Sena tidak buruk. Ia memiliki tinggi 165 centimeter, tubuh yang langsing, wajah bulat telur, hidung mancung, bibir tipis, rambut ikal bergelombang, mata yang jenih, serta berkulit putih. Ia adalah boneka cantik.
Namun, entah kenapa ia selalu menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya sejak SMA. Ia tak tahu persis kesalahan apa yang sudah diperbuat. Sebab begitu naik ke kelas dua, semuanya menjadi mimpi buruk.
"Sena!"
Teriakan itu yang pertama kali didengar saat memasuki halaman sekolah pada awal tahun pelajaran.
Sena tersenyum. Sebab sebagai teman, ia merasa perlu bersikap demikian.
Namun, ketika ia diapit dan di seret menuju samping sekolah, senyumnya menghilang. Pikirannya mulai berisi dugaan apa yang akan terjadi. Juga memikirkan berbagai alasan kenapa hal tersebut bisa terjadi.
Seember air berpindah dari wadahnya, membasahi tubuh sena. Seluruh seragamnya basah, begitu pun dengan buku-buku di dalam tasnya.
"Kamu tahu apa yang sedang terjadi?"
Sena tak menjawab, air matanya sudah mengantung, siap terjun. "Bukannya kalian yang harus jelaskan padaku apa yang terjadi?" Sena menjawab dengan suara bergetar.
Para siswa yang ada di sekitarnya tertawa. Tepatnya menertawakan Sena, entah untuk alasan apa.
"Masih saja songong dia!"
Dari arah lain seorang siswa menimpali dan diiringi seruan orang-orang.
Sena melirik tag name gadis yang bicara dengannya. Namun, diplester. Maka dengan saksama dierhatikan wajah gadis itu.
"Sampai kamu sadar apa yang sudah terjadi, setiap hari akan seperti ini."
Kedua tangan Sena yang sejak tadi dipegangi kini dilepaskan. Mereka semua mengelilingi Sena dua kali seperti pemangsa yang tengah menandai buruannya sebelum berlalu pergi.
Sena terduduk lemas di lantai beton. Ia mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi. Saat tersadar karena bunyi bel, lekas diperiksa buku-buku dalam tasnya. Ia bersyukur karena semua selamat.
Ia kumpulkan keberanian untuk tetap masuk dengan keadaan pakaian separuh basah. Pasti nanti saat pelajaran kedua, pakaiannya akan kering. Syukur-syukur Adit akan meminjaminya jaket.
Sampai di kelas, suasana masih seperti biasa. Hanya saja tidak ada Adit di sana. Meja belajarnya juga hilang.
“Kalian lihat mejaku ke mana?” tanyanya.
Namun, tidak ada yang menjawab. Semua teman sekelas Sena menganggap Sena tidak ada. Mereka masih ayik berbincang atau menyalin tugas yang harus diserahkan hari ini.
“Dit?” Sena menyentuh bahu Adit yang duduk dua meja di depannya.
Adit menepis tangan gadis itu. Ia menatap Sena penuh kemarahan, seolah Sena sudah melakukan kesalahan yang fatal.
“Dit, kamu lihat mejaku nggak? Kok, mejaku kok nggak ada?”
Adit mendesis. Ia melihat sekeliling sebelum kembali menoleh pada Sena. “Kenapa nanya padaku?”
“Dit, kamu kenapa?” tanya Sena tidak paham.
Ia jelas tidak melakukan kesalahan. Ia bahkan baru sampai ke sekolah dan belum berbicara dengan siapapun—kecuali beberapa anak yang baru memperingatinya entah karena apa.
“Kenapa wajah kamu mengatakan seolah kami yang salah? Kamu nggak mau tahu apa salahmu?”
Sena mengernyit. Tiba-tiba teman-temannya berdiri semua dan berdiri mengelilingi. Sena mundur karena takut. Saat berbalik untuk lari keluar kelas, tiba-tiba pintu menghilang. Teman-temannya juga hilang. Ia kini sendirian ditemani suara-suara yang bertanya tentang kesalahan yang diperbuat.
“Tidak! Tidak!” Sena berteriak keras.
Sena kembali ke kamarnya. Ruangan besar yang terang benderang yang ditempati setiap malam. Piala-piala penghargaan dari kontes model dan lainnya masih tersusun rapi di rak dekat pintu masuk. Meja belajar yang telah beralih fungsi menjadi tempat meletakan berkotak-kotak hadiah yang belum sempat dibuka tetap di tempat semula. Isi kamar masih sama. Hal ini membuat Sena bernapas lega.
“Sena … Sena!”
Sena menghapus peluh di keningnya. “Ya, Ma!”
Sena beringsut pelan menuju tepi ranjang. Namun, tidak lantas berdiri dan membuka pintu. Ia duduk saja di tepi ranjang mendengar dan siap menjawab setiap pertanyaan.
“Kamu kenapa teriak? Ada apa?”
Pintu diguncang beberapa kali dan dipukul. Namun, Sena tetap saja duduk di tepi ranjang. Ia tak mau membiarkan Mama masuk dan mulai mengomel segala hal. Itu tidak akan membantunya keluar dari mimpi buruk. Yang jelas sekarang ia sudah bangun dan tidak ada hal buruk yang terjadi.
“Tidak ada, Ma. Sena baik-baik saja.”
“Buka pintunya Sena. Kamu kenapa sih kebiasaan kunci pintu gini?”
Belum pintu terbuka lebar, Mama sudah berencana mengomel. Sena hanya bisa mendesah dan beringsut mundur lagi ke tengah tempat tidur, menarik selimut. Ia berharap bisa kembali tidur. Besok, akan ada banyak jadwal menanti.
‘Ma, Senam au tidur!” seru Sena.
“Biar Mama temani kamu tidur malam ini. Sena, kamu dengar, kan?”
Sena segera menyuarakan ketidak sukaannya atas permintaan Mama. Ia menarik selimut hingga ke atas kepala.
Mama belum berhenti berusaha untuk membuat Sena membuka pintu. Lalu kemudian ia menyerah setelah lama tak ada jawaban.
Sena menarik selimutnya hingga dada saat suara Mama menghilang. Ia lega. Bukannya Sena tak mau ditemani Mama. Ia hanya takut menyebut nama-nama yang akan menyulut kebencian Mama lagi.
Masih ingat dalam ingatan Sena, bagaimana Mama menyusul ke sekolah dan membuat perhitungan dengan setiap nama yang pernah melakukan perundungan padanya. Mama menanyakan apa kesalahan putri satu-satunya pada tiap orang dan tidak satupun dari mereka menjawab tanya Mama.
Apa kabar? Pesan dari nomor Reno membuat Sena langsung berdiri dari duduknya siang itu. Ia sama sekali tak menyangka jika Pemuda tersebut akan membalas pesannya. Pesan pertama yang dikirimkan Senas ama sekali tidak digubris. Pesan kedua juga begitu. Karena itu Sena malas berharap. Mungkin Reno terlalu sibuk mengurus kuliah dan restorannya dalam waktu bersamaan. Atau Reno menganggap pesan dari Senas ama sekali tidak penting. Baik. Pesan balasan dari Sena singkat, tetapi dilengkapi emoticon senyum. Namun, pada akhirnya Sena menyesali pemberian emoticon karena dianggap terlalu berlebihan. Ia kemudian menunggu balasan selanjutnya dengan tak sabar. Sayang sekali, sampai Sena dipanggil untuk pengambilan gambar selanjutnya untuk drama televisi yang dibintangi, pesan yang ditunggu tak pernah sampai. Karena hal tersebut mungkin, Sena melakukan kesalahan beberapa kali dalam pengamb
Perlombaan antar sekolah ini diadakan setiap tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, semua sekolah selalu menyiapkan bahan-bahan terbaru dan ide-ide baru. Tahun lalu sekolah Sena dan Adit hanya mendapatkan juara dua saja, padahal sebelumnya mereka mendapatkan peringkat pertama.Karena itu, tahun ini Adit dan timnya menyiapkan semuanya dengan hati-hati. Mereka tidak mau ide mereka sampai bocor dan kemudian ditiru oleh sekolah lain.“Bisa jadi masalah jika benar Sena memberitahukan ide kita tanpa sadar.”Adit berpangku tangan di kursi sebelah kanan. Teman-temannya yang rata-rata dari kelas berbeda mengelilingi meja panjang tempat banyak kertas dan modul fotokopian berserakan.“Sena kan sudah bilang kalau orang itu sudah selesai dengan karyanya lebih dulu dari kita, nggak usah khawatir.” Reno akhirnya angkat bicara.Ia merasa heran pada Adit yang terlalu terobsesi dengan perlombaan, sampai berpikiran buruk terhadap
Sena tak lagi membalas pesan terakhir Reno. Rasanya menyebalkan membaca nama Adit dalam obrolan mereka. Semua keriangan dari obrolan sebelumnya menjadi lenyap seketika. “Loh, anak Mama kenapa?” tanya Mama Sena. Sena baru saja menuruni tangga manakala Mama menyapanya. Ia memilih tak menjawab, membiarkan pertanyaan-pertanyaan Mama mengema begitu saja. Di meja makan kini telah terhidang jus wortel dan tomat. Sejak didiagnosis menderita anemia, Mama selalu menyediakan jus tersebut di meja sarapan. Ia tak mau Sena pingsan tiba-tiba kembali saat sedang melakukan kegiatannya yang padat. “Drama yang terakhir sudah hampir kelar, kan, Sena?” Mami berhenti menyesap teh dan memandang wajah putri semata wayangnya. Sena mengernyit saat menelan tiga tegukan jus, meletakkannya pelan. “Ya, Ma.” “Kuliah kamu gimana?” Kesibukan yang padat setelah memenangkan ajang model dan menerima banyak tawaran, membuat Sena memang mengajukan cuti setelah dite
Tulisan Uno hampir tidak terbaca. Sena pikir jika Uno mungkin seharusnya menjadi dokter saja. Setelah berjuang selama dua hari, Sena akhirnya mampu menyalin semua catatan Uno. Reno: Aku lihat kamu kemarin di kampus? Sena tercenung sebentar mengingat-ingat di mana kira-kira Reno melihatnya. Yang ia ingat Reno mengambil jurusan bisnis di kampus. Sena: Di mana? Reno: Parkiran. Walau baru seminggu kuliah, Sena tahu jika gedung Jurusan Bisnis dan Biologi cukup berjarak sehingga parkiran mereka tidak mungkin menyatu. Apa mungkin saat Reno melihatnya, parkiran di depan gedung Fakultas Bisnis sedang penuh. Sena mengelengkan kepala, menghapus pikiran buruk yang mulai singah. Sena: Aku sedikit kesulitan dalam memulai, telat 13 bulan penuh. Sena menambahkan emotikon tertawa di akhir pesannya. Ia menunggu dengan tidak sabar balasan pesan dari pemuda itu. Sena: Kamu sibuk, ya? Sena kembali
“Maaf, ya, Nak, nyusahin kamu terus.”Wanita berusia hampir enam puluh tahun tersebut duduk di samping Adit. Tangan-tangannya yang keriput ada di dalam genggaman pemuda 19 tahun tersebut. Seno mewarisi hampir seluruh wajah wanita tersebut. Setelah diterpa berbagai penyakit dan masalah dalam rumah tangganya, kini wajah cantik itu terlihat lelah.“Mama nggak pernah nyusahin Adit. Jangan ngomong gitu lagi,” pintanya.Adit menepuk-nepuk pelan tangan yang masih dalam genggamannya. Ia memberi kekuatan pada sang ibu.Sebenarnya tugas untuk menemani Mami pergi ke rumah sakit adalah tanggung jawab Papi. Namun, lelaki yang pulang dan pergi sesuka hati itu mengabarkan tak bisa melakukannya tadi siang.“Mami harus cepat sembuh,” ungkap Adit dengan tenang.Ia sudah terbiasa menyimpan sendiri rasa sakit hati dan penyesalan untuk perlakuan Papi pada mereka. Sejak dulu hingga sekarang, ia tak mau memberi beban lebih pada
Adit bukan pria romantis. Selama Sena dan pemuda dengan hidung tinggi itu dekat, tak sekalipun mulutnya melontarkan rayuan. Walau tak jarang Adit mengatakan Sena cantik. Akan tetapi, menurut Adit itu karena memang seperti itu kelihatannya. Sena tak perlu merasa dipuji.Namun, Adit sering sekali tanpa pemberitahuan datang menjemput ke rumah untuk sekedar berangkat sekolah bersama. Kadang ia akan menelepon sebelum tidur hanya untuk berharap Sena tidur yang nyenyak.“Kenapa kamu tidak berdoa aku mimpi indah?” Sena bertanya suatu kali.Tiba-tiba saja Adit menelepon. Di luar hujan sedang lebat dan sesekali petir terdengar. Lama Adit diam di ujung telepon. Entah apa yang sedang dilakukan pemuda itu.“Adit, kamu masih di sana, kan?” tanya Sena akhirnya kesal.“Mmm ….” Adit bergumam sebagai jawaban. “Aku tahu seharusnya mengucapkan itu. Tapi, bukan itu yang kamu butuhkan saat ini. Semoga hujan cepat berhenti
Adit hanya sekilas melihat Sena. Waktu gadis itu melintas dengan setengah berlari menuju anak tangga. Ia baru keluar dari kelasnya sendiri yang lorongnya menghadap ke tangga utama. Saat gadis itu kemudian tersandung, Adit berusaha memburu, berharap waktu berhenti beberapa saat. Sehingga ia bisa menyelamatkan Sena kali ini. Namun, semua hanya harapa Adit saja. Pada kenyataannya waktu tidak pernah berhenti, tetap berjalan dengan konstan. Adit melihat sendiri bagaimana Sena berguling di tangga dan setengah sadar mencoba duduk dan dari pelipisnya keluar darah. “Sena! Kamu bisa mendengarku?” Adit adalah orang pertama yang sampai dan bertanya. Pandangan Senas ama sekali tak fokus. Gadis cantik teman SMAnya seperti orang linglung. Lama sampai didengar Adit jawaban atas pertanyaannya. Lalu setelahnya Sena ambruk, tak sadarkan diri. Dalam sekali tarikan napas, Adit mengakat Sena ke dalam gendongannya. Ia berjalan dengan hati-hati menuruni anak tangga dan seten
Sena bertemu Adit pertama kali pada masa orientasi siswa di sekolah. SMA 9 Nusantara benar-benar mempersiapkan semua dengan begitu baik saat itu. Masa MOS sangat menyenangkan dan seru. Namun, tetap saja bertemu dengan senior yang galak cukup menakutkan buat mereka semua. “Kamu baik-baik saja?” Sena yang sedang menahan sakit perut karena lupa sarapan tadi pagi perlahan mendogakkan kepala. Seorang pemuda dengan potongan rambut tentara mendekat. “Wajahmu pucat sejak masuk ke dalam barisan tadi. Kamu yakin tidak apa-apa?” Sekali lagi pemuda yang sama bertanya. Wajahnya terlihat cemas. Tatapannya intens memandang wajah Sena. Tangannya kemudian terulur menyentuh dahi Sena, mengukur suhu tubuh tentu saja. “Kamu memang sedikit panas. Mau kuantar ke UKS?” tanyanya kemudian. Sena sejak tadi masih belum menjawab. Ia meremas perutnya yang semakin melilit dari waktu ke waktu. Beberapa kakak kelas yang melihat pemuda tersebut berjongkok di d