Hari-hari tanpa Ricardo adalah hari-hari sunyi bagi Erica, tapi bukan berarti hampa. Sejak kepergian Ricardo ke Kalimantan, ia menyadari satu hal: cinta sejati memang tidak selalu harus hadir secara fisik. Kehadiran bisa terasa meski hanya lewat layar ponsel.
Pagi-pagi sekali, jam enam, telepon Erica sudah berdering. Itu tandanya Ricardo sudah sampai di proyek barunya dan menyempatkan waktu untuk menghubungi. "Sudah bangun, Sayang?" "Udah, kamu gimana di sana?" "Masih nyari nasi kuning yang enak. Tapi belum ada yang ngalahin buatan kamu." Erica tertawa, meski dalam hati ia ingin sekali memeluknya. Tapi telepon pagi itu menjadi obat rindu yang cukup ampuh. Mereka punya rutinitas. Video call malam hari sebelum tidur, kirim foto makanan yang mereka makan, bahkan saling mengirimkan barang kecil—Ricardo mengirimkan gelang manik-manik yang dibelinya di pasar lokal, sementara Erica mengirimkan kartu kecil berisi puisi dan parfum yang biasa ia pakai. Ada juga momen lucu. Seperti saat koneksi internet Ricardo buruk dan wajahnya berhenti di posisi paling aneh, atau saat Erica tertidur sambil memegang ponsel dan bangun dengan suara Ricardo yang masih bercerita. Hubungan mereka tidak kehilangan tawa. Bahkan, seolah justru bertambah kuat. Ricardo selalu berusaha hadir dalam hari-hari Erica, meski lewat jarak. Di hari ulang tahunnya, Erica mengira tidak akan ada yang istimewa. Tapi ternyata, Ricardo menyewa layanan kejutan yang datang ke kantor Erica: ada seikat bunga matahari, sekotak brownies kesukaannya, dan rekaman suara Ricardo yang berkata: “Selamat ulang tahun, Ca. Tahun ini aku cuma bisa mencintaimu dari jauh, tapi doaku selalu dekat. Tunggu aku, ya. Nanti aku pulang bawa cerita.” Air mata Erica jatuh di kantor. Tapi itu bukan tangis sedih. Itu tangis karena cinta yang tetap terasa hangat, meski dipisahkan ribuan kilometer. Mereka juga punya jadwal nonton bareng secara virtual. Dengan masing-masing memutar film di waktu bersamaan, lalu menyalakan video call di latar. Tidak jarang mereka tertawa di adegan yang sama, menangis di akhir film yang menyedihkan, atau berdebat soal siapa tokoh favorit. Pada suatu malam, Ricardo berkata pelan, “Aku takut kamu bosan. Takut kamu ketemu yang lain di sana, yang bisa peluk kamu kapan pun.” Erica menjawab tanpa ragu, “Aku lebih takut kamu menyerah pada rindu, Ric. Karena aku sudah menjadikan kamu tujuanku pulang.” Kata-kata itu membuat Ricardo terdiam. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia harus menjaga kepercayaan Erica. Di minggu keempat, Ricardo mengirimkan voice note yang membuat Erica tertawa terbahak-bahak. "Hari ini aku dikejar ayam di belakang basecamp. Anak-anak proyek ngakak semua. Tapi aku langsung ingat kamu yang takut sama bebek. Kita emang cocok banget, ya... sama-sama kalah sama unggas." Begitulah mereka. Meski jauh, mereka tetap saling menggenggam lewat kenangan, humor, perhatian, dan janji. Erica juga menulis diary digital setiap hari, lalu mengirimkan bagian terbaiknya seminggu sekali ke Ricardo. Hari ke-27: Aku masih merindukanmu seperti hari pertama kau pergi. Tapi kini rinduku tidak pahit. Ia seperti teh hangat—diam-diam menenangkan. Pada bulan kedua, Ricardo mulai terlihat lebih sibuk. Waktu untuk menghubungi mulai berkurang. Kadang hanya voice note singkat. Kadang hanya satu pesan: “Maaf ya, hari ini lembur. Aku kangen kamu.” Tapi Erica tidak protes. Ia tahu pekerjaan Ricardo berat. Ia percaya—dan itu cukup, untuk sementara. Yang tidak mereka tahu adalah badai mulai merangkak dari kejauhan. Namun untuk saat ini, cinta mereka masih utuh. Masih manis. Masih saling menanti dengan setia.Ricardo masih mengingat jelas isi pesan Erica semalam. Kata-kata yang menusuk itu terus berputar dalam pikirannya sepanjang hari. Namun, entah bagaimana, ia tetap memilih untuk memulai pagi seperti biasa, dengan secangkir kopi dan tumpukan berkas yang harus diselesaikan. Nadya sudah tiba di kantor lebih dulu, duduk di meja kerjanya yang terletak tak jauh dari ruang kerja Ricardo. Ia terlihat tenang, seperti tak ada yang terjadi semalam—padahal mereka baru saja melewati batas yang tak seharusnya dilanggar. "Pagi, Pak Ricardo," sapa Nadya saat pria itu melintas di depannya. Suaranya hangat, namun tak berlebihan. Tapi senyum di wajahnya... menyiratkan lebih dari sekadar profesionalitas. Ricardo mengangguk singkat. "Pagi, Nadya. Ada agenda rapat pagi ini?" "Ada, jam sepuluh. Saya sudah siapkan materi presentasinya." "Baik. Terima kasih." Seketika itu juga, Ricardo kembali larut dalam rutinitas. Tapi pikirannya terus melayang ke arah Nadya. Semalam mereka tak hanya bicara lama—mereka
Ricardo terduduk diam di balkon kamar hotel yang disediakan perusahaan. Malam di Kalimantan tak pernah seramai ibukota, tapi entah kenapa malam ini terasa bising—oleh suara pikirannya sendiri. Suasana senyap di luar, disertai suara rintik hujan yang jatuh pelan di atap seng, justru memperjelas kekacauan dalam hatinya.Ponselnya tergeletak di meja kecil di sebelah cangkir kopi yang sudah dingin. Layar menyala—pesan dari Erica.Ia menatapnya lama, jantungnya berdetak tak karuan. Ada rasa bersalah yang mengendap, mendesak untuk diakui. Ia ulurkan tangan, lalu membuka pesan itu dengan jari yang gemetar."Ricardo... kamu baik-baik saja, kan? Aku cuma merasa kita mulai jauh. Aku rindu, dan mungkin... kamu sudah tak merindukanku lagi?"Seolah dunia berhenti berputar. Kata-kata itu menohok langsung ke pusat kesadarannya. Di luar, hujan mulai turun lebih deras, seirama dengan dentuman jantungnya yang kini terdengar memekakkan telinga.Ricardo menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya te
Erica duduk di meja makan dengan secangkir teh yang kini hanya tinggal setengah. Jam dinding menunjukkan pukul 21.17—Ricardo biasanya sudah mengirim kabar sejak satu jam yang lalu, sekadar bilang dia sudah pulang, atau bertanya apakah Erica sudah makan malam. Tapi malam ini, tidak ada satu pesan pun.Ponselnya diletakkan di atas meja. Dipelototi. Diteteskan harapan. Tetap hening.Erica menghela napas, mencoba mengusir kekhawatiran yang mulai mengetuk. Ia menatap langit malam dari jendela apartemennya, dan entah mengapa, untuk pertama kalinya sejak menjalin hubungan jarak jauh dengan Ricardo, ada perasaan tidak tenang menyusup ke dalam pikirannya.“Ricardo, kamu kenapa sih akhir-akhir ini?” gumamnya lirih.Sejak tiga minggu terakhir, ada hal-hal kecil yang terasa berbeda. Jika dulu Ricardo selalu antusias meneleponnya dan bercerita panjang tentang proyek, sekarang ia hanya mengabari seperlunya. Suaranya terdengar lelah. Tapi bukan lelah karena pekerjaan—lelah karena menjaga jarak. Lela
Hari-hari di Kalimantan tak lagi sama. Entah sejak kapan, kehadiran Nadya mulai menjadi rutinitas yang tak bisa diabaikan. Jika sebelumnya Ricardo hanya mengandalkannya untuk urusan administrasi proyek, kini Nadya adalah teman mengobrol, tempat curhat saat tekanan kerja menumpuk, bahkan sesekali, jadi penawar sepi ketika malam datang terlalu cepat.“Kopi pagi untuk Pak Ricardo,” ucap Nadya suatu pagi, meletakkan cangkir di atas meja kerjanya. Ia mengenakan blus putih sederhana dan celana hitam rapi, tapi senyumnya selalu menjadi hal pertama yang Ricardo lihat tiap hari.Ricardo menatapnya, lalu mengambil cangkir itu. “Terima kasih, kamu selalu datang tepat waktu.”“Kebiasaan,” sahut Nadya. “Lagipula... saya suka ketemu Bapak di pagi hari.”Kalimat itu menggantung sejenak. Ricardo tak langsung menjawab, tapi ia tersenyum kecil. Ia tahu Nadya mulai menunjukkan perhatian lebih. Dan yang lebih mengganggu pikirannya: ia tak menolak.Beberapa minggu terakhir, mereka sering makan siang bersa
Ricardo menatap bayangan dirinya di cermin kamar hotel. Rambutnya acak-acakan, dasinya longgar, dan matanya... lelah. Tapi bukan karena pekerjaan. Bukan juga karena kurang tidur. Ada sesuatu yang lebih berat dari itu—beban yang mengendap diam-diam di dadanya.Ia menatap dirinya lebih dalam. Seseorang yang bahkan tak bisa menjawab pertanyaan sederhana : Apa yang sebenrnya kamu rasakan?Ciuman itu kembali berputar dikepalanya. Tak disengaja, begitu cepat, begitu tiba-tiba. Namun, meninggalkan jejk yang nyata. Tapi juga tak bisa dihapus. Bukan karena Nadya. Tapi karena dirinya.Ia yang diam. Ia yang tak langsung menarik diri. Ia yang membiarkan detik itu berlama-lama tinggal di antara kesunyian dan kilat dari luar jendela. Dan sekarang, ia tk bisa berpura-pura lupa.Ia belum bercerita pada Erica. Dan justru itu yang mengusiknya paling dalam. Jika tak ada apa-apa, kenapa ia menyembunyikannya?Ponselnya berdering. Nama Erica muncul di layar. Ia menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya
Hujan masih merintik perlahan di luar jendela. Suara titik - titik air yang jatuh di atap kantor memberi irama lembut yang menenangkan, namun sekaligus mengusik. Kantor itu sudah lama sepi. Mayoritas karyawan sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Kantor itu hanya diterangi lampu redup dari meja Ricardo dan bias temaram dari lampu lorong yang menerobos celah pintu. Di antara dua gelas kopi yang mulai kehilangan uapnya, Ricardo dan Nadya duduk dalam diam.Dua cangkir kopi yang mulai mendingin di atas meja menjadi saksi bisu percakapan yang tak banyak kata. Ricardo duduk bersandar, tangannya memainkan pena tanpa arah, Nadya, yang duduk di seberangnya menatap keluar jendela dengan pandangan jauh.Tak canggung. Hanya... hening.“Kadang, saya suka aroma hujan begini,” ujar Nadya pelan, memecah sunyi. Ia tak menoleh ke Ricardo. Matanya masih menatap bulir hujan yang membekas si kaca jendela. “Rasanya... damai. Seolah dunia berhenti sebentar”Ricardo mengangguk, tersenyum tipis. “Tapi hujan