menggoda. “Kamu senyum-senyum sendiri kenapa, Er?” Ia hanya menggeleng, pura-pura tak mengerti. Tapi di balik senyum itu, hatinya juga dipenuhi ketakutan. Karena ini bukan dirinya. Erica yang dulu rasional. Dinginnya bisa membekukan ruang rapat. Tapi sekarang, ia seperti remaja yang mabuk cinta. Ia bahkan mulai membayangkan hal-hal yang tak masuk akal: seperti bagaimana suara Ricardo memanggil namanya di pagi hari, bagaimana rasanya menggandeng tangan pria itu di tengah hujan, atau bagaimana bentuk senyum Ricardo saat menggendong anak mereka kelak—dan semua itu baru berlangsung seminggu. Apakah ia sedang jatuh cinta? Atau hanya kesepian yang menyamar? Tapi setiap kali Ricardo menatapnya, Erica tak bisa menyangkal bahwa yang ia rasakan bukan sekadar kekaguman sesaat. Ada luka lama yang perlahan mengering saat pria itu datang. Ada bagian dari dirinya yang mulai percaya bahwa mungkin, hanya mungkin... tidak semua laki-laki datang untuk melukai. Namun di balik semua itu, terselip satu kekhawatiran yang tak bisa ia hilangkan: apakah ini semua terlalu cepat? Karena jatuh cinta terlalu cepat... bisa jadi awal dari luka yang lebih dalam.Ricardo masih mengingat jelas isi pesan Erica semalam. Kata-kata yang menusuk itu terus berputar dalam pikirannya sepanjang hari. Namun, entah bagaimana, ia tetap memilih untuk memulai pagi seperti biasa, dengan secangkir kopi dan tumpukan berkas yang harus diselesaikan. Nadya sudah tiba di kantor lebih dulu, duduk di meja kerjanya yang terletak tak jauh dari ruang kerja Ricardo. Ia terlihat tenang, seperti tak ada yang terjadi semalam—padahal mereka baru saja melewati batas yang tak seharusnya dilanggar. "Pagi, Pak Ricardo," sapa Nadya saat pria itu melintas di depannya. Suaranya hangat, namun tak berlebihan. Tapi senyum di wajahnya... menyiratkan lebih dari sekadar profesionalitas. Ricardo mengangguk singkat. "Pagi, Nadya. Ada agenda rapat pagi ini?" "Ada, jam sepuluh. Saya sudah siapkan materi presentasinya." "Baik. Terima kasih." Seketika itu juga, Ricardo kembali larut dalam rutinitas. Tapi pikirannya terus melayang ke arah Nadya. Semalam mereka tak hanya bicara lama—mereka
Ricardo terduduk diam di balkon kamar hotel yang disediakan perusahaan. Malam di Kalimantan tak pernah seramai ibukota, tapi entah kenapa malam ini terasa bising—oleh suara pikirannya sendiri. Suasana senyap di luar, disertai suara rintik hujan yang jatuh pelan di atap seng, justru memperjelas kekacauan dalam hatinya.Ponselnya tergeletak di meja kecil di sebelah cangkir kopi yang sudah dingin. Layar menyala—pesan dari Erica.Ia menatapnya lama, jantungnya berdetak tak karuan. Ada rasa bersalah yang mengendap, mendesak untuk diakui. Ia ulurkan tangan, lalu membuka pesan itu dengan jari yang gemetar."Ricardo... kamu baik-baik saja, kan? Aku cuma merasa kita mulai jauh. Aku rindu, dan mungkin... kamu sudah tak merindukanku lagi?"Seolah dunia berhenti berputar. Kata-kata itu menohok langsung ke pusat kesadarannya. Di luar, hujan mulai turun lebih deras, seirama dengan dentuman jantungnya yang kini terdengar memekakkan telinga.Ricardo menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya te
Erica duduk di meja makan dengan secangkir teh yang kini hanya tinggal setengah. Jam dinding menunjukkan pukul 21.17—Ricardo biasanya sudah mengirim kabar sejak satu jam yang lalu, sekadar bilang dia sudah pulang, atau bertanya apakah Erica sudah makan malam. Tapi malam ini, tidak ada satu pesan pun.Ponselnya diletakkan di atas meja. Dipelototi. Diteteskan harapan. Tetap hening.Erica menghela napas, mencoba mengusir kekhawatiran yang mulai mengetuk. Ia menatap langit malam dari jendela apartemennya, dan entah mengapa, untuk pertama kalinya sejak menjalin hubungan jarak jauh dengan Ricardo, ada perasaan tidak tenang menyusup ke dalam pikirannya.“Ricardo, kamu kenapa sih akhir-akhir ini?” gumamnya lirih.Sejak tiga minggu terakhir, ada hal-hal kecil yang terasa berbeda. Jika dulu Ricardo selalu antusias meneleponnya dan bercerita panjang tentang proyek, sekarang ia hanya mengabari seperlunya. Suaranya terdengar lelah. Tapi bukan lelah karena pekerjaan—lelah karena menjaga jarak. Lela
Hari-hari di Kalimantan tak lagi sama. Entah sejak kapan, kehadiran Nadya mulai menjadi rutinitas yang tak bisa diabaikan. Jika sebelumnya Ricardo hanya mengandalkannya untuk urusan administrasi proyek, kini Nadya adalah teman mengobrol, tempat curhat saat tekanan kerja menumpuk, bahkan sesekali, jadi penawar sepi ketika malam datang terlalu cepat.“Kopi pagi untuk Pak Ricardo,” ucap Nadya suatu pagi, meletakkan cangkir di atas meja kerjanya. Ia mengenakan blus putih sederhana dan celana hitam rapi, tapi senyumnya selalu menjadi hal pertama yang Ricardo lihat tiap hari.Ricardo menatapnya, lalu mengambil cangkir itu. “Terima kasih, kamu selalu datang tepat waktu.”“Kebiasaan,” sahut Nadya. “Lagipula... saya suka ketemu Bapak di pagi hari.”Kalimat itu menggantung sejenak. Ricardo tak langsung menjawab, tapi ia tersenyum kecil. Ia tahu Nadya mulai menunjukkan perhatian lebih. Dan yang lebih mengganggu pikirannya: ia tak menolak.Beberapa minggu terakhir, mereka sering makan siang bersa
Ricardo menatap bayangan dirinya di cermin kamar hotel. Rambutnya acak-acakan, dasinya longgar, dan matanya... lelah. Tapi bukan karena pekerjaan. Bukan juga karena kurang tidur. Ada sesuatu yang lebih berat dari itu—beban yang mengendap diam-diam di dadanya.Ia menatap dirinya lebih dalam. Seseorang yang bahkan tak bisa menjawab pertanyaan sederhana : Apa yang sebenrnya kamu rasakan?Ciuman itu kembali berputar dikepalanya. Tak disengaja, begitu cepat, begitu tiba-tiba. Namun, meninggalkan jejk yang nyata. Tapi juga tak bisa dihapus. Bukan karena Nadya. Tapi karena dirinya.Ia yang diam. Ia yang tak langsung menarik diri. Ia yang membiarkan detik itu berlama-lama tinggal di antara kesunyian dan kilat dari luar jendela. Dan sekarang, ia tk bisa berpura-pura lupa.Ia belum bercerita pada Erica. Dan justru itu yang mengusiknya paling dalam. Jika tak ada apa-apa, kenapa ia menyembunyikannya?Ponselnya berdering. Nama Erica muncul di layar. Ia menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya
Hujan masih merintik perlahan di luar jendela. Suara titik - titik air yang jatuh di atap kantor memberi irama lembut yang menenangkan, namun sekaligus mengusik. Kantor itu sudah lama sepi. Mayoritas karyawan sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Kantor itu hanya diterangi lampu redup dari meja Ricardo dan bias temaram dari lampu lorong yang menerobos celah pintu. Di antara dua gelas kopi yang mulai kehilangan uapnya, Ricardo dan Nadya duduk dalam diam.Dua cangkir kopi yang mulai mendingin di atas meja menjadi saksi bisu percakapan yang tak banyak kata. Ricardo duduk bersandar, tangannya memainkan pena tanpa arah, Nadya, yang duduk di seberangnya menatap keluar jendela dengan pandangan jauh.Tak canggung. Hanya... hening.“Kadang, saya suka aroma hujan begini,” ujar Nadya pelan, memecah sunyi. Ia tak menoleh ke Ricardo. Matanya masih menatap bulir hujan yang membekas si kaca jendela. “Rasanya... damai. Seolah dunia berhenti sebentar”Ricardo mengangguk, tersenyum tipis. “Tapi hujan