"Maaf Sayang jika Mas harus pergi keluar kota, Mas janji akan cepat kembali," ucap Hanan sembari mengeratkan pelukannya pada Naya sang istri. Naya pun membalas pelukan Hanan dengan erat juga. Setelah puas memeluk istrinya perlahan Hanan melepas pelukannya dan mengecup kening Naya sebelum dia beranjak pergi.
Naya dan juga Hanan pasangan suami istri yang sudah menikah selama sepuluh tahun, tetapi mereka belum juga dikaruniai keturunan.
Segala macam pengobatan sudah mereka tempuh, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Mungkin memang belum saatnya mereka mendapat keturunan.
Sepuluh tahun berumah tangga, Hanan begitu mencintai Naya, tak pernah dipermasalahkan jika mereka belum mempunyai keturunan. Hanya Ratih, ibu Hanan yang selalu mendesak untuk diberikan cucu.
Pernah Ratih mencaci Naya karena dia tak kunjung juga hamil.***
"Sampai kapan Ibu harus menunggu kau hamil, Nay? Ibu sudah ingin menimang cucu?" tanya Ratih dengan suara sedikit meninggi.
"Maafkan aku, Bu. Kami sudah berusaha semampu kami, Bu, tapi memang Allah belum menitipkan anak untuk kami." Mata Naya berkaca-kaca menjawab sang mertua.
"Memang dasar kamu yang mandul, tidak becus menjadi istri, seharusnya Hanan tidak menikah denganmu, kamu istri tidak berguna!" maki Ratih sembari melangkah pergi meninggalkan Naya yang sedang bersedih.
***
Air mata Naya kembali menetes mengingat perlakuan sang mertua yang selalu menyalahkannya.
Naya melepas kepergian Hanan dengan mata berkaca-kaca, entah kenapa hatinya berat untuk melepas suaminya kali ini, padahal biasanya Hanan sudah sering pergi ke luar kota. Naya berdoa semoga saja Hanan kembali secepat mungkin agar hatinya tenang.Tak terasa sudah satu minggu sejak Hanan pergi, Naya berencana mengunjungi rumah sang mertua. Entah kenapa hatinya tergerak ingin ke sana.
Walaupun enggan Naya pun pergi ke rumah mertuanya itu. Ratih memang tak begitu menyukai Naya. Akan tetapi Naya yakin suatu hari nanti Ratih akan luluh dan membuka hati untuknya. Naya sadar, dia memang belum bisa memberikan cucu selama sepuluh tahun pernikahannya dengan Hanan, sehingga Ratih tidak suka padanya.
Setelah tiga puluh menit perjalanan Naya pun tiba, saat akan membuka pintu mobil, Naya melihat rumah ibu mertuanya nampak begitu ramai, penasaran Naya pun segera keluar dari mobil dan melangkah menuju pintu rumah.
"Saya terima nikah dan kawinnya Melisa binti Imran dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Deg.
Naya mendengar suara yang sangat dihafalnya, suara Hanan, suami yang sangat dicintainya.Naya mematung, membeku. Hatinya serasa dihujam belati. Dunia seakan runtuh menimpanya, penglihatannya pun mengabur seiring menetes air mata di pipinya.Naya tidak bisa menahan air mata melihat suaminya menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Tak sanggup menyaksikan terlalu lama, Naya pun pergi meninggalkan rumah tersebut.
Air mata Naya semakin luruh, sesak dadanya menahan perih, tidak menyangka suaminya tega menghianatinya seperti itu. Dia segera memacu mobil dengan kecepatan tinggi, sampai di rumah Naya menuju kamar. Dia menangis sejadi-jadinya seiring badannya jatuh ke lantai, Naya meringkuk meratapi penghianatan Hanan.
"Apa salahku padamu Mas, hingga tega kau mencurangiku?" Naya menangis tergugu, kecewa dan terluka. Hancur rasanya dunia tempatnya berpijak.
Perlahan Naya berdiri mengambil potret pernikahan mereka, dia memeluk erat dan dibawanya potret tersebut berbaring di ranjang dengan air mata yang semakin deras.
Suara adzan terdengar sayup-sayup di telinga Naya, tak terasa dia tertidur setelah lelah menangis. Naya bangun dengan mata sembab dan segera melangkah lemas ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Dia menunaikan kewajibannya sebagai muslimah, Naya kembali tersedu mengadu kepada Allah.
"Ya Allah tabahkanlah hatiku, iklaskan hatiku jika memang ini takdir yang telah Engkau tentukan, Ya Allah, bimbinglah hamba senantiasa berada di jalanMu Ya Allah." Air matanya tumpah, tak mampu menahan sesak di dadanya.
Mata Naya semakin sembab, kepalanya pening karena terlalu lama menangis. Dia melirik ponsel yang berdering, ada panggilan dari Hanan. Tak ada niat sama sekali untuk menjawab panggilan dari suaminya tersebut, Naya membiarkan ponselnya terus berdering. Banyak panggilan telfon dan pesan dari Hanan, untuk apa Hanan mengingat Naya jika hari ini adalah hari bahagianya dengan istri barunya. Apakah ingin menorehkan luka yang semakin dalam dan menganga?
Ponsel Naya terus saja berbunyi, dia jengah sekali mendengarnya. Segera dia mengambil ponsel tersebut.
[Sayang kenapa panggilan Mas tidak dijawab? Kamu baik-baik saja kan?] Naya membuka satu pesan dari Hanan.
[Nikmatilah hari bahagiamu, Mas. Jangan mengingatku lagi, jika di sampingmu sudah ada yang lain lagi.] Naya membalas dengan jemari bergetar, rasanya dia sudah tak sanggup untuk meneruskan lagi.
Ponsel Naya kembali berdering karena panggilan Hanan, Naya merasa tak kuasa menerima panggilan telfon dari Hanan. Bibirnya terasa kelu tak mampu berkata-kata.
[Sayang Mas akan jelaskan, percayalah Mas masih sangat mencintaimu, di hati Mas hanya ada kamu, tunggu Mas pulang Sayang.] Naya membuka kembali pesan Hanan.
[Jika memang mencintai kenapa menyakiti Mas?]
Naya langsung mematikan ponselnya tanpa menunggu balasan Hanan.Naya merasa kecewa dan terluka, jika Hanan mencintainya tidak mungkin dia tega menghianatinya dengan menikahi wanita lain. "Aku sakit Mas, sakit hatiku terlalu dalam. Tidak sanggup rasanya aku berbagi dengan yang lain."
Tubuh Naya letih, dia lelah menangis. Ingin rasanya dia memejamkan mata kembali.
Naya berjalan gontai menuju pembaringan, dia merebahkan tubuhnya di ranjang mencoba memejamkan mata, berharap semua hanya mimpi belaka.
Naya kembali terbangun kala mendengar suara adzan Subuh, dia beranjak dari kasur dan melangkah masuk kamar mandi. Dihidupkannya sower untuk mengguyur tubuhnya tanpa melepas pakaian. Kembali dia terisak mengingat Hanan, sakit hatinya sangat dalam hingga tak mampu lagi dia tahan air matanya.
Selang beberapa menit Naya mengakhiri mandi dan mengambil air wudhu, bergegas dia tunaikan sholat Subuh. Selesai sholat Naya meringkuk di atas sajadah, air matanya luruh kembali mengadu.
Setelah puas mengadu Naya beranjak mengambil ponsel, dihidupkan kembali ponsel tersebut. Ada banyak panggilan dan pesan masuk, sebagian banyak dari Hanan. Namun ada satu pesan yang membuatnya tertarik dari nomer yang tak dikenal.
[Mbak bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan.] Naya tak tahu siapa yang mengirim pesan tersebut. Tak dihiraukannya pesan itu.
[Tolong Mbak, kita butuh bicara tentang suami kita!] Kembali satu pesan masuk dari nomer yang sama, kini dia tau siapa pengirim pesan itu.
[Baiklah, temui aku di cafe nanti siang.] Naya membalas dengan enggan. Sungguh hatinya belum siap jika harus bertemu dengan wanita itu, tapi Naya hanya ingin tahu wanita seperti apa yang telah merusak rumah tangganya.
Naya keluar kamar menuju dapur, dia membuat sarapan dengan malas. Naya tidak tahu apakah dia bisa menelan sarapannya kali ini. Tapi Naya harus punya tenaga untuk bertemu wanita yang menjadi duri dalam rumah tangganya.
Naya tidak mau terlihat lemah di mata wanita itu. Dia tidak akan kalah dengannya apapun yang terjadi. Naya bertekad tidak akan meneteskan air matanya di depan wanita tersebut.
Naya ingin tahu kenapa wanita itu tega menghancurkan rumah tangganya. Menjadi duri dalam pernikahannya dengan Hanan.
Masih tersisa banyak waktu sebelum pertemuan mereka. Naya menyibukkan diri dengan bersih-bersih. Dia mencoba menenangkan hatinya sebelum pertemuan tersebut. Naya memutuskan harus tenang untuk menghadapinya.
Waktu menunjukan pukul sebelas, Naya mengirimkan pesan pada Melisa. Wanita itu bernama Melisa, Naya mengingat saat Hanan menyebutnya saat pernikahan mereka.
[Aku tunggu pukul satu di cafe sebrang.]
[Baiklah Mbak, terima kasih Mbak mau bertemu denganku.] Balas Melisa. Naya enggan sekali untuk membalas pesan dari Melisa. Dia pun membiarkan pesan tersebut tanpa membalasnya.
Waktu sudah menunjukan pukul satu siang, Naya pun segera bersiap menuju cafe tempatnya bertemu dengan Melisa.Naya memasuki cafe dengan hati berdebar setelah sampai, kakinya melangkah menuju tempat duduk di dekat jendela. Naya duduk sambil bermain ponsel sembari menunggu Melisa datang.Naya jengah, Melisa belum juga datang. Netranya memandang suasana cafe yang nampak masih sepi. Untunglah suasana sepi, Naya tidak terlalu nyaman jika tempat tersebut ramai di saat hatinya sedang gundah.Selang sepuluh menit seorang wanita masuk dan berjalan menuju ke arah Naya. Dia tak yakin apakah yang berjalan ke arahnya adalah Melisa atau bukan, karena Naya belum pernah bertemu dengan Melisa."Maaf Mbak, membuat Mbak menunggu lama," ucap Melisa menggeser kursi yang berhadapan dengan Naya.Naya terdiam memandangi Melisa dari atas sampai bawah, Melisa mengenakan gamis senada dengan hijab panjangnya. Naya akui Melisa cantik dan terlihat anggun. Naya pun bertanya-tany
Netra Naya seakan enggan sekali memejam, dilihatnya jam di atas nangkas sudah menunjukan pukul dua malam.Naya bangkit dari pembaringan, dilangkahkan kakinya menuju balkon. Dia duduk di kursi memandang gelapnya malam. Angin berhembus menerpa wajahnya, dingin terasa menusuk tulangnya.Naya termenung terngiang ucapan Melisa tentang ibu mertuanya. Tidak dia sangka mertuanya tega kepadanya, kurang apa Naya sebagai menantu. Tak pernah dia melawan apapun ucapan Ratih. Jika Ratih meminta sesuatu pun Naya akan selalu mengabulkannya tanpa mengeluh sedikit pun.Awal Naya menikah dengan Hanan, Ratih sangat baik padanya, tapi semua berubah setelah Naya tak kunjung juga hamil. Ratih berubah tidak menyukainya, bahkan Ratih sering sekali memaki ataupun menghina Naya.Udara dingin semakin menusuk, Naya memutuskan masuk kembali ke kamar. Dia berbaring di pembaringan, mencoba memejamkan matanya walaupun sulit.Adzan Subuh kembali membangunkan Naya, hanya satu jam di
Naya terbangun dan berlari menuju kamar mandi, dia merasakan perutnya bergejolak, mual ingin mengeluarkan isi di dalam perutnya, akan tetapi tak ada yang keluar saat dimuntahkan.Badannya terasa lemas tak bertenaga, dia mengingat kemarin hanya sempat sarapan sebelum Hanan datang, setelahnya tak dapat dia menelan apapun.Naya melangkah dengan lemas ke dapur dan membuat teh untuk menghangatkan perutnya. Setelah selesai dia menyesap teh hangat tersebut, dia sedikit lega mualnya berangsur berkurang.Malam semakin larut, ternyata dia tertidur setelah menangis sejak mengusir Hanan siang tadi. Matanya masih berat, ingin kembali memejam.Setelah mualnya mereda, Naya kembali ke kamar. Direbahkan kembali tubuhnya di ranjang, mungkin dengan beristirahat kembali mual yang dirasakannya akan menghilang dengan sendirinya.Namun menjelang Subuh mual yang dirasakannya semakin menjadi, bertambah lemas pula tubuhnya dan tak bertenaga. Naya pun memutuskan untuk
Hanan pulang dengan langkah gontai, setelah diusir oleh Naya. Hanan tahu kesalahannya tak bisa dimaafkan, tapi Hanan masih sangat mencintai Naya. Dia tidak mau kehilangan Naya apapun yang terjadi.Baktinya kepada Ratih sang Ibu membawa luka mendalam pada Naya, Hanan bingung harus bagaimana meminta maaf pada Naya.Hanan pun tahu semenjak dahulu Ibunya tak begitu suka pada istrinya itu, tapi Hanan tidak bisa meninggalkan Naya. Nayalah wanita pilihan Hanan, dia tidak ingin rumah tangganya dengan Naya berakhir.Dering ponsel Hanan menyadarkannya dari lamunan, dilihatnya ponsel tersebut. Lidahnya berdecak kala melihat siapa yang telah menelfonnya. Ternyata panggilan telfon tersebut dari Melisa. Hanan pun menjawab panggilan tersebut dengan malas."Assalamu'alaikum Melisa, ada apa?""Wa'alaikum salam Mas, kapan Mas pulang?" tanya Melisa dari ujung telfon."Aku belum tahu, aku sedang ingin sendiri," jawab Hanan sedikit jengah dengan pertanyaan Melis
Hanan terbangun setelah mendengar panggilan Ratih, dia beranjak turun dari pembaringan menuju pintu, dilihatnya sang ibu sedang resah di samping pintu."Ada apa, Bu?" tanya Hanan."Apakah Melisa ada di dalam kamar, Han?" Ratih balik bertanya tak menjawab pertanyaan Hanan."Tidak, Bu." Hanan mengernyitkan kening. Dia langsung tertidur begitu Melisa meninggalkannya. Tubuhnya yang lelah tidak memikirkan kepergian Melisa dari kamarnya."Kamu tahu Melisa pergi ke mana? Sudah larut malam dia belum juga pulang," tanya Ratih dengan gelisah."Aku tidak tahu, Bu. Aku baru saja tertidur tadi. Apakah Melisa tidak memberitahu Ibu dia pergi kemana?" jawab Hanan."Melisa tidak memberitahu Ibu akan pergi kemana, Ibu pikir dia hanya pergi ke supermarket sebentar, tapi hingga sekarang dia belum kembali. Cepat hubungi dia, Ibu takut Melisa kenapa-napa," desak Ratih mulai khawatir dengan Melisa."Baiklah, Bu." Hanan kembali masuk ke kamar mengambil ponselnya. Dicarinya nomer kontak Melisa, dan ditekannya
Semenjak mengetahui kehamilannya, Naya berusaha melupakan pengkhianatan Hanan padanya. Dia memutuskan harus kuat menghadapi masalah apapun demi calon bayinya.Naya kembali memulai aktivitasnya. Dia mencoba keluar dari keterpurukannya, bangkit dari rasa sakitnya, karena sekarang dia tidak hidup untuk dirinya sendiri ada calon bayi yang dikandungnya.Untungnya kehamilan Naya tidak banyak merepotkan, setelah pulang dari rumah sakit Naya tidak pernah mual lagi. Hanya porsi makannya saja yang semakin bertambah. Badannya pun menjadi semakin berisi sekarang.Naya selalu rutin cek kandungan untuk melihat perkembangan janinnya. Terkadang ada rasa sedih di hatinya saat melihat pasangan yang sedang mengantri memeriksakan kandungan istrinya. Ada sedikit rasa iri dihatinya melihat itu, dia juga sangat ingin memberitahu Hanan tentang kehamilannya.Dulu terbayang bagaimana bahagia harinya jika di kehamilannya yang pertama Naya akan selalu dimanja oleh Hanan. Dan setiap pergi untuk memeriksakan kandu
Tak terasa sudah hampir dua minggu sejak Naya mengusir Hanan, akan tapi Hanan tidak berusaha menemui Naya kembali. Naya berpikir mungkin Hanan sudah tidak ingin mempertahankannya lagi sekarang.Bukan Naya merindukan Hanan, tapi terkadang ada rasa ingin melihat sang suami, mungkin itu juga pengaruh dari kehamilannya. Naya tidak bisa mengontrol hatinya untuk tidak merindukan Hanan.Pesan masih sering dikirimkan oleh Hanan, tapi tak satu pun Naya membalasnya. Dia tak terlalu memikirkan kenapa sang suami tak kunjung menemuinya, dalam pikirannya entah hati Hanan sudah sepenuhnya dimiliki oleh Melisa atau belum.Cinta bisa datang karena terbiasa bersama, Naya tak mau menyalahkan Hanan jika memang dia sudah mencintai Melisa. Mungkin memang sudah takdir pernikahannya seperti ini.Naya mencoba ikhlas melepaskan beban di hatinya, dia cukup fokus pada kehamilannya saja sekarang.Hari cukup cerah saat Naya menunggu Dinda menjemputnya, karena sekarang Dinda yang selalu menjemput dan mengantarnya p
"Bu, ada yang ingin bertemu dengan Ibu." Dinda memasuki ruang kerja Naya setelah mengetuk pintu."Siapa, Din?" Naya mengernyitkan kening heran, siapa yang ingin bertemu dengannya."Seorang wanita yang tadi duduk di belakang Ibu," jawab Dinda."Melisa?" gumam Naya heran kenapa Melisa ingin bertemu dengannya. Apa lagi yang Melisa inginkan darinya, Naya benar-benar malas bertemu dengan Melisa lagi. Dari tadi Naya sudah menahan diri mendengar obrolan Melisa dan temannya. Kini Naya tak yakin bisa menahan dirinya jika bertemu dengan Melisa lagi."Bu, bagaimana? Apa Ibu ingin menemuinya atau tidak?" Pertanyaan Dinda menyadarkan Naya dari lamunannya."Bilang saja aku sedang sibuk dan tidak bisa digangu ya, Din. Aku capek ingin istirahat sebentar." Naya pun memutuskan untuk tidak menemui Melisa untuk sekarang."Baik, Bu." Dinda beranjak menuju pintu."Tunggu, Din! Kalau dia tetap ingin bertemu, sampaikan padanya jangan menggangguku." "Baik Bu, saya permisi." Dinda pun berlalu menemui Melisa.