Share

Tidak punya hati

"Saya tidak keberatan, Tuan. Tapi, apakah boleh saya meminta sesuatu?"

"Katakan, apa yang kamu inginkan?"

"Saya hanya selalu ingin tau kabar keluarga saya, Tuan."

"Baiklah." Aku tersenyum saat Tuan Besar menganggukkan kepalanya.

Kami baru saja akan meninggalkan ruangan, tetapi tiba-tiba seorang lelaki muda datang dan mendekati Tuan Besar.

"Pah ... Papah baik-baik aja kan, apa Papah sakit?" tanya lelaki itu, wajahnya terlihat begitu khawatir.

"Hans." Tuan besar menatap lekat putranya, setelah itu ia memeluknya dengan erat. "Kapan kamu pulang? Kenapa tidak mengabari papah dulu?"

"Tadinya Hans mau ngasih kejutan, tapi malah Hans yang dikasih kejutan. Orang rumah bilang kalo Papah ke rumah sakit," jawabnya.

Tuan besar tampak terkekeh pelan. "Papah gak papa. Oh, ya kenalkan dia Jingga. Calon istri Dafa."

Aku tersenyum kikuk saat lelaki itu menatap lekat ke arahku dengan alisnya yang dinaikan sebelah, ia lalu mengulurkan tangannya padaku. "Hans," ucapnya.

"Hans, kamu pulang duluan aja bersama Jingga. Papah ada urusan dulu."

Hans menganggukan kepalanya, ia lalu mengajakku untuk pulang dengan naik mobilnya.

Di dalam mobil, tidak ada pembicaraan diantara kami. Entah kenapa rasanya begitu canggung, semobil berdua dengan lelaki ini.

"Jingga, saya boleh bertanya sesuatu?" tanyanya, memecah keheningan.

"Boleh, Tuan."

"Panggil saja, Hans. Saya adik ipar kamu," kekehnya dengan mata yang terus menatap ke depan.

"Ii--iya, Hans."

"Jingga, kenapa kamu mau menikah dengan Kak Dafa? Apa kamu tidak tau seperti apa dia sebenarnya?"

Aku yang sedari tadi menunduk, langsung mendongak ke arah lelaki itu. Entah kenapa aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.

"Saya ... Saya tau semuanya Tuan," jawabku dengan kikuk.

Aku melihat lelaki itu tersenyum tipis ." Segalanya bisa terjadi karna uang," ucapnya pelan.

Aku tidak tau apa yang dia maksud tapi ucapannya benar, uang segalanya.

***

Baru saja kami sampai ke rumah, Tania sudah keluar lalu berhambur memeluk Hans.

"Hans, astaga. Kamu sudah pulang kuliah, kenapa gak bilang kakak dulu? Kakak akan bikin suprise untuk kamu yang sudah lama tidak pulang."

"Tidak usah!" jawab lelaki itu. Ia melepaskan pelukan Tania, dengan raut wajahnya yang terlihat datar.

"Hans, kamu mau makan apa? Biar kakak suruh pelayan buat siapin makan buat kamu, yah?"

"Saya ngantuk, butuh istirahat!"

Raut wajah Tania terlihat langsung berubah muram. "Yaudah, Kakak bakal nyuruh pelayan buat beresin tempat tidur kamu!" ucapnya, sebelum pergi ia menyempatkan menatap ke arahku lalu melenggang pergi.

"Hans, aku juga minta izin mau ke kamar Tuan Dafa!"

"Jika ada apa-apa, kabari saya," jawabnya. Aku menganggukan kepala, rasanya begitu tenang karna ada beberapa orang yang baik di rumah ini.

Aku melangkahkan kaki ku ke kamar Tuan Dafa, aku melihat wajah lelaki itu begitu damai ketika tidur.

Aku mengambil sapu lalu membersihkan sisa pecahan kaca. Aneh, pelayan begitu banyak tapi tidak ada satupun yang membersihkan kamar Tuan Dafa.

"Lancang sekali kamu membersihkan kamar saya."

Mataku melebar mendengar suara Tuan Dafa. Aku berbalik, mendapati dirinya sedang menatapku dengan bengis.

"Tu--tuan, saya hanya ingin membersihkan kamar Tuan ...."

"Gak ada yang boleh bersihin kamar saya!"

"Tapi kamarnya berantakan."

"SAYA BILANG ENGGAK, YAH ENGGA. KAMU TULI?"

Mataku terpejam mendengar teriakannya. "Maafkan saya, Tuan."

"Keluar dari kamar saya!" Tuan Dafa menunjuk ke arah pintu.

Aku mengangguk, tapi langkahku terhenti saat melihat Tania dan Satria masuk dengan mesra memasuki kamar Tuan Dafa.

"Mas, kenapa kamu mengusir calon istrimu ini? Apa kamu gak suka karna dia kampungan?" cibir Tania.

"Papah sudah susah-susah cari calon istri buat kamu, terima saja dia. Mungkin cuman dia yang mau nerima lelaki lumpuh kaya kamu!"

Aku melihat kedua tangan mas Dafa terkepal, saking kuatnya membuat balutan perbannya kembali memerah.

"Tuan, tangan anda berdarah lagi." Aku langsung mengambil kotak obat, lalu menghampirinya.

"Gak usah so peduli, saya bisa sendiri!" Tuan Dafa menepis tanganku yang akan mengobati dirinya.

"Jingga bantu saja dia, Kak Dafa gak bisa ngelakuin apa-apa sendiri."

Terdengar gelak tawa mereka, mebuatku aku langsung menatap geram ke arah mereka. "Sebagai keluarga, tega sekali kalian mencemooh Tuan Dafa? Apa kalian tidak punya hati?"

Mereka langsung terdiam mendengar teriakanku, termasuk Tuan Dafa yang menatap ke arahku.

"Heh gadis kampung. Siapa yang kamu bilang tidak punya hati, hah?" Satria menatap nyalang ke arahku. "Katakan pada calon suamimu itu, kenapa mantan istrinya pada kabur di malam pertama mereka. Itu karna dia tidak punya hati sampai tega menyiksanya."

Gigi Tuan Dafa bergemeletuk, dengan tangannya yang kuat mencengkam tanganku yang sedang mengobatinya.

Tidak ada sepatah katapun yang dia ucapkan pada mereka, aku tau saat ini Tuan Dafa sedang menahan emosinya yang akan meledak.

Aku menghela nafas pelan, lalu berdiri menatap mereka. "Tuan Dafa memang tidak punya hati, tapi apa bedanya dengan istrimu ini, yang meninggalkan tunangannya yang sedang terluka lalu menikahi adik nya." Aku menunjuk wajah Tania, membuat wajah wanita itu memerah.

"Kau ...." Tania hendak mendekat ke arahku, tapi Satria langsung menahannya.

"Biarkan saja! Lihat, nanti dia akan tau siapa yang tidak punya hati sebenarnya," gumam Satria. Ia lalu menarik tangan istrinya untuk keluar dari sana.

Setelah melihat mereka pergi, aku kembali mengobati Tuan Dafa. Sekarang lelaki itu hanya diam, dengan matanya yang terus menatapku.

"Sudah selesai, Tuan."

"Darimana kamu tau soal tadi?" tanyanya.

"Em, itu ... Dari Tuan besar."

"Ck." Tuan Dafa tampak berdecak kesal. "Papah sudah memberi tahu semuanya tentangku, kan?"

Aku mengangguk dengan ragu.

"Jadi apalagi?"

"Apa?" Aku mendongak menatapnya hingga tatapan kami beradu.

"Apa kamu masih tidak takut menikah denganku?"

"Tidak!"

"Pergilah!" ucap Tuan Dafa sembari membuang muka.

Aku hanya menganggukian kepala, setelah itu berlalu keluar.

Aku terdiam di depan pintu kamar Tuan Dafa, apakah keputusanku benar ingin menikah dengannya?

"Nona."

Tiba-tiba seorang lelaki datang menghampiriku, ia lalu menyodorkan ponsel yang terlihat sangat mahal padaku.

"Ini dari Tuan Besar. Di dalam sini, sudah sim serta nomor telepon keluarga nona."

Aku mengambil ponsel itu dengan perasaan haru, baru tadi aku minta sekarang Tuan Besar sudah mengabulkannya.

Aku menjauh dari kamar Tuan Dafa. Kemudian, dengan cepat aku membuka ponsel tersebut dan melihat bahwa hanya ada satu kontak yang tersimpan di dalamnya, yaitu nama adikku.

"Leo," sapaku girang, saat video call itu sudah menyala menampilkan adikku yang tersenyum lebar.

"Kakak, Leo kangen kakak. Kakak, kapan pulang?"

Runtunan pertanyaan darinya membuat hatiku terasa sesak, aku berusaha menahan air mataku agar tidak jatuh. Jangan sampai adikku melihatku menangis.

"Kakak juga kangen, Leo baik-baik aja di sana kan?"

Tampak wajah adikku berubah muram. "Leo baik tapi Ibu terus nangis di kamar Kak."

Deg!

"Ibu kenapa Dek?"

Jantungku berdetak sangat kencang, aku takut terjadi sesuatu pada ibu.

Ibu nangis terus semenjak kakak di bawa bapak."

"Apa, bapak pulang?"

"Iya, bapak pulang bawa makanan sama baju yang bagus buat Leo. Ibu juga di beliin, tapi Ibu malah marah-marah terus mukulin Bapak.

Bapak bales mukul Ibu. Kak, Leo takut, Leo sembunyi di lemari liat ibu sama bapak berantem."

Aku menutup mulutku tidak percaya, pertahanku runtuh. Air mata ini sudah tidak bisa di bendung lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status