Tiga hari berlalu sejak pertemuan pertama dengan Aldo, dan entah mengapa hari-hari terasa berbeda. Pagi-pagi, suara Yamaha NMAX-nya yang khas selalu terdengar tepat pukul delapan. Sore hari sekitar pukul lima, ia pulang—kadang sendirian, kadang bersama teman-temannya yang membawa peralatan musik. Rumah yang tadinya sunyi kini hidup dengan aktivitas kreatif. Dan malam hari, musik jazz itu kembali mengalir, membuatku tidur lebih nyenyak.
Kamis sore itu, aku melihat Aldo duduk di tangga teras dengan wajah frustasi, kepala ditopang kedua tangan. Ponselnya berdering berkali-kali tapi tak dijawab. Tanpa sadar, aku menyeduh dua gelas teh manis—teh celup dengan gula jawa yang biasa kubuatkan untuk Dimas.
"Aldo?" panggilku dari balik pagar, jantung berdetak lebih cepat.
Mata yang tadinya sayu langsung berbinar. "Oh, Bu Raisa. Maaf, apa musiknya kemarin ganggu?"
"Enggak kok," aku tersenyum sambil mengangkat nampan. "Malah, aku buatin teh. Kamu kelihatan capek."
Wajahnya berubah terkejut, lalu senyuman lebar mengembang. "Wah, serius? Makasih banget, Bu."
Ia berjalan mendekat ke pagar. Tingginya sekitar 175 cm, kaos hitamnya sedikit basah keringat, rambut ikal agak berantakan, tapi entah mengapa justru terlihat... natural dan menarik.
"Ini teh manis pakai gula jawa," kataku sambil memberikan gelas.
Saat ia menerima gelas, jari-jarinya tak sengaja bersentuhan dengan jariku. Hanya sedetik, tapi cukup untuk membuat aliran listrik kecil menjalar dari ujung jari hingga ke seluruh tubuh. Aku hampir menjatuhkan gelas, tapi Aldo dengan sigap menahan tanganku.
"Hati-hati, Bu," katanya lembut, tangannya masih memegang pergelangan tanganku sejenak sebelum melepaskan.
Aku merasakan wajahku memanas. "Maaf, tangan masih basah habis cuci piring."
"Nggak apa-apa." Ia menyeruput teh pelan, mata menutup sejenak. "Hmm... enak banget. Persis seperti buatan mama dulu."
"Tadi kenapa kayak frustasi?" aku memberanikan diri bertanya.
"Klien baru nge-cancel proyek mendadak. Padahal udah dikerjain setengah." Ia menghela napas. "Freelancer mah gitu, nggak ada kepastian. Kadang suka iri sama orang yang kerja kantoran."
Kami berbincang tentang pekerjaannya, tentang kesepian bekerja sendiri di rumah. Lalu ia bertanya, "Bu Raisa nggak pernah kepikiran kerja lagi?"
Pertanyaan yang sudah berbulan-bulan menghantuiku. "Pernah sih. Tapi Dimas bilang nggak perlu."
"Tapi Bu Raisa sendiri maunya gimana?"
Kapan terakhir kali seseorang bertanya tentang keinginanku? "Jujur... kadang kangen juga. Kangen sibuk, kangen punya tantangan baru."
"Kenapa nggak coba lagi?"
"Rasanya udah telat. Udah tiga tahun nggak kerja."
"Skill bisa diupgrade lagi," katanya dengan keyakinan yang membuatku merasa... bisa.
Percakapan mengalir natural dari topik serius ke hal-hal ringan. Aku menceritakan pengalamanku sebagai customer service di Bank Mandiri, tentang nasabah yang aneh-aneh. Kami tertawa bersama tanpa kekikukan.
"Bu Raisa, suami Bu Raisa kerja apa sih?" tanyanya pelan.
"Konsultan IT. Emang suka overtime."
"Pasti berat ya, Bu. Rumah besar gitu tapi sendirian terus."
"Ah, nggak papa kok. Udah biasa."
"Tapi tetep aja lonely, kan?"
Kata itu menohok dadaku. Lonely. Aldo mengucapkannya dengan empati tulus, seolah benar-benar mengerti perasaan itu.
Tiba-tiba klakson BMW silver Dimas memecah keintiman percakapan kami. "Oh, suami Bu Raisa udah pulang," kata Aldo sambil mundur dari pagar.
"Makasih ya udah mau direpotkan," kataku bergegas mengambil gelas kosong. Saat ia memberikan gelas, jari-jarinya lagi-lagi bersentuhan dengan tanganku, kali ini lebih lama.
"Bu Raisa yang repot buatin teh. Teh buatan Bu Raisa paling enak," senyumannya hangat, mata menatap mata dengan tulus.
Aku bergegas masuk rumah, jantung berdetak kencang—bukan karena takut ketahuan Dimas, tapi karena perasaan aneh yang menggejolak.
Dimas masuk dengan wajah lelah, tapi kali ini langsung menciumku di pipi. "Tumben pulang cepet."
"Meeting dibatalin." Ia melepas sepatu. "Eh, tadi aku lihat kamu ngobrol sama tetangga sebelah."
"Iya, aku buatin teh. Dia kelihatan capek."
"Dia kerja apa sih?"
"Freelance desainer interior."
"Oh, pantesan siang-siang di rumah terus." Ada nada meremehkan dalam suaranya.
Sore itu, saat menyiapkan makan malam, tercium aroma masakan dari rumah sebelah. Bawang putih yang ditumis, mungkin dicampur bumbu rendang. Aroma rumahan yang hangat. Aku menghirup aroma itu sambil mengaduk sayur sop, merasa... terhubung dengan kehangatan yang terpancar dari rumah sebelah.
Malam itu, saat Dimas tertidur dengan laptop terbuka di dadanya, musik jazz mengalir lagi dari rumah Aldo. Lebih pelan, lebih intim. Aku berbaring sambil mengingat percakapan sore tadi, cara Aldo bertanya tentang keinginanku, cara ia berkata "skill bisa diupgrade lagi" dengan keyakinan.
Sudah lama sekali aku tidak merasa ada yang percaya padaku. Sudah lama sekali tidak ada yang menganggap pendapatku penting.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku tertidur dengan perasaan harapan. Aroma masakan dari rumah sebelah masih tercium samar, bercampur musik jazz yang lembut.
Sesuatu yang baru telah masuk ke dalam rutinitas harianku. Dan entah mengapa, aku tidak ingin hal itu berakhir.
Pukul dua siang, rumah kami hening seperti makam. Dimas sudah berangkat ke kantor sejak pagi dengan wajah datar seperti biasa—tak ada pelukan perpisahan, tak ada kecupan singkat di pipi, bahkan tatapan matanya pun seolah menembus tubuhku tanpa benar-benar melihat. Aku berdiri di balik tirai ruang tamu, memastikan tidak ada orang sebelum langkahku bergerak menuju pintu belakang.Jantungku berdegup kencang, hampir seperti ingin melompat keluar dari dada. Tanganku gemetar saat memutar gagang pintu. Udara siang yang panas menerpa wajahku, tapi bukan matahari yang membuat kulitku membara—melainkan antisipasi akan sentuhannya. Langkahku pelan, hampir menyelinap, melintasi halaman belakang menuju pagar pembatas. Di sana, seperti yang sudah menjadi ritual rahasia kami, Aldo menunggu."Kamu sudah lama menunggu?" bisikku, suaraku serak oleh hasrat yang menumpuk. Senyumnya muncul—senyum nakal yang selalu berhasil membuat perutku berdegup liar. "Sejak tadi pagi aku sudah tidak sabar," jawabnya
Seminggu setelah kunjungan Aldo, atmosfer di antara kami berubah total. Setiap tatapan yang bertahan lebih lama, senyuman yang lebih dalam, dan pesan-pesan yang semakin berani membakar hasrat yang terpendam."Aku bermimpi tentangmu lagi tadi malam," pesannya kemarin sore."Mimpi menyentuh rambutmu yang tergerai, mencium aroma kulitmu, mendengar suaramu memanggil namaku dengan cara yang... berbeda."Pesan seperti itu membuatku gelisah seharian. Dimas bahkan menanyakan kenapa aku tampak linglung.Malam ini berbeda. Dimas bilang akan lembur hingga larut, bahkan sudah menyiapkan bantal di ruang kerja. Setelah ia masuk dan menutup pintu, ponsel bergetar."Suamimu sudah tidur?""Masih bekerja di ruang kerja. Akan lembur sampai larut.""Berarti kamu sendirian? Boleh aku ke sana? Hanya untuk ngobrol."Jantung berpacu. Ini adalah momen yang kubayangkan dan kutakuti sekaligus."Dimas ada di rumah. Terlalu berisiko.""Ruang kerjanya menghadap ke mana?""Ke depan. Tidak bisa melihat pintu belakan
Tiga hari berlalu sejak malam di kamar mandi itu. Setiap kali menatap Dimas, rasa bersalah bercampur hasrat terlarang yang membuatku ingin menjauh, takut ia bisa membaca pikiran kotorku.Pagi ini, seperti biasa, Dimas sudah berangkat kerja sebelum aku bangun. Hanya tersisa aroma kopi dan kehampaan yang semakin menganga di rumah ini.Ponselku berdering saat menyiram tanaman di teras. Pesan dari nomor tak dikenal yang sudah kuhapal."Selamat pagi, Raisa. Semoga harimu menyenangkan."Jantung berdebar seperti remaja yang dapat pesan dari gebetan. Aldo. Jari-jari bergetar di atas keyboard."Selamat pagi juga. Terima kasih."Balasan datang cepat. "Tanamannya bagus sekali. Pasti butuh perawatan khusus, ya?"Kulirik ke arah rumahnya. Tirai jendela kamar tidur bergerak sedikit. Ia memang sedang mengintip. Darah berdesir."Tidak juga. Hanya perlu perhatian dan sentuhan lembut."Setelah mengirim, aku sadar betapa ambigunya kalimat itu."Sama seperti wanita cantik. Perlu perhatian dan sentuhan le
Pukul tiga pagi, aku terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi kening, jantung berdetak tak beraturan. Mimpi tentang Aldo masih menggantung seperti asap yang enggan sirna, meninggalkan jejak sensual yang membakar seluruh tubuhku.Kulirik ke samping. Dimas masih tertidur pulas, tak terganggu badai yang mengamuk dalam diriku. Tubuhku bergetar—ada sensasi aneh mengalir dari ujung kaki hingga puncak kepala. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak kapan terakhir kali merasakan gairah semurni ini?Bangkit perlahan, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita berusia dua puluh sembilan tahun dengan mata berkabut karena mimpi yang baru berakhir—mata yang tampak asing, berkilau berbeda.Di kamar mandi, lampu menerangi wajahku yang memerah. Air dingin kucipratkan ke wajah, tapi sia-sia. Setiap tetes malah mengingatkan sensasi dalam mimpi—bagaimana jari Aldo menelusuri pipiku, bibirnya berbisik namaku dengan nada yang tak
Dua hari berlalu sejak kejadian di bawah payung, tapi bayangan moment itu terus menghantui. Setiap kali memejamkan mata, aku masih bisa merasakan napas hangat Aldo di wajahku, sentuhan lembut jari-jarinya di pipiku. Jantungku berdetak lebih cepat setiap kali melihat rumahnya dari jendela dapur.Pagi ini Dimas berangkat lebih awal untuk presentasi penting. Kecupan singkat di dahiku, lalu ia menghilang bersama tas laptop dan berkas-berkasnya."Aku mungkin pulang malam, Raisa."Rumah kembali sunyi. Hanya dengung kulkas dan detik jarum jam yang terasa menggema. Aku berkeliling tanpa tujuan, membereskan barang yang sudah rapi, mencari kesibukan untuk mengalihkan pikiran yang terus kembali pada Aldo.Sekitar jam sepuluh, ketukan pelan di pintu belakang membuat jantungku berpacu. Aldo berdiri di balik kaca, mengenakan kaos putih yang memeluk tubuhnya sempurna. Rambut sedikit berantakan, mata jernih menatapku seolah aku satu-satunya hal penting di dunia."Hai," suaranya serak, lebih dalam dar
Tiga hari berlalu sejak percakapan di halaman belakang. Tiga hari aku menghindari kontak mata dengan Aldo, meski setiap kali melihatnya di teras, ada sesuatu dalam perutku yang berkedut—campuran keinginan dan ketakutan yang membuatku bingung.Langit mendung sejak pagi. Aku memutuskan pergi ke pasar tradisional, butuh udara berbeda dari keheningan yang mulai mencekik. Di tengah hiruk pikuk pasar, aku membeli sayuran dan bumbu dapur. Saat melangkah keluar, titik-titik air mulai berjatuhan.Hujan berubah menjadi guyuran dalam hitungan menit. Aku berlari mencari perlindungan, akhirnya berhenti di bawah atap seng warung kopi tutup. Napasku terengah, rambut basah menempel di wajah, kaos biru langit mulai tembus pandang."Raisa?"Aldo berdiri tidak jauh, juga basah kuyup dengan kaos hitam menempel di tubuhnya yang atletis. Rambut menetes air, di tangannya payung lipat hitam."Beruntung aku bawa payung," ia tersenyum hangat meski tubuhku basah kedinginan. "Mau bareng pulang?"Aku mengangguk t