"Apa yang kau lakukan di sini Amaira?"
"Melihatmu tidur, apa lagi?" jawabku santai."Lalu apa lagi?""Merekam sedikit video untuk dokumentasi dan senjata," jawabku."Apa rencanamu, pria yang masih terduduk di balik selimut bersama kekasihnya itu nampak saling memandang dalam kebingungan an kalut."Jangan panik, tenang aja, Aku tidak akan menghajarnya, kau hanya perlu memberiku sebuah kesepakatan maka semuanya akan baik-baik saja!" ucapku sambil melipat tangan di dada."Apa yang kau inginkan?""Tanda tangani ini, surat pernyataan bahwa kau menyetujui kepemilikan rumah dan dua unit mobil?""Hanya itu?""Tidak, tidak semudah itu. Aku juga harus mendapatkan jatah dua puluh persen dari keuntungan perusahan.""Bukannya kau sudah dapatkan nafkah lebih dari cukup?" tanyanya terbelalak. "Tidak akan mudah memberimu bagian sebanyak itu kecuali kau punya saham!""Atau ... Akan kusebarkan video asyik kalian, tidur tanpa sehelai benang dengan wanita yang tidak halal untukmu, bagaimana? perusahaan dan semua orang akan heboh karena pemimpin yang selama ini adalah panutan dan mereka muliakan adalah orang yang sangat-sangat hina!""Tolong jangan Amaira, aku khilaf.""Masak khilaf bertahun tahun, Mas. Tahu tidak bahwa selama ini aku menyimak kelakuanmu? aku mencoba bersabar dan menahan perasaanku. Kupikir dengan bersikap baik maka kau akan tersentuh dan menghargai pengorbananku, tapi tetap saja, kau tak pernah berubah. Sekarang aku lelah, jadi, tanda tangani surat persetujuan di atas materai, maka semuanya akan beres."Pria yang tak berbaju itu nampak masih syok dan tegang, dia tahu persis dalam sikap yang kutahan ini ada kemarahan yang siap meledak. Aku tahu dia tak takut padaku, tapi, untuk kali ini, rasanya semuanya berbeda, dia agak tegang dan cemas."Kenakanlah pakaianmu," ucapku santai, sambil menopang kakiku di atas lutut, kulempar baju ke wajah Mas Revan sedang si jalang itu hanya terdiam sambil menutupi tubuhnya dengan selimut, dia tertunduk sehingga rambutnya yang panjang menutupi wajah.Perlahan suamiku turun dari tempat tidur tubuhnya yang tidak terbalut sehelai benang pun membuatku jijik membayangkan berapa ronde dia melakukannya dan betapa semangatnya dia dengan perselingkuhan itu.Sebenarnya, ada rasa sedih dan gejolak yang memaksa netra ini untuk melelehkan butiran bening, aku gemetar, jantungku berdebar, ada dorongan di lutut ini untuk segera bangun dan menyerang mereka, tapi, aku harus mengendalikan diri. Tentu saja rasa kecewa dan sakit ini sangat besar, tidak bisa kugambarkan besarnya, hatiku porak poranda dan meski sudah tahu dari awal, sakitnya tetap saja seburuk ini.Perlahan Mas Revan mengenakan kemeja dan celana jeans yang baru kemarin kusetrika untuknya. Menyakitkan sekali ketika memikirkan bahwa aku yang siapkan pakaian, tapi orang lain yang buka dan pakaikan, aku yang buatkan bekal tapi orang lain yang suapkan, sakit dan perih sekali, seperti luka yang disiram cuka."Berikan kertasnya," ucap Mas Revan mengulurkan tangan, ada wajah benci dan gestur yang menginginkan agar aku segera pergi dari tempat itu. Tentu saja dia ingin merasa nyaman bersama kekasihnya yang cantik. Mantan terindahnya."Ini dia, tanda tangani, bukankah tidak akan sulit ya? Kau kaya, kau bisa beli puluhan rumah setelah ini," ucapku menyindir."Diamlah," ucap Mas Revan sambil membaca kertas."Dan mantan terindahmu ini ... wow, aku tak pernah menyangka kalian akan seawet ini ya. Benar juga kata orang, tidak ada mantan terindah, karena yang terindah tak akan pernah jadi mantan, sayangnya keindahan yang kalian renda adalah keindahan yang haram," ucapku sambil tertawa getir.Wanita itu terdiam, aku tahu jurus paling jitu untuk seorang perebut adalah bersikap seolah dia adalah korban yang lemah dan dizholimi, Jika dia melawanku maka simpati suamiku akan beralih kepada istri pertamanya dan tentu saja pelakor itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan."Ya, playing victimlah sampai air laut kering, aku tak masalah, karena yang namanya wanita penghibur tak akan pernah mendapatkan hak dan bagian seperti wanita sah yang diakui dunia." Kusambar kertas yang baru saja di tanda tangani Mas Revan sementara dia mendongak ke arahku, mencoba menelisik apakah aku hancur atau tidak. Meski benar aku terluka, tapi, aku tak mau menunjukkannya.Mataku memang berkaca kaca, tapi aku tak akan meluruhkan air mata di hadapannya."Aku akan pergi, jangan lupa untuk segera berangkat kerja," ucapku sambil meninggalkan tempat itu."Dan kau Ailen ... aku ucapkan selamat karena derajat pelakormu sangat tinggi, kau memang benalu senior dalam kehidupan orang lain."Kututup pintu, melangkah pulang dengan hati remuk redam. Aku mungkin bisa melampiaskan kemarahan tapi tempat dan waktunya tidak tepat. Aku tidak bisa mempermalukan diriku sendiri diantara tamu dan para staff hotel. Bagaimanapun Mas Revan masih terhubung padaku jadi dia masih berstatus suamiku alangkah buruknya kejadian berikutnya."Kau bertemu temanmu yang bernama Rudi itu?""iya," jawabku."kupikir kau akan bertemu dengan orang penting tapi ternyata kau hanya bertemu dengannya..." Mas Revan bersungut dengan cemberut sambil mendesahkan nafas dan menyandarkan punggungnya di kursi."Aku sedang membicarakan masalah bisnis dan restoran yang cukup strategis di dekat lokasi villa yang ada di daerah Timur kota ini. progress untuk bisnisnya cukup bagus hanya butuh sedikit investasi dan modal.""Aku suka kamu berbisnis tapi aku tidak sreg kau berbisnis dengannya.""kenapa?""ga suka aja.""ada alasan untuk segala sesuatu.""aku hanya tak nyaman.""Kau tak nyaman karena kau cemburu ataukah ada ketakutan lain, jika kau merasa bahwa lelaki itu akan menipuku itu tidak akan terjadi karena dia adalah sahabatku sejak lama, dia tidak akan lari kemana-mana karena jika dia melakukan kecurangan, aku pasti akan menghukumnya.""lelaki itu cukup tampan dan aku tidak mau terjadi fitnah dalam keluargaku.""bicara tentang ketampanan da
**di kantor, di jam istirahat."aku izin untuk keluar 1 jam makan siang dengan temanku.""siapa?""temanku., Kami ingin membicarakan bisnis. Apa kau membutuhkan detail setiap orang yang aku temui atau haruskah kau mengirimkan satu asisten bersamaku agar bisa melaporkan segalanya padamu?""kenapa perkataanmu terdengar sentimental?" suamiku mulai memasang wajah gusar dan kesal. "aku hanya khawatir bahwa kau mencurigai beberapa temanku padahal orang-orang yang aku temui adalah orang-orang yang tempo hari selalu bersamaku. mereka adalah teman-teman biasa teman arisan, sosialita dan beberapa teman bisnis.""tidak, jangan khawatir, pergilah.""terima kasih." aku melenggang keluar dari kantornya dengan santainya. Aku sengaja tidak memberitahu bahwa aku akan makan siang dengan sahabatku Rudi, mungkin sikapku terlampau egois ataukah aku memang sengaja untuk menguji sejauh apa dia mencintaiku dan cemburu dengan itu. aku tahu bahwa aku cemburuannya akan menciptakan prahara, tapi selagi aku t
"Eh, suamimu cemburuan juga ya...."sahabatku Rudi yang sudah kuambil kontaknya tiba tiba mengechat dan bicara begitu."hahaha, abaikan saja.'"Naluri laki-laki memang merasa tertantang saat melihat orang lain menunjukkan ketertarikan dan kekagumannya secara langsung pada istri mereka. tapi aku tak menyangka kalau suamimu menunjukkannya dengan gamblang.""sudahlah, kau pun jangan merasa ditantang dengan sikapnya.""Buat apa... kalau aku ingin merebut orang maka aku akan melakukannya dengan cepat. Kau juga salah tahu ga sih.""salahku apa?""kau terlalu cantik di usiamu itu, malah kalau jalan dengan anakmu kau pasti dikira kakaknya.""Hei, aku baru empat puluhan.""Tapi kau berjuang sejak menikah dengan Revan, siapa yang tak tahu reputasi pria itu. kami para sahabatmu merasa geram dengan perlakuan dan perselingkuhan yang berlangsung selama belasan tahun itu. Heran ya, kenapa kamu bisa tahan.""demi keluarga.""demi keluarga apa demi uang?""dua duanya." aku meletakkan emot senyum di be
sekarang kami duduk di sebuah kedai minuman di pinggir pantai sambil tertawa dan bercengkrama bercerita tentang masa lalu di tahun 90-an, aku dan sahabatku itu banyak mengenal masa-masa konyol di saat kami masih SMA dulu. "Aku pernah dengar kalau istriku dan para sahabat-sahabatnya membicarakan tentang pria bernama Rudi. Tak kusangka Kalau hari ini aku bertemu denganmu secara langsung." Mas Revan mengaduk minumannya lalu meresapnya."oh ya? benarkah, kau sering membicarakanku dengan sahabat-sahabat kita?"aku melirik suamiku dan segera menggeleng cepat dan itu membuat mereka berdua, kedua lelaki itu tertawa padaku."kau tampan juga ya Rudi, ngomong-ngomong Apa usaha yang kau jalani...""aku menjalankan bisnis batubara milik keluarga di Kalimantan. by the way, kau juga tampan dan punya Aura seorang pemimpin yang hebat."suamiku hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya lalu berkedip kepada diri ini dan menunjukkan betapa hebatnya dia dapat pujian dari orang-orang di sekitarku.sok
Dua tahun berikutnya saat anak-anak sudah mulai lulus SMA dan Risa duduk di bangku kelas dua. aku dan suamiku menjalani kehidupan yang bahagia tanpa gangguan dari siapapun tidak pernah mendengar lagi kabar tentang Ailin atau perintilan tentang hidupnya.Aku merasakan ketentraman dan kedamaian menikmati peranku sebagai ibu rumah tangga sekaligus orang yang berwenang dalam perusahaan ayah mertua. ayam mertua yang saat ini sudah sepuh mulai sakit-sakitan sehingga aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak di rumahnya, suami lebih aktif dengan kegiatan bisnisnya Karena sekarang tumpuan harapan dan satu-satunya penggerak roda perusahaan hanya dia, hanya dia yang diambil keputusannya dan menjadi acuan banyak orang untuk bertindak.ayah mertua sudah menyerahkan segalanya kepada kami dan tidak lagi ambil bagian dalam keputusan perusahaan. "mau kuliah di mana setelah lulus?" tanya kakeknya pada Rian anak sulung kami."ingin kuliah bisnis manajemen di Australia kek atau bila memungkin
Mungkin ini bab terakhir saat aku ingin menceritakan hidupku yang penuh kebahagiaan tanpa kehadiran orang ketiga dalam Rumah tanggaku.Setelah beberapa tahun berlalu kami menjalani dengan penuh kebahagiaan dan keharmonisan itu mengalami perubahan drastis dalam kehidupan dan karirnya.Tanpa sengaja aku mendapati kabar itu ketika aku arisan besar-besaran para sosialita di kota ini. Aku tergabung di sana karena mendapatkan undangan dari istri seorang direktur perusahaan minyak, sekaligus kebetulan mengenal istri gubernur. Mereka mereka mengundangku dan menjadikan aku sebagai anggota organisasi mereka di mana aku mengikuti banyak kegiatan dan arisan. "Kau kenal wanita bernama Airin yang dulu bekerja di perusahaan mertuamu?" Tanya Mbak Fika seorang pebisnis batubara."Namanya cukup familiar," jawabku mencoba untuk bersikap normal dan mengabaikan fakta bahwa orang yang sedang ditanyakan adalah mantan kekasih suamiku.""Aku mengagumi bagaimana kau menyikapi wanita itu saat dia masih bersam