Share

Tidak punya hati

Author: Chikyciki
last update Last Updated: 2023-07-17 06:43:17

"Saya tidak keberatan, Tuan. Tapi, apakah boleh saya meminta sesuatu?"

"Katakan, apa yang kamu inginkan?"

"Saya hanya selalu ingin tau kabar keluarga saya, Tuan."

"Baiklah." Aku tersenyum saat Tuan Besar menganggukkan kepalanya.

Kami baru saja akan meninggalkan ruangan, tetapi tiba-tiba seorang lelaki muda datang dan mendekati Tuan Besar.

"Pah ... Papah baik-baik aja kan, apa Papah sakit?" tanya lelaki itu, wajahnya terlihat begitu khawatir.

"Hans." Tuan besar menatap lekat putranya, setelah itu ia memeluknya dengan erat. "Kapan kamu pulang? Kenapa tidak mengabari papah dulu?"

"Tadinya Hans mau ngasih kejutan, tapi malah Hans yang dikasih kejutan. Orang rumah bilang kalo Papah ke rumah sakit," jawabnya.

Tuan besar tampak terkekeh pelan. "Papah gak papa. Oh, ya kenalkan dia Jingga. Calon istri Dafa."

Aku tersenyum kikuk saat lelaki itu menatap lekat ke arahku dengan alisnya yang dinaikan sebelah, ia lalu mengulurkan tangannya padaku. "Hans," ucapnya.

"Hans, kamu pulang duluan aja bersama Jingga. Papah ada urusan dulu."

Hans menganggukan kepalanya, ia lalu mengajakku untuk pulang dengan naik mobilnya.

Di dalam mobil, tidak ada pembicaraan diantara kami. Entah kenapa rasanya begitu canggung, semobil berdua dengan lelaki ini.

"Jingga, saya boleh bertanya sesuatu?" tanyanya, memecah keheningan.

"Boleh, Tuan."

"Panggil saja, Hans. Saya adik ipar kamu," kekehnya dengan mata yang terus menatap ke depan.

"Ii--iya, Hans."

"Jingga, kenapa kamu mau menikah dengan Kak Dafa? Apa kamu tidak tau seperti apa dia sebenarnya?"

Aku yang sedari tadi menunduk, langsung mendongak ke arah lelaki itu. Entah kenapa aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.

"Saya ... Saya tau semuanya Tuan," jawabku dengan kikuk.

Aku melihat lelaki itu tersenyum tipis ." Segalanya bisa terjadi karna uang," ucapnya pelan.

Aku tidak tau apa yang dia maksud tapi ucapannya benar, uang segalanya.

***

Baru saja kami sampai ke rumah, Tania sudah keluar lalu berhambur memeluk Hans.

"Hans, astaga. Kamu sudah pulang kuliah, kenapa gak bilang kakak dulu? Kakak akan bikin suprise untuk kamu yang sudah lama tidak pulang."

"Tidak usah!" jawab lelaki itu. Ia melepaskan pelukan Tania, dengan raut wajahnya yang terlihat datar.

"Hans, kamu mau makan apa? Biar kakak suruh pelayan buat siapin makan buat kamu, yah?"

"Saya ngantuk, butuh istirahat!"

Raut wajah Tania terlihat langsung berubah muram. "Yaudah, Kakak bakal nyuruh pelayan buat beresin tempat tidur kamu!" ucapnya, sebelum pergi ia menyempatkan menatap ke arahku lalu melenggang pergi.

"Hans, aku juga minta izin mau ke kamar Tuan Dafa!"

"Jika ada apa-apa, kabari saya," jawabnya. Aku menganggukan kepala, rasanya begitu tenang karna ada beberapa orang yang baik di rumah ini.

Aku melangkahkan kaki ku ke kamar Tuan Dafa, aku melihat wajah lelaki itu begitu damai ketika tidur.

Aku mengambil sapu lalu membersihkan sisa pecahan kaca. Aneh, pelayan begitu banyak tapi tidak ada satupun yang membersihkan kamar Tuan Dafa.

"Lancang sekali kamu membersihkan kamar saya."

Mataku melebar mendengar suara Tuan Dafa. Aku berbalik, mendapati dirinya sedang menatapku dengan bengis.

"Tu--tuan, saya hanya ingin membersihkan kamar Tuan ...."

"Gak ada yang boleh bersihin kamar saya!"

"Tapi kamarnya berantakan."

"SAYA BILANG ENGGAK, YAH ENGGA. KAMU TULI?"

Mataku terpejam mendengar teriakannya. "Maafkan saya, Tuan."

"Keluar dari kamar saya!" Tuan Dafa menunjuk ke arah pintu.

Aku mengangguk, tapi langkahku terhenti saat melihat Tania dan Satria masuk dengan mesra memasuki kamar Tuan Dafa.

"Mas, kenapa kamu mengusir calon istrimu ini? Apa kamu gak suka karna dia kampungan?" cibir Tania.

"Papah sudah susah-susah cari calon istri buat kamu, terima saja dia. Mungkin cuman dia yang mau nerima lelaki lumpuh kaya kamu!"

Aku melihat kedua tangan mas Dafa terkepal, saking kuatnya membuat balutan perbannya kembali memerah.

"Tuan, tangan anda berdarah lagi." Aku langsung mengambil kotak obat, lalu menghampirinya.

"Gak usah so peduli, saya bisa sendiri!" Tuan Dafa menepis tanganku yang akan mengobati dirinya.

"Jingga bantu saja dia, Kak Dafa gak bisa ngelakuin apa-apa sendiri."

Terdengar gelak tawa mereka, mebuatku aku langsung menatap geram ke arah mereka. "Sebagai keluarga, tega sekali kalian mencemooh Tuan Dafa? Apa kalian tidak punya hati?"

Mereka langsung terdiam mendengar teriakanku, termasuk Tuan Dafa yang menatap ke arahku.

"Heh gadis kampung. Siapa yang kamu bilang tidak punya hati, hah?" Satria menatap nyalang ke arahku. "Katakan pada calon suamimu itu, kenapa mantan istrinya pada kabur di malam pertama mereka. Itu karna dia tidak punya hati sampai tega menyiksanya."

Gigi Tuan Dafa bergemeletuk, dengan tangannya yang kuat mencengkam tanganku yang sedang mengobatinya.

Tidak ada sepatah katapun yang dia ucapkan pada mereka, aku tau saat ini Tuan Dafa sedang menahan emosinya yang akan meledak.

Aku menghela nafas pelan, lalu berdiri menatap mereka. "Tuan Dafa memang tidak punya hati, tapi apa bedanya dengan istrimu ini, yang meninggalkan tunangannya yang sedang terluka lalu menikahi adik nya." Aku menunjuk wajah Tania, membuat wajah wanita itu memerah.

"Kau ...." Tania hendak mendekat ke arahku, tapi Satria langsung menahannya.

"Biarkan saja! Lihat, nanti dia akan tau siapa yang tidak punya hati sebenarnya," gumam Satria. Ia lalu menarik tangan istrinya untuk keluar dari sana.

Setelah melihat mereka pergi, aku kembali mengobati Tuan Dafa. Sekarang lelaki itu hanya diam, dengan matanya yang terus menatapku.

"Sudah selesai, Tuan."

"Darimana kamu tau soal tadi?" tanyanya.

"Em, itu ... Dari Tuan besar."

"Ck." Tuan Dafa tampak berdecak kesal. "Papah sudah memberi tahu semuanya tentangku, kan?"

Aku mengangguk dengan ragu.

"Jadi apalagi?"

"Apa?" Aku mendongak menatapnya hingga tatapan kami beradu.

"Apa kamu masih tidak takut menikah denganku?"

"Tidak!"

"Pergilah!" ucap Tuan Dafa sembari membuang muka.

Aku hanya menganggukian kepala, setelah itu berlalu keluar.

Aku terdiam di depan pintu kamar Tuan Dafa, apakah keputusanku benar ingin menikah dengannya?

"Nona."

Tiba-tiba seorang lelaki datang menghampiriku, ia lalu menyodorkan ponsel yang terlihat sangat mahal padaku.

"Ini dari Tuan Besar. Di dalam sini, sudah sim serta nomor telepon keluarga nona."

Aku mengambil ponsel itu dengan perasaan haru, baru tadi aku minta sekarang Tuan Besar sudah mengabulkannya.

Aku menjauh dari kamar Tuan Dafa. Kemudian, dengan cepat aku membuka ponsel tersebut dan melihat bahwa hanya ada satu kontak yang tersimpan di dalamnya, yaitu nama adikku.

"Leo," sapaku girang, saat video call itu sudah menyala menampilkan adikku yang tersenyum lebar.

"Kakak, Leo kangen kakak. Kakak, kapan pulang?"

Runtunan pertanyaan darinya membuat hatiku terasa sesak, aku berusaha menahan air mataku agar tidak jatuh. Jangan sampai adikku melihatku menangis.

"Kakak juga kangen, Leo baik-baik aja di sana kan?"

Tampak wajah adikku berubah muram. "Leo baik tapi Ibu terus nangis di kamar Kak."

Deg!

"Ibu kenapa Dek?"

Jantungku berdetak sangat kencang, aku takut terjadi sesuatu pada ibu.

Ibu nangis terus semenjak kakak di bawa bapak."

"Apa, bapak pulang?"

"Iya, bapak pulang bawa makanan sama baju yang bagus buat Leo. Ibu juga di beliin, tapi Ibu malah marah-marah terus mukulin Bapak.

Bapak bales mukul Ibu. Kak, Leo takut, Leo sembunyi di lemari liat ibu sama bapak berantem."

Aku menutup mulutku tidak percaya, pertahanku runtuh. Air mata ini sudah tidak bisa di bendung lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Tidak Mencuri Uangmu, Bu   Ending

    Dafa terduduk lemas sambil menatap sebuah foto yang berisi keluarganya dulu saat mereka masih lengkap. Dia kemudian memasukkan foto tersebut ke dalam koper.Sudah tujuh tahun sejak peristiwa mengerikan itu terjadi, namun kenangan yang menakutkan itu masih selalu menghantuinya. Dafa menghela nafas pelan dan kembali melanjutkan mengambil barang-barang lainnya untuk dimasukkan ke dalam koper."Sudah siap semuanya?" tanya Tuan William. Dafa mengangguk, ia lalu meminta seseorang untuk membawa barang-barangnya ke mobil."Hana, sini sama Papah." Bocah perempuan yang berada di sisi Tuan William langsung berlari ke pangkuan Dafa. Lelaki itu tersenyum, ia lalu mencium pipi gembul putrinya."Sebelum ke rumah baru, kita nemuin Bunda dulu yah," ucap Dafa membuat bocah itu mengangguk dengan antusias. Dafa lalu menggendong Hanna, sebelum pergi ia terlebih dahulu menatap lama ke arah kamar mereka. Ia menghela nafas pelan, merasa berat meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan indah. Namun, mes

  • Aku Tidak Mencuri Uangmu, Bu   Pengorbanan Hans

    "Tania, berhenti!" teriak Jingga dengan panik, namun Tania justru tertawa. Dengan kegilaan di matanya, wanita itu terus mengemudikan mobilnya menuju jurang yang mengerikan."Tania, jangan bodoh. Kita bisa mati!"Tidak, Jingga. Jika aku tidak bisa mendapatkan Mas Dafa, maka kamu juga tidak."Tania menginjak gas dengan keras, membuat mobil semakin cepat menuju ke jurang yang menakutkan. Jingga dengan panik mencoba menghentikannya, tangan mereka berebut setir mobil sehingga kendaraan itu menjadi tidak stabil. "Lepaskan, Tania!"Namun, Tania tak merespons. Kedua wanita itu terus berebut setir, membuat mobil semakin oleng dan jauh dari kendali."Aku tidak akan membiarkan kamu menyelakaiku atau anakku."Tin! Tin! Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar dari arah samping. "HANS," teriak Jingga, ia melihat mobil Hans yang sedang melaju di sisinya dengan tangan lelaki itu berusaha mengetuk kaca mobil Tania."Hentikan perbuatan ini Tania! Berhenti!" teriak Hans dengan keras, namun Tania tet

  • Aku Tidak Mencuri Uangmu, Bu   Pengakuan mengejutkan

    Ada yang aneh dari tatapan Tania, tapi aku tidak tau apa. "Jingga, saya mau menemui Hans terlebih dahulu. Saya harus mengetahui apa alasan dia melakukan hal itu." "Aku ikut, Mas.""Hm, ayo."Kami akhirnya melangkahkan kaki untuk mencari Hans, sekarang dia harus menjelaskan semuanya. Mengapa dirinya sampai mengambil keputusan seperti itu? "Hans," panggil Mas Dafa. Membuat Lelaki yang sedang duduk di teras itu mendongak menatap kami. "Kak Dafa, ada apa?" "Jujur sama saya, Hans. Kenapa kamu melakukan hal itu?""Hans, hanya ingin menikahinya Kak.""Bohong, saya sudah pernah mencarikanmu wanita. Bukan hanya saya, tapi Papah juga. Tapi kamu selalu menolak dengan alasan tidak mau menikah, sekarang kamu malah ingin menikahi Tania. Hans, saya tau kamu tidak mencintainya, kamu juga tidak sepeduli itu pada putranya. Lalu apa yang membuat kamu ingin menikah dengannya?" tanya Mas Dafa, tampak kekesalan terlihat di wajahnya karna melihat Hans yang hanya tersenyum dan terus diam. "Kakak tidak

  • Aku Tidak Mencuri Uangmu, Bu   Permintaan Hans

    Aku terbangun dan menatap ke samping namun tidak ada keberadaan Mas Dafa. Ku lirik jam yang sudah menunjukan pukul satu malam. Kemana Mas Dafa pergi malam-malam seperti ini. Aku langsung bangkit, dan keluar dari kamar. Langkah ku ayunkan ke kamar Tania, pasti Mas Dafa berada di sana.Benar, saja. Aku melihat Mas Dafa sedang menggendong Azka, putra Tania. Mata lelaki itu terlihat sayu, tapi dia seperti tidak lelah menggendongnya. Sedangkan Tania, wanita itu sedang berbaring sembari tersenyum ke arah Mas Dafa. Melihat pemandangn seperti ini, hatiku terasa begitu sakit, terlebih melihat mereka seperti suami istri yang sempurna.Aku menggeleng dengan cepat, bagaimana bisa aku berpikir seburuk itu. Aku tau, jika Mas Dafa hanya mencintaiku. "Mas, gendong Azka nya jangan sambil berdiri gitu. Mendingan sambil tiduran dekat aku," ucap tania dengan nada yang terdengar manja."Tania, saya datang ke sini hanya untuk menidurkan Azka. Jangan pernah berpikir macam-macam, karena jika kamu mengatak

  • Aku Tidak Mencuri Uangmu, Bu   Kebodohan Jingga

    "Ngga, Mas." Langkah Mas Dafa kembali berhenti saat aku menghempaskan tangannya. "Jingga, kamu ....""Mas, aku mohon. Apa kamu tidak kasihan sama Papah, dan anak Tania. Dia masih kecil Mas, dia butuh banyak kasih sayang.""Jingga, kamu tidak tau apapun. Turutin perintah saya, ayo!" Mas Dafa akan kembali menarik tanganku, tapi dengan cepat aku menggeleng. "Maaf Mas, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sini. Mas, tolong kali ini saja jangan egois," ucapku membuat mata Mas Dafa melebar, seperti tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. "Saya egois, kamu serius dengan ucapanmu, Jingga?""Iya, Mas," jawabku sembari menatap ke arahnya, berusaha untuk menutupi ketakutan ini karna sudah melawan dirinya. "Baiklah, kita akan tetap di sini," jawab Mas Dafa dengan nada yang terdengar kecewa.***Aku, Papah dan Hans mengikuti Mas Dafa yang berjalan ke arah kamar Tania, entah kenapa mendadak hatiku menjadi tidak tenang. Semoga saja, ini tidak membuat hubungan kami menjadi kembali reng

  • Aku Tidak Mencuri Uangmu, Bu   Pergi

    Pov JinggaAku menggendong bayi Tania dengan air mata yang menetes, tak kuasa manahan tangisku saat bayi yang baru lahir ini sudah kehilangan Papahnya dan Ibunya seperti tidak menyayanginya."Jingga, kamu amankan dulu bayinya." Aku mengangguk, saat akan membawa bayi ini tiba-tiba Tania kembali berteriak. "Kembalikan bayiku! Jangan bawa dia, kamu mau nyuri dia kan? Karna dia pewaris keluarga William?""Astagfirullah." Hans menggelengkan kepalanya, sedangkan wajah Mas Dafa sudah memerah. Mas Dafa memgambil alih bayi itu, lalu kembali menurunkannya di dekat Tania. "Urus bayimu Tania!" ucap Mas Dafa, setelah itu ia akan kembali mendekatiku akan tetapi Tania malah mencekal tangannya. "Mm--mas Dafa," panggil Tania, membuat kami semua mengerutkan kening. "Mas, bantu aku buat jaga bayi ini. Kasian dia Mas, dia udah gak punya Papah." "Bukannya kamu tadi menuduh istri saya akan mencuri bayimu?" "Yah, karna dia bukan siapa-siapa. Dia pasti bakal ngelakuin segala cara untuk mengambil bayi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status