Share

2. dengan tenangnya

"Apa yang kau lakukan di sini Amaira?"

"Melihatmu tidur, apa lagi?" jawabku santai.

"Lalu apa lagi?"

"Merekam sedikit video untuk dokumentasi dan senjata," jawabku.

"Apa rencanamu, pria yang masih terduduk di balik selimut bersama kekasihnya itu nampak saling memandang dalam kebingungan an kalut.

"Jangan panik, tenang aja, Aku tidak akan menghajarnya, kau hanya perlu memberiku sebuah kesepakatan maka semuanya akan baik-baik saja!" ucapku sambil melipat tangan di dada.

"Apa yang kau inginkan?"

"Tanda tangani ini, surat pernyataan bahwa kau menyetujui kepemilikan rumah dan dua unit mobil?"

"Hanya itu?"

"Tidak, tidak semudah itu. Aku juga harus mendapatkan jatah dua puluh persen dari keuntungan perusahan."

"Bukannya kau sudah dapatkan nafkah lebih dari cukup?" tanyanya terbelalak. "Tidak akan mudah memberimu bagian sebanyak itu kecuali kau punya saham!"

"Atau ... Akan kusebarkan video asyik kalian, tidur tanpa sehelai benang dengan wanita yang tidak halal untukmu, bagaimana? perusahaan dan semua orang akan heboh karena pemimpin yang selama ini adalah panutan dan mereka muliakan adalah orang yang sangat-sangat hina!"

"Tolong jangan Amaira, aku khilaf."

"Masak khilaf bertahun tahun, Mas. Tahu tidak bahwa selama ini aku menyimak kelakuanmu? aku mencoba bersabar dan menahan perasaanku. Kupikir dengan bersikap baik maka kau akan tersentuh dan menghargai pengorbananku, tapi tetap saja, kau tak pernah berubah. Sekarang aku lelah, jadi, tanda tangani surat persetujuan di atas materai, maka semuanya akan beres."

Pria yang tak berbaju itu nampak masih syok dan tegang, dia tahu persis dalam sikap yang kutahan ini ada kemarahan yang siap meledak. Aku tahu dia tak takut padaku, tapi, untuk kali ini, rasanya semuanya berbeda, dia agak tegang dan cemas.

"Kenakanlah pakaianmu," ucapku santai, sambil menopang kakiku di atas lutut, kulempar baju ke wajah Mas Revan sedang si jalang itu hanya terdiam sambil menutupi tubuhnya dengan selimut, dia tertunduk sehingga rambutnya yang panjang menutupi wajah.

Perlahan suamiku turun dari tempat tidur tubuhnya yang tidak terbalut sehelai benang pun membuatku jijik membayangkan berapa ronde dia melakukannya dan betapa semangatnya dia dengan perselingkuhan itu.

Sebenarnya, ada rasa sedih dan gejolak yang memaksa netra ini untuk melelehkan butiran bening, aku gemetar, jantungku berdebar, ada dorongan di lutut ini untuk segera bangun dan menyerang mereka, tapi, aku harus mengendalikan diri. Tentu saja rasa kecewa dan sakit ini sangat besar, tidak bisa kugambarkan besarnya, hatiku porak poranda dan meski sudah tahu dari awal, sakitnya tetap saja seburuk ini.

Perlahan Mas Revan mengenakan kemeja dan celana jeans yang baru kemarin kusetrika untuknya. Menyakitkan sekali ketika memikirkan bahwa aku yang siapkan pakaian, tapi orang lain yang buka dan pakaikan, aku yang buatkan bekal tapi orang lain yang suapkan, sakit dan perih sekali, seperti luka yang disiram cuka.

"Berikan kertasnya," ucap Mas Revan mengulurkan tangan, ada wajah benci dan gestur yang menginginkan agar aku segera pergi dari tempat itu. Tentu saja dia ingin merasa nyaman bersama kekasihnya yang cantik. Mantan terindahnya.

"Ini dia, tanda tangani, bukankah tidak akan sulit ya? Kau kaya, kau bisa beli puluhan rumah setelah ini," ucapku menyindir.

"Diamlah," ucap Mas Revan sambil membaca kertas.

"Dan mantan terindahmu ini ... wow, aku tak pernah menyangka kalian akan seawet ini ya. Benar juga kata orang, tidak ada mantan terindah, karena yang terindah tak akan pernah jadi mantan, sayangnya keindahan yang kalian renda adalah keindahan yang haram," ucapku sambil tertawa getir.

Wanita itu terdiam, aku tahu jurus paling jitu untuk seorang perebut adalah bersikap seolah dia adalah korban yang lemah dan dizholimi, Jika dia melawanku maka simpati suamiku akan beralih kepada istri pertamanya dan tentu saja pelakor itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.

"Ya, playing victimlah sampai air laut kering, aku tak masalah, karena yang namanya wanita penghibur tak akan pernah mendapatkan hak dan bagian seperti wanita sah yang diakui dunia." Kusambar kertas yang baru saja di tanda tangani Mas Revan sementara dia mendongak ke arahku, mencoba menelisik apakah aku hancur atau tidak. Meski benar aku terluka, tapi, aku tak mau menunjukkannya.

Mataku memang berkaca kaca, tapi aku tak akan meluruhkan air mata di hadapannya.

"Aku akan pergi, jangan lupa untuk segera berangkat kerja," ucapku sambil meninggalkan tempat itu.

"Dan kau Ailen ... aku ucapkan selamat karena derajat pelakormu sangat tinggi, kau memang benalu senior dalam kehidupan orang lain."

Kututup pintu, melangkah pulang dengan hati remuk redam. Aku mungkin bisa melampiaskan kemarahan tapi tempat dan waktunya tidak tepat. Aku tidak bisa mempermalukan diriku sendiri diantara tamu dan para staff hotel. Bagaimanapun Mas Revan masih terhubung padaku jadi dia masih berstatus suamiku alangkah buruknya kejadian berikutnya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Setyowati Soebroto
bagus..good job
goodnovel comment avatar
Riski ansha Ansha
semangat jangan kasih ampun si pelakor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status