Aditya terpana. Anak-anak mulai lagi, gumamnya dalam hati sambil geleng-geleng kepala.
Walau ia mengeluh dengan kelakuan teman-temannya yang gesreknya minta ampun, tetapi sama sekali tak berniat menolong. Santai, pemuda bekulit hitam manis itu melengang di samping kumpulan murid lelaki dan perempuan yang tengah menjadikan seorang gadis menjadi olok-olokan.
Ia bahkan sempat melakukan high-five sebelum akhirnya masuk ke dalam kelas lalu duduk manis di kursinya. Teriak-teriakan keras dan juga hinaan sampai juga ke telinganya. Sekali lagi, Aditya hanya melirik sedikit dan kemudian memasang headseat untuk menghentikan suara yang sama tertangkap telinganya lagi.
Bruk!
Aditya tersentak kaget. Matanya yang sedari tadi terpejam, kini terbuka lebar. Ia melotot memandang gadis yang tadi menjadi bulan-bulannya di depan kelas. Bukan karena niat membantu, apalagi memberikan sedikit rasa prihatin melalui tatapan mata. Hal tersebut dilakukan karena headseatnya yang tadinya terpasang, kini lepas. Salah satu ujungnya putus.
"Buset, dah! Lo bener-bener, ya?!"
Aditya naik pitam seketika. Langsung saja ia berdiri dan dengan kejam ditendangnya kaki gadis itu. Tak keras memang, tetapi wajah si gadis langsung berubah ketakutan.
"Ma-af," desis gadis tersebut.
Kakinya yang tadi ditendang Aditya ditarik dengan cepat. Wajahnya menunduk, tak ingin memandang pemuda yang kini telah berdiri. Earphone yang sejak tadi di telinga juga telah ditarik dengan kasar.
"Bisa nggak, sih, lo berhenti bikin gue kesal."
Gadis itu semakin menciut. Wajahnya yang sudah putih semakin pasi. Ia hanya berharap segera menghilang dari kelas dan tidak pernah kemari lagi.
"Ma-af." Air mata si gadis jatuh berurai. Ia tak pernah menyangka kehidupan SMA-nya akan sekelam ini.
***
"Mikirin apa Aditya."
Aditya yang tengah fokus menatap siaran televisi layar lebar yang ada di dinding kafe langsung menoleh. Ia tersenyum dan menyisir rambutnya dengan jari-jari.
"Nggak ada."
Pesanan cappucino yang sudah mulai dingin diaduk sebelum disesap pelan. Kini ia lebih memilih memperhatikan layar ponselnya, bukan layar televisi lagi.
Gantian teman Aditya, Reno menatap layar. Seorang gadis cantik yang cukup dikenal tersenyum di sana. Ia sedang beradu akting dengan aktor kawakan dalam sebuah drama. Wajahnya penuh penghayatan, dan gerakannya terlihat begitu alami.
"Kamu ingin bertemu Sena?"
Mata Aditya langsung melirik Reno.
"Tidak," jawabnya cepat.
"Semua orang ingin bertemu dengannya. Hanya saja aku khawatir dia tidak akan datang." Reno menduduki kursi di sebelah Aditya. "Kamu pasti tahu jika dia tidak pernah datang sekalipun ke reuni."
Aditya tahu. Semua orang juga tahu apa alasannya. Ia mendesah, kembali menatap layar ponsel.
"Kita semua berdosa padanya, kan?"
Reno tersenyum kecut. Beberapa orang yang baru datang menyerukan nama Reno di depan pintu masuk. Pria muda pemilik kafe tersebut mengangkat tangan. Ia kembali menepuk bahu Aditya sebelum akhirnya turun dari kursi dan beranjak pergi.
Aditya sendirian lagi kini. Drama yang dibintangi Sena telah berganti dengan iklan produk perawatan rambut. Aditya mengeser layar ponselnya, gambar paling lama yang bisa ditangkap muncul sebagai walpaper. Hari itu dia jatuh cinta, pada Sena yang tertidur di kursi taman setelah puas menangis dengan senja bersinar sangat cantik di belakangnya.
"Mungkin aku sudah tidak punya kesempatan lagi," gumamnya pelan.
Saat teman-temannya mendekati, cepat Aditya memasang pengunci layar.
***
"Kamu yakin proses syuting tidak ada hari ini?" Sena bertanya untuk terakhir kalinya pada Rayna.
Rayna mengangguk cepat. Ia tahu keengganan yang dirasakan gadis cantik berusia 24 tahun tersebut. Bukan tanpa alasan sikap Sena yang biasanya begitu manis terlihat cukip kesal saat ini. Ada sesuatu yang berusaha Sena hindari dan itu pasti hal yang buruk.
"Apa aku benar-benar harus pergi?"
"Jika kamu hanya gadis biasa seperti dahulu, aku pasti akan mengatakan terserah padamu. Namun, saat ini kamu telah menjadi publik figur. Kamu harus menjaga nama baikmu, Sena."
Sena membuang napas kasar. Ia lalu berjalan sambil menghentak-hentakan kakinya. Ia benar-benar tidak suka, tetapi tak punya pilihan untuk menolak. Semua karena pekerjaan yang dilakoni penuh dengan kepalsuan.
Sena memasuki mobil yang sudah sejak tadi menunggu di depan rumah. Sopir yang bekerja sejak ia menjadi artis mengangguk dan tersenyum saat membukakan pintu. Ia selalu bersyukur Sena menjadinya sopir sejak setahun lalu.
Rayna yang menyebutkan alamat lengkap tempat pertemuan pada Pak Sarmin. Lelaki berusia 35 tahun tersebut langsung memacu mobil cepat keluar dari halaman apartemen. Ia selalu saja tak banyak bicara saat melakukan pekerjaannya. Begitu fokus dan hati-hati, tak mau mencelakakan majikan yang sudah membuat kehidupannya lebih baik.
"Di sini, Mbak?" tanyanya pada Rayna.
Rayna mengangguk dan merapikan kembali dandanan Sena. Setelah semuanya siap, Sena menunggu Rayna turun terlebih dahulu kemudian baru menyusul.
Baru saja dua langkah Sena berjalan, Sena sudah diserbu para pengemarnya. Ia kewalahan meloloskan diri dari kepungan kalau saja beberapa orang alumni dari SMA yang sama tak membantu menghalau.
"Sena? Sena yang artis itu?" tanya mereka tidak percaya setelah para fans berhasil dibubarkan.
Sena memaksakan diri untuk tersenyum manis dan mengangguk pelan seperti biasa. Ia melangkah memasuki kafe yang sudah disewa para alumni.
Mata Sena langsung tertumbuk pada rombongan penghuni kelasnya dahulu. Mereka tampak sangat terkejut dengan kedatangan Sena. Orang-orang yang dulunya menjadikan Sena cemoohan diam saja dan menunduk.
"Kamu datang, Sena! Ya Tuhan, aku nggak nyangka!"
Reno hanya karena pemuda itu saja Sena mau datang. Ia masih ingat dengan Reno yang tak pernah sekali pun ikut dalam aksi membully, walau juga tak pernah punya kebeRaynan melerai. Reno hanya seperti dirinya, takut jika melakukan sesuatu hal yang buruk juga terjadi padanya.
"Tentu." Senyum manis diberikan Sena dengan tulus kali ini. Wajahnya yang putih, merona cantik.
Sepasang mata memperatikan saja Sena dari kejauhan. Ia tahu jika mendekat Sena akan lari. Maka, ia hanya bisa menatap jauh-jauh seperti ini.
“Pokoknya kalian harus pulang pada jam yang sudah dijanjikan, Oke?” Rayna sekali lagi memberi peringatan dengan wajah cemas.Pertunangan Sena dan Reno diumumkan tadi siang. Reno sudah mendapat peringatan untuk tidak membawa Sena tanpa pemberitahuan dan izin dari Ratih. Namun, mereka berdua berhasil membujuk Rayna untuk bisa memberi waktu kabur. Rayna jelas menolaknya, sebab kemarahan Ratih cukup mengerikan.“Kalian bisa membuatku terbunuh kalau tidak menurut,” renggek Rayna kembali. Ia belum melepaskan tangannya dari ujung baju Sena.“Iya, Kak, kami akan kembali jam 10 malam nanti. Ini cuma nonton bioskop kok. Janji.” Setelah pertunangan, Rayna meminta Sena memanggilnya Kakak. Begitu panggilan tersebut meluncur dari mulut Sena, Rayna meloncat seperti anak kecil. Ia begitu bahagia karena bisa mendapatkan adik perempuan.“Adik laki-laki itu memang bagus, tapi aku tidak mungkin menanyakan padanya pakaian manis. Tidak
“Apapun yang terjadi jangan merasa kasihan padanya!”Ratih mengatakan itu dengan sangat meyakinkan ketika akan berangkat. Namun, saat sudah sampai di rumah sakit dan memastikan jika mayat yang ditemukan memang Monik, tak urung dirinya menangis juga.Sena dilarang masuk ke dalam. Yang masuk untuk memeriksa hanya Reno, Ratih, dan Monik. Mereka sebelum masuk diberi peringatan oleh polisi. Sebab yang mereka saksikan cukup mengerikan.“Mama baik-baik saja?” Sena bertanya dengan cemas.Ratih mengeleng. “Tidak bisa dibilang baik-baik saja jika harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Menyebalkan mengakuinya, tapi itu mengerikan.”Di sampingnya Rayna mengangguk membenarkan. “Pilihan tepat untuk meninggalkanmu di luar. Aku pikir akan kesulitan menelan makanan untuk beberapa lama setelah ini.”Sena tahu hal itu benar. Wajah tiga orang di depannya ini terlihat pucat. Sena jadi bertanya-tanya apa yang su
Apa sudah berhenti? Seluruh tubuhnya benar-benar remuk rasanya. Bukan hanya itu seluruh kekuatannya seolah tersedot keluar. Monik berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia berlari di gang dan kebingungan sendiri. Gang yang dimasuki ternyata rumit seperti labirin.Ketika ia merasa sudah berada di luar gang, ia tergangga dan menyadari jika bukannya menemukan jalan, tempat itu hanya bangunan-bangunan kotor. Beberapa orang preman duduk di depan bangunan dan terlihat tertarik melihat kedatangan Monik.“Tersasar, Dek?” tanya salah satu preman dengan tato yang tak jelas di bahunya.Monik mengabaikan pertanyaan itu. Ia menutup hidungnya karena bau air selokan semakin kuat karena hembusan angin. Ia memaki dalam hati karena asal lari dan tidak melihat ke mana arah tujuan jalan tersebut. Mungkin ia bisa kembali dan berbelok di arah lain pada belokan sebelumnya.“Sombong.”Karena terlalu berkonsentrasi berpikir, Monik tidak
Tidak ada yang berhasil! Tidak ada! Monik melarikan kendaraannya dengan kencang. Syukurlah ia berhasil kabur dari kejaran dan tak berpapasan dengan salah satu petugas keamanan di rumah sakit. Saat penguman pencarian seorang gadis dengan cadar warna hitam disampaikan melalui pengeras suara, Monik telah melewati satpam gerbang dan masuk ke dalam mobil. Ia melihat satpam yang menyadari keberadaannya mendekat dan melajukan mobil dengan cepat.Ada sesuatu yang meloncat ke atas mobil Monik. Ia kaget dan memanting stir tiba-tiba ke kiri. Mobilnya menghantam pembatas jalan dan kepalanya dengan keras terbentur setir. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap selama sesaat. Akan tetapi, Monik cepat menguasai diri. Ia harus segera keluar dari mobil jika tidak ingin tertangkap. Polisi pasti sedang mengejarnya saat ini. Untunglah suasana jalanan sedang sepi.Seluruh persendian Monik terasa sakit. Namun, ia memaksakan diri untuk berjalan terus. Ia singah di toilet taman untuk member
Ratih memeluk putri tunggalnya erat-erat. Sesuai instruksi polisi ia bergerak ke rumah sakit pada malam hari. Seharian ini ia selalu mengontak Rayna menanyakan apa yang sedang dilakukan Sena. Sampai sore, ia tidak mendapat kabar kalau ada orang yang tidak dikenal mendekati putrinya. Namun, Rayna melaporkan Sena sukses membuat Reno bertekuk lutut.Saat itu Ratih hanya bisa membatin, Seperti itulah kekuatan seorang wanita yang sedang jatuh cinta.“Apa semuanya baik-baik saja, Sayang?”Ratih tahu tidak seharusnya menanyakan hal ini pada Sena. Ia sudah bertekad untuk membuat putrinya merasa aman. Ia juga sudah mengatakan pada Rayna kalau tidak perlu membuat Sena merasa cemas tentang kedatangan Monik ke rumah. Saat ini ia ke rumah sakit untuk membujuk Sena tinggal di sini semalam, kalau perlu sampai Monik tertangkap.Rasanya tempat Reno di rawat adalah daerah paling aman karena ada seorang polisi dan juga banyak orang yang be
“SENA!”Sena kaget karena Reno berteriak dan mengapai. Ia langsung menangkap tangan pemuda yang matanya masih terpejam tersebut. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.“Reno?” Ragu-ragu Sena menguncang bahu pemuda itu. Ia berharap yang dilakukan bisa membuat Reno tersadar. Akan tetapi, kemungkinan juga tidak. Reno masih dalam pengaruh obat bius.Reno mengenggam jemari Sena erat-erat. Seolah-olah Sena akan menghilang ketika tangannya dilepaskan. Sena tersenyum senang. Ia senang karena dirinya memiliki posisi sepenting itu di dalam hati Reno. Ia harap dirinya tidak hanya berkhayal saja.Rayna mengetuk pintu dari luar, lalu menjulurkan kepalanya. Ia tersenyum-senyum mendekati Sena. Ia tak menyangka adiknya yang bodoh sampai mengenggam tangan Sena tanpa sadar.“Heemmm!” Rayna terbatuk sedikit mengoda.Sena terkejut dan berusaha melepaskan genggaman tangan Reno. Tentu saja hal tersebut tidak berh