Aku terbangun dengan tubuh bergetar, sisa-sisa mimpi erotis masih menggantung di ujung kesadaranku. Dalam mimpi itu, tangan hangat menjelajah lekuk tubuhku dengan penuh hasrat, bibir mencium leherku hingga aku melengkuh pelan, dan mata yang menatapku seolah aku adalah dewi cinta.
Tapi bukan mata Dimas.
Tempat tidur di sampingku kosong. Dimas sudah pergi tanpa pelukan selamat pagi, tanpa ciuman perpisahan—hanya bekas tubuhnya di kasur dan aroma aftershave yang memudar.
Dari jendela, aku melihat Aldo menyiram tanaman dengan kaos putih yang sedikit basah, memperlihatkan siluet tubuh atletisnya. Rambutnya acak-acakan, ada sesuatu yang sangat maskulin dan alami dari penampilannya. Sangat berbeda dengan Dimas yang selalu formal.
Aldo menoleh dan melambai. Jantungku berdebar seperti remaja yang disapa crush-nya. Aku mundur dari jendela, wajah memanas.
Setelah sarapan sendirian—lagi—aku duduk dengan cangkir kopi kedua. Tanpa sadar, aku mengambil buku catatan kosong dan mulai menulis:
"Tadi malam aku memakai lingerie merah marun. Aku membayangkan mata Dimas akan berbinar, tangannya bergetar saat menyentuh kulitku. Tapi ia bahkan tidak melihat. Aku berdiri di hadapannya seperti patung yang berharap bisa hidup."
"Aku rindu disentuh. Bukan hanya secara fisik—meski itu juga. Aku rindu disentuh dengan mata, dengan perhatian. Aku rindu menjadi prioritas, bukan sekadar item dalam to-do list."
Suara bel pintu menyentakku. Aku menutup buku catatan dengan cepat dan membuka pintu. Aldo berdiri di beranda dengan kemeja biru muda yang memeluk tubuhnya sempurna, aroma cologne segar memenuhi indra penciumanku.
"Pagi, Bu Raisa. Maaf mengganggu. Coffee maker baruku bermasalah, boleh minta tolong?"
Matanya menatapku dengan cara yang membuat perutku bergolak. Ada sesuatu di sana—minat? Ketertarikan?
"Tentu saja," jawabku, berusaha menyembunyikan detak jantung yang makin cepat.
Di rumahnya, saat aku membungkuk memperbaiki coffee maker, aku merasakan Aldo berdiri di belakangku—cukup dekat hingga aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Aroma maskulinnya bercampur cologne membuatku hampir pusing. Sudah berapa lama aku tidak merasakan kedekatan seperti ini dengan seorang pria?
"Suami Bu Raisa sudah berangkat kerja?" tanyanya saat kami minum kopi bersama.
"Iya, dia kerja dari pagi sampai malam."
"Pasti sepi ya."
Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar seperti lebih dari small talk. Seolah ia benar-benar mengerti apa yang kurasakan.
"Bu Raisa," katanya pelan, mata coklat hangatnya menatapku intens. "Boleh aku tanya sesuatu?"
Jantungku berdebar. "Apa?"
"Ibu... bahagia?"
Pertanyaan sederhana yang menusuk langsung ke jantung masalah. Aku terdiam, cangkir di tanganku tiba-tiba terasa berat.
"Apakah segitu obvious-nya?" tanyaku, berusaha terdengar enteng.
"Bukan obvious. Cuma... aku perhatian aja."
Aku perhatian aja. Kapan terakhir kali seseorang bilang mereka memperhatikanku?
Saat aku bersiap pulang, suara Aldo menghentikanku. "Bu Raisa? Kalau butuh bantuan apa-apa, atau... cuma butuh teman ngobrol, aku selalu ada."
Senyumnya hangat dan tulus, membuatku merasa seperti remaja yang gugup.
Di rumah, aku langsung mencari buku catatanku:
"Hari ini aku ngobrol dengan Aldo. Hanya tentang coffee maker, tapi aku merasa... terlihat. Untuk pertama kali dalam waktu lama, aku merasa ada seseorang yang benar-benar mendengarkan."
"Ia bertanya apakah aku bahagia. Tidak ada yang pernah menanyakan itu padaku. Bahkan aku tidak pernah menanyakannya pada diriku sendiri."
Kata-kata mengalir seperti air terbendung:
"Aku ingat bagaimana Dimas menyentuhku dulu. Tangannya yang hangat di punggungku, bibirnya di leherku, caranya menatapku seolah aku keajaiban. Sekarang aku merasa seperti furniture—ada, tapi tidak pernah benar-benar dilihat."
"Aku rindu diinginkan. Rindu tubuhku bergetar karena sentuhan seseorang. Rindu melihat mata yang berbinar saat melihatku. Rindu menjadi objek hasrat, bukan hanya subjek kebiasaan."
Tanganku bergetar menulis kalimat-kalimat itu. Terlalu jujur. Terlalu vulgar. Terlalu... benar.
"Aku bayangkan bagaimana rasanya jika tangan Aldo menyentuh kulitku. Apakah ia akan lembut atau ganas? Apakah ia akan memujaku dengan kata-kata atau dengan gerakan? Apakah matanya akan menatapku dengan lapar yang sama seperti yang kurasakan sekarang?"
Aku berhenti, napas tersengal. Ini berbahaya. Sangat berbahaya.
Malam itu, saat Dimas pulang terlambat seperti biasa, aku sudah di tempat tidur. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, langsung ke kamar mandi. Aku mendengar suara air shower, dan dalam kegelapan, aku membiarkan pikiranku melayang.
Tapi kali ini bukan tentang masa lalu. Aku berpikir tentang mata coklat yang hangat, senyum yang tulus, pertanyaan sederhana yang membuat jantungku berdebar: "Ibu bahagia?"
Dan untuk pertama kali dalam waktu lama, aku membiarkan diriku membayangkan bagaimana jawabannya bisa berubah.
Jurnal itu menjadi teman rahasiaku. Tempat di mana aku bisa mengakui bahwa aku menginginkan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang berbahaya. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.
"Besok aku akan melihat Aldo lagi. Dan entah kenapa, tubuhku sudah bereaksi hanya dengan membayangkan senyumnya. Apakah ini yang disebut gairah yang terbangun? Apakah ini awal dari sesuatu yang tidak bisa kukendalikan lagi?"
Aku menyembunyikan buku catatan di laci meja rias, di bawah tumpukan surat lama. Tidak ada yang akan tahu bahwa ibu rumah tangga sempurna ini memiliki pikiran dan keinginan yang sama sekali tidak sempurna.
Pikiran dan keinginan yang mulai terpusat pada satu nama: Aldo.
Seminggu setelah kunjungan Aldo, atmosfer di antara kami berubah total. Setiap tatapan yang bertahan lebih lama, senyuman yang lebih dalam, dan pesan-pesan yang semakin berani membakar hasrat yang terpendam."Aku bermimpi tentangmu lagi tadi malam," pesannya kemarin sore."Mimpi menyentuh rambutmu yang tergerai, mencium aroma kulitmu, mendengar suaramu memanggil namaku dengan cara yang... berbeda."Pesan seperti itu membuatku gelisah seharian. Dimas bahkan menanyakan kenapa aku tampak linglung.Malam ini berbeda. Dimas bilang akan lembur hingga larut, bahkan sudah menyiapkan bantal di ruang kerja. Setelah ia masuk dan menutup pintu, ponsel bergetar."Suamimu sudah tidur?""Masih bekerja di ruang kerja. Akan lembur sampai larut.""Berarti kamu sendirian? Boleh aku ke sana? Hanya untuk ngobrol."Jantung berpacu. Ini adalah momen yang kubayangkan dan kutakuti sekaligus."Dimas ada di rumah. Terlalu berisiko.""Ruang kerjanya menghadap ke mana?""Ke depan. Tidak bisa melihat pintu belakan
Tiga hari berlalu sejak malam di kamar mandi itu. Setiap kali menatap Dimas, rasa bersalah bercampur hasrat terlarang yang membuatku ingin menjauh, takut ia bisa membaca pikiran kotorku.Pagi ini, seperti biasa, Dimas sudah berangkat kerja sebelum aku bangun. Hanya tersisa aroma kopi dan kehampaan yang semakin menganga di rumah ini.Ponselku berdering saat menyiram tanaman di teras. Pesan dari nomor tak dikenal yang sudah kuhapal."Selamat pagi, Raisa. Semoga harimu menyenangkan."Jantung berdebar seperti remaja yang dapat pesan dari gebetan. Aldo. Jari-jari bergetar di atas keyboard."Selamat pagi juga. Terima kasih."Balasan datang cepat. "Tanamannya bagus sekali. Pasti butuh perawatan khusus, ya?"Kulirik ke arah rumahnya. Tirai jendela kamar tidur bergerak sedikit. Ia memang sedang mengintip. Darah berdesir."Tidak juga. Hanya perlu perhatian dan sentuhan lembut."Setelah mengirim, aku sadar betapa ambigunya kalimat itu."Sama seperti wanita cantik. Perlu perhatian dan sentuhan le
Pukul tiga pagi, aku terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi kening, jantung berdetak tak beraturan. Mimpi tentang Aldo masih menggantung seperti asap yang enggan sirna, meninggalkan jejak sensual yang membakar seluruh tubuhku.Kulirik ke samping. Dimas masih tertidur pulas, tak terganggu badai yang mengamuk dalam diriku. Tubuhku bergetar—ada sensasi aneh mengalir dari ujung kaki hingga puncak kepala. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak kapan terakhir kali merasakan gairah semurni ini?Bangkit perlahan, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita berusia dua puluh sembilan tahun dengan mata berkabut karena mimpi yang baru berakhir—mata yang tampak asing, berkilau berbeda.Di kamar mandi, lampu menerangi wajahku yang memerah. Air dingin kucipratkan ke wajah, tapi sia-sia. Setiap tetes malah mengingatkan sensasi dalam mimpi—bagaimana jari Aldo menelusuri pipiku, bibirnya berbisik namaku dengan nada yang tak
Dua hari berlalu sejak kejadian di bawah payung, tapi bayangan moment itu terus menghantui. Setiap kali memejamkan mata, aku masih bisa merasakan napas hangat Aldo di wajahku, sentuhan lembut jari-jarinya di pipiku. Jantungku berdetak lebih cepat setiap kali melihat rumahnya dari jendela dapur.Pagi ini Dimas berangkat lebih awal untuk presentasi penting. Kecupan singkat di dahiku, lalu ia menghilang bersama tas laptop dan berkas-berkasnya."Aku mungkin pulang malam, Raisa."Rumah kembali sunyi. Hanya dengung kulkas dan detik jarum jam yang terasa menggema. Aku berkeliling tanpa tujuan, membereskan barang yang sudah rapi, mencari kesibukan untuk mengalihkan pikiran yang terus kembali pada Aldo.Sekitar jam sepuluh, ketukan pelan di pintu belakang membuat jantungku berpacu. Aldo berdiri di balik kaca, mengenakan kaos putih yang memeluk tubuhnya sempurna. Rambut sedikit berantakan, mata jernih menatapku seolah aku satu-satunya hal penting di dunia."Hai," suaranya serak, lebih dalam dar
Tiga hari berlalu sejak percakapan di halaman belakang. Tiga hari aku menghindari kontak mata dengan Aldo, meski setiap kali melihatnya di teras, ada sesuatu dalam perutku yang berkedut—campuran keinginan dan ketakutan yang membuatku bingung.Langit mendung sejak pagi. Aku memutuskan pergi ke pasar tradisional, butuh udara berbeda dari keheningan yang mulai mencekik. Di tengah hiruk pikuk pasar, aku membeli sayuran dan bumbu dapur. Saat melangkah keluar, titik-titik air mulai berjatuhan.Hujan berubah menjadi guyuran dalam hitungan menit. Aku berlari mencari perlindungan, akhirnya berhenti di bawah atap seng warung kopi tutup. Napasku terengah, rambut basah menempel di wajah, kaos biru langit mulai tembus pandang."Raisa?"Aldo berdiri tidak jauh, juga basah kuyup dengan kaos hitam menempel di tubuhnya yang atletis. Rambut menetes air, di tangannya payung lipat hitam."Beruntung aku bawa payung," ia tersenyum hangat meski tubuhku basah kedinginan. "Mau bareng pulang?"Aku mengangguk t
Pagi itu terasa berbeda. Setiap helaan napas lebih berat, setiap detik mengalir lambat seperti madu. Aku berdiri di jendela dapur dengan cangkir kopi dingin, memandang rumah Aldo yang sepi. Tirai kamarnya masih tertutup rapat—seperti rahasia yang belum siap terbuka.Kemarin, saat tangannya menyentuh punggungku di taman, ada sesuatu yang berubah. Benang tipis mulai mengikat kami—halus tapi kuat, tak terlihat mata namun terasa di jiwa.Dimas sudah pergi sejak subuh dengan cium rutinitas yang tak berjiwa—seperti cap stempel di surat resmi. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir ia menciumku dengan sungguh-sungguh, mata terpejam dan tangan meremas pinggangku seperti tak ingin berpisah.Aku berjalan ke pintu belakang, tanganku terulur ke handle lalu berhenti. Biasanya selalu kukunci sebelum tidur—kebiasaan yang ditanamkan Dimas. Tapi tadi malam, entah kenapa, kubiarkan terbuka. Hanya grendel tipis yang mudah dibuka dari luar.Udara pagi menyapa dengan semilir angin membawa aroma tanah basah d