Aku berdiri di hadapan cermin kamar mandi, menatap pantulan diriku yang terbalut lingerie merah marun—warna yang dulu selalu membuat Dimas kehilangan kendali. Renda halus memeluk pinggangku, sementara satin lembut mengalir di sekitar pahaku. Dulu ia akan tersenyum nakal saat melihatku seperti ini, matanya berbinar dengan hasrat yang tak tertahankan.
Sekarang? Aku bahkan tidak yakin ia akan menoleh.
Suara langkah kakinya terdengar dari tangga—pulang pukul sepuluh malam seperti biasa. Bunyi tas kerja dijatuhkan di sofa, diikuti helaan napas panjang yang terlalu familiar. Helaan napas seorang pria lelah, bukan suami yang rindu.
Aku menyemprotkan parfum Chanel No. 5 di pergelangan tangan—hadiah ulang tahun pernikahan ketiga kami. Aromanya masih indah, tapi kini terasa hampa di udara dingin ini. Langkahku bergerak perlahan menuruni tangga, jantung berdebar bukan karena gugup, tapi karena keputusasaan yang sudah terlalu kukenal.
"Mas," panggilku lembut, suaraku sengaja kubuat lebih rendah.
Ia menoleh sekilas dari laptopnya, mata bahkan tidak menyapu tubuhku. "Oh, hai. Maaf ya, meeting sampai malam. Klien Singapura minta revisi mendadak."
Aku melangkah lebih dekat, posisiku kuatur agar cahaya lampu menyoroti lekuk tubuh. "Makanannya sudah dingin. Mau aku hangatkan?"
"Tidak usah, sudah makan di kantor."
Piring yang kupersembahkan dengan harapan menjadi simbol betapa jauhnya kami berpisah. Aku berdiri dalam balutan lingerie termahal, merasa seperti hantu di rumahku sendiri.
"Mas, aku ingin bicara sebentar."
"Sebentar ya, Sa. Ini urgent banget. Besok pagi harus selesai."
Selalu ada yang urgent. Selalu ada deadline. Selalu ada yang lebih penting dari istrinya sendiri.
Aku duduk di kursi seberangnya, berharap posisi ini memaksanya melihat. "Kapan terakhir kali kita ngobrol? Beneran ngobrol, bukan cuma soal tagihan atau jadwal cuci mobil."
Dimas menutup laptop—akhirnya—tapi wajahnya menunjukkan kebingungan, bukan ketertarikan. "Kita ngobrol setiap hari, Sa."
"Tentang apa? Kapan terakhir kali kamu tanya gimana perasaanku?"
Pertanyaanku menggantung di udara. Dimas menatapku dengan pandangan bingung dan sedikit terganggu. "Raisa, ini darimana sih? Kamu kenapa?"
Kamu kenapa? Pertanyaan yang sama setiap kali aku mencoba membuka percakapan tentang perasaan.
"Aku cuma... kangen sama kamu."
"Kangen? Kita kan tinggal serumah."
"Tinggal serumah bukan berarti hidup bersama, Mas."
Dimas mengernyitkan dahi, melihat jam tangannya. "Sa, sekarang hampir jam sebelas. Besok harus bangun subuh untuk meeting orang Jepang. Bisa bahas ini nanti?"
Nanti. Selalu nanti.
Saat aku berbalik pergi, suaranya menghentikan. "Sa, tolong matiin lampu ruang tamu ya. Tadi lupa."
Harapanku runtuh seperti istana pasir disiram air laut.
Di kamar mandi, aku menatap cermin lagi. Lingerie merah marun masih melekat sempurna, tapi kini terasa seperti kostum badut tanpa penonton. Aku melepaskannya perlahan, setiap kait yang kubuka seperti melepaskan harapan-harapan kecil.
Air shower mengalir hangat, tapi tidak bisa menghangatkan dinginnya hati. Di bawah pancuran air, aku membiarkan air mata mengalir bersama air hangat.
Kapan terakhir Dimas menyentuhku dengan lembut? Kapan terakhir ia melihatku sebagai wanita, bukan hanya istri yang mengurus rumah?
Tiba-tiba kilasan ingatan dari seminggu lalu menyeruak. Ponsel Dimas yang tertinggal di meja dapur saat ia mandi. Notifikasi W******p yang menyala. Nama "Sarah - Marketing" dengan pesan yang membuat jantungku berhenti berdetak.
"Aku kangen kemarin malam, sayang. Kapan kita bisa ketemu lagi?"
Tanganku bergetar saat membuka chat itu. Foto-foto yang tak pantas. Pesan-pesan mesra yang tak pernah ia kirimkan untukku lagi. Rencana bertemu di hotel. Kata-kata cinta yang dulu hanya untukku, kini ia berikan pada wanita lain.
"Raisa mulai curiga nggak? Aku nggak mau sampai ketahuan."
"Tenang aja. Dia nggak pernah perhatian sama aku. Sibuk sama drama rumah tangga."
Air shower kini terasa membakar kulit. Kata-katanya tentang diriku—drama rumah tangga—seperti pisau yang menikam jantung berulang kali.
Setelah mandi, aku mengenakan piyama katun biasa. Tidak ada gunanya mengenakan sesuatu indah jika yang melihat justru sedang membayangkan tubuh wanita lain.
Dimas masuk kamar dengan langkah lelah, langsung menuju lemari tanpa kata. Aku memperhatikan punggungnya—masih tegap, tapi kini aku tahu punggung itu telah menyentuh tubuh lain.
"Meeting sampai jam berapa besok?" tanyaku, berusaha mengisi kesunyian.
"Tidak tahu. Mungkin seharian. Jangan tunggu aku makan malam."
Tentu saja. Mungkin ada 'meeting' lain dengan Sarah.
Ketika ia berbaring sambil scrolling ponsel—ponsel yang menyimpan rahasia kelam—aku memberanikan diri bertanya, "Mas, kamu masih sayang sama aku?"
Dimas menghentikan gerakan jarinya, tapi tidak menoleh. Kesunyian terlalu lama untuk pertanyaan yang seharusnya mudah.
"Ya, tentu aja. Kamu kan istriku."
Kamu kan istriku. Bukan aku cinta kamu. Hanya kewajiban yang datang dengan sertifikat nikah.
"Kamu kangen nggak sama masa-masa awal kita nikah?"
"Sa, sekarang kita udah beda. Udah dewasa. Punya tanggung jawab. Nggak bisa kayak dulu."
Tanggung jawab? Termasuk tanggung jawab untuk setia?
Tidak ada jawaban lagi. Hanya suara napas teratur—tanda ia tertidur, mungkin bermimpi tentang Sarah.
Jam menunjukkan 01:30 saat aku menyerah untuk tidur. Aku bangkit, berjalan ke jendela. Rumah Aldo di seberang masih menyala jendalanya. Mungkin ia juga tidak bisa tidur. Mungkin ia juga merasakan kesunyian yang sama.
Di kegelapan kamar, dengan suami yang tidur nyenyak—suami yang kini kuamati adalah penipu—aku menutup mata dan membiarkan pikiran melayang ke tempat-tempat terlarang.
Malam ini, aku terlalu lelah untuk melawan. Malam ini, aku membiarkan diriku merasa hidup, meski hanya dalam bayangan seseorang yang mungkin masih bisa melihatku sebagai wanita yang layak dicintai.
Seminggu setelah kunjungan Aldo, atmosfer di antara kami berubah total. Setiap tatapan yang bertahan lebih lama, senyuman yang lebih dalam, dan pesan-pesan yang semakin berani membakar hasrat yang terpendam."Aku bermimpi tentangmu lagi tadi malam," pesannya kemarin sore."Mimpi menyentuh rambutmu yang tergerai, mencium aroma kulitmu, mendengar suaramu memanggil namaku dengan cara yang... berbeda."Pesan seperti itu membuatku gelisah seharian. Dimas bahkan menanyakan kenapa aku tampak linglung.Malam ini berbeda. Dimas bilang akan lembur hingga larut, bahkan sudah menyiapkan bantal di ruang kerja. Setelah ia masuk dan menutup pintu, ponsel bergetar."Suamimu sudah tidur?""Masih bekerja di ruang kerja. Akan lembur sampai larut.""Berarti kamu sendirian? Boleh aku ke sana? Hanya untuk ngobrol."Jantung berpacu. Ini adalah momen yang kubayangkan dan kutakuti sekaligus."Dimas ada di rumah. Terlalu berisiko.""Ruang kerjanya menghadap ke mana?""Ke depan. Tidak bisa melihat pintu belakan
Tiga hari berlalu sejak malam di kamar mandi itu. Setiap kali menatap Dimas, rasa bersalah bercampur hasrat terlarang yang membuatku ingin menjauh, takut ia bisa membaca pikiran kotorku.Pagi ini, seperti biasa, Dimas sudah berangkat kerja sebelum aku bangun. Hanya tersisa aroma kopi dan kehampaan yang semakin menganga di rumah ini.Ponselku berdering saat menyiram tanaman di teras. Pesan dari nomor tak dikenal yang sudah kuhapal."Selamat pagi, Raisa. Semoga harimu menyenangkan."Jantung berdebar seperti remaja yang dapat pesan dari gebetan. Aldo. Jari-jari bergetar di atas keyboard."Selamat pagi juga. Terima kasih."Balasan datang cepat. "Tanamannya bagus sekali. Pasti butuh perawatan khusus, ya?"Kulirik ke arah rumahnya. Tirai jendela kamar tidur bergerak sedikit. Ia memang sedang mengintip. Darah berdesir."Tidak juga. Hanya perlu perhatian dan sentuhan lembut."Setelah mengirim, aku sadar betapa ambigunya kalimat itu."Sama seperti wanita cantik. Perlu perhatian dan sentuhan le
Pukul tiga pagi, aku terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi kening, jantung berdetak tak beraturan. Mimpi tentang Aldo masih menggantung seperti asap yang enggan sirna, meninggalkan jejak sensual yang membakar seluruh tubuhku.Kulirik ke samping. Dimas masih tertidur pulas, tak terganggu badai yang mengamuk dalam diriku. Tubuhku bergetar—ada sensasi aneh mengalir dari ujung kaki hingga puncak kepala. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak kapan terakhir kali merasakan gairah semurni ini?Bangkit perlahan, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita berusia dua puluh sembilan tahun dengan mata berkabut karena mimpi yang baru berakhir—mata yang tampak asing, berkilau berbeda.Di kamar mandi, lampu menerangi wajahku yang memerah. Air dingin kucipratkan ke wajah, tapi sia-sia. Setiap tetes malah mengingatkan sensasi dalam mimpi—bagaimana jari Aldo menelusuri pipiku, bibirnya berbisik namaku dengan nada yang tak
Dua hari berlalu sejak kejadian di bawah payung, tapi bayangan moment itu terus menghantui. Setiap kali memejamkan mata, aku masih bisa merasakan napas hangat Aldo di wajahku, sentuhan lembut jari-jarinya di pipiku. Jantungku berdetak lebih cepat setiap kali melihat rumahnya dari jendela dapur.Pagi ini Dimas berangkat lebih awal untuk presentasi penting. Kecupan singkat di dahiku, lalu ia menghilang bersama tas laptop dan berkas-berkasnya."Aku mungkin pulang malam, Raisa."Rumah kembali sunyi. Hanya dengung kulkas dan detik jarum jam yang terasa menggema. Aku berkeliling tanpa tujuan, membereskan barang yang sudah rapi, mencari kesibukan untuk mengalihkan pikiran yang terus kembali pada Aldo.Sekitar jam sepuluh, ketukan pelan di pintu belakang membuat jantungku berpacu. Aldo berdiri di balik kaca, mengenakan kaos putih yang memeluk tubuhnya sempurna. Rambut sedikit berantakan, mata jernih menatapku seolah aku satu-satunya hal penting di dunia."Hai," suaranya serak, lebih dalam dar
Tiga hari berlalu sejak percakapan di halaman belakang. Tiga hari aku menghindari kontak mata dengan Aldo, meski setiap kali melihatnya di teras, ada sesuatu dalam perutku yang berkedut—campuran keinginan dan ketakutan yang membuatku bingung.Langit mendung sejak pagi. Aku memutuskan pergi ke pasar tradisional, butuh udara berbeda dari keheningan yang mulai mencekik. Di tengah hiruk pikuk pasar, aku membeli sayuran dan bumbu dapur. Saat melangkah keluar, titik-titik air mulai berjatuhan.Hujan berubah menjadi guyuran dalam hitungan menit. Aku berlari mencari perlindungan, akhirnya berhenti di bawah atap seng warung kopi tutup. Napasku terengah, rambut basah menempel di wajah, kaos biru langit mulai tembus pandang."Raisa?"Aldo berdiri tidak jauh, juga basah kuyup dengan kaos hitam menempel di tubuhnya yang atletis. Rambut menetes air, di tangannya payung lipat hitam."Beruntung aku bawa payung," ia tersenyum hangat meski tubuhku basah kedinginan. "Mau bareng pulang?"Aku mengangguk t
Pagi itu terasa berbeda. Setiap helaan napas lebih berat, setiap detik mengalir lambat seperti madu. Aku berdiri di jendela dapur dengan cangkir kopi dingin, memandang rumah Aldo yang sepi. Tirai kamarnya masih tertutup rapat—seperti rahasia yang belum siap terbuka.Kemarin, saat tangannya menyentuh punggungku di taman, ada sesuatu yang berubah. Benang tipis mulai mengikat kami—halus tapi kuat, tak terlihat mata namun terasa di jiwa.Dimas sudah pergi sejak subuh dengan cium rutinitas yang tak berjiwa—seperti cap stempel di surat resmi. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir ia menciumku dengan sungguh-sungguh, mata terpejam dan tangan meremas pinggangku seperti tak ingin berpisah.Aku berjalan ke pintu belakang, tanganku terulur ke handle lalu berhenti. Biasanya selalu kukunci sebelum tidur—kebiasaan yang ditanamkan Dimas. Tapi tadi malam, entah kenapa, kubiarkan terbuka. Hanya grendel tipis yang mudah dibuka dari luar.Udara pagi menyapa dengan semilir angin membawa aroma tanah basah d