Kenapa malah ke rumah?
Sena berujar panik setelah menuruni tangga dan mendengar suara Reno sedang bicara dengan mamanya. Ia masih belum siap bertemu dengan pemuda tersebut sekarang. Kepala Sena celingak-celinguk dan tidak menemukan sebuah lubang untuk bersembunyi. Ia berharap jadi tokoh Alice dalam dongeng dan meminum cairan pengecil.
“Lho, Sena … kenapa di sini?” Ratih muncul.
Suara Reno di ruang tamu juga menghilang. Sena membuka matanya sebelah untuk mengintip dan lega melihat hanya sang mama yang berdiri menatapnya keheranan.
Rasa heran yang muncul di hati Ratih juga tak lama bersemayam, dengan segera ia tahu apa yang terjadi pada putrinya dan tersenyum kecil. Masa pubertas yang harusnya dirasakan Sena saat SMA cukup lama tertunda karena kasus bullying. Sekarang melihat sang anak panik tanpa sebab, menjadi hiburan tersendiri buat Ratih.
“Reno jemput kamu. Kamu ada jadwal kampus, kan hari ini? Nanti jam sebelas di jemput Pak Sarmin
Kampus sama sekali tidak seperti biasanya di mata Sena. Orang-orang yang seharusnya berjalan dengan santai hari ini berlarian. Atau bergerombol sambil membisikan sesuatu. “Ada apa, ya?” tanya Sena bergumam pelan. Adit yang mendengar pertanyaan Sena sama sekali tidak menjawab. Sebagai gantinya ia bersiul-siul kecil sepanjang jalan. “Kamu tidak usah mengantarku sampai ke kelas,” larang Sena. Akan tetapi, mereka hanya berjarak beberapa ratus meter lagi saja. Sena mengucapkan terima kasih pada Adit yang bahkan tak menanggapi sama sekali ucapan tersebut. Ia merasa pemuda tersebut tengah senang untuk alasan yang tidak bisa dimengertinya. Ia pandangi punggung Adit yang menjauh dan kemudian menghilang karena berbelok. Hampir saja Sena menabrak Uno saat berbalik. Ia tersenyum menyapa dengan ramah. Seperti biasa Uno tergagap membalas. “Se-na?” Uno memanggil kembali setelah Sena berjalan meninggalkannya di pintu kelas dan menuju kursinya sendiri.
Sial! Sial! Sial! Sebenarnya apa yang terjadi!Reno memeganggi kepalanya erat-erat. Banyak pertanyaan terbetik di dalam kepalanya. Kenapa ada Endah di dalam bagasi? Kapan orang jahat itu memasukkan Endah? Untuk apa Endah dibunuh? Begitu banyak pertanyaan sehingga kini ia merasa sakit.Frustrasi karena tidak mendapatkan jawaban apapun, Reno berteriak dan memukul dinding beton. Beberapa narapidana lain yang lebih dulu berdekam di dalam jeruji meliriknya dengan kesal. Tentu tindakan Reno sudah membuat mereka kesal. Pria dengan tubuh paling besar dan tato terbanyak melirik Reno tajam. Namun, lirikan tersebut sama sekali tidak diindahkan Reno. Ia sama sekali tak sadar ada siapa saja di sekitarnya kini.“Boleh kami mengunjunginya?”Pemilik suara yang tak lama setelah itu muncul di ujung lorong dan bergegas mendekat ke arah Reno.“Kak, aku tidak salah.”Dari dalam sel terdengar dengusan pelan. Mungkin para
Kemarin malam, papanya Monik mengeluh soal Sena. Gadis itu hampir seharian tak bisa berkonsntrasi terhadap peran yang harus didalami. Kebanyakan ia melamun dan tidak sadar dengan apa yang sedang dikerjakan. Itu membuat sang produser frustrasi karena proses syuting jadi terkendala.Bagian di mana ia merasa lebih tahu apa yang sedang terjadi ketimbang produser kenamaan tersebut sedikit menyenangkan hati Monik. Ia masih marah dan dendam ketika papanya lebih memilih Sena.“Dia cuma lebih muda dariku setahun, bisa disebut itu pembangkangan, kan?” celoteh Monik tanpa ingin dibalas.Akan tetapi, ia tahu apa efek menyebut nama Sena dengan nada mengejek seperti itu di dekat sang papa.“Aku tahu dia professional. Masalahnya pasti bukan tetek bengek macam permasalahan remaja.”Rasa kesal Monik mulai terpupuk kembali. Semakin ada alasan untuk membuat Sena lebih merasa terpuruk lagi. Ia ingin membuktikan pada papanya jika Sena sama saja
Gadis kecil berambut lurus sebahu itu berlarian di taman. Anak-anak yang lain mengikutinya dengan riang di belakang. Beberapa ada yang hanya tertarik untuk bermain. Yang lain juga karena terpesona dengan kecantikannya. Sifatnya yang angkuh karena mengetahui kelebihannya itu sangat ketara terlihat. Ia dengan berani memilih siapa teman yang boleh dekat dengannya dan yang tidak.“Mama …!”Momen inilah yang selalu membuat Monik bersinar. Momen ketika mamanya melambai dan menyerukan namanya. Gadis kecil yang ponggak tersebut menjadi anak biasa. Bukan lagi si sombong yang mendapatkan segalanya. Atau anak nakal yang hampir mengatur teman-temannya.“Kamu senang berada di sini?”Monik mengangguk. Tentu saja ia senang. Di sini dirinya adalah ratu yang tidak bisa diinterupsi. Ia mendapatkan semua keiinginannya.“Ya,” jawab Monik riang.Ia memegang jemari mamanya dengan erat. Bernyanyi kecil seperti anak-anak l
Reno sudah mendekam di balik jeruji selama tiga hari. Tidak ada kabar yang disampaikan padanya, baik oleh Mama atau Rayna. Gadis cantik itu sesekali terlihat di rumah dengan mata sembab dan begitu Sena ingin mendekati maka datang orang lain yang mengalihkan perhatiannya. Saat ia sadar Rayna sudah tidak lagi terlihat.Yang mengiringinya pergi ke lokasi syuting dua hari ini juga Mama. Perempuan yang sudah melahirkannya itu menatap dengan khawatir setiap kali Sena mengajukan pertanyaan. Maka setiap kali terjadi, ada nyeri di dadanya yang tak bisa diterjemahkan.“Capek, Sena?” tanya Mama sambil mengelus rambutnya yang lurus.Ia habis dimarahi Tora lagi. Pria tersebut mengatakan jika Sena tak maskimal dalam berakting. Ia memandang sang mama dan tersenyum. Mungkin Mama akan segera sadar jika itu bukan senyum tulus Sena, tetapi ia hampir tak peduli.“Lepas minggu ini, Senam au liburan?”Sena berpaling, menatap kerumunan kru yang te
Adit tahu betul jika kedatangannya sama sekali tidak diharapkan. Saat pintu terbuka di depannya, bola mata mama Sena seolah akan bergulir keluar. Namun, ia tetap saja memamerkan deretan gigi yqng rapi miliknya.“Sena ada, Tante?” tanyanya.Ia benar-benar berusaha kepercayaan dirinya sama sekali tidak terpengaruh dengan ekspresi kaget dan tidak suka yang berlebihan ini.Bukannya menjawab, Ratih segera menutup pintu. Adit dengan sigap menahan menggunakan sebelah tangannya. Dengan keangkuhan yang tiba-tiba mencuat dari kemarahan atas sikap buruk wanita di depannya ini, ia masuk tanpa lagi bertanya.“Sopan santunmu benar-benar sudah lenyap, ya?” sindir Ratih padanya.Adit duduk tanpa dipersilakan, punggungnya tegap dan buket bunga terletak dengan rapi di atas meja ruang tamu. “Tentu saja saya akan bersikap sopan pada orang yang memperlakukan saya dengan begitu pula.” Ia merasa berhak bertemu dengan Sena dan mama Sena
Monik meminta untuk diantarkan terlebih dahulu ke rumahnya. Namun, Adit tak membawa Sena pulang. Ia memutar mobil menuju tepian pantai. Deburan ombak dan koak burung menyambut indra pendengaran begitu pintu terbuka. Adit membiarkan Sena masih di dalam mobil tanpa meminta untuk keluar segera. Sena menempelkan kepalanya pada dashboard mobil, pandangannya buram, dan dadanya terasa sesak. Satu tetes air mata akhirnya jatuh juga. Ia sama sekali tak menyangka reaksi Reno akan seperti itu. Kalau tidak ada jeruji besi di antara mereka tadi, sudah pasti Sena disakit. Reno menatapnya dengan penuh kebencian. “Kamu baik-baik saja?” tanya Adit pelan. Sena memejamkan mata, mengingatkan diri bahwa tak bisa egois dan mengabaikan orang lain. Sambil memandangi ujung sepatu olahraga yang dikenakan, ia menghela napas dalam. Selanjutnya ia menoleh ke arah adit dan tersenyum. “Aku baik-baik saja,” ungkapnya tulus. “Mau coba jalan-jalan di pantai?” tanya Adit. Sena
Bagaimana Sena mendeskripsikan datangnya ingatan itu? Ia tak bisa. Sebab saat Adit mengatakan akan meminjamkan bahunya untuk bersandar, banyak gambar bagai bayangan slide film menyerbu masuk ke dalam kepalanya. Awalnya buram, tetapi semakin lama memandang wajah Adit semakin jelas saja tampak gambar itu.Karena itulah begitu Adit melepaskan genggaman tangannya dari jemari Sena, seluruh tubuh Sena bergetar. Ia ingin lari, tetapi bahkan tak sanggup menggerakan jemari kakinya. Ia ingin berteriak, tapi tak ada setitik suara yang berhasil keluar. Seluruh tubuhnya lumpuh untuk beberapa saat.Pada akhirnya Sena bisa berkata-kata, ia hanya meminta untuk pulang. Adit sedikit kaget mendengar permintaan Sena, tetapi memahami apa yang sudah terjadi tadi. Ia mengatarkan Sena dengan segera dan membiarkan begitu saja saat Sena memintanya segera pulang.Kenapa aku harus kehilangan ingatan? Sena menengadah menatap langit-langit kamarnya yang ditempel dengan stiker