Share

Reno

Reno mempersilakan Sena duduk. Meja yang terletak di depan dekat panggung. Setelah itu ditinggalkan Sena begitu saja, ia lalu mendekati Aditya.

“Kamu nggak mau ngobrol, Dit?”

Aditya menyesap cappucino lagi dan melirik ke arah meja. Walau sedikit ia masih bisa melihat wajah Sena. Gadis itu semakin cantik saja. Pertemuan terakhir mereka setahun lalu, tepat pada hari kelulusan. Hari itu Sena menangis, terluka karena sikap teman-temannya dan Adit. Andai saja Adit ikut menangis dan bukannya tertawa, hubungannya dengan Sena saat ini mungkin tak buruk.

Mungkin ia bisa seperti Reno, disambut dengan senyuman dan rona merah jambu di pipi.

“Cobalah mulai, Adit. Mungkin saja Sena telah lupa.”

Aditya membiarkan Reno pergi ke balik meja, menyiapkan minuman. Barulah ia bisa mendesah dan memejamkan mata. Jika Reno tahu apa yang sudah diperbuat Adit pada Sena, maka temannya itu pasti membencinya.

Adit melirik lagi. Mata Sena kini sedang berbinar memandang punggung Reno. Ada kebahagian yang terpancar. Dulu pancaran seperti itu hanya milik Adit.

Sena menekuri ponsel yang baru dikeluarkan. Beberapa teman SMA mulai mendekatinya. Seketika ia merasa risih. Ia benci mereka yang sok baik saat keadaannya telah menjadi seperti sekarang.

“Aku senang bisa bertemu denganmu,” kata gadis yang lebih dikenal Sena bernama Ratu.

Ia otak dari setiap perlakuan buruk pada masa putih-abu abunya.

“Benarkah? Aku sama sekali tidak merasa seperti itu.” Sena tersenyum miring.

Ratu terdiam sebentar dan melirik ke samping, meminta bantuan. Namun, bukan mendapatkan bantuan, ia malah ditolak dengan siku untuk tetap bicara.

“Ah, jangan berkata begitu. Saat itu kami hanya bercanda.” Ratu memukul bahu Sena pelan.

Kontak fisik itu membuat Sena merasa tak nyaman. Ia mengirimkan pesan pada Rayna yang duduk di meja lain, masih di dalam kafe, untuk mendekat. Basa-basi menjijikan ini harus segera disudahi. Sena tak ingin kehilangan kendali dan menghilangkan pamor cantik diri sendiri.

“Kalian melemparkan tasku ke atap. Menyiramku dengan air bekas pel dan menuduhku melakukan banyak hal yang tidak kumengerti. Jika ini candaan, maka sungguh buruk efek pendidikan yang kalian terima. Maaf, aku tidak menganggap perlakuan kalian sebagai candaan.” Tidak ada lagi senyuman di bibir Sena. Ia telah terlanjur kesal.

“Sena.”

Rayna telah sampai di sisi Sena. Ia menatap para gadis yang tengah berdiri di dekat majikannya yang lebih sensitif sejak kemarin.

Reno juga sampai dengan minuman untuk Sena. Ia kebingungan karena sang artis sudah bersiap pergi.

“Maaf, ya, Ren. Aku ada jadwal siang ini, senang bisa bertemu lagi denganmu.” Sena baru berniat berbalik saat ingat sesuatu yang menurutnya penting. “Boleh minta nomor ponselmu?”

“Ah, tentu.” Reno meletakan minuman di atas meja dan menerima ponsel yang diulurkan Sena.

Tak lama ia memasukan nomor ke ponsel dan kembali menyerahkan pada Sena.

“Kuharap aku tidak menganggumu nanti.” Sena tersenyum dan melirik sekitar sebelum berputar.

Ia terhenti melangkah saat menemukan siluet seseorang yang dikenal. Matanya menyipit, berusaha menilai. Namun, tarikan tangan Rayna menyentak dan membuyarkan konsentrasinya.

Reno diserbu dengan banyak pertanyaan tentang Sena yang tak bisa dijawab.

***

“Maafkan aku memaksamu untuk datang.”

Rayna akhirnya berani bicara setelah menimbang-nimbang cukup lama. Ia merasa bersalah karena pemaksaan yang dilakukan. Apalagi setelah menerima pesan dari adiknya. Sungguh sebuah keputusan yang tidak tepat membawa Sena berinteraksi dengan orang-orang di masa lalunya.

Mobil yang mereka naiki melaju melintasi jalanan yang sama sekali tak macet. Padahal jam istirahat kerja sedang berlangsung.

“Tidak apa. Aku senang karena ikut. Aku bisa mendapatkan nomor Reno.”

Walau suara Sena pelan, tetapi bisa didengar Rayna.

Rayna mengernyit mendengar nama Reno disebut-sebut. Reno? Ia lekas menoleh, tapi menghentikan dirinya untuk bertanya tentang hubungan Sena dan nama baru tersebut.

Tak lama mereka sampai di gedung lantai tiga tempat pemotretan akan diadakan. Saat pintu terbuka, Sena berlari lebih dulu melintasi orang-orang. Ia tidak ingin dikerubungi dan terlambat ke studio di lantai tiga. Rayna di belakangnya berusaha menyusul dengan kecepatan yang sama, walau sama sekali tak pernah berhasil.

Dua perias telah menanti Sena di ruang make up. Fotografer yang bertugas berteriak pada semua orang untuk bekerja lebih cepat. Seorang penata busana langsung menilai tubuh Sena dan merencanakan pakaian apa yang cocok untuk dipakai.

Sena duduk tenang di depan cermin persegi yang disekelilingnya lampu pijar putih bersinar. Wajahnya pertama disemprot dengan air mawar bercampur satu persen alkohol. Setelah kering, alas bedak ditambahkan terlebih dahulu secara merata. Tak lupa alisnya dilukis dengan cantik. Lipstik dipilih dengan warna natural berikut dengan perona pipi dan perangkat lainnya.

Satu jam kemudian, Sena telah mengatur gaya di latar dengan blitz yang berpijar setiap kali tombol kamera ditekan. Ia tersenyum dan memamerkan deretan deretan giginya yang telah diputihkan satu bulan sekali oleh dokter gigi langanan. Senyumnya yang menawan, membuat siapapun merasa tenang.

Rayna melirik jam. Pemotretan yang dilakukan Sena biasanya tak lebih dari dua jam. Sebentar lagi, majikannya bisa menghapus riasan dan pulang. Kadang-kadang ia merasa kasihan pada Sena yang sejak enam bulan lalu tak memiliki waktu istirahat cukup.

[Dia baik-baik saja, kan, Kak?]

Pesan W******p dari adiknya membuat Rayna mengalihkan pandangan sebentar.

[Ya, sepertinya Sena tidak terpengaruh.]

Rayna rupanya tak perlu menunggu lama. Pesan balasan langsung muncul.

[Syukurlah. Aku sempat khawatir tadi.]

Rayna mencebik geli. Ia selalu ingin tahu kenapa adiknya memiliki ketertarikan pada Sena. Hari ini terjawab sudah pertanyaan tersebut. “Kita memang memiliki pikiran yang sama,” gumamnya.

Sena telah selesai kini. Fotografer bertepuk tangan dan mengatakan pekerjaan Sena sangat baik. Tak lupa lelaki berperut buncit yang telah membidik Sena sejak dua jam lalu memuji para krunya. Sena juga melakukan hal yang sama dan berkali-kali mengucapkan terima kasih pada semua orang.

Gadis cantik dengan gaun warna biru—Sena hampir mencoba seluruh baju saat fitting dan akhirnya memutuskan empat pakaian yang ia kenakan—mendekati Rayna. Ia menadahkan tangan.

“Kenapa malah bengong, haus!” serunya.

Rayna mengangguk-angguk dan mengambil botol minuman dengan irisan lemon di dalamnya. Botol tersebut dengan cepat berpindah tangan. Isinya tandas setelah bibir Rayna menempel di mulut botol.

“Tidak ada jadwal lagi, kan, Mbak?” tanya Rayna.

Sena menyerahkan kembali botol pada Rayna dan menunggu jawaban dengan sabar.

Rayna membuka ponsel dan melihat cacatan di aplikasi jadwal. Tidak ada jadwal lagi sampai besok siang.

“Tidak ada Mbak. Besok siang harus berangkat ke lokasi syuting. Mmm … jam dua.”

Rayna mengangguk dan menjatuhkan diri di kursi samping. “Ah, aku ingin libur,” keluh Sena.

Wajahnya yang cantik terlihat cemberut. Ia tak duduk lama, sebab harus berganti pakaian dan pulang ke rumah.

Ia ingin lekas menjatuhkan diri di atas kasurnya. Tadi pagi jadwal tidurnya telah diganggu dengan keresahan keharusan pergi mengunjungi teman-teman lama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status