Share

Pertemuan

Waktu sudah menunjukan pukul satu siang, Naya pun segera bersiap menuju cafe tempatnya bertemu dengan Melisa.

Naya memasuki cafe dengan hati berdebar setelah sampai, kakinya melangkah menuju tempat duduk di dekat jendela. Naya duduk sambil bermain ponsel sembari menunggu Melisa datang.

Naya jengah, Melisa belum juga datang. Netranya memandang suasana cafe yang nampak masih sepi. Untunglah suasana sepi, Naya tidak terlalu nyaman jika tempat tersebut ramai di saat hatinya sedang gundah.

Selang sepuluh menit seorang wanita masuk dan berjalan menuju ke arah Naya. Dia tak yakin apakah yang berjalan ke arahnya adalah Melisa atau bukan, karena Naya belum pernah bertemu dengan Melisa.

"Maaf Mbak, membuat Mbak menunggu lama," ucap Melisa menggeser kursi yang berhadapan dengan Naya.

Naya terdiam memandangi Melisa dari atas sampai bawah, Melisa mengenakan gamis senada dengan hijab panjangnya. Naya akui Melisa cantik dan terlihat anggun. Naya pun bertanya-tanya, kenapa wanita yang berpenampilan baik seperti Melisa tega merusak rumah tangga orang lain.

Lama mereka berdua bungkam, larut dalam pikiran masing-masing. Naya melihat Melisa mulai tak nyaman dengan keadaan tersebut.

"Mbak, perkenalkan aku Melisa," ucap Melisa sambil mengulurkan tangan.

Naya tak menyambut uluran tangan Melisa, dia enggan sekali untuk menjabat tangannya. Padahal selama ini Naya tidak pernah bersikap tidak sopan begini. Tetapi sekarang hatinya sedang tidak baik-baik saja, Naya tidak bisa menjadi seperti biasanya.

"Baiklah Mbak, jika Mbak tidak mau menjabat tanganku." Melisa menarik tangannya kembali dengan canggung.

"Sudahlah, jangan terlalu banyak basa basi, untuk apa kau memintaku untuk bertemu?" tanya Naya dingin. Naya sudah tidak sabar untuk tetap berhadapan dengan wanita yang telah merebut Hanan.

Melisa menghela nafas menjawab, "Aku ingin membahas tentang suami kita Mbak, Mas Hanan."

"Suami kita? Tak malukah kau menyebutnya suami kita, sedangkan aku tak pernah tau Mas Hanan menikahimu!" Naya geram melihat wajah polos Melisa.

"Mbak, bagaimanapun aku sudah sah menjadi istri Mas Hanan. Mbak terima atau tidak, tidak akan mengubah apapun." Melisa menjawab Naya dengan angkuhnya. Naya semakin benci sekali dengannya.

"Dalam pernikahan poligami, tidak harus ada ijin istri pertama Mbak. Aku hanya meniatkan ibadah untuk membangun rumah tangga," tambah Melisa tidak tahu malu.

"Tapi kau membangun rumah tanggamu di atas rumah tanggaku, sadarkah dirimu telah menyakitiku?" Naya mengepalkan tangan mencoba menahan emosi.

"Maafkan aku Mbak, aku juga ingin bahagia," tegas Melisa lirih.

Naya semakin geram dengan Melisa, dia benar-benar wanita egois dan tak tahu malu. "Benarkah? Apakah Mas Hanan mencintaimu hingga dengan bangganya kau menjadi istrinya?" Naya tersenyum miring.

"Memang Mas Hanan belum mencintaiku Mbak, tapi aku yakin Mas Hanan akan mencintaiku seiring berjalannya waktu," jawab Melisa dengan sombongnya.

Naya tertawa meremehkan Melisa, "Kau yakin akan hal itu, Melisa?".

"Aku yakin Mas Hanan akan mencintaiku, aku akan memberikan Mas Hanan keturunan, aku tahu selama sepuluh tahun pernikahan Mbak dengan Mas Hanan, Mbak tidak bisa memberikannya keturunan."

Netra Naya memanas mendengar ucapan Melisa. "Diam kamu! Apa hakmu berkata seperti itu?" teriaknya menggebrak meja.

Melisa terkejut Naya berteriak membentaknya. "Aku adalah istri Mas Hanan, Mbak. Tak banyak yang kuminta, aku hanya ingin Mbak mau membagi waktu Mas Hanan untukku." Melisa membalas Naya setelah tersadar dari keterkejutannya.

"Asal Mbak tahu saja, ibu Mas Hanan yang memintaku menikah dengan Mas Hanan. Ibu tau aku sudah lama memendam rasa pada Mas Hanan. Ibu mengharapkan seorang cucu dari Mas Hanan, dan Mbak tidak bisa memberikannya," tambahnya lagi membuat Naya muak.

Naya diam tak membalas perkataan Melisa, dia terlalu malas berdebat dengannya. Naya mengambil tas di sampingnya dan beranjak berdiri meninggalkan Melisa. Sudah tak kuasa rasanya Naya menahan diri.

Melihat Naya melangkah Melisa bergumam, "Sadarlah Mbak, kamu tidak bisa memberikan Mas Hanan keturunan, kamu mandul Mbak. Bahkan Mbak tidak bisa memberikan Mas Hanan kebahagiaan yang utuh."

Naya berhenti melangkah mendengar ucapan Melisa, Naya membeku menahan sesak perih di dadanya. Tega sekali Melisa mengucapkan kata-kata menyakitkan hati bagi wanita manapun. Bukankah dia juga seorang wanita, di mana hati nuraninya.

Naya kembali meneruskan langkahnya, ucapan Melisa menghujam hatinya, menambah luka yang belum mengering.

Naya tak menyangka jika sang mertualah yang ada di balik pernikahan Hanan dengan Melisa. Sebegitu bencinya Ratih padanya, sehingga Ratih menyuruh Hanan menikahi Melisa.

Naya melangkahkan kakinya tanpa menoleh ke arah Melisa sama sekali, dia muak melihat Melisa sok suci. Andai bisa ingin dia menampar wajah Melisa kala memakinya mandul. Untuk apa penampilan suci Melisa jika menjaga mulutnya saja tidak bisa.

Sampai di parkiran Naya segera masuk mobil, dia terdiam mengingat ucapan Melisa, netranya memanas, air matanya luruh. Sesak di hatinya semakin menjadi, tak kuasa dia menahan sakit teramat dalam.

Apakah sesama wanita tidak ada rasa empati di hatinya? Sanggupkah Melisa menjadi Naya, menggantikan posisinya? Tega sekali dia berkata seperti itu.

Naya menghapus air matanya dengan kasar, dikemudikannya mobil menuju tempat yang membuatnya tenang.

Sampainya di tempat tujuan, Naya memarkirkan mobilnya di bawah sebuah pohon. Naya melangkah setelah keluar dari mobil, dia menuju pinggir danau, Naya pun duduk pinggir danau.

Suasana yang sepi sedikit membuat tenang hatinya, tempat tersebut memang tempat yang biasa dia datangi di kala hatinya gundah. Hanya Naya dan kakaknya yang mengetahui tempat tersebut. Naya sangat dekat dengan kakaknya, tapi semenjak dia menikah, mereka jarang berkomunikasi.

Angannya menerawang teringat memori kebersamaan mereka, hanya tersisa Irham satu-satunya keluarga yang dimiliki Naya. Ibu Naya meninggal di saat melahirkannya, sedang Ayahnya meninggal karena kecelakaan saat bekerja. Mereka hanya hidup berdua, saling berbagi suka dan duka.

Dua tahun Naya menikah Irham pun menemukan tambatan hatinya. Alina, wanita malang korban perpisahan orang tuanya. 

Naya memang jarang bertukar kabar dengan Irham semenjak menikah, karena Hanan kurang akur dengan Irham.

Mengingat Irham, Naya sangat merindukannya. Andai Irham tahu kalau Hanan berkhianat, mungkin dia tidak akan menerimanya begitu saja.

Naya tak tahu apa yang akan dilakukan Irham jika mengetahuinya. Hanan pasti babak belur dihajar oleh Irham.

[Bang, Nay kangen Abang.] Naya memutuskan mengirimkan pesan pada Irham. Mungkin dengan begitu Naya bisa sedikit mengurangi rasa rindunya.

Setelah hati Naya sedikit tenang, dia beranjak pulang. Apalagi langit semakin menggelap, awan mendung sudah mulai datang, hujan pun mulai turun membasahi bumi.

Naya segera berlari menuju mobil, dia memacunya pelan membelah rintik hujan yang semakin deras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status