Sekarang, aku terduduk sendiri di dalam rumah, merenung dan berpikir akan apa langkah yang harus kuambil berikutnya. Mas Revan tak bisa dibiarkan terus, sementara aku juga tak mau rumah tanggaku berakhir dengan kehancuran. Aku ingin sekali membuat satu kisah seorang wanita yang menang mempertahankan suaminya dari godaan pelakor.
Tapi, bayang semalam kemesraan mereka kembali teringat di pelupuk mataku. Bagaimana mereka tertidur pulas dalam keadaan saling memeluk, kaki mereka saling tumpang tindih menunjukkan betapa tak terpisahkannya hubungan mereka dan kedua manusia itu layaknya padangan romantis yang sedang dimabuk cinta. Tanpa bisa dicegah hati ini seolah disulut api, terbakar panas oleh cemburu dan sakit hati.Semakin kutelisik semakin tak habis pikir bagaimana bisa Mas Revan tidak menimbang perasaan dan pengorbananku selama ini. Bagaimana pun, aku sudah mewakafkan hidupku untuk memberikan pengabdian padanya, teganya dia menukar cinta dengan pengkhianatan dan kenikmatan sesaat, kurang puaskah dia denganku? Lantas jika ini hanya tentang cinta yang tak bisa bisa dia lupakan setidaknya, sesekali dia harus menoleh ke belakang untuk menatapku, aku mencintainya dan sepenuh hati menunggu perasaan itu untuk terbuka sadar.Tanpa terasa air mataku tumpah, hatiku perih tak terperi, kupandangi setiap sudut rumah dan foto kami yang terpampang di sana. Foto liburan dan keluarga, semuanya nampak ceria seakan Mas Revan tidak sedang bersandiwara mencintaiku.Lama kelamaan aku mulai tak tahan, sebuah vas bunga berisi mawar dengan tangkai panjang yang cantik di atas meja yang jadi pusat rumah kami, kuambil kasar lalu kuhempaskan ke dinding.Prang!Vas tinggi yang terbuat dari kaca itu pecah berkeping-keping, seakan menggambarkan betapa hancurnya aku. Air mataku tak terbendung, aku mulai menangis tersedu, berteriak dan merutuki suamiku. Untungnya anak anak sedang di sekolah sehingga aku leluasa menumpahkan perasaan yang ada."Teganya kamu!" Aku melempar foto suamiku dengan pecahan vas hingga bingkai itu jatuh dan ikut pecah.Bersamaan dengan amukanku, tiba tiba Mas Revan datang. Dia membuka pintu dan kaget mendapati diri ini duduk lantai dengan lunglai."Amaira, apa yang terjadi?""Bisanya kau bertanya apa yang terjadi," ucapku dingin. Tak kupandangi wajahnya karena aku sudah sangat sakit hati dan kecewa. Kupakingkan muka meski dia kini menjongkok untuk membujukku."Amaira, aku tahu, kau sangat murka, aku minta maaf sekali," ucap pria itu sambil mencoba membelai rambutku yang jatuh ke wajah."Singkirkan tanganmu, kau tak berhak menyentuhku," ujarku menepis kasar. Tak pernah sekali pun dalam hidupku marah atau berteriak pada pria yang kuanggap lelaki terbaik ini. Tapi, sekarang, aku kehilangan kesabaranku.Pria itu tak punya jawaban untuk kemarahanku, dia mendesah pelan sambil tetap pada posisinya."Tidakkah kau pikirkan betapa sakit hatiku, betapa kecewanya aku yang tiap hari menunggumu pulang membawa cinta dan kesetiaan tapi balasannya ... Kau selalu dan selalu bertemu mantan. Tidak bisakah wanita itu pergi untuk sesaat saja di antara kita?!"Lelakiku tentunduk, dia terlihat merasa bersalah tapi di skala yang masih tidak bisa dikatakan bertobat. Dia terdiam melihatku tersedu, tercenung melihatku yang melampiaskan segala kesedihan tanpa ada bantuan sedikit pun darinya."Ah, benar benar ....""Aku harus ke kantor," ucapnya lirih. Dia bangun lalu naik ke kamar."Harus dibawa kemana hubungan ini, apakah aku akan diam saja selamanya, menyaksikan kamu yang bermain cinta dan bahagia di belakangku."Sesaaat ucapanku menghentikan laju langkahnya."Jika kau hanya menikahiku untuk status saja, mengapa kau lakukan itu, sementara aku berharap bahagia dan dicintai olehmu, kenapa kau jahat sekali, Mas.""Kegelisahanmu bisa kumaklumi, aku minta maaf. Aku sudah bersama ailen jauh sebelum kita bertemu, wanita itu baik dan cintanya sama sepertimu."Lihatlah, sekali lagi dia memuji wanita itu dengan segala ucapan yang menyesakkan hatiku, jujur aku geram sekali mendengarnya."Apa yang kau maklumi, andai kau paham sesuatu, semua itu tak akan terjadi.""Fine, Amaira. Aku minta maaf, jika kau sungguh mencintaiku dan tetap ingin jadi istriku maka tolong maafkan dan beri aku kesempatan, tapi jika tidak, maka kau boleh lakukan sesukamu. Bukankah pagi tadi kau sudah dapatkan hak rumah dan mobil, kau juga mengancamku," ucap pria itu dengan lagak seakan dia korban kejahatanku"Lalu aku harus bagaimana!"Prak!Psepati hak sedang yang kukenakan terlempar dan nyaris mengenai wajahnya, pria itu syok dan kaget sekali."Tolong lihat aku dari sudut pandang ku sebagai istri yang dikecewakan, kau hanya mementingkan dirimu!" teriakku.Pria berhati dingin itu tak menjawabku, dia hanya membalikkan badan dan langsung naik ke atas. see, tidak ada penyelesaian kan? Pria itu terlaku takut menetapkan pilihan.Meski hati ini terasa luka, tapi aku tetap bangkit dan menelpon asisten rumah tangga, memintanya segera datang untuk membereskan rumah. Lantas, kusiapkan sarapan untuk lelaki pengkhianat yang sudah merusak hidup dan perasaanku.Meski aku sangat kecewa dan cinta yang kupupuk berganti jadi kebencian aku tetap menunaikan tanggung jawab sebagai istri yang baik, aku tetap menyiapkan untuknya sarapan dan secangkir kopi."Sarapanlah dulu sebelum kau pergi," ucapku tanpa menatapnya. Kulanjutkan kegiatan di dapur tanpa menoleh sedikit pun.Sakit rasanya perasaanku tapi kewajiban menahan diri ini untuk bersikap lebih jauh."Apa memberimu uang kompensasi dan harta akan membuatmu tak dendam padaku?"To the point sekali dia, tapi sayang dia meremehkanku, dia merasa bahwa dengan uang segala sesuatu bisa dibeli, dia bisa memerintahku, mengatur hidupku termasuk membeli kepala dan harga diriku tanpa memikirkan perasaan ini. Merasa hebat sekali dia!"Apa menurutmu uangmu bisa membeli harga diriku?""Se
Meski hati ini terasa luka, tapi aku tetap bangkit dan menelpon asisten rumah tangga, memintanya segera datang untuk membereskan rumah. Lantas, kusiapkan sarapan untuk lelaki pengkhianat yang sudah merusak hidup dan perasaanku.Meski aku sangat kecewa dan cinta yang kupupuk berganti jadi kebencian aku tetap menunaikan tanggung jawab sebagai istri yang baik, aku tetap menyiapkan untuknya sarapan dan secangkir kopi."Sarapanlah dulu sebelum kau pergi," ucapku tanpa menatapnya. Kulanjutkan kegiatan di dapur tanpa menoleh sedikit pun.Sakit rasanya perasaanku tapi kewajiban menahan diri ini untuk bersikap lebih jauh."Apa memberimu uang kompensasi dan harta akan membuatmu tak dendam padaku?"To the point sekali dia, tapi sayang dia meremehkanku, dia merasa bahwa dengan uang segala sesuatu bisa dibeli, dia bisa memerintahku, mengatur hidupku termasuk membeli kepala dan harga diriku tanpa memikirkan perasaan ini. Merasa hebat sekali dia!"Apa menurutmu uangmu bisa membeli harga diriku?""Se
Harusnya, aku tak perlu merasa rendah diri di hadapan wanita di hati Mas Revan. Dia hanya simpanan, wanita yang diam diam berselingkuh, menggunakan cara kotor untuk menggoda suami orang, tidak punya kehormatan dan tidak tahu diri. Mengapa aku harus merasa sedih dan kecil hati. Mengapa juga aku harus merasa dikalahkan oleh manusia hina sepertinya.Dia memang cantik, sukses secara karir dan mandiri. Tapi untuk merebut Mas Revan dari tanganku, akankah dia akan gunakan segala cara dan aku akan bertahan dengan hantaman gangguannya? Allahu Akbar. Kuatkan aku Tuhan.*Siang, sekitar pukul dua, kujemput anakku di sekolah. Biasanya, mereka akan pulang dan sudah menunggu di depan gerbang."Permisi Pak,"sapaku pada satpam penjaga, dia sudah mengenalku sebagai Mami Rian dan Rissa."Oh Nyonya, tadi anak anak sudah dijemput."Deg. Perasaanku mulai tak nyaman."Sama siapa?""Seorang wanita cantik dengan mobil putih, Nyonya.""Dia tak sebutkan namanya?""Dia cantik, tinggi semampai dan rambutnya se
Pukul delapan malam, Mas Revan kembali ke rumah. Tampilan suamiku yang pagi tadi sangat rapi dengan dasi yang terpasang sempurna kini terlihat lusuj dengan kemeja yang sudah berantakan dan tidak berada di balik lipatan ikat pinggangnya.Diletakkannya sepatu di dekat bufet dan kunci mobil di atas lemari kecil depan ruang tamu kami. Melihatku yang duduk di sofa ruang tivi Mas Revan hanya tersenyum. Langkahnya sedikit oleng dan wajahnya memerah.Sepertinya dia sedang mabuk."Apa kau minum, Mas?""Ya, sedikit, ada party kecil dengan kawan bisnis, aku tak bisa menolak tawaran minum dari mereka." Pria itu menjawab sambil berjalan sempoyongan ke kamar."Pesta di mana?" cecarku mengikutinya, aku tak percaya dia pesta di hari kerja, bukannya di akhir pekan."Di hotel bintang lima," jawabnya asal.Baiklah, aku tak perlu bertanya lebih lanjut, aku sudah mengambil kesimpulan bahwa dia baru saja bersama Ailen kekasihnya. Di hotel bintang lima? Oh, sudahlah jangan ditanya apa kegiatan mereka.
Malam yang biasanya kulalui dengan panjang kini terasa begitu singkat, begitu Mas Revan merangkul dan membenamkan wajahnya di belakang tengkukku. Entah kenapa aku sangat bahagia, terharu dan berharap pada Tuhan agar ini selalu terjadi, agar Allah memperbaiki semuanya dan membukakan pintu hati suamiku untuk sadar dan menyayangi kami.*Kicau burung dari pohon di samping rumah menyambut pagi, sinar mentari menembus gorden dan menerangi ranjang kami. Kubuka mata, sementara suamiku masih erat memeluk diri ini."Mas, aku mau bangun," ucapku pelan."Ah, i-iya, bangunlah."Perlahan dia mengerjap dan membuka mata menyadari bahwa semalam kami sudah begitu mesra, dalam satu selimut tanpa berjarak sehelai benang pun, dia menjadi kaget sendiri dan gugup. Suatu pemandangan yang cukup membuatku tersinggung dan tak nyaman. Di mana-mana, tidak ada suami yang kaget sudah meniduri istrinya. Sikapnya seakan kami baru sekali memadu asmara."Mandilah Mas, kamu harus ke kantor.""Jam berapa sekarang?""Ja
Rupanya, dia di sini di sela kesibukan kantornya, di sela pekerjaan yang menumpuk dan hectik, bisa bisanya dia menemui kekasihnya, makan siang bersama di dalam restoran mewah sambil bercanda dan saling menatap mata.Kini, melihatku berdiri dari jarak yang hanya beberapa meter pria itu terbelalak dan gugup. Dia terlihat minta izin dan segera ke luar menyusulku."Amaira? Kau di sini?""Iya, di sini, kebetulan belanja dan menemukanmu," jawabku dengan senyum tipis. Aku ingin sedih dan marah tapi aku tak tahu harus melepaskan emosi yang mana lebih dahulu.Kalau menuruti nafsu saja, sebenarnya tadi aku ingin masuk dan menyiram wajah Ailen dengan kopi panas, tapi jika kulakukan hal itu maka sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Suamiku akan semakin malu pada pengunjung yang ada, lalu pelakor itu aka pura pura lemah, menangis sehingga Mas Revan akan membelanya, aku akan semakin tersisihkan di Mata Mas Revan."Ayo pulang, aku akan mengantarmu," ucapnya sambil menarik bagian siku leng
Pukul 09.00 malam Mas Revan kembali ke rumah. Seperti biasa, dia selalu melewatkan interaksi dengan anak-anak, melewatkan masa emas untuk bertumbuh dan berbagi kasih sayang kepada kedua putra dan putrinya.Akhir-akhir ini dia memang lebih banyak waktu dengan Ailen selingkuhannya. Ya, wanita itu cinta pertamanya cinta yang mungkin sudah mengakar dan menjerat hatinya. Cinta yang tidak mampu ia tepis sampai penglihatannya kabur untuk menilai begitu besar pengorbanan dan cinta yang kuberikan.Bagaimanapun, sejak aku menerima perjodohan dan dia diikrarkan sebagai suamiku, aku telah mencintainya dan menerima dia sepenuh hatiku. Aku bertekad untuk melayaninya dan memberikan yang terbaik untuk keluarga. Aku benar-benar totalitas ingin menjaga dia dan anak-anak kami.Sering kudengar beberapa pertanyaan dari teman dekat dan keluargaku, kenapa aku terus saja bertahan. Kadang ada komentar miring yang mengatakan kalau aku tidak perlu susah payah mempertahankan rumah tangga demi kekayaan dengan
Satu jam kemudian lelaki itu tiba di rumah orang tuanya. Tampilannya yang rapi dan aroma tubuhnya yang wangi sudah tercium bahkan sebelum lelaki itu masuk ke pintu utama.Ketika tiba-tiba ia masuk dan mendekat ayah mertua langsung menyambutnya dengan amarah yang menggelegar."Apa yang kau lakukan! Sudah kubilang untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan keluargamu.""Apa yang papa bicarakan? Aku tak mngerti?""Sudah kubilang aku tidak setuju kau dekat-dekat dengan ailin, tapi sampai saat ini kamu masih saja berhubungan dengannya tanpa memperdulikan martabat dan perasaan istrimu."Mas Revan terhenyak dimarahi oleh ayahnya. Dia nampak malu pada ibunya tapi sekaligus kesal padaku karena aku sudah mengadu. Wajah lelaki itu merah padam menahan emosi tapi dia tetap berusaha diam di depan kedua orang tua yang dia hormati."Apa kurang baik kami mendidikmu, kurang baguskah kami menyekolahkanmu dan kurang puaskah kamu dengan harta yang sudah kau miliki?! Istrimu juga tidak kalah cantik deng