Hari itu seharusnya menjadi hari tenang. Hari ketika Natasya bisa sedikit menjauh dari semua urusan kantor, proyek, klien, termasuk satu nama yang tak pernah bisa benar-benar ia abaikan: Kenan.
Udara siang hari itu masih begitu sejuk, meski matahari tampak bersinar dengan cerah. Natasya berdiri di halaman belakang rumah, sementara tangannya memegang selang air, menyiram pot-pot bunga yang baru ia ganti seminggu lalu. Siraman air jatuh perlahan di atas daun mawar, membentuk genangan kecil yang memantulkan cahaya matahari. Damai. “Ah, rasanya begitu menenangkan,” ucap Natasya.Menanam tanaman memang menjadi kesukaannya akhir-akhir ini, dan dia benar-benar menikmatinya. Setidaknya, dia memiliki pelarian dari semua masalah yang terus datang silih berganti.Untung saja Natasya bukanlah tipe orang yang cepat merasa bosan. Jadi meskipun dia melakukannya setiap akhir pekan, dia masih sangat menikmati kegiatannHari itu seharusnya menjadi hari tenang. Hari ketika Natasya bisa sedikit menjauh dari semua urusan kantor, proyek, klien, termasuk satu nama yang tak pernah bisa benar-benar ia abaikan: Kenan. Udara siang hari itu masih begitu sejuk, meski matahari tampak bersinar dengan cerah. Natasya berdiri di halaman belakang rumah, sementara tangannya memegang selang air, menyiram pot-pot bunga yang baru ia ganti seminggu lalu. Siraman air jatuh perlahan di atas daun mawar, membentuk genangan kecil yang memantulkan cahaya matahari. Damai. “Ah, rasanya begitu menenangkan,” ucap Natasya.Menanam tanaman memang menjadi kesukaannya akhir-akhir ini, dan dia benar-benar menikmatinya. Setidaknya, dia memiliki pelarian dari semua masalah yang terus datang silih berganti.Untung saja Natasya bukanlah tipe orang yang cepat merasa bosan. Jadi meskipun dia melakukannya setiap akhir pekan, dia masih sangat menikmati kegiatann
Begitu tiba di restoran selanjutnya, mereka lantas bergegas masuk. Kenan memilih meja di dekat jendela. Bukan tempat tersembunyi, tapi cukup tenang. Natasya duduk dengan posisi berlawanan, menjaga jarak. Pelayan datang dan Kenan segera memesan makanan. Tidak bertanya apa-apa pada Natasya. Seolah sudah tahu dia hanya akan duduk diam. “Kamu mau kopi?” tanya Kenan tiba-tiba. “Aku tidak—” Belum sempat Natasya menolak, Kenan kembali mengambil alih. “Dua cappuccino,” potong Kenan, lalu menyerahkan menu kembali. Tatapannya mengarah ke Natasya. “Aku tahu kamu suka.” kata Kenan. Tentu saja pelayan itu masih mendengar ucapan Kenan, dan Natasya bisa melihatnya tersenyum dengan malu-malu. Begitu pelayan pergi, Natasya langsung melayangkan protesnya. “Aku bisa memesannya sendiri,” ucap Natasya datar. “Tapi aku
“Beib!” Suara itu terdengar jelas, terlalu familiar, dan langsung memecah suasana hangat yang tadi menyelimuti percakapan Natasya dan Yulia. Tubuh Natasya kaku seketika. Ia nyaris membelalakkan matanya kalau saja dia tidak lebih dulu mengenali suara itu. Kenan. Dia benar-benar muncul di saat yang sama sekali tidak tepat. Langkah kaki pria itu cepat dan yakin. Sebelum Natasya sempat berbuat apa-apa, tangannya sudah diraih oleh Kenan. Erat, seperti menandai sosok yang sudah ia kuasai. Dia bahkan tidak peduli pada orang lain di sekeliling mereka. “Beib, apa kamu menunggu lama?” tanya Kenan. Kenan menatap Natasya dengan lekat, sebelum menyadari keberadaan Yulia. Lantas, Kenan menatap Yulia, sembari menunjukkan genggaman tangannya dan Natasya. “Kamu sedang bertemu dengan klien?” tanya Kenan memastikan. Belum sempat Natasya menjawab, Kenan sudah kemba
Restoran kecil di sudut kota itu tidak terlalu ramai. Musik klasik mengalun pelan, sementara aroma kopi dan pastry memenuhi udara. Natasya duduk sendirian di dekat jendela, dengan buku catatan kecil di hadapannya. Jari-jarinya menggenggam pensil, namun pikirannya tidak benar-benar berada di halaman yang terbuka. Sudah tiga hari sejak malam itu. Sejak ciuman Kenan. Sejak ucapannya yang tidak ingin dia pergi ke mana pun tanpa sepengetahuannya. Dan sejak saat itu, tidak ada satu pun pesan atau panggilan darinya. Natasya tidak tahu apakah harus merasa lega atau kecewa. Ketika ia sedang menyeruput minumannya, seseorang mendekat. Kali ini, bukan Kenan, namun seorang wanita. Langkahnya tenang, tapi terukur. Natasya mengangkat kepala. “Permisi,” sapa wanita paruh baya tersebut. Rambutnya ditata dengan rapi, wajahnya penuh percaya diri. Menyadari bahwa dirinya yang disapa, Natasya lantas memperbaiki posisi duduknya.
Di dalam mobil, hanya suara musik instrumental pelan yang mengisi keheningan. Kenan menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu lagi di pangkuannya. Sesekali ia melirik ke arah Natasya, yang duduk diam memandangi jalan melalui jendela. “Apa kamu tidak lelah?” Kenan akhirnya membuka suara, suaranya tenang. Natasya menoleh sebentar. Meski kelelahan, dia tidak seharusnya diam, bahkan ketika Kenan sudah mengajaknya pulang. “Sedikit. Tapi tidak terlalu.” balas Natasya singkat. Kali ini, Natasya meluruskan pandangannya ke depan. Meski Natasya hanya menjawab dengan singkat, Kenan masih tidak menyerah. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan bersama Natasya, hanya dengan diam sepanjang perjalanan. Kenan berdeham sebentar. “Gaun itu pasti membuatmu sulit bergerak,” ucap Kenan. Tepat ketika Kenan mengatakan itu
Musik sudah berhenti sejak tadi, ketika Natasya melangkah pelan menuju pintu keluar. Dia sudah berpamitan pada Ayah dan Ibunya, tetapi mereka menyuruh untuk berpamitan pada Laura juga. Itu sebabnya Natasya tidak langsung pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Natasya menghampiri pasangan pengantin yang bahkan sudah berdiri menjauh satu sama lain. “Dia pasti akan mulai mengomel lagi,” batin Natasya. Ia menunggu sejenak hingga Laura menoleh ke arahnya. Begitu tatapan mereka bertemu, Natasya langsung berbicara. Dia tidak ingin berlama-lama lagi di sana. “Aku pamit pulang, Laura,” ucap Natasya, suaranya tenang. Laura melirik cepat dari atas ke bawah, seolah menilai setiap detail penampilan Natasya. Senyumnya tidak benar-benar hangat, tetapi ia masih fokus pada Natasya. Dia merasa seperti pilihannya sudah tepat. Gaun itu tidak kurang bahan, atau begitu terbuka. Tapi entah kenapa