Begitu pintu kamar mandi terbuka, Natasya langsung tertegun melihat Kenan berdiri tepat di depannya. Tubuh tinggi itu bersandar santai di dinding, dengan kedua tangan disilangkan di depan dada. Rambutnya masih berantakan, namun tatapannya begitu lekat seolah menunggu sejak tadi.“Akhirnya,” ucap Kenan dengan nada ringan, tetapi mata itu jelas menyimpan sesuatu yang berbeda. Pandangannya menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki Natasya, yang kini hanya mengenakan handuk melilit tubuhnya. Kenan menelan ludah, nyaris terdengar jelas bagi Natasya.Natasya langsung mengangkat tangan, menahan tubuh Kenan agar tidak semakin mendekat. “Berhenti di sana,” ucap Natasya.Kenan mengerjap, seolah tidak percaya dengan penolakan terang-terangan itu. “Kamu mandi dulu sana.” kata Natasya lagi.Tapi tetap saja, Kenan masih tampak enggan pergi dari sana.“Babe, aku sudah menunggumu lama. Harusnya kamu mengajakku mandi bersama tadi. Jadi kita bisa menghemat waktu,” kata Kenan panjang.Kalimat itu a
Cahaya pagi menembus tirai, membentuk guratan keemasan di lantai marmer kamar itu. Udara di ruangan terasa hangat, namun seprai itu sudah tampak begitu kusut. Natasya membuka mata perlahan, menatap langit-langit yang asing, bukan langit-langit rumah yang biasa ia tempati, melainkan milik mansion mewah Kenan. Dia menatap ke arah jam yang terletak di atas nakas, dan mendapati sekarang sudah pukul sembilan pagi. “Berapa lama dia melakukannya semalam?” pikir Natasya. Dia terdiam beberapa saat, hingga menyadari bahwa mereka melakukannya selama tujuh jam tanpa henti. “Arggh, dia benar-benar buas,” batin Natasya. Dia menghela napas berat. Tubuhnya masih terasa lelah, sebagian karena malam yang panjang. Ia menoleh sedikit, dan di sebelahnya, Kenan masih terlelap. Rambutnya berantakan, napasnya teratur, dan satu tangannya memeluk Natasya dengan erat, seolah ingin memastikan ia tetap ada di sana. Natasya mengamati wajah itu beberapa detik. Ada ketenangan yang jarang ia lihat ketika Ken
Uap hangat memenuhi kamar mandi, tapi pikiran Natasya tetap jernih. Ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Rambutnya mulai lepas dari sanggul, dan gaunnya sudah longgar di bagian atas.“Dia pasti berharap malam ini jadi awal segalanya,” gumam Natasya pelan, kali ini dengan nada dingin, bukan cemas. Tentu saja dia sudah bisa menebak isi pikiran Kenan.“Tapi kalau dia mengira aku akan langsung menuruti kemauannya, dia salah besar.” sambungnya lagi.Dia menatap ke belakang, ke arah pintu dengan sinis, seolah itu bisa langsung menembus ke arah Kenan.Natasya menarik napas panjang, lalu merapikan gaunnya agar tidak jatuh. Tatapannya tidak goyah sedikit pun.“Aku tidak menolak dia sebagai suami. Aku hanya tidak suka caranya. Selalu ingin buru-buru, selalu merasa bisa memutuskan segalanya sendiri. Kalau dia benar-benar mencintaiku, dia harus belajar menghargai waktuku.” ucap Natasya panjang.Ia meraih handuk, lalu menekannya perlahan ke wajah. Uap air dan rasa lelah d
Beberapa menit berlalu dalam hening yang terasa panjang. Kenan akhirnya hanya bisa pasrah, sembari menggenggam tangan Natasya. “Babe, kita tidak pulang ke rumah yang biasa,” ucap Kenan tenang. “Aku ingin kita memulainya di tempat baru yang lebih baik,” jelas Kenan lagi. Kenan terus berbicara, karena dia tahu Natasya masih mendengarkan. Istrinya itu hanya tidak ingin berbicara banyak dengannya sekarang. Sama sekali tidak ada respons, selain suara napas teratur yang terdengar di pangkuan Kenan. Mobil itu terus melaju keluar dari pusat kota. Jalan mulai sepi, berganti deretan pepohonan tinggi. Hingga akhirnya, pagar besi hitam setinggi hampir tiga meter terbuka otomatis. Mereka memasuki halaman luas yang diterangi lampu taman. Di tengahnya berdiri sebuah mansion megah, bangunan bergaya klasik dengan pilar-pilar putih, lampu-lampu yang berpijar dengan mewah di malam hari, dan dinding kaca yang memantulkan cahaya hangat dari dalam. Karena mereka sudah tiba, Kenan akhirnya membangun
Malam sudah larut ketika resepsi berakhir. Lampu-lampu di area pesta mulai diredupkan, dan musik berhenti mengalun. “Babe, ayo pergi,” kata Kenan sembari menyodorkan tangannya.Natasya yang memang saat itu berdiri di samping Kenan, tidak langsung menyambut uluran tangan pria yang kini sudah berstatus sebagai suaminya itu. Melihat Natasya yang tampak enggan, Kenan akhirnya meraih tangannya, menggiringnya keluar dari area resepsi. Ia tak berkata apa-apa, hanya memberikan senyum tipis pada beberapa keluarga yang masih berdiri di dekat pintu keluar. Di parkiran, sebuah limousine hitam sudah menunggu. Pintu belakang dibuka untuk mereka. Mobil itu bahkan sudah dihias layaknya mobil pengantin baru.Melihat itu, Natasya menatap dengan sedikit kebingungan.“Kita tidak bermalam di sini?” tanya Natasya memastikan.Mendengar itu, Kenan langsung menggelengkan kepala sebagai jawaban. Saat itu juga, keluarga mereka mulai
Musik resepsi masih mengalun pelan saat Natasya kembali duduk di kursinya. Kenan sibuk berbicara sebentar dengan Rival, tapi pandangannya tetap sesekali mengarah pada Natasya. Baru saja Natasya ingin mengambil minumannya, sebuah suara akrab memanggil dari belakang. “Kak Nat!” Natasya menoleh, dan matanya langsung membesar, menangkap pandang seseorang. “Kian?” balas Natasya. Pemuda berwajah cerah itu berjalan cepat melewati kerumunan tamu, senyumnya lebar. Begitu tiba di hadapan Natasya, tanpa ragu ia meraih dan memeluknya erat. Tubuhnya hangat, aroma parfum yang familiar menyeruak, membawa ingatan lama mereka.Meski sebenarnya, mereka sudah bertemu di pernikahan Laura dan Kevin waktu itu.“Kak, akhirnya kamu menikah juga,” kata Kian sembari tertawa.Mendengar itu, Natasya langsung membalas dengan ikut tertawa. Namun, pelukan dan senyuman itu ternyata mendapat tatapan yang berbeda dari arah lain. Dari sudut matanya, N