“Maaf, ya, Nak, nyusahin kamu terus.”
Wanita berusia hampir enam puluh tahun tersebut duduk di samping Adit. Tangan-tangannya yang keriput ada di dalam genggaman pemuda 19 tahun tersebut. Seno mewarisi hampir seluruh wajah wanita tersebut. Setelah diterpa berbagai penyakit dan masalah dalam rumah tangganya, kini wajah cantik itu terlihat lelah.
“Mama nggak pernah nyusahin Adit. Jangan ngomong gitu lagi,” pintanya.
Adit menepuk-nepuk pelan tangan yang masih dalam genggamannya. Ia memberi kekuatan pada sang ibu.
Sebenarnya tugas untuk menemani Mami pergi ke rumah sakit adalah tanggung jawab Papi. Namun, lelaki yang pulang dan pergi sesuka hati itu mengabarkan tak bisa melakukannya tadi siang.
“Mami harus cepat sembuh,” ungkap Adit dengan tenang.
Ia sudah terbiasa menyimpan sendiri rasa sakit hati dan penyesalan untuk perlakuan Papi pada mereka. Sejak dulu hingga sekarang, ia tak mau memberi beban lebih pada
Adit bukan pria romantis. Selama Sena dan pemuda dengan hidung tinggi itu dekat, tak sekalipun mulutnya melontarkan rayuan. Walau tak jarang Adit mengatakan Sena cantik. Akan tetapi, menurut Adit itu karena memang seperti itu kelihatannya. Sena tak perlu merasa dipuji.Namun, Adit sering sekali tanpa pemberitahuan datang menjemput ke rumah untuk sekedar berangkat sekolah bersama. Kadang ia akan menelepon sebelum tidur hanya untuk berharap Sena tidur yang nyenyak.“Kenapa kamu tidak berdoa aku mimpi indah?” Sena bertanya suatu kali.Tiba-tiba saja Adit menelepon. Di luar hujan sedang lebat dan sesekali petir terdengar. Lama Adit diam di ujung telepon. Entah apa yang sedang dilakukan pemuda itu.“Adit, kamu masih di sana, kan?” tanya Sena akhirnya kesal.“Mmm ….” Adit bergumam sebagai jawaban. “Aku tahu seharusnya mengucapkan itu. Tapi, bukan itu yang kamu butuhkan saat ini. Semoga hujan cepat berhenti
Adit hanya sekilas melihat Sena. Waktu gadis itu melintas dengan setengah berlari menuju anak tangga. Ia baru keluar dari kelasnya sendiri yang lorongnya menghadap ke tangga utama. Saat gadis itu kemudian tersandung, Adit berusaha memburu, berharap waktu berhenti beberapa saat. Sehingga ia bisa menyelamatkan Sena kali ini. Namun, semua hanya harapa Adit saja. Pada kenyataannya waktu tidak pernah berhenti, tetap berjalan dengan konstan. Adit melihat sendiri bagaimana Sena berguling di tangga dan setengah sadar mencoba duduk dan dari pelipisnya keluar darah. “Sena! Kamu bisa mendengarku?” Adit adalah orang pertama yang sampai dan bertanya. Pandangan Senas ama sekali tak fokus. Gadis cantik teman SMAnya seperti orang linglung. Lama sampai didengar Adit jawaban atas pertanyaannya. Lalu setelahnya Sena ambruk, tak sadarkan diri. Dalam sekali tarikan napas, Adit mengakat Sena ke dalam gendongannya. Ia berjalan dengan hati-hati menuruni anak tangga dan seten
Sena bertemu Adit pertama kali pada masa orientasi siswa di sekolah. SMA 9 Nusantara benar-benar mempersiapkan semua dengan begitu baik saat itu. Masa MOS sangat menyenangkan dan seru. Namun, tetap saja bertemu dengan senior yang galak cukup menakutkan buat mereka semua. “Kamu baik-baik saja?” Sena yang sedang menahan sakit perut karena lupa sarapan tadi pagi perlahan mendogakkan kepala. Seorang pemuda dengan potongan rambut tentara mendekat. “Wajahmu pucat sejak masuk ke dalam barisan tadi. Kamu yakin tidak apa-apa?” Sekali lagi pemuda yang sama bertanya. Wajahnya terlihat cemas. Tatapannya intens memandang wajah Sena. Tangannya kemudian terulur menyentuh dahi Sena, mengukur suhu tubuh tentu saja. “Kamu memang sedikit panas. Mau kuantar ke UKS?” tanyanya kemudian. Sena sejak tadi masih belum menjawab. Ia meremas perutnya yang semakin melilit dari waktu ke waktu. Beberapa kakak kelas yang melihat pemuda tersebut berjongkok di d
“Terima kasih, ya.”Senyum manis Sena terukir sangat indah. Wajahnya yang putih walau tanpa balutan make up mempesona Adit kembali. Ia tak menyangka bisa melihat senyum ramah Sena lagi. Ia sudah menyerah saat memunggungi Sena di pertemua terakhir ketika SMA. Walau tahu jika salah, keegoisannya masih tetap dipertahankan hari itu.“Sa-ma-sama.” Tergagap Adit menjawab.Ia merasa amat canggung duduk di samping tempat tidur rumah sakit dan kemudian mengobrol. Di sofa belakang, Mama Sena dan Raina memperhatikan gerak-gerik mereka.“Nama kamu Adit, kan? Kata Mama aku mengalami amnesia karena benturan di kepala. Seharusnya aku sudah lulus tahun lalu. Maaf, karena malah manggil kamu kemari.” Sena begitu lancar bicara dengan Adit.Padahal pada acara reuni kemarin dan pagi tadi saat bertemu Reno, memandang wajah Adit saja ia muak.“Nggak apa-apa.”“Apa hubungan kita baik selama di SMA?”
Sena tersenyum manis sekali. Jantung Reno jungkir balik karena itu. Ia baru mencapai pintu masuk dan tak berani lagi melangkah lebih jauh.“Kenapa hanya berdiri di sana? Silakan masuk,” panggil Sena sambil melambai menggunakan tangannya yang bebas.Reno melirik Adit lebih dulu. Dilihatnya Adit mengangkat bahu dan tersenyum, tanda ia sama sekali tidak keberatan. Pemuda sahabatnya itu mundur, memilih menjatuhkan bokongnya di atas kursi sofa empuk tak jauh dari ranjang Sena.“Kita pernah sekelas?”Reno melongo. Adit memang sudah menjelaskan kalau Sena mengalami amnesia. Akan tetapi, ia sama sekali tak menyangka gadis cantik ini juga lupa tentangnya.“Kita sekelas pas kelas dua. Apa kabar?” tanya Reno setelah memberitahu yang sebenarnya. Ia lalu memperhatikan buah-buahan yang dibaw, tetapi belum diserahkan.“Sudah lebih baik.” Sena terdengar riang kini.Tidak seperti saat bertemu dengan Reno
Adit ingin sekali menanyakan pada Reno apa yang terjadi kemarin. Namun, lidahnya kelu. Seolah tumbuh sebuah tulang di dalam sana, membuatnya berhenti berucap.Reno juga sepertinya tidak ingin membicarakan soal kemarin. Sebab baru saja turun dari motornya di parkiran kampus MIPA dan bertemu dengan Adit, Reno langsung bertanya tentang pelaku perempuan yang mendorong Sena.“Aku rasa dia sudah ada di kampus sekarang.”Reno mengangguk dan mulai berjalan mendahului Adit. Ia bersemangat sekali untuk menangkap basah perempuan yang dilihat Adit sudah melakukan kejahatan pada Sena.“Kamu ingat namanya?”“Tidak, aku tidak tahu nama gadis itu. Aku hanya tahu dia satu jurusan denganku dan merupakan senior di sini.”Reno berhenti sebentar. “Artinya dia merasa punya kuasa melakukan hal seperti itu pada junior?”Adit terdiam sebentar lalu berpikir. “Aku tidak berpikir begitu.”Reno me
“Kamu menyukai makanan di restoran ini?” Reno duduk di depan Endah.Gadis tersebut berhenti mengunyah dan mengangguk sambil tersenyum, berusaha tampak manis.Namun, Reno melihatnya sebagai sesuatu yang memuakkan. Jika bukan karena harus mendapatkan kesaksian Endah untuk kasus Sena, ia tak akan mau beramah-tamah dengan orang di depannya.“Syukurlah.” Reno mengambil gelas berisi kopi hitam buatannya.Pelan-pelan disesapnya cairan hitam agak pekat yang sama sekali tak dicampur dengan pemanis tersebut. Untuk pecinta kopi sepertinya, cairan hitam tanpa pemanis ini masih menyisakan rasa nikmat luar biasa di lidahnya.“Jadi, kenapa kamu datang sendirian? Bukannya kamu bilang akan datang dengan seorang teman?” Reno mulai bertanya, berusaha bersikap bahwa mereka berteman.Wajah Endah yang sejak tadi datang penuh senyuman berubah. Reno tidak bisa mendeskripsikan keadaan itu. Ada ketidaksukaan juga kekecewaan di sana
Adit mengusap wajahnya dengan kasar. Ia mondar-mandir selama beberapa saat sebelum duduk lagi di depan Reno.“Kamu harusnya tidak mengatakan itu pada Endah!” seru Adit berang.Reno sama sekali tak bereaksi. Ia duduk tenang sambil memandangi wajah Adit yang telah berubah warna menjadi merah padam.“Kenapa diam saja? Katakan sesuatu!” Kali ini Adit merangsek maju, memegang kerah baju Reno.Jika masih tak ada penjelasan terkait kejadian yang tidak menguntungkan ini, maka Adit tak akan segan-segan melayangkan tinju.Reno melepaskan kedua tangan Adit yang mengenggam keras kerah bajunya. “Lalu aku harus jadi penipu sepertimu?”Reno menatap tajam, tepat ke pupil Adit. Ia sama sekali tak berkedip selama beberapa saat. Napasnya juga teratur, tidak ada emosi dalam pembawaannya.“Apa maksudmu?” Suara Adit yang tadi meninggi kini lemah.Ia merasa tertampar di tempat yang seharusnya. Adit menj