Share

3. vas bunga yang pecah

Sekarang, aku terduduk sendiri di dalam rumah, merenung dan berpikir akan apa langkah yang harus kuambil berikutnya. Mas Revan tak bisa dibiarkan terus, sementara aku juga tak mau rumah tanggaku berakhir dengan kehancuran. Aku ingin sekali membuat satu kisah seorang wanita yang menang mempertahankan suaminya dari godaan pelakor.

Tapi, bayang semalam kemesraan mereka kembali teringat di pelupuk mataku. Bagaimana mereka tertidur pulas dalam keadaan saling memeluk, kaki mereka saling tumpang tindih menunjukkan betapa tak terpisahkannya hubungan mereka dan kedua manusia itu layaknya padangan romantis yang sedang dimabuk cinta. Tanpa bisa dicegah hati ini seolah disulut api, terbakar panas oleh cemburu dan sakit hati.

Semakin kutelisik semakin tak habis pikir bagaimana bisa Mas Revan tidak menimbang perasaan dan pengorbananku selama ini. Bagaimana pun, aku sudah mewakafkan hidupku untuk memberikan pengabdian padanya, teganya dia menukar cinta dengan pengkhianatan dan kenikmatan sesaat, kurang puaskah dia denganku? Lantas jika ini hanya tentang cinta yang tak bisa bisa dia lupakan setidaknya, sesekali dia harus menoleh ke belakang untuk menatapku, aku mencintainya dan sepenuh hati menunggu perasaan itu untuk terbuka sadar.

Tanpa terasa air mataku tumpah, hatiku perih tak terperi, kupandangi setiap sudut rumah dan foto kami yang terpampang di sana. Foto liburan dan keluarga, semuanya nampak ceria seakan Mas Revan tidak sedang bersandiwara mencintaiku.

Lama kelamaan aku mulai tak tahan, sebuah vas bunga berisi mawar dengan tangkai panjang yang cantik di atas meja yang jadi pusat rumah kami, kuambil kasar lalu kuhempaskan ke dinding.

Prang!

Vas tinggi yang terbuat dari kaca itu pecah berkeping-keping, seakan menggambarkan betapa hancurnya aku. Air mataku tak terbendung, aku mulai menangis tersedu, berteriak dan merutuki suamiku. Untungnya anak anak sedang di sekolah sehingga aku leluasa menumpahkan perasaan yang ada.

"Teganya kamu!" Aku melempar foto suamiku dengan pecahan vas hingga bingkai itu jatuh dan ikut pecah.

Bersamaan dengan amukanku, tiba tiba Mas Revan datang. Dia membuka pintu dan kaget mendapati diri ini duduk lantai dengan lunglai.

"Amaira, apa yang terjadi?"

"Bisanya kau bertanya apa yang terjadi," ucapku dingin. Tak kupandangi wajahnya karena aku sudah sangat sakit hati dan kecewa. Kupakingkan muka meski dia kini menjongkok untuk membujukku.

"Amaira, aku tahu, kau sangat murka, aku minta maaf sekali," ucap pria itu sambil mencoba membelai rambutku yang jatuh ke wajah.

"Singkirkan tanganmu, kau tak berhak menyentuhku," ujarku menepis kasar. Tak pernah sekali pun dalam hidupku marah atau berteriak pada pria yang kuanggap lelaki terbaik ini. Tapi, sekarang, aku kehilangan kesabaranku.

Pria itu tak punya jawaban untuk kemarahanku, dia mendesah pelan sambil tetap pada posisinya.

"Tidakkah kau pikirkan betapa sakit hatiku, betapa kecewanya aku yang tiap hari menunggumu pulang membawa cinta dan kesetiaan tapi balasannya ... Kau selalu dan selalu bertemu mantan. Tidak bisakah wanita itu pergi untuk sesaat saja di antara kita?!"

Lelakiku tentunduk, dia terlihat merasa bersalah tapi di skala yang masih tidak bisa dikatakan bertobat. Dia terdiam melihatku tersedu, tercenung melihatku yang melampiaskan segala kesedihan tanpa ada bantuan sedikit pun darinya.

"Ah, benar benar ...."

"Aku harus ke kantor," ucapnya lirih. Dia bangun lalu naik ke kamar.

"Harus dibawa kemana hubungan ini, apakah aku akan diam saja selamanya, menyaksikan kamu yang bermain cinta dan bahagia di belakangku."

Sesaaat ucapanku menghentikan laju langkahnya.

"Jika kau hanya menikahiku untuk status saja, mengapa kau lakukan itu, sementara aku berharap bahagia dan dicintai olehmu, kenapa kau jahat sekali, Mas."

"Kegelisahanmu bisa kumaklumi, aku minta maaf. Aku sudah bersama ailen jauh sebelum kita bertemu, wanita itu baik dan cintanya sama sepertimu."

Lihatlah, sekali lagi dia memuji wanita itu dengan segala ucapan yang menyesakkan hatiku, jujur aku geram sekali mendengarnya.

"Apa yang kau maklumi, andai kau paham sesuatu, semua itu tak akan terjadi."

"Fine, Amaira. Aku minta maaf, jika kau sungguh mencintaiku dan tetap ingin jadi istriku maka tolong maafkan dan beri aku kesempatan, tapi jika tidak, maka kau boleh lakukan sesukamu. Bukankah pagi tadi kau sudah dapatkan hak rumah dan mobil, kau juga mengancamku," ucap pria itu dengan lagak seakan dia korban kejahatanku

"Lalu aku harus bagaimana!"

Prak!

Psepati hak sedang yang kukenakan terlempar dan nyaris mengenai wajahnya, pria itu syok dan kaget sekali.

"Tolong lihat aku dari sudut pandang ku sebagai istri yang dikecewakan, kau hanya mementingkan dirimu!" teriakku.

Pria berhati dingin itu tak menjawabku, dia hanya membalikkan badan dan langsung naik ke atas. see, tidak ada penyelesaian kan? Pria itu terlaku takut menetapkan pilihan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status