Share

Aku Tidak Mandul, Mas!
Aku Tidak Mandul, Mas!
Penulis: Uci ekaputra

Awal Kecewa

"Maaf Sayang jika Mas harus pergi keluar kota, Mas janji akan cepat kembali," ucap Hanan sembari mengeratkan pelukannya pada Naya sang istri. Naya pun membalas pelukan Hanan dengan erat juga. Setelah puas memeluk istrinya perlahan Hanan melepas pelukannya dan mengecup kening Naya sebelum dia beranjak pergi.

Naya dan juga Hanan pasangan suami istri yang sudah menikah selama sepuluh tahun, tetapi mereka belum juga dikaruniai keturunan.

Segala macam pengobatan sudah mereka tempuh, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Mungkin memang belum saatnya mereka mendapat keturunan.

Sepuluh tahun berumah tangga, Hanan begitu mencintai Naya, tak pernah dipermasalahkan jika mereka belum mempunyai keturunan. Hanya Ratih, ibu Hanan yang selalu mendesak untuk diberikan cucu.

Pernah Ratih mencaci Naya karena dia tak kunjung juga hamil.

***

 "Sampai kapan Ibu harus menunggu kau hamil, Nay? Ibu sudah ingin menimang cucu?" tanya Ratih dengan suara sedikit meninggi.

"Maafkan aku, Bu. Kami sudah berusaha semampu kami, Bu, tapi memang Allah belum menitipkan anak untuk kami." Mata Naya berkaca-kaca menjawab sang mertua.

"Memang dasar kamu yang mandul, tidak becus menjadi istri, seharusnya Hanan tidak menikah denganmu, kamu istri tidak berguna!" maki Ratih sembari melangkah pergi meninggalkan Naya yang sedang bersedih.

***

Air mata Naya kembali menetes mengingat perlakuan sang mertua yang selalu menyalahkannya.

Naya melepas kepergian Hanan dengan mata berkaca-kaca, entah kenapa hatinya berat untuk melepas suaminya kali ini, padahal biasanya Hanan sudah sering pergi ke luar kota. Naya berdoa semoga saja Hanan kembali secepat mungkin agar hatinya tenang.

Tak terasa sudah satu minggu sejak Hanan pergi, Naya berencana mengunjungi rumah sang mertua. Entah kenapa hatinya tergerak ingin ke sana.

Walaupun enggan Naya pun pergi ke rumah mertuanya itu. Ratih memang tak begitu menyukai Naya. Akan tetapi Naya yakin suatu hari nanti Ratih akan luluh dan membuka hati untuknya. Naya sadar, dia memang belum bisa memberikan cucu selama sepuluh tahun pernikahannya dengan Hanan, sehingga Ratih tidak suka padanya.

Setelah tiga puluh menit perjalanan Naya pun tiba, saat akan membuka pintu mobil, Naya melihat rumah ibu mertuanya nampak begitu ramai, penasaran Naya pun segera keluar dari mobil dan melangkah menuju pintu rumah.

"Saya terima nikah dan kawinnya Melisa binti Imran dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." 

Deg.

Naya mendengar suara yang sangat dihafalnya, suara Hanan, suami yang sangat dicintainya.

Naya mematung, membeku. Hatinya serasa dihujam belati. Dunia seakan runtuh menimpanya, penglihatannya pun mengabur seiring menetes air mata di pipinya.

Naya tidak bisa menahan air mata melihat suaminya menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Tak sanggup menyaksikan terlalu lama, Naya pun pergi meninggalkan rumah tersebut.

Air mata Naya semakin luruh, sesak dadanya menahan perih,  tidak menyangka suaminya tega menghianatinya seperti itu. Dia segera memacu mobil dengan kecepatan tinggi, sampai di rumah Naya menuju kamar. Dia menangis sejadi-jadinya seiring badannya jatuh ke lantai, Naya meringkuk meratapi penghianatan Hanan.

 "Apa salahku padamu Mas, hingga tega kau mencurangiku?" Naya menangis tergugu, kecewa dan terluka. Hancur rasanya dunia tempatnya berpijak. 

Perlahan Naya berdiri mengambil potret pernikahan mereka, dia memeluk erat dan dibawanya potret tersebut berbaring di ranjang dengan air mata yang semakin deras.

Suara adzan terdengar sayup-sayup di telinga Naya, tak terasa dia tertidur setelah lelah menangis. Naya bangun dengan mata sembab dan segera melangkah lemas ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Dia menunaikan kewajibannya sebagai muslimah, Naya kembali tersedu mengadu kepada Allah.

"Ya Allah tabahkanlah hatiku, iklaskan hatiku jika memang ini takdir yang telah Engkau tentukan, Ya Allah, bimbinglah hamba senantiasa berada di jalanMu Ya Allah." Air matanya tumpah, tak mampu menahan sesak di dadanya.

Mata Naya semakin sembab, kepalanya pening karena terlalu lama menangis. Dia melirik ponsel yang berdering, ada panggilan dari Hanan. Tak ada niat sama sekali untuk menjawab panggilan dari suaminya tersebut, Naya membiarkan ponselnya terus berdering. Banyak panggilan telfon dan pesan dari Hanan, untuk apa Hanan mengingat Naya jika hari ini adalah hari bahagianya dengan istri barunya. Apakah ingin menorehkan luka yang semakin dalam dan menganga?

Ponsel Naya terus saja berbunyi, dia jengah sekali mendengarnya. Segera dia mengambil ponsel tersebut.

[Sayang kenapa panggilan Mas tidak dijawab? Kamu baik-baik saja kan?] Naya membuka satu pesan dari Hanan.

[Nikmatilah hari bahagiamu, Mas. Jangan mengingatku lagi, jika di sampingmu sudah ada yang lain lagi.] Naya membalas dengan jemari bergetar, rasanya dia sudah tak sanggup untuk meneruskan lagi.

Ponsel Naya kembali berdering karena panggilan Hanan, Naya merasa tak kuasa menerima panggilan telfon dari Hanan. Bibirnya terasa kelu tak mampu berkata-kata.

[Sayang Mas akan jelaskan, percayalah Mas masih sangat mencintaimu, di hati Mas hanya ada kamu, tunggu Mas pulang Sayang.] Naya membuka kembali pesan Hanan.

[Jika memang mencintai kenapa menyakiti Mas?]

Naya langsung mematikan ponselnya tanpa menunggu balasan Hanan. 

Naya merasa kecewa dan terluka, jika Hanan mencintainya tidak mungkin dia tega menghianatinya dengan menikahi wanita lain. "Aku sakit Mas, sakit hatiku terlalu dalam. Tidak sanggup rasanya aku berbagi dengan yang lain."

Tubuh Naya letih, dia lelah menangis. Ingin rasanya dia memejamkan mata kembali.

Naya berjalan gontai menuju pembaringan, dia merebahkan tubuhnya di ranjang mencoba memejamkan mata, berharap semua hanya mimpi belaka.

Naya kembali terbangun kala mendengar suara adzan Subuh, dia beranjak dari kasur dan melangkah masuk kamar mandi. Dihidupkannya sower untuk mengguyur tubuhnya tanpa melepas pakaian. Kembali dia terisak mengingat Hanan, sakit hatinya sangat dalam hingga tak mampu lagi dia tahan air matanya.

Selang beberapa menit Naya mengakhiri mandi dan mengambil air wudhu, bergegas dia tunaikan sholat Subuh. Selesai sholat Naya meringkuk di atas sajadah, air matanya luruh kembali mengadu.

Setelah puas mengadu Naya beranjak mengambil ponsel, dihidupkan kembali ponsel tersebut. Ada banyak panggilan dan pesan masuk, sebagian banyak dari Hanan. Namun ada satu pesan yang membuatnya tertarik dari nomer yang tak dikenal.

[Mbak bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan.] Naya tak tahu siapa yang mengirim pesan tersebut. Tak dihiraukannya pesan itu. 

[Tolong Mbak, kita butuh bicara tentang suami kita!] Kembali satu pesan masuk dari nomer yang sama, kini dia tau siapa pengirim pesan itu.

[Baiklah, temui aku di cafe nanti siang.] Naya membalas dengan enggan. Sungguh hatinya belum siap jika harus bertemu dengan wanita itu, tapi Naya hanya ingin tahu wanita seperti apa yang telah merusak rumah tangganya.

Naya keluar kamar menuju dapur, dia membuat sarapan dengan malas. Naya tidak tahu apakah dia bisa menelan sarapannya kali ini. Tapi Naya harus punya tenaga untuk bertemu wanita yang menjadi duri dalam rumah tangganya.

Naya tidak mau terlihat lemah di mata wanita itu. Dia tidak akan kalah dengannya apapun yang terjadi. Naya bertekad tidak akan meneteskan air matanya di depan wanita tersebut.

Naya ingin tahu kenapa wanita itu tega menghancurkan rumah tangganya. Menjadi duri dalam pernikahannya dengan Hanan.

Masih tersisa banyak waktu sebelum pertemuan mereka. Naya menyibukkan diri dengan bersih-bersih. Dia mencoba menenangkan hatinya sebelum pertemuan tersebut. Naya memutuskan harus tenang untuk menghadapinya.

Waktu menunjukan pukul sebelas, Naya mengirimkan pesan pada Melisa. Wanita itu bernama Melisa, Naya mengingat saat Hanan menyebutnya saat pernikahan mereka.

[Aku tunggu pukul satu di cafe sebrang.]

[Baiklah Mbak, terima kasih Mbak mau bertemu denganku.] Balas Melisa. Naya enggan sekali untuk membalas pesan dari Melisa. Dia pun membiarkan pesan tersebut tanpa membalasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status